ANALISIS PARAMETER KUALITAS AIR, LOGAM BERAT, PLANKTON DAN SUBSTRAT DASAR PERAIRAN ANGSANA
SEBAGAI INDIKATOR BAHAN PENCEMARAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU
LAPORAN PRAKTIK PENCEMARAN SUMBERDAYA ESTUARI DAN LAUT
RIO FALDI TARIHORAN 2210716110003
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU
2024
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Laporan : Analisis Parameter Kualitas Air, Plankton dan Substrat Dasar Perairan Angsana Sebagai Indikator Bahan Pencemaran di Kabupaten Tanah Bumbu.
Nama Mahasiswa : RIO FALDI TARIHORAN
NIM : 2210716110003
Laporan Praktek telah Diperiksa dan disetujui oleh:
Dosen Pengasuh Mata kuliah
Dosen I Dosen II Dosen III
Tanggal Disetujui : Desember 2024
Nursalam, S.Kel., MS. Dr. Yuliyanto, S.T., M.Si. Muh. Afdal, S.Kel., M.Si.
NIP. 197708242008121002 NIP. 197407032006041002 NIP. 199307122022031007
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia_Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Lapang Pencemaran Estuari dan Laut“” tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para Dosen Pengampu Mata Kuliah Pencemaran estuary dan Laut Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Lambung Mangkurat.
Dalam penyusunan Laporan ini, penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangannya baik dari segi teknik penulisan maupun isi materinya, oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan saran serta kritik yang bersifat membangun demi perbaikan laporan praktek lapang ini.
Akhir kata, dengan segala keterbatasan yang ada, mudah-mudahan Laporan ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, Amin.
Banjarbaru, Desember 2024
RIO FALDI TARIHORAN
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN...ii
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR ISI...iv
DAFTAR TABEL...1
DAFTAR GAMBAR...1
BAB 1. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang...1
1.2. Maksud dan Tujuan...2
1.3. Ruang Lingkup... 3
1.3.1. Ruang Lingkup Lokasi...3
1.3.2. Ruang Lingkup Materi...3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA...4
2.1. Pengertian...4
2.2. Jenis dan Sumber Pencemaran...4
2.2.1. Jenis Pencemaran...4
2.2.2. Sumber Pencemaran...5
2.3. Indikator Pencemaran...5
2.4. Pencemaran di wilayah pesisir...6
2.5. Upaya Penanggulangan Pencemaran di Wilayah Pesisir...7
2.6. Kondisi Umum Wilayah Studi...7
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN...9
3.1. Waktu dan Lokasi... 9
3.2. Alat dan Bahan...10
3.2.1. Alat...10
3.2.2. Bahan...11
3.3. Metode Perolehan Data...11
3.3.1. Penentuan Lokasi Sampling...11
3.3.2. Pengambilan Sampel ( Data insitu meliputi Fisik, Kimia, dan Biologi). 12 3.3.3. Metode Analisis Sampel di Laboratorium (Kimia (unsur hara dan logam berat), Biologi (plankton dan bentos))...13
3.4.1. Baku Mutu...14
3.4.2. Sebaran Spasial...16
3.4.3. Analisis Indeks Pencemaran...16
BAB 4. HASIL DAN ANALISIS...18
4.1. Analisis Faktor Lingkungan Studi...18
4.1.1. Analisis Parameter Lingkungan Studi...18
4.1.2. Analisis Parameter Fisisk...18
4.1.3. Analisis Parameter Kimia...27
4.1.4. Analisis Parameter Biologi...43
4.2. Analisis Indekas Pencemaran...46
4.2.1. EX-situ...46
4.2.2. Parameter Kimia...49
4.3. Analisis Pengaruh Pencemaran Terhadap Biota dan Kualitas Perairan...50
4.4. Upaya Penanggulangan Pencemaran di Wilayah Pesisisr...50
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN...53
5.1. Kesimpulan... 53
5.2. Saran...53
DAFTAR PUSTAKA...54
LAMPIRAN...56
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Alat yang digunakan dilapangan...11
Tabel 3.2. Alat yang digunakan di laboratorium...11
Tabel 3.3. Bahan yang digunakan...11
Tabel 3.4. Baku mutu(parameter fisik, kimia, dan biologi.)...14
Tabel 4.1. Perhitungan indeks pencemaran Ex-situ...46
Tabel 4.2. Perhitungan indeks pencemaran in-situ...49
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Peta Lokasi Praktik Lapang...10Gambar 4.2. Peta sebaran kecerahan di perairan Angsana...20
Gambar 4.3. Peta sebaran suhu diperairan Angsana...22
Gambar 4.4. Peta Kedalaman diperairan Angsana...24
Gambar 4.5. Peta Arus diperairan Angsana...26
Gambar 4.6. Peta Sebaran Salinitas diperairan Angsana...28
Gambar 4.7. Peta Sebaran DO diperairan Angsana...30
Gambar 4.8. Peta Sebaran BOD5 diperairan Angsana...32
Gambar 4.9. Peta Sebaran pH diperairan Angsana...34
Gambar 4.10. Peta Sebaran Nitrat diperairan Angsana...36
Gambar 4.11. Peta Sebaran Fosfat diperairan Angsana...38
Gambar 4.12. Peta Sebaran Logam Berat (FE) diperairan Angsana...39
Gambar 4.13. Peta Sebaran TDS diperairan Angsana...41
Gambar 4.14. Peta Sebaran TSS diperairan Angsana...43
Gambar 4.15. Grafik perhitungan fitoplankton diperairan Angsana...44
Gambar 4.16. Grafik perhitungan Zooplankton diperairan Angsana...46
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perairan Angsana di Kabupaten Tanah Bumbu memiliki potensi besar sebagai sumber daya perikanan dan pendukung kehidupan ekosistem akuatik. Namun, aktivitas manusia seperti pertambangan, perkebunan, dan urbanisasi di sekitar wilayah tersebut meningkatkan potensi masuknya bahan pencemar, seperti limbah organik dan anorganik. Kualitas perairan dapat berubah akibat akumulasi polutan yang memengaruhi keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem (Rudiyanti, 2016;
Wulandari, 2015).
Kualitas air merupakan salah satu indikator utama untuk mengukur tingkat pencemaran di perairan. Parameter fisik dan kimia air, seperti pH, oksigen terlarut (DO), salinitas, dan kekeruhan, memainkan peran penting dalam menentukan status lingkungan akuatik. Kajian ini penting karena standar baku mutu air, seperti yang diatur oleh PP No. 82 Tahun 2001, sering kali menjadi acuan untuk mengevaluasi kesehatan perairan (Suryanti, 2016; Rudiyanti, 2016).
Selain kualitas air, plankton, terutama fitoplankton, merupakan bioindikator yang andal dalam mendeteksi pencemaran. Komposisi dan kelimpahan plankton mencerminkan perubahan kualitas perairan akibat masuknya nutrien, logam berat, atau bahan organik berlebih. Misalnya, kelimpahan Bacillariophyceae sering digunakan untuk mengidentifikasi tingkat pencemaran organik (Anwar, 2015; Mizuno, 1979).
Substrat dasar perairan, seperti pasir dan lumpur, juga memiliki peran signifikan dalam mendukung komunitas biota akuatik. Perubahan karakteristik substrat dapat menunjukkan dampak langsung dari pencemaran, seperti sedimentasi akibat erosi atau limbah industri. Pemantauan substrat memberikan wawasan tambahan mengenai dinamika ekosistem perairan (Rudiyanti, 2016; Zahidin, 2015).
Air laut dikatakan tercemar apabila kualitasnya menurun dan fungsinya berubah karena perubahan tersebut menyebabkan keadaan negative terhadap manusia dan lingkungan. Pencemaran di laut salah satunya dapat ditandai dengan terjadinya bloom algae/plankton (meningkatnya aktivitas alga atau plankton yang berlebihan). Pengaruh bahan pencemar terhadap lingkungan laut dapa dilihat dalam beberapa parameter antara lain yaitu parameter fisika, kimia dan biologi. Sumber pencemaran sendiri bermacammacam yang jika dilihat dari tempat berasalnya pencemaran maka akan di bedakan menjadi dua, yakni pencemaran yang berasal dari laut dan pencemaran yang berasal dari daratan. Keduanya memberikan masukan yang tidak sesuai bagi lingkungan sehingga fungsi lingkungan tidak dapat berjalan secara optimal.
Pencemaran yang berasal dari laut dapat disebabkan Karena tumpahan minyak, air ballast kapal dan lain sebagainya. Sedangkan pencemaran dari daratan dapat disebabkan karena buangan limbah industri, limbah rumah tangga dan lain sebagainya 1.2. Maksud dan Tujuan
Mahasiswa dapat mengenal alat dan bahan yang digunakan untuk mengukur kualitas dan substrat dasar perairan.
Mahasiwa dapat mengetahui cara pengukuran dan pengambilan sampel kualitas perairan.
Mahasiwa dapat mengetahui cara pengukuran dan pengambilan sampel mikroplastik.
Mahasiswa dapat menentukan cara pengambilan dan penentuan stasiun sampling kualitas dan substrat dasar perairan.
Mahasiwa dapat mengetahui cara pengukuran secara insitu dari parameter kualitas perairan yakni DO, Salinitas, pH dan BOD.
Mahasiwa dapat mengetahui cara pengukuran secara insitu untuk parameter oseanografi yakni arus, pasang surut.
Mahasiswa dapat menganalisis data-data parameter kimia air laut di laboratorium seperti BOD5, Unsur hara dan logam berat.
Mahasiswa dapat menganalisis data-data indikator bahan pencemar setiap parameter fisika, kimia dan biologi seperti plankton, bentos, mikroplasstik unsur hara dan logam berat.
Mahasiswa dapat mengetahui indeks pencemaran.
Mahasiswa dapat menyusun sebuah laporan sesuai kaidah penyusunan laporan ilmiah.
1.3. Ruang Lingkup
1.3.1. Ruang Lingkup Lokasi
Ruang lingkup lokasi praktek lapang Pencemaran Estuari dan Laut di Desa Angsana, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan.
1.3.2. Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi dari praktik lapang pencemaran laut adalah mengetahui parameter dan cara pengambilan data. Indikator pencemaran meliputi:
1.Parameter fisik yaitu suhu, arus, pasang surut, TSS, kedalaman dan kecerahan 2.Parameter kimia yaitu secara insitu (salinitas, pH dan DO) dan secara eksitu (BOD5, Fe, Nitrat dan Posfat).
3.Parameter biologi yaitu plankton dan bentos dan unsur hara dan logam berat.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian
Pencemaran laut didefinisikan sebagai masuknya zat atau energi tertentu ke dalam lingkungan perairan yang menyebabkan perubahan fisik, kimia, atau biologi yang merugikan organisme dan ekosistem akuatik. Polutan di perairan laut umumnya berasal dari berbagai aktivitas manusia, seperti limbah domestik, industri, pertanian, hingga aktivitas pelayaran. Zat pencemar ini dapat berupa bahan organik, logam berat, minyak, plastik, atau senyawa kimia beracun lainnya yang memengaruhi kualitas perairan dan keanekaragaman hayati laut (Rudiyanti, 2016; Zahidin, 2015).
Dampak pencemaran laut tidak hanya dirasakan pada tingkat biota seperti ikan dan plankton, tetapi juga berpengaruh terhadap aktivitas manusia yang bergantung pada ekosistem laut. Pencemaran organik, misalnya, menyebabkan ledakan populasi alga (eutrofikasi) yang mengurangi kadar oksigen di perairan. Kondisi ini dapat memicu kematian massal biota laut serta merusak rantai makanan akuatik (Wulandari, 2015). Selain itu, polusi mikroplastik semakin menjadi perhatian global karena sifatnya yang persisten dan mudah diserap oleh organisme laut (Suryanti, 2016).
Pencemaran laut juga berdampak luas pada aspek sosial-ekonomi, seperti penurunan hasil tangkapan ikan dan kualitas ekowisata bahari. Upaya pengelolaan pencemaran laut memerlukan pendekatan holistik yang mencakup pengendalian sumber pencemar, pemantauan ekosistem, dan implementasi kebijakan berbasis ilmu pengetahuan. Hal ini penting untuk mendukung keberlanjutan ekosistem laut sekaligus melindungi mata pencaharian masyarakat pesisir (Rudiyanti, 2016; Suryanti, 2016).
2.2. Jenis dan Sumber Pencemaran 2.2.1. Jenis Pencemaran
1. Pencemaran Organik
Limbah domestik: Limbah rumah tangga yang mengandung bahan organik tinggi, seperti sisa makanan dan detergen.
Limbah pertanian: Pupuk dan pestisida yang masuk ke laut melalui aliran sungai, menyebabkan eutrofikasi (Wulandari, 2015; Rudiyanti, 2016).
2. Pencemaran Kimiawi
Limbah industri: Zat kimia berbahaya seperti logam berat (merkuri, timbal)
Tumpahan minyak: Kebocoran dari aktivitas pengeboran lepas pantai atau pengangkutan minyak bumi (Zahidin, 2015).
3. Pencemaran Plastik dan Mikroplastik
Sampah plastik: Kantong plastik, botol, dan peralatan sekali pakai yang tidak terurai secara alami.
Mikroplastik: Partikel kecil plastik dari kosmetik atau degradasi sampah plastik (Suryanti, 2016).
4. Pencemaran Termal
Air panas dari proses industri atau pembangkit listrik yang mengubah suhu perairan, memengaruhi biota laut.
5. Pencemaran Akustik
Kebisingan dari kapal, sonar militer, dan eksplorasi minyak yang mengganggu navigasi dan komunikasi mamalia laut.
2.2.2. Sumber Pencemaran
1. Sumber Darat (Land-based Sources)
Aliran sungai yang membawa limbah domestik, pertanian, dan industri ke laut.
Pembuangan sampah di pantai oleh penduduk lokal atau wisatawan (Rudiyanti, 2016).
2. Sumber Laut (Sea-based Sources)
Aktivitas pelayaran: Pembuangan limbah kapal atau bahan bakar.
Eksplorasi minyak dan gas lepas pantai: Tumpahan minyak atau kebocoran pipa.
3. Aktivitas Atmosferik
Deposisi polutan udara, seperti asam sulfur dan nitrogen, yang larut dalam air laut melalui hujan (Zahidin, 2015).
4. Sumber Alami
Aktivitas gunung api bawah laut atau erosi tanah yang membawa sedimen alami.
2.3. Indikator Pencemaran
Indikator pencemaran laut dapat ditinjau melalui parameter fisik, kimia, dan biologi yang mencerminkan kualitas lingkungan perairan. Secara fisik, tingkat kekeruhan air, suhu, dan warna air sering digunakan sebagai tanda awal adanya
pencemaran. Parameter kimia seperti pH, kadar oksigen terlarut (DO), konsentrasi logam berat, serta kadar nutrien (nitrat dan fosfat) menunjukkan dampak pencemaran akibat limbah domestik, industri, dan pertanian yang masuk ke laut. Sementara itu, indikator biologis seperti kelimpahan plankton, keragaman biota laut, serta kehadiran spesies tertentu, seperti Bacillariophyceae pada fitoplankton, sering digunakan untuk menilai kondisi pencemaran organik di perairan (Rudiyanti, 2016; Zahidin, 2015).
Bioindikator, seperti fitoplankton dan zooplankton, menjadi alat yang efektif untuk memantau pencemaran laut karena kepekaannya terhadap perubahan kualitas air. Misalnya, ledakan populasi plankton tertentu sering dihubungkan dengan peningkatan kadar nutrien yang menyebabkan eutrofikasi. Kehadiran mikroplastik dalam tubuh biota laut juga menjadi indikator pencemaran mikroplastik, yang kini semakin marak ditemukan di perairan Indonesia. Kombinasi dari parameter fisik, kimia, dan biologi ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi pencemaran laut, membantu dalam evaluasi keberlanjutan ekosistem perairan (Suryanti, 2016; Wulandari, 2015).
2.4. Pencemaran di wilayah pesisir
Pencemaran di wilayah pesisir merupakan isu lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, terutama di daerah yang padat aktivitas manusia. Sumber pencemaran pesisir umumnya berasal dari limbah domestik, industri, dan pertanian yang mengalir ke laut melalui aliran sungai. Limbah domestik, misalnya, mengandung senyawa organik yang dapat memicu eutrofikasi, mengurangi kadar oksigen terlarut (DO), dan merusak habitat biota laut. Aktivitas industri juga menyumbangkan logam berat seperti merkuri dan timbal yang bersifat toksik, mengganggu kesehatan ekosistem pesisir (Rudiyanti, 2016; Zahidin, 2015).
Selain itu, pencemaran di pesisir juga dipengaruhi oleh aktivitas langsung di laut, seperti pembuangan limbah kapal dan tumpahan minyak. Di daerah pesisir dengan aktivitas pelabuhan yang tinggi, risiko pencemaran akibat hidrokarbon meningkat secara signifikan. Penumpukan sampah plastik di pesisir, baik dari aktivitas lokal maupun arus laut, semakin memperburuk kualitas lingkungan. Mikroplastik yang terdegradasi dari sampah ini dapat terserap oleh biota laut dan masuk ke rantai makanan, memberikan ancaman tidak hanya pada lingkungan tetapi juga kesehatan manusia (Suryanti, 2016; Wulandari, 2015).
Keanekaragaman hayati di wilayah pesisir sangat sensitif terhadap perubahan kualitas lingkungan akibat pencemaran. Fitoplankton dan mangrove sering dijadikan bioindikator untuk mengukur dampak pencemaran di pesisir. Misalnya, ledakan populasi alga sering terjadi akibat kelebihan nutrien dari pupuk pertanian yang masuk ke perairan, sedangkan degradasi hutan mangrove sering dikaitkan dengan sedimentasi dan pencemaran dari aktivitas manusia. Studi mengenai struktur komunitas plankton dan mangrove sangat penting untuk memahami kondisi ekologis wilayah pesisir serta sebagai dasar perencanaan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan (Rudiyanti, 2016; Wulandari, 2015).
2.5. Upaya Penanggulangan Pencemaran di Wilayah Pesisir
Upaya penanggulangan pencemaran di wilayah pesisir memerlukan pendekatan terpadu yang mencakup aspek teknologi, regulasi, dan partisipasi masyarakat. Salah satu langkah penting adalah pengelolaan limbah yang lebih baik, terutama limbah domestik dan industri, agar tidak langsung dialirkan ke perairan pesisir. Teknologi seperti instalasi pengolahan air limbah (IPAL) telah banyak diterapkan untuk meminimalkan limbah berbahaya sebelum masuk ke laut. Selain itu, pendekatan berbasis ekosistem, seperti rehabilitasi mangrove dan terumbu karang, juga efektif untuk memitigasi dampak pencemaran, karena mangrove dapat menyerap polutan seperti logam berat, sementara terumbu karang membantu menjaga keseimbangan ekosistem pesisir (Rudiyanti, 2016; Suryanti, 2016).
Penguatan regulasi dan pengawasan juga menjadi kunci dalam penanggulangan pencemaran pesisir. Kebijakan yang mendorong pengurangan penggunaan plastik sekali pakai, serta pelarangan pembuangan limbah langsung ke laut, harus ditegakkan secara konsisten. Partisipasi masyarakat dalam program seperti bersih pantai dan edukasi lingkungan juga sangat penting untuk meningkatkan kesadaran kolektif tentang dampak pencemaran. Selain itu, pemantauan kualitas perairan secara rutin menggunakan bioindikator seperti fitoplankton dapat memberikan data yang mendukung pengambilan kebijakan berbasis bukti untuk pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan (Zahidin, 2015; Wulandari, 2015).
2.6. Kondisi Umum Wilayah Studi
Perairan Angsana terletak di Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, yang langsung berbatasan dengan Laut Jawa, Selat Laut, dan Selat Makassar, sehingga data fisik lautan yang diperoleh menjadi bervariasi. Pantai Angsana memiliki panjang
sekitar 5 Km dan jarak dari batas tanaman hingga batas air sekitar 3,5 Km, dengan karakter pantai yang terdiri dari pasir dan lumpur. Di area perairan ini juga dipengaruhi oleh aliran dari muara Angsana ke laut, yang mengakibatkan variasi dalam kualitas air di Angsana.
Di sekitar muara terdapat hutan mangrove dengan vegetasi yang cukup lebat.
Dengan melakukan analisis terhadap parameter fisik, kimia, biologi, dan substrat perairan di daerah ini, diharapkan dapat diperoleh data dan informasi mengenai kondisi kualitas air di Angsana. Desa Angsana menjadi destinasi wisata di Kalimantan Selatan.
Meskipun dianggap sebagai tempat wisata, masih banyak sampah yang terletak di sepanjang garis pantai. Ini disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat dan pengunjung mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi
Praktek lapang ini dilaksanakan pada tanggal 28-30 Oktober 2024 dan analisis setelah di lapangan yang meliputi pengambilan data hingga analisis data yang dilakukan pada Laboratorium Kualitas Air, Laboratorium Bio-Ekologi dan Laboratorium Oseanografi, Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat. Lokasi praktek lapang dilaksanakan di wilayah Perairan Angsana, Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Untuk peta lokasi dapat dilihat pada gambar di bawah.
Gambar 3.1. Peta Lokasi Praktik Lapang 3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan untuk praktek lapang dan menganalisis sampel adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1. Alat yang digunakan dilapangan
No Nama Alat Kegunaan
1 Perahu Alat transportasi selama pengambilan sampel
2 GPS Mengetahui posisi pengambilan sampel di muka
bumi
3 Handfractometer Mengukur salinitas sampel air 4 Water Quality Checker Mengukur kualitas air
5 DO Meter Mengukur kadar oksigen terlarut sampel air
6 Termometer Mengukur suhu perairan
7 Secchi Disk Mengukur kecerahan perairan 8 Layang-layang Arus Mengukur arus
9 Kamarrer Water Sampler Mengambil sampel air pada kedalaman tertentu 10 Plankton Net Mengambil sampel plankton
11 Botol Sampel Menyimpan sampel air
12 Botol Terang Menyimpan sampel air
13 Botol Gelap Menyimpan sampel air
Tabel 3.2. Alat yang digunakan di laboratorium
No Nama Alat Kegunaan
1 Spektofotometer Mengukur absorbansi
2 Buret Meneteskan Larutan
3 Pipet Tetes Mengambil Larutan
4 Gelas Ukur Sebagai tempat untuk sampel
3.2.2. Bahan
Tabel 3.3. Bahan yang digunakan
No Nama Alat Kegunaan
1 Bahan Pengawet Mengawetkan sampel air
2 Tisu Membersihkan wadah sampel
3 Regen fosfat, nitrat, nitrit,
logam berat (Fe) Sebagai campuran pada sampel air 3.3. Metode Perolehan Data
3.3.1. Penentuan Lokasi Sampling
Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu.
Penentuan lokasi pengambilan sampel ditentukan berdasarkan karakteristik wilayah.
Penentuan stasiun penelitian ini dilakukan dengan pemilihan acak atau terpilih untuk melihat kondisi tertentu berdasarkan karakteristik wilayah tersebut. Jumlah titik sampling pada tegak lurus pantai setiap zona berbeda karena kedalaman pada masing- masing stasiun tidak sama.
3.3.2. Pengambilan Sampel ( Data insitu meliputi Fisik, Kimia, dan Biologi) 1. Pengambilan Sampel Parameter Fisika Metode pengambilan data parameter
fisika yaitu sebagai berikut:
a. Pengambilan kedalaman perairan menggunakan GPS mapsounder, dengan menggunakan perangkat transduser yang tersambung yang hasilnya akan terlihat pada display.
b. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan water quality checker dengan cara mencelupkan sensor water quality checker tersebut kedalam air selama beberapa menit/detik.
c. Kecerahan dapat menggunakan sechi disk dengan cara memasukkan kedalam kolom perairan, mengamati berapa jarak batas sampai alat terlihat samar.
d. Substrat permukaan dasar perairan menggunakan grab sampler, dengan cara menurunkan alat sampai ke permukaan dasar perairan, lalu mengambil sedikit substrat, setelah itu substrat diperiksa secara langsung di kapal.
2. Pengambilan Sampel Parameter Kimia Metode pengambilan data parameter kimia yaitu sebagai berikut:
a. Pengukuran salinitas di permukaan dilakukan menggunakan water quality checker. Sebelum melakukan pembacaan terlebih dahulu alat tersebut dikalibrasi dengan aquades.
b. Untuk pH dan DO menggunakan water quality checker.
c. Mengambil sampel air TSS, TDS, logam berat, unsur hara, BOD dan COD dengan memasukkan sampel air ke dalam botol sampel selanjutnya akan dianalisis di laboratorium Kualitas Air dan Hidro-Bioekologi.
3. Pengambilan Sampel Parameter Biologi
Metode pengambilan data parameter biologi yaitu dengan mengambil sampel air kemudian disaring menggunakan planktonet dan dimasukan ke botol sampel selanjutnya akan di analisis di laboratorium.
3.3.3. Metode Analisis Sampel di Laboratorium (Kimia (unsur hara dan logam berat), Biologi (plankton dan bentos))
1. Metode Analisis Sampel Parameter Kimia Ada beberapa parameter yang diukur untuk parameter kimia yaitu sebagai berikut:
a. BOD. Masukkan sampel air ke dalam gelas ukur, lalu hitung DO5 menggunakan water checker, lalu tunggu higga nilai keluar.
b. COD. Masukkan air sampel 100 ml ke dalam gelas ukur, kemudian tambahkan KMNO4 10 ML, H2SO46N ke dalam gelas ukur tersebut sampai berubah menjadi warna merah muda. Masukkan batu didih ke dalam gelas ukur kemudian panaskan sampai mendidih ±10-15 menit. Tambahkan oksalat 10 ml.
Kemudian dititrasi dengan KMNO4 sampai warna berubah menjadi merah muda atau coklat muda.
c. TDS (Total Dissolve Solid). Encerkan sampel air sebesar 50 kali, tuang air ke dalam gelas ukur, lalu ukur dengan alat water checker dengan cara mencelupkan ke dalam sampel air. Tunggu sampai nilai keluar.
d. TSS. Nyalakan alat spektrofotometer. Masukkan sampel air pada 2 botol kuvet masing-masing 10 ml. Masukkan salah satu botol kuvet pada alat sebagai blank selama beberapa saat, setelah itu masukkan botol kuvet yang kedua ke dalam alat, tunggu beberapa saat lalu akan muncul nilainya.
e. Nitrat. Nyalakan alat spektrofotometer cari kode 355. Masukkan sampel air pada 2 botol kuvet masing-masing 10 ml. Masukkan salah satu botol kuvet pada alat sebagai blank selama beberapa saat, lalu botol lainnya dimasukkan reagent lalu kocok selama 1 menit, setelah itu diamkan selama 5 menit. Setelah itu masukkan botol kuvet yang sudah diberi reagent ke dalam alat, tunggu beberapa saat lalu akan muncul nilainya.
f. Fospat. Nyalakan alat spektrofotometer cari kode 490. Masukkan sampel air pada 2 botol kuvet masing-masing 10 ml. Masukkan salah satu botol kuvet pada alat sebagai blank selama beberapa saat, lalu botol lainnya dimasukkan reagent lalu kocok sampai reagent larut, setelah itu diamkan selama 2 menit.
Setelah itu masukkan botol kuvet yang sudah diberi reagent ke dalam alat, tunggu beberapa saat lalu akan muncul nilainya.
g. Nitrat. Nyalakan alat spektrofotometer lalu masukkan sampel air pada 2 botol kuvet masing-masing 10 ml. Masukkan salah satu botol kuvet pada alat sebagai
blank selama beberapa saat, lalu botol lainnya dimasukkan reagent lalu kocok sampai reagent larut, setelah itu diamkan selama 20 menit. Setelah itu masukkan botol kuvet yang sudah diberi reagent ke dalam alat, tunggu beberapa saat lalu akan muncul nilainya.
h. Logam berat (tembaga). Nyalakan alat spektrofotometer cari kode 370.
Masukkan sampel air pada 2 botol kuvet masing-masing 10 ml. Masukkan salah satu botol kuvet pada alat sebagai blank selama beberapa saat, lalu botol lainnya dimasukkan reagent lalu kocok sampai reagent larut, setelah itu diamkan selama 2 menit. Setelah itu masukkan botol kuvet yang sudah diberi reagent ke dalam alat, tunggu beberapa saat lalu akan muncul nilainya.
2. Metode Analisis Sampel Parameter Biologi Parameter yang diukur adalah plankton, pertama ambil sampel air plankton menggunakan pipet setelah itu taruh pada kaca preparat. Lalu amati dengan menggunakan mikroskop
3.4. Metode Analisis Data 3.4.1. Baku Mutu
Tabel 3.4. Baku mutu(parameter fisik, kimia, dan biologi.)
No Parameter Satuan Pelabuhan Wiasata
Bahari Biota Laut
1 Warna Pt. Co - 30 -
2 Kecerahan
m >3 >6
coral: >5 mangrove : - lamun:
>3
3 Kekeruhan NTU - 5 5
4 Kebauan
- Tidak
berbau
Tidak
berbau alami
5 Padatan
tersupensi total Mg/L 80 20
coral:20 mangrove; 80
lamun: 2O
6 Sampah - Nihil Nihil Nihil
7 Suhu
oC alami alam
i
alami coral:28- 30 mangrove:
28-32 lamun:
28-30
8 Lapisan minyak - Nihil Nihil Nihil
9 pH - 6,5 - 7 - 7 - 8,5
10 Salinitas
%o alami alam
i
alami coral:33- 34 mangrove:
s/d 34 lamun:
33-34 11 Oksigen
terlarut (DO, Mg/L - >5 >5
12 BOD5
(Kebutuhan Oksigen Biokimia, KoB)
Mg/L - 10 20
13 Amonia total
(NHs-N) Mg/L 0,3 0,02 0,3
14 Ortofosfa
t (PO4-P) Mg/L - 0,01
5 0,015
15 Nitrat (NO3-N) Mg/L 0,06 0,06
16 Sianida (CN-) Mg/L - - 0,05
17 Sulfida (H2S) Mg/L 0,03 0,00
2 0,01
18 Hidrokarbon Petroleum
Total (TPH) Mg/L 1 - 0.02
19 Senyawa Fenol
total Mg/L 0,002 0,00
1 0,002
20 PAH
(Poliaromatik
hidrokarbon) Mg/L - 0,00
3
0,003 21 PCB (poliklor
bifenil) 0,01 0,00
5 0,01
22 Surfaktan (deterjen) sebagai MBAS
1 0.00
1
1 23 Minyak dan
Lemak Mg/L 5 1 1
24 Pestisida
a. BHC µg/L - 210 210
b. Aldrin
/ Dieldrin µg/L - 17 -
c. Chlordane µg/L - 3
d. DDT µg/L - 2 2
e. Heptachlor µg/L - 18 -
f. Lindane µg/L - 56 -
g. Methoxy-
chlor µg/L - 35 -
h. Endrin µg/L - 1 -
i. Toxaphan µg/L - 5 -
25 TBT (tri butil
tin) µg/L 0,01 - 0,01
26 Raksa (Hg) Mg/L 0,003 0,00
2 0,001
27 Kromium heksavalen
(Cr(VI)) Mg/L - 0,00
2
0,012
28 Arsen (As) Mg/L - 0,02
5 0,012
29 Kadmium (Cd) Mg/L 0,01 0,00
2 0,001
30 Tembaga (Cu) Mg/L 0,05 0,05 0,008
31 Timbal (Pb) Mg/L 0,05 0,00
5 0,008
32 Seng (Zn) Mg/L 0,01 0,09
5 0,05
33 Nikel (Ni) Mg/L - 0,07
5 0,05
34 Fecal coliform Jml/
100 mL
- 200 -
35 Coliform (total) Jml/
100 mL
1000 100
0 1000
36 Patogen sel/
10 0 mL
- nihil nihil
37 Fitoplankton sel/mL - 100
0 1000
38 Radioaktifitas Bq/L - 4 4
3.4.2. Sebaran Spasial
Setelah menganalisis sampel air di laboratorium lalu menyusun data hasil analisis dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel. Data yang telah disusun selanjutnya diinput ke dalam aplikasi Arcmap 10.8 untuk didapatkan peta sebaran spasial berdasarkan parameter-parameter pencemar yang telah dianalisis.
3.4.3. Analisis Indeks Pencemaran
PIJ=
√
(LijCi )M2 2+(LijCi )R2dimana:
PIJ = Nilai indeks pencemar
Evaluasi terhadap nilai PI adalah sebagai berikut:
• 0 ≤ PIJ ≤ 1,00 = memenuhi baku mutu (tidak tercemar)
• 1 < PIJ ≤ 5,0 = tercemar ringan
• 5,00 < PIJ ≤ 10 = tercemar sedang
• PIJ > 10 = tercemar berat
BAB 4. HASIL DAN ANALISIS
4.1. Analisis Faktor Lingkungan Studi 4.1.1. Analisis Parameter Lingkungan Studi
1. Karakteristik Pantai 2. Faktor Alam
3. Aktivitas Manusia 4. Jenis Pencemaran 5. Regulasi
4.1.2. Analisis Parameter Fisisk
Penggambaran keadaan kualitas perairan Sungai Dua Laut dapat dilihat pada peta sebaran penelitian dalam hal ini digunakan software Arcmap 10.8 berikut ini, yaitu:
a. pasang surut
Pasang surut adalah suatu fenomena yang ditandai dengan naik turunnya air laut secara teratur, yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi bulan serta matahari dan interaksi keduanya terhadap rotasi bumi. Secara umum, pasang surut dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni pasang naik dan pasang surut. Fenomena ini mengikuti siklus harian yang dapat diproyeksikan, dengan rata-rata terjadi dua kali pasang naik dan dua kali pasang surut dalam kurun waktu 24 jam 50 menit. Penelitian yang dilakukan oleh Putri et al. (2017) mengungkapkan bahwa faktor-faktor seperti kedalaman laut, bentuk pesisir, dan kondisi geografis mengaruhi tingkat pasang surut di suatu daerah. Selain itu, pasang surut juga berfungsi penting dalam proses transportasi sedimen dan distribusi organisme laut di sepanjang pantai.
Pasang surut memberikan pengaruh besar terhadap lingkungan pesisir, baik dari segi ekologi maupun ekonomi. Contohnya, dalam ekosistem mangrove, fenomena ini berpengaruh pada ketersediaan nutrisi dan oksigen bagi flora dan fauna yang terdapat di area tersebut. Berdasarkan penelitian oleh Suryani dan Rahmat (2019), perubahan pola pasang surut akibat perubahan iklim dapat berdampak pada keberlanjutan ekosistem pesisir, termasuk pada distribusi spesies yang bergantung pada pasang surut tersebut. Lebih jauh lagi, pasang surut juga berpengaruh pada aktivitas manusia, khususnya pada sektor perikanan dan pariwisata, di mana perubahan pasang surut bisa memengaruhi hasil tangkapan ikan serta waktu dan akses
b. Kecerahan
Kecerahan air merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur kualitas perairan, yang menggambarkan sejauh mana air dapat ditembus cahaya.
Kecerahan air dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kandungan partikel tersuspensi seperti lumpur, alga, dan bahan organik lainnya. Peningkatan kekeruhan atau penurunan kecerahan sering kali menandakan adanya pencemaran, seperti limbah domestik atau industri, yang membawa partikel-partikel berbahaya ke dalam air.
Menurut penelitian oleh Widodo et al. (2018), kecerahan air yang rendah dapat mempengaruhi ekosistem perairan, mengganggu fotosintesis organisme seperti fitoplankton, dan mempengaruhi rantai makanan laut. Oleh karena itu, pemantauan kecerahan air secara rutin penting untuk menjaga kualitas lingkungan pesisir dan keberlanjutan sumber daya alam laut.
Gambar 4.2. Peta sebaran kecerahan di perairan Angsana
Data kecerahan menunjukkan variasi yang cukup besar dalam 12 titik pengukuran, dengan nilai kecerahan berkisar antara 0,8 meter hingga 4,5 meter. Nilai kecerahan terendah tercatat pada data ke-9 (0,8 meter) dan data ke-8 serta data ke-6 (1 meter), sementara nilai kecerahan tertinggi tercatat pada data ke-4 (4,5 meter).
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti partikel terlarut, alga, atau polusi di perairan.
Kecerahan yang lebih rendah pada beberapa hari dapat mengindikasikan adanya kontaminasi atau aktivitas biologis yang meningkatkan kekeruhan air, sementara kecerahan yang lebih tinggi menunjukkan kondisi air yang lebih jernih. Secara keseluruhan, data ini mencerminkan perbedaan dalam kualitas air yang dapat memengaruhi ekosistem perairan, dengan kecerahan yang lebih tinggi mendukung visibilitas dan fotosintesis yang lebih baik bagi organisme akuatik.
c. Suhu
Suhu air merupakan salah satu parameter penting dalam mengukur kualitas perairan karena mempengaruhi berbagai proses biologis dan kimiawi di ekosistem laut. Suhu yang terlalu tinggi atau rendah dapat mengganggu keseimbangan kehidupan organisme laut, seperti mengurangi kelangsungan hidup ikan dan fitoplankton yang sensitif terhadap perubahan suhu. Penelitian oleh Setiawan et al. (2019) menunjukkan bahwa suhu perairan yang meningkat akibat perubahan iklim dapat menyebabkan pemutihan terumbu karang dan merusak ekosistem pesisir. Selain itu, suhu air juga berperan dalam proses kelarutan oksigen, yang sangat penting untuk kelangsungan hidup biota laut. Menurut Lestari et al. (2017), suhu air yang tinggi dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut, mengurangi ketersediaan oksigen bagi organisme yang hidup di dasar laut dan meningkatkan potensi terjadinya pembusukan organik.
Gambar 4.3. Peta sebaran suhu diperairan Angsana
Peta suhu diatas menunjukkan suhu pada lokassi praktek lapang pantai Angsana dengan sebagian besar nilai suhu berada di kisaran 30,2°C hingga 33°C. Suhu tertinggi berwarna merah dengan nilai 33°C, sementara suhu terendah berwarna kuning dengan 30,2°C. Secara umum, suhu cenderung stabil, dengan sedikit variasi
berkisar antara 31°C dan 31,5°C, yang mengindikasikan bahwa cuaca pada periode ini cukup panas, namun tidak ada lonjakan ekstrem yang signifikan. Pola suhu ini mungkin menggambarkan musim panas atau cuaca tropis yang relatif stabil.
d. Kedalaman
Kedalaman perairan merupakan salah satu parameter penting yang memengaruhi kondisi ekosistem laut. Kedalaman air berperan dalam menentukan distribusi cahaya, suhu, dan oksigen terlarut yang tersedia bagi biota laut. Sebagai contoh, di perairan yang lebih dalam, cahaya matahari tidak dapat menembus dengan efektif, sehingga fotosintesis pada fitoplankton dan vegetasi laut terbatas. Hal ini berpengaruh terhadap ketersediaan makanan bagi organisme yang hidup di kedalaman tersebut. Menurut penelitian oleh Susanto et al. (2017), kedalaman perairan juga memengaruhi suhu air, di mana perairan yang lebih dalam cenderung lebih stabil suhu- nya, tetapi memiliki kandungan oksigen yang lebih rendah dibandingkan perairan dangkal yang lebih kaya akan oksigen terlarut.
Kedalaman juga berhubungan dengan proses sedimentasi, di mana bahan- bahan organik dan anorganik akan mengendap lebih banyak di dasar laut yang lebih dalam. Penelitian oleh Daryanto et al. (2018) menunjukkan bahwa di perairan yang lebih dalam, akumulasi sedimen dapat mengganggu ekosistem dasar laut seperti terumbu karang dan padang lamun, yang sangat bergantung pada kondisi dasar yang bersih dan tidak tercemar. Selain itu, kedalaman dapat mempengaruhi sirkulasi air dan distribusi polutan, sehingga sangat penting dalam pengelolaan kualitas air pesisir dan laut.
Gambar 4.4. Peta Kedalaman diperairan Angsana
Data kedalaman menunjukkan variasi yang cukup besar dalam periode yang relatif singkat, dengan kedalaman berkisar antara 2 meter hingga 7 meter. Kedalaman terendah tercatat pada data ke-5 (2 meter) dan data ke-9 (2,2 meter), sementara kedalaman tertinggi tercatat pada data ke-10 dan ke-11 (7 meter). Fluktuasi kedalaman ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti perbedaan kondisi alam, perubahan
arus, atau bahkan pengaruh manusia seperti pengukuran di lokasi yang berbeda. Secara keseluruhan, data ini menggambarkan perairan yang tidak seragam, dengan variasi kedalaman yang mungkin mempengaruhi distribusi organisme akuatik dan kualitas perairan secara keseluruhan. Variasi ini juga menunjukkan bahwa area yang diukur kemungkinan terdiri dari daerah dengan kedalaman yang bervariasi, yang bisa memengaruhi ekosistem perairan.
e. Arus
Arus laut adalah aliran massa air yang bergerak secara teratur di lautan, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti angin, rotasi bumi (efek Coriolis), gravitasi bulan, dan perbedaan suhu serta salinitas air. Arus ini memiliki peran penting dalam distribusi nutrien, suhu, dan oksigen di lautan, serta dalam pola migrasi biota laut.
Menurut penelitian oleh Purnama et al. (2016), arus laut yang kuat dapat membawa polutan dan bahan organik dari satu tempat ke tempat lain, mempengaruhi kualitas air di daerah yang terpapar. Selain itu, arus juga berpengaruh pada perubahan iklim, karena arus panas dari tropis dapat mempengaruhi suhu udara di wilayah yang lebih dingin, berpotensi mengubah pola cuaca dan ekosistem pesisir (Alamsyah, 2018).
Sebagai contoh, arus pertemuan antara laut tropis dan laut subarktik dapat mengubah distribusi plankton dan memengaruhi produktivitas laut di daerah tersebut.
Gambar 4.5. Peta Arus diperairan Angsana
Data kecepatan arus menunjukkan variasi dalam kecepatan dan arah arus pada 12 titik pengukuran. Kecepatan arus berkisar antara 0,03 m/s hingga 0,30 m/s, dengan sebagian besar pengukuran menunjukkan kecepatan rendah di bawah 0,20 m/s.
Kecepatan tertinggi tercatat pada hari ke-5 (0,30 m/s), sementara kecepatan terendah tercatat pada hari ke-3 dan ke-8 (0,03 m/s). Arah arus juga bervariasi, dengan sudut
yang mencakup rentang arah mulai dari 10° hingga 186°, mengindikasikan bahwa arus bergerak ke berbagai arah sepanjang periode pengukuran. Pengaruh angin, perbedaan suhu, atau faktor geografis seperti topografi dasar perairan bisa menjadi faktor yang mempengaruhi perbedaan arah dan kecepatan arus ini. Secara keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa arus perairan di area yang diukur cukup dinamis, dengan perubahan kecepatan dan arah yang dapat memengaruhi distribusi materi terlarut dan kondisi ekosistem akuatik di daerah tersebut.
4.1.3. Analisis Parameter Kimia
Kondisi parameter Kimia yang telah dianalisa berupa data kondisi Parameter Salinitas, DO, BOD5, pH, Nitrat, Nitrit, Fosfat dan Fe di Wilayah Perairan Sungai Dua Laut, Berikut Penjelasan mengenai beberapa kondisi parameter kimia tersebut.
a. Salinitas
Salinitas air laut adalah kadar garam terlarut dalam air yang merupakan salah satu parameter penting dalam mengukur kualitas perairan. Salinitas memengaruhi densitas air, kelarutan gas (seperti oksigen), serta distribusi spesies laut. Nilai salinitas yang lebih tinggi umumnya ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis, sementara daerah kutub memiliki salinitas yang lebih rendah. Penelitian oleh Yuliana et al. (2017) menunjukkan bahwa perubahan salinitas akibat pengaruh air tawar dari sungai atau pencairan es dapat memengaruhi kelangsungan hidup organisme laut, terutama spesies yang sensitif terhadap fluktuasi salinitas, seperti plankton dan ikan. Selain itu, salinitas juga dapat dipengaruhi oleh proses penguapan dan curah hujan, yang dapat berfluktuasi tergantung pada musim dan kondisi iklim.
Salinitas air laut berperan penting dalam proses biogeokimia dan dinamika ekosistem laut. Penurunan atau kenaikan salinitas yang drastis dapat menyebabkan stres pada biota laut, mengganggu proses metabolisme dan reproduksi mereka.
Menurut penelitian oleh Wulandari dan Setiawan (2018), salinitas yang rendah dapat terjadi di kawasan pesisir yang dipengaruhi oleh limpasan air tawar dari sungai, sementara salinitas yang tinggi dapat ditemukan di daerah yang terpengaruh oleh evaporasi tinggi, seperti di laut tertutup atau teluk. Perubahan salinitas yang signifikan dalam jangka panjang juga dapat memengaruhi pola distribusi spesies dan produktivitas perairan pesisir.
Gambar 4.6. Peta Sebaran Salinitas diperairan Angsana
Data salinitas menunjukkan variasi yang relatif kecil sepanjang pengambilan titik sampel salinitas, dengan nilai salinitas berkisar antara 26,1 ppm hingga 29,6 ppm. Salinitas cenderung stabil di sekitar angka 28–29 ppm, yang mencerminkan kondisi air dengan salinitas yang moderat. Penurunan salinitas yang signifikan terjadi pada beberapa hari, seperti pada data ke-21 (26,6 ppm), data ke-25 (26,1 ppm), dan
pencampuran air tawar atau hujan yang mempengaruhi kadar salinitas. Namun, sebagian besar data menunjukkan kondisi salinitas yang lebih stabil, dengan fluktuasi yang tidak terlalu besar. Pola salinitas ini menunjukkan bahwa perairan kemungkinan berada dalam kondisi stabil meskipun terdapat perubahan yang lebih rendah pada beberapa titik waktu, yang dapat mempengaruhi ekosistem akuatik.
b. Dissolved Oxygen (DO)
Oksigen terlarut (DO) adalah salah satu parameter kualitas air yang sangat penting karena memengaruhi kelangsungan hidup organisme air. DO dalam air dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk suhu, salinitas, serta kegiatan biologis dan kimiawi di perairan. Semakin tinggi suhu air, semakin rendah kandungan oksigen yang dapat terlarut, karena air panas memiliki kapasitas lebih rendah untuk menyerap oksigen. Menurut penelitian oleh Kusuma et al. (2017), kadar DO yang rendah dapat menyebabkan kondisi hipoksia, yang dapat mengancam kelangsungan hidup ikan, invertebrata, dan mikroorganisme di perairan. Penurunan kadar DO biasanya terjadi akibat peningkatan bahan organik, seperti limbah domestik atau sisa hasil pertanian, yang mempercepat proses dekomposisi dan mengurangi jumlah oksigen yang tersedia. Oleh karena itu, pemantauan DO secara rutin sangat penting untuk menjaga keberlanjutan ekosistem perairan dan mendeteksi adanya pencemaran yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem.
Gambar 4.7. Peta Sebaran DO diperairan Angsana
Data kadar Oksigen Terlarut (DO) menunjukkan hasil pengukuran pada lokasi pantai Angsana, dengan nilai DO berkisar antara 4,1 ppm hingga 8,3 ppm.
Nilai terendah berwarna hijau tua dengan 4,1 ppm, sedangkan nilai tertinggi tercatat pada warna putih dengan 8,3 ppm. Secara umum, kadar DO cenderung berubah, tetapi sebagian besar berada di kisaran 5 hingga 7 ppm, yang menunjukkan kondisi
pada titik tertentu. Penurunan kadar DO dapat mengindikasikan adanya perubahan suhu, pencemaran, atau peningkatan aktivitas biologis di perairan, yang dapat memengaruhi keseimbangan ekosistem. Kadar DO yang lebih tinggi di beberapa hari menunjukkan kondisi yang lebih optimal untuk kehidupan akuatik.
c. Biological Oxygen Demand (BOD5)
BOD5 (Biochemical Oxygen Demand for 5 days) adalah parameter yang digunakan untuk mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam air untuk mengurai bahan organik dalam waktu lima hari. BOD5 memberikan indikasi tentang tingkat polusi organik di perairan dan dapat digunakan untuk menilai dampak pencemaran limbah terhadap kualitas air. Penelitian oleh Mulyani et al. (2018) menunjukkan bahwa nilai BOD5 yang tinggi mengindikasikan adanya peningkatan bahan organik, yang dapat mengurangi kadar oksigen terlarut (DO) dan mempengaruhi kelangsungan hidup biota air. Kadar BOD5 yang tinggi sering kali ditemukan di perairan yang tercemar limbah domestik atau industri, yang mengandung senyawa organik yang mudah terurai. Menurut penelitian oleh Rachmawati et al. (2017), pemantauan BOD5 sangat penting dalam pengelolaan kualitas air, terutama di daerah pesisir yang padat penduduk, karena dapat membantu dalam penilaian pencemaran dan perencanaan tindakan mitigasi.
Gambar 4.8. Peta Sebaran BOD5 diperairan Angsana
hasil pengukuran di Perairan Sungai Dua Laut menunjukkan nilai terendah sekitar 0,6 mg/l. Nilai tertinggi ditemukan di bagian tenggara pantai dengan nilai sebesar 2,4 mg/l. Berdasarkan baku mutu air laut, nilai BOD adalah 10 mg/l. Ini berarti kandungan BOD pada perairan Sungai Dua Laut jauh dari memenuhi nilai baku mutu.
pH adalah parameter yang mengukur tingkat keasaman atau kebasaan air, yang mempengaruhi kelangsungan hidup organisme laut dan proses kimiawi dalam perairan. Skala pH berkisar dari 0 hingga 14, dengan nilai pH di bawah 7 menunjukkan kondisi asam dan di atas 7 menunjukkan kondisi basa, sementara pH 7 dianggap netral. Penurunan pH, yang sering kali terjadi akibat peningkatan kandungan karbon dioksida (CO₂) yang terlarut dalam air, dapat menyebabkan pengasaman laut, yang berdampak buruk pada terumbu karang dan organisme laut lainnya (Amin et al., 2019). Selain itu, fluktuasi pH yang tajam akibat polusi atau limpasan air tawar dapat mengganggu keseimbangan ekosistem perairan, mempengaruhi metabolisme organisme, serta mengurangi kelarutan oksigen dan kemampuan organisme untuk bernapas (Supriyanto et al., 2017). Oleh karena itu, pemantauan pH secara berkala penting untuk menjaga kualitas air dan keberlanjutan ekosistem laut.
Gambar 4.9. Peta Sebaran pH diperairan Angsana
Data pH menunjukkan fluktuasi yang cukup signifikan disetiap data sampelnya, dengan nilai pH berkisar antara 6,1 hingga 8,5. Sebagian besar nilai pH berada dalam kisaran 6 hingga 7, yang mengindikasikan kondisi air sedikit asam hingga netral, sesuai dengan karakteristik perairan alami yang tidak terlalu terpengaruh
pada data ke-19 hingga ke-40, dengan nilai pH mencapai 8,5 pada data ke-20 dan 8,2 pada data ke-40, menunjukkan adanya kecenderungan air menjadi lebih basa.
Fluktuasi pH ini bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suhu, aktivitas biologis, atau pencemaran. Secara keseluruhan, data ini menunjukkan perubahan yang moderat dalam kondisi keasaman atau kebasaan air, dengan kemungkinan dampak terhadap ekosistem akuatik, terutama bagi organisme yang sensitif terhadap perubahan pH.
e. Nitrat
Nitrat adalah senyawa yang sering ditemukan dalam air dan merupakan salah satu indikator utama pencemaran yang berasal dari limbah pertanian, industri, dan aktivitas domestik. Nitrat dalam jumlah tinggi dapat menyebabkan eutrofikasi, yaitu proses yang merangsang pertumbuhan alga berlebih di perairan, yang pada akhirnya mengurangi kadar oksigen terlarut dan membahayakan biota air. Penelitian oleh Rahayu et al. (2018) menunjukkan bahwa peningkatan kandungan nitrat di perairan pesisir Indonesia, terutama akibat penggunaan pupuk kimia di sektor pertanian, dapat mempengaruhi kualitas air dan ekosistem pesisir. Selain itu, nitrat juga dapat berbahaya bagi kesehatan manusia, terutama bagi bayi, karena dapat menyebabkan penyakit methemoglobinemia atau "blue baby syndrome" ketika terlarut dalam air minum (Fitrani et al., 2019). Oleh karena itu, pengelolaan limbah pertanian dan industri yang lebih baik sangat diperlukan untuk mengurangi kadar nitrat yang berlebihan di perairan.
Gambar 4.10. Peta Sebaran Nitrat diperairan Angsana f. Fosfat
Fosfat adalah salah satu unsur hara yang sangat penting bagi pertumbuhan tumbuhan dan organisme laut, namun dalam jumlah berlebih, fosfat dapat menjadi salah satu penyebab utama pencemaran air. Peningkatan kandungan fosfat di perairan, terutama akibat limbah pertanian, limbah domestik, dan industri, dapat menyebabkan
dan mengganggu keseimbangan ekosistem perairan. Penelitian oleh Setyawan et al.
(2017) menunjukkan bahwa peningkatan fosfat di perairan pesisir Indonesia dapat menyebabkan penurunan kualitas air dan merusak habitat alami biota laut, seperti terumbu karang dan padang lamun. Selain itu, fosfat yang berlebihan dapat memperburuk polusi air dengan merangsang pembentukan senyawa beracun yang membahayakan kesehatan manusia dan ekosistem (Widyastuti et al., 2019). Oleh karena itu, pengendalian penggunaan pupuk fosfat dan pengelolaan limbah secara lebih baik diperlukan untuk mencegah dampak negatif fosfat terhadap kualitas air.
Gambar 4.11. Peta Sebaran Fosfat diperairan Angsana g. Logam Berat (FE)
Logam berat merupakan salah satu jenis polutan berbahaya yang sering ditemukan di perairan akibat aktivitas manusia, seperti limbah industri, pertambangan, dan domestik. Jenis logam berat yang umum mencemari perairan meliputi merkuri
dalam konsentrasi rendah. Penelitian oleh Sutanto et al. (2018) menunjukkan bahwa logam berat dapat terakumulasi di tubuh organisme laut, seperti ikan dan kerang, melalui rantai makanan, yang kemudian berdampak negatif pada kesehatan manusia yang mengonsumsinya. Selain itu, logam berat dapat mengendap di dasar perairan, merusak ekosistem sedimen, dan mengganggu habitat biota dasar laut (Yulianto et al., 2019). Karena sifatnya yang sulit terurai, logam berat membutuhkan penanganan khusus melalui pengelolaan limbah yang ketat dan pemantauan rutin di wilayah pesisir dan perairan terbuka.
Gambar 4.12. Peta Sebaran Logam Berat (FE) diperairan Angsana h. TDS
Total Dissolved Solids (TDS) merupakan parameter kualitas air yang mengukur jumlah total zat padat terlarut, termasuk mineral, garam, logam, kation, dan anion, dalam air. TDS mencerminkan tingkat kemurnian air dan dapat memengaruhi ekosistem perairan serta penggunaan air untuk kebutuhan domestik dan industri.
Menurut penelitian oleh Wahyuni et al. (2018), konsentrasi TDS yang tinggi dapat menunjukkan adanya kontaminasi dari aktivitas manusia, seperti limbah domestik, pertanian, dan industri, yang berpotensi merusak habitat biota air. Kandungan TDS yang terlalu tinggi dapat mengganggu proses fisiologi organisme air, seperti osmoregulasi, terutama pada ikan dan organisme akuatik lainnya (Saputra et al., 2019).
Oleh karena itu, pemantauan TDS penting dilakukan untuk memastikan kualitas air tetap dalam batas aman, baik bagi lingkungan maupun manusia.
Gambar 4.13. Peta Sebaran TDS diperairan Angsana
Data Total Dissolved Solids (TDS) menunjukkan fluktuasi yang relatif kecil disetiap data, dengan nilai TDS berkisar antara 20,1 ppm hingga 22,2 ppm. Sebagian besar nilai TDS berada di kisaran 21 hingga 22 ppm, yang menunjukkan kadar padatan terlarut dalam air yang stabil dan tidak terlalu tinggi, mencerminkan kualitas air yang relatif baik. Penurunan TDS yang terjadi pada beberapa hari, seperti pada data ke-21 (20,2 ppm), data ke-28 (20,1 ppm), dan beberapa titik lainnya, mungkin mengindikasikan pengaruh faktor-faktor seperti pengenceran air akibat hujan atau aliran air tawar. Secara keseluruhan, data ini menunjukkan kondisi perairan dengan kadar padatan terlarut yang cukup stabil, yang umumnya menunjukkan air yang tidak
tercemar berat dan tetap dalam batas kualitas yang mendukung kehidupan akuatik yang sehat.
i. TSS
Total Suspended Solids (TSS) adalah parameter kualitas air yang mengukur jumlah partikel padat tersuspensi dalam air, termasuk lumpur, pasir, dan bahan organik, yang tidak larut tetapi melayang di dalam kolom air. Tingginya konsentrasi TSS sering kali menjadi indikator adanya sedimentasi, erosi, atau pencemaran dari aktivitas manusia seperti limbah domestik, pertanian, dan industri. Menurut penelitian oleh Rahmawati et al. (2018), kadar TSS yang tinggi dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam perairan, yang berdampak pada proses fotosintesis fitoplankton dan vegetasi air lainnya. Selain itu, partikel tersuspensi ini dapat mengganggu sistem pernapasan organisme akuatik seperti ikan, yang menyebabkan stres dan penurunan produktivitas biota laut (Santoso & Kurnia, 2019). Pemantauan kadar TSS secara rutin sangat penting untuk mengendalikan dampak negatifnya terhadap kualitas perairan dan ekosistem pesisir.
Gambar 4.14. Peta Sebaran TSS diperairan Angsana 4.1.4. Analisis Parameter Biologi
a. Fitoplankton
Fitoplankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang di kolom air dan berperan penting dalam ekosistem perairan. Sebagai produsen utama dalam rantai makanan laut, fitoplankton melakukan fotosintesis untuk menghasilkan oksigen dan
bahan organik, yang menjadi sumber makanan bagi zooplankton dan organisme laut lainnya. Menurut penelitian Sari et al. (2018), keberadaan fitoplankton dipengaruhi oleh parameter lingkungan seperti cahaya, nutrien (nitrat dan fosfat), suhu, dan salinitas. Selain itu, fitoplankton juga menjadi indikator kualitas air karena populasinya cenderung meningkat signifikan dalam kondisi perairan yang mengalami eutrofikasi akibat pencemaran bahan organik atau limbah pertanian.
Namun, pertumbuhan fitoplankton yang berlebihan, seperti fenomena blooming, dapat berdampak negatif pada lingkungan perairan. Beberapa spesies fitoplankton menghasilkan toksin yang berbahaya bagi biota laut dan manusia, seperti yang terjadi pada fenomena harmful algal blooms (HABs). Studi oleh Wibisono et al.
(2019) mengungkapkan bahwa blooming fitoplankton sering kali dipicu oleh limpasan nutrien dari aktivitas antropogenik. Dampaknya meliputi penurunan kadar oksigen terlarut dan kematian masal organisme laut. Oleh karena itu, pengelolaan nutrien dan limbah di daerah pesisir sangat penting untuk menjaga keseimbangan populasi fitoplankton dan kualitas ekosistem perairan.
Gambar 4.15. Grafik perhitungan fitoplankton diperairan Angsana
Data fitoplankton memperlihatkan variasi signifikan dalam hal ragam, keseragaman, dan dominansi di lima lokasi pengukuran. Indeks keanekaragaman fitoplankton berada pada rentang 3,20 hingga 4,09, menandakan adanya keragaman spesies yang tinggi, terutama di Stasiun 5 yang mencatat nilai tertinggi (4,09), menunjukkan bahwa ekosistem tersebut sehat dan kaya akan spesies fitoplankton.
Indeks keseragaman mengindikasikan perbedaan yang mencolok antar lokasi, dengan nilai tertinggi di Stasiun 1 (0,93), yang berarti distribusi spesies lebih merata, sedangkan di Stasiun 3 dan 4, nilai keseragaman sangat rendah (sekitar 0,08), menunjukkan dominasi satu atau beberapa spesies tertentu di area tersebut. Indeks dominansi umumnya rendah di sebagian besar lokasi, dengan nilai terendah di Stasiun 5 (0,018), yang menunjukkan tidak adanya spesies yang mendominasi secara signifikan, sehingga kondisi ini mengarah kepada ekosistem yang lebih seimbang.
Secara keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa kebanyakan lokasi memiliki komunitas fitoplankton dengan keragaman yang baik dan kondisi yang mendukung keseimbangan ekosistem, meskipun di beberapa lokasi, dominasi oleh beberapa spesies dapat menandakan adanya ketidakseimbangan dalam distribusi spesies tertentu.
b. Zooplankton
Zooplankton adalah kelompok organisme heterotrofik yang hidup melayang di kolom air dan berperan penting dalam rantai makanan laut sebagai konsumen primer dan sekunder. Zooplankton memakan fitoplankton dan menjadi sumber makanan utama bagi ikan kecil, krustasea, dan predator laut lainnya. Berdasarkan penelitian oleh Santoso et al. (2017), keberadaan dan distribusi zooplankton dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, ketersediaan makanan, dan kondisi arus. Jenis zooplankton meliputi krustasea kecil seperti copepoda, larva ikan, dan ubur-ubur kecil.
Sebagai indikator biologis, komposisi komunitas zooplankton dapat digunakan untuk mengidentifikasi perubahan lingkungan dan kualitas air.
Namun, perubahan lingkungan seperti peningkatan suhu air, pencemaran, atau eutrofikasi dapat memengaruhi populasi dan distribusi zooplankton. Menurut Putri et al. (2019), perubahan populasi zooplankton dapat berdampak signifikan pada ekosistem laut, terutama melalui gangguan rantai makanan. Misalnya, penurunan jumlah zooplankton dapat menyebabkan berkurangnya populasi ikan yang bergantung pada mereka sebagai sumber makanan. Oleh karena itu, monitoring komunitas zooplankton sangat penting untuk memahami dinamika ekosistem laut dan dampak perubahan lingkungan terhadap perairan.
Gambar 4.16. Grafik perhitungan Zooplankton diperairan Angsana
Data mengenai zooplankton menunjukkan bahwa variasi dalam keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi komunitas zooplankton berbeda di lima lokasi pengukuran. Indeks keanekaragaman zooplankton di masing-masing lokasi cukup tinggi, dengan nilai antara 2,44 sampai 2,95, yang menunjukkan adanya keragaman spesies yang baik dan ekosistem yang cukup sehat. Indeks keseragaman juga menunjukkan angka tinggi, dengan nilai berkisar antara 0,92 hingga 0,99, yang menunjukkan bahwa penyebaran spesies zooplankton di setiap lokasi relatif seimbang dan tidak dikuasai oleh satu spesies saja. Indeks dominansi yang lebih rendah, antara 0,065 hingga 0,086, menunjukkan bahwa tidak ada spesies tunggal yang mendominasi komunitas zooplankton di setiap lokasi, menandakan kondisi ekologi yang seimbang.
Secara keseluruhan, informasi ini mencerminkan komunitas zooplankton yang beragam dan seimbang di semua lokasi, dengan dominansi yang minim dan distribusi spesies yang merata, menciptakan situasi yang mendukung keberlanjutan ekosistem perairan tersebut.
4.2. Analisis Indekas Pencemaran 4.2.1. EX-situ
Tabel 4.1. Perhitungan indeks pencemaran Ex-situ Ex-
situ pH
Salinita s
Suh
u DO TDS R
(Ci/Li j)
M (Ci/Li
j) Pij
Kategori Lij
7 -
8,5 28-35 25-
32 5 10
St. 0,80 1,22 1,53 2,16 1,79 Cemar
St.
2
0,85
2 0,911 4,59
6 1,35
9 2,19
0 1,982 4,596 3,53
9
Cemar Ringan St.
3
0,85
2 0,917 4,61
7 1,39
6 2,17
0 1,990 4,617 3,55
5
Cemar Ringan St.
4
0,80
0 0,914 4,63
7 1,24
6 2,17
0 1,954 4,637 3,55
8
Cemar Ringan St.
5
0,86
5 0,921 4,62
3 1,16
7 2,18
0 1,951 4,623 3,54
8
Cemar Ringan St.
6
0,82
6 0,917 4,62
3 1,32
2 2,17
0 1,972 4,623 3,55
4
Cemar Ringan St.
7
0,78
7 0,930 4,61
7 1,24
6 2,20
0 1,956 4,617 3,54
5
Cemar Ringan St.
8
0,82
6 0,924 4,65
1 1,08
5 2,19
0 1,935 4,651 3,56
2
Cemar Ringan St.
9
0,80
0 0,921 4,64
4 1,04
3 2,18
0 1,918 4,644 3,55
3
Cemar Ringan St.
10
0,80
0 0,927 4,64
4 1,00
0 2,19
0 1,912 4,644 3,55
1
Cemar Ringan St.
11
0,80
0 0,930 4,62
3 1,04
3 2,20
0 1,919 4,623 3,54
0
Cemar Ringan St.
12
0,82
6 0,940 4,61
7 1,04
3 2,22
0 1,929 4,617 3,53
8
Cemar Ringan St.
13
0,94
2 0,902 4,59
6 1,39
6 2,12
0 1,991 4,596 3,54
1
Cemar Ringan St.
14
0,95
5 0,902 4,60
3 1,82
2 2,14
0 2,084 4,603 3,57
3
Cemar Ringan St.
15
0,99
4 0,921 4,61
7 1,46
7 2,18
0 2,036 4,617 3,56
8
Cemar Ringan St.
16
1,04
2 0,917 4,63
0 1,63
6 2,17
0 2,079 4,630 3,58
9
Cemar Ringan St.
17
0,95
5 0,911 4,69
2 1,32
2 2,16
0 2,008 4,692 3,60
9
Cemar Ringan St.
18
1,04
2 0,921 4,63
7 1,57
0 2,18
0 2,070 4,637 3,59
1
Cemar Ringan St.
19
1,17
5 0,933 4,58
1 0,95
6 2,21
0 1,971 4,581 3,52
7
Cemar Ringan St.
20
1,20
1 0,930 4,62
3 1,66
8 2,20
0 2,124 4,623 3,59
8
Cemar Ringan St.
21
0,78
7 0,844 4,63
0 1,76
1 2,02
0 2,009 4,630 3,56
9
Cemar Ringan St.
22
0,86
5 0,902 4,63
0 1,88
0 2,14
0 2,083 4,630 3,59
0
Cemar Ringan St.
23
0,78
7 0,908 4,60
3 1,73
1 2,15
0 2,036 4,603 3,55
9
Cemar Ringan St.
24
0,86
5 0,911 4,58
8 1,76
1 2,16
0 2,057 4,588 3,55
6
Cemar Ringan St.
25
0,87
7 0,829 4,61
7 1,66
8 2,14
0 2,026 4,617 3,56
5
Cemar Ringan St.
26
0,82
6 0,914 4,58
1 1,57
0 2,17
0 2,012 4,581 3,53
8
Cemar Ringan St.
27
0,82
6 0,921 4,54
6 1,50
2 2,19
0 1,997 4,546 3,51
1
Cemar Ringan