BAB 4. HASIL DAN ANALISIS
4.1. Analisis Faktor Lingkungan Studi 1. Analisis Parameter Lingkungan Studi
4.1.3. Analisis Parameter Kimia
Kondisi parameter Kimia yang telah dianalisa berupa data kondisi Parameter Salinitas, DO, BOD5, pH, Nitrat, Nitrit, Fosfat dan Fe di Wilayah Perairan Sungai Dua Laut, Berikut Penjelasan mengenai beberapa kondisi parameter kimia tersebut.
a. Salinitas
Salinitas air laut adalah kadar garam terlarut dalam air yang merupakan salah satu parameter penting dalam mengukur kualitas perairan. Salinitas memengaruhi densitas air, kelarutan gas (seperti oksigen), serta distribusi spesies laut. Nilai salinitas yang lebih tinggi umumnya ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis, sementara daerah kutub memiliki salinitas yang lebih rendah. Penelitian oleh Yuliana et al. (2017) menunjukkan bahwa perubahan salinitas akibat pengaruh air tawar dari sungai atau pencairan es dapat memengaruhi kelangsungan hidup organisme laut, terutama spesies yang sensitif terhadap fluktuasi salinitas, seperti plankton dan ikan. Selain itu, salinitas juga dapat dipengaruhi oleh proses penguapan dan curah hujan, yang dapat berfluktuasi tergantung pada musim dan kondisi iklim.
Salinitas air laut berperan penting dalam proses biogeokimia dan dinamika ekosistem laut. Penurunan atau kenaikan salinitas yang drastis dapat menyebabkan stres pada biota laut, mengganggu proses metabolisme dan reproduksi mereka.
Menurut penelitian oleh Wulandari dan Setiawan (2018), salinitas yang rendah dapat terjadi di kawasan pesisir yang dipengaruhi oleh limpasan air tawar dari sungai, sementara salinitas yang tinggi dapat ditemukan di daerah yang terpengaruh oleh evaporasi tinggi, seperti di laut tertutup atau teluk. Perubahan salinitas yang signifikan dalam jangka panjang juga dapat memengaruhi pola distribusi spesies dan produktivitas perairan pesisir.
Gambar 4.6. Peta Sebaran Salinitas diperairan Angsana
Data salinitas menunjukkan variasi yang relatif kecil sepanjang pengambilan titik sampel salinitas, dengan nilai salinitas berkisar antara 26,1 ppm hingga 29,6 ppm. Salinitas cenderung stabil di sekitar angka 28–29 ppm, yang mencerminkan kondisi air dengan salinitas yang moderat. Penurunan salinitas yang signifikan terjadi pada beberapa hari, seperti pada data ke-21 (26,6 ppm), data ke-25 (26,1 ppm), dan
pencampuran air tawar atau hujan yang mempengaruhi kadar salinitas. Namun, sebagian besar data menunjukkan kondisi salinitas yang lebih stabil, dengan fluktuasi yang tidak terlalu besar. Pola salinitas ini menunjukkan bahwa perairan kemungkinan berada dalam kondisi stabil meskipun terdapat perubahan yang lebih rendah pada beberapa titik waktu, yang dapat mempengaruhi ekosistem akuatik.
b. Dissolved Oxygen (DO)
Oksigen terlarut (DO) adalah salah satu parameter kualitas air yang sangat penting karena memengaruhi kelangsungan hidup organisme air. DO dalam air dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk suhu, salinitas, serta kegiatan biologis dan kimiawi di perairan. Semakin tinggi suhu air, semakin rendah kandungan oksigen yang dapat terlarut, karena air panas memiliki kapasitas lebih rendah untuk menyerap oksigen. Menurut penelitian oleh Kusuma et al. (2017), kadar DO yang rendah dapat menyebabkan kondisi hipoksia, yang dapat mengancam kelangsungan hidup ikan, invertebrata, dan mikroorganisme di perairan. Penurunan kadar DO biasanya terjadi akibat peningkatan bahan organik, seperti limbah domestik atau sisa hasil pertanian, yang mempercepat proses dekomposisi dan mengurangi jumlah oksigen yang tersedia. Oleh karena itu, pemantauan DO secara rutin sangat penting untuk menjaga keberlanjutan ekosistem perairan dan mendeteksi adanya pencemaran yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem.
Gambar 4.7. Peta Sebaran DO diperairan Angsana
Data kadar Oksigen Terlarut (DO) menunjukkan hasil pengukuran pada lokasi pantai Angsana, dengan nilai DO berkisar antara 4,1 ppm hingga 8,3 ppm.
Nilai terendah berwarna hijau tua dengan 4,1 ppm, sedangkan nilai tertinggi tercatat pada warna putih dengan 8,3 ppm. Secara umum, kadar DO cenderung berubah, tetapi sebagian besar berada di kisaran 5 hingga 7 ppm, yang menunjukkan kondisi
pada titik tertentu. Penurunan kadar DO dapat mengindikasikan adanya perubahan suhu, pencemaran, atau peningkatan aktivitas biologis di perairan, yang dapat memengaruhi keseimbangan ekosistem. Kadar DO yang lebih tinggi di beberapa hari menunjukkan kondisi yang lebih optimal untuk kehidupan akuatik.
c. Biological Oxygen Demand (BOD5)
BOD5 (Biochemical Oxygen Demand for 5 days) adalah parameter yang digunakan untuk mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam air untuk mengurai bahan organik dalam waktu lima hari. BOD5 memberikan indikasi tentang tingkat polusi organik di perairan dan dapat digunakan untuk menilai dampak pencemaran limbah terhadap kualitas air. Penelitian oleh Mulyani et al. (2018) menunjukkan bahwa nilai BOD5 yang tinggi mengindikasikan adanya peningkatan bahan organik, yang dapat mengurangi kadar oksigen terlarut (DO) dan mempengaruhi kelangsungan hidup biota air. Kadar BOD5 yang tinggi sering kali ditemukan di perairan yang tercemar limbah domestik atau industri, yang mengandung senyawa organik yang mudah terurai. Menurut penelitian oleh Rachmawati et al. (2017), pemantauan BOD5 sangat penting dalam pengelolaan kualitas air, terutama di daerah pesisir yang padat penduduk, karena dapat membantu dalam penilaian pencemaran dan perencanaan tindakan mitigasi.
Gambar 4.8. Peta Sebaran BOD5 diperairan Angsana
hasil pengukuran di Perairan Sungai Dua Laut menunjukkan nilai terendah sekitar 0,6 mg/l. Nilai tertinggi ditemukan di bagian tenggara pantai dengan nilai sebesar 2,4 mg/l. Berdasarkan baku mutu air laut, nilai BOD adalah 10 mg/l. Ini berarti kandungan BOD pada perairan Sungai Dua Laut jauh dari memenuhi nilai baku mutu.
pH adalah parameter yang mengukur tingkat keasaman atau kebasaan air, yang mempengaruhi kelangsungan hidup organisme laut dan proses kimiawi dalam perairan. Skala pH berkisar dari 0 hingga 14, dengan nilai pH di bawah 7 menunjukkan kondisi asam dan di atas 7 menunjukkan kondisi basa, sementara pH 7 dianggap netral. Penurunan pH, yang sering kali terjadi akibat peningkatan kandungan karbon dioksida (CO₂) yang terlarut dalam air, dapat menyebabkan pengasaman laut, yang berdampak buruk pada terumbu karang dan organisme laut lainnya (Amin et al., 2019). Selain itu, fluktuasi pH yang tajam akibat polusi atau limpasan air tawar dapat mengganggu keseimbangan ekosistem perairan, mempengaruhi metabolisme organisme, serta mengurangi kelarutan oksigen dan kemampuan organisme untuk bernapas (Supriyanto et al., 2017). Oleh karena itu, pemantauan pH secara berkala penting untuk menjaga kualitas air dan keberlanjutan ekosistem laut.
Gambar 4.9. Peta Sebaran pH diperairan Angsana
Data pH menunjukkan fluktuasi yang cukup signifikan disetiap data sampelnya, dengan nilai pH berkisar antara 6,1 hingga 8,5. Sebagian besar nilai pH berada dalam kisaran 6 hingga 7, yang mengindikasikan kondisi air sedikit asam hingga netral, sesuai dengan karakteristik perairan alami yang tidak terlalu terpengaruh
pada data ke-19 hingga ke-40, dengan nilai pH mencapai 8,5 pada data ke-20 dan 8,2 pada data ke-40, menunjukkan adanya kecenderungan air menjadi lebih basa.
Fluktuasi pH ini bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suhu, aktivitas biologis, atau pencemaran. Secara keseluruhan, data ini menunjukkan perubahan yang moderat dalam kondisi keasaman atau kebasaan air, dengan kemungkinan dampak terhadap ekosistem akuatik, terutama bagi organisme yang sensitif terhadap perubahan pH.
e. Nitrat
Nitrat adalah senyawa yang sering ditemukan dalam air dan merupakan salah satu indikator utama pencemaran yang berasal dari limbah pertanian, industri, dan aktivitas domestik. Nitrat dalam jumlah tinggi dapat menyebabkan eutrofikasi, yaitu proses yang merangsang pertumbuhan alga berlebih di perairan, yang pada akhirnya mengurangi kadar oksigen terlarut dan membahayakan biota air. Penelitian oleh Rahayu et al. (2018) menunjukkan bahwa peningkatan kandungan nitrat di perairan pesisir Indonesia, terutama akibat penggunaan pupuk kimia di sektor pertanian, dapat mempengaruhi kualitas air dan ekosistem pesisir. Selain itu, nitrat juga dapat berbahaya bagi kesehatan manusia, terutama bagi bayi, karena dapat menyebabkan penyakit methemoglobinemia atau "blue baby syndrome" ketika terlarut dalam air minum (Fitrani et al., 2019). Oleh karena itu, pengelolaan limbah pertanian dan industri yang lebih baik sangat diperlukan untuk mengurangi kadar nitrat yang berlebihan di perairan.
Gambar 4.10. Peta Sebaran Nitrat diperairan Angsana f. Fosfat
Fosfat adalah salah satu unsur hara yang sangat penting bagi pertumbuhan tumbuhan dan organisme laut, namun dalam jumlah berlebih, fosfat dapat menjadi salah satu penyebab utama pencemaran air. Peningkatan kandungan fosfat di perairan, terutama akibat limbah pertanian, limbah domestik, dan industri, dapat menyebabkan
dan mengganggu keseimbangan ekosistem perairan. Penelitian oleh Setyawan et al.
(2017) menunjukkan bahwa peningkatan fosfat di perairan pesisir Indonesia dapat menyebabkan penurunan kualitas air dan merusak habitat alami biota laut, seperti terumbu karang dan padang lamun. Selain itu, fosfat yang berlebihan dapat memperburuk polusi air dengan merangsang pembentukan senyawa beracun yang membahayakan kesehatan manusia dan ekosistem (Widyastuti et al., 2019). Oleh karena itu, pengendalian penggunaan pupuk fosfat dan pengelolaan limbah secara lebih baik diperlukan untuk mencegah dampak negatif fosfat terhadap kualitas air.
Gambar 4.11. Peta Sebaran Fosfat diperairan Angsana g. Logam Berat (FE)
Logam berat merupakan salah satu jenis polutan berbahaya yang sering ditemukan di perairan akibat aktivitas manusia, seperti limbah industri, pertambangan, dan domestik. Jenis logam berat yang umum mencemari perairan meliputi merkuri
dalam konsentrasi rendah. Penelitian oleh Sutanto et al. (2018) menunjukkan bahwa logam berat dapat terakumulasi di tubuh organisme laut, seperti ikan dan kerang, melalui rantai makanan, yang kemudian berdampak negatif pada kesehatan manusia yang mengonsumsinya. Selain itu, logam berat dapat mengendap di dasar perairan, merusak ekosistem sedimen, dan mengganggu habitat biota dasar laut (Yulianto et al., 2019). Karena sifatnya yang sulit terurai, logam berat membutuhkan penanganan khusus melalui pengelolaan limbah yang ketat dan pemantauan rutin di wilayah pesisir dan perairan terbuka.
Gambar 4.12. Peta Sebaran Logam Berat (FE) diperairan Angsana h. TDS
Total Dissolved Solids (TDS) merupakan parameter kualitas air yang mengukur jumlah total zat padat terlarut, termasuk mineral, garam, logam, kation, dan anion, dalam air. TDS mencerminkan tingkat kemurnian air dan dapat memengaruhi ekosistem perairan serta penggunaan air untuk kebutuhan domestik dan industri.
Menurut penelitian oleh Wahyuni et al. (2018), konsentrasi TDS yang tinggi dapat menunjukkan adanya kontaminasi dari aktivitas manusia, seperti limbah domestik, pertanian, dan industri, yang berpotensi merusak habitat biota air. Kandungan TDS yang terlalu tinggi dapat mengganggu proses fisiologi organisme air, seperti osmoregulasi, terutama pada ikan dan organisme akuatik lainnya (Saputra et al., 2019).
Oleh karena itu, pemantauan TDS penting dilakukan untuk memastikan kualitas air tetap dalam batas aman, baik bagi lingkungan maupun manusia.
Gambar 4.13. Peta Sebaran TDS diperairan Angsana
Data Total Dissolved Solids (TDS) menunjukkan fluktuasi yang relatif kecil disetiap data, dengan nilai TDS berkisar antara 20,1 ppm hingga 22,2 ppm. Sebagian besar nilai TDS berada di kisaran 21 hingga 22 ppm, yang menunjukkan kadar padatan terlarut dalam air yang stabil dan tidak terlalu tinggi, mencerminkan kualitas air yang relatif baik. Penurunan TDS yang terjadi pada beberapa hari, seperti pada data ke-21 (20,2 ppm), data ke-28 (20,1 ppm), dan beberapa titik lainnya, mungkin mengindikasikan pengaruh faktor-faktor seperti pengenceran air akibat hujan atau aliran air tawar. Secara keseluruhan, data ini menunjukkan kondisi perairan dengan kadar padatan terlarut yang cukup stabil, yang umumnya menunjukkan air yang tidak
tercemar berat dan tetap dalam batas kualitas yang mendukung kehidupan akuatik yang sehat.
i. TSS
Total Suspended Solids (TSS) adalah parameter kualitas air yang mengukur jumlah partikel padat tersuspensi dalam air, termasuk lumpur, pasir, dan bahan organik, yang tidak larut tetapi melayang di dalam kolom air. Tingginya konsentrasi TSS sering kali menjadi indikator adanya sedimentasi, erosi, atau pencemaran dari aktivitas manusia seperti limbah domestik, pertanian, dan industri. Menurut penelitian oleh Rahmawati et al. (2018), kadar TSS yang tinggi dapat mengurangi penetrasi cahaya ke dalam perairan, yang berdampak pada proses fotosintesis fitoplankton dan vegetasi air lainnya. Selain itu, partikel tersuspensi ini dapat mengganggu sistem pernapasan organisme akuatik seperti ikan, yang menyebabkan stres dan penurunan produktivitas biota laut (Santoso & Kurnia, 2019). Pemantauan kadar TSS secara rutin sangat penting untuk mengendalikan dampak negatifnya terhadap kualitas perairan dan ekosistem pesisir.
Gambar 4.14. Peta Sebaran TSS diperairan Angsana 4.1.4. Analisis Parameter Biologi
a. Fitoplankton
Fitoplankton adalah organisme mikroskopis yang hidup melayang di kolom air dan berperan penting dalam ekosistem perairan. Sebagai produsen utama dalam rantai makanan laut, fitoplankton melakukan fotosintesis untuk menghasilkan oksigen dan
bahan organik, yang menjadi sumber makanan bagi zooplankton dan organisme laut lainnya. Menurut penelitian Sari et al. (2018), keberadaan fitoplankton dipengaruhi oleh parameter lingkungan seperti cahaya, nutrien (nitrat dan fosfat), suhu, dan salinitas. Selain itu, fitoplankton juga menjadi indikator kualitas air karena populasinya cenderung meningkat signifikan dalam kondisi perairan yang mengalami eutrofikasi akibat pencemaran bahan organik atau limbah pertanian.
Namun, pertumbuhan fitoplankton yang berlebihan, seperti fenomena blooming, dapat berdampak negatif pada lingkungan perairan. Beberapa spesies fitoplankton menghasilkan toksin yang berbahaya bagi biota laut dan manusia, seperti yang terjadi pada fenomena harmful algal blooms (HABs). Studi oleh Wibisono et al.
(2019) mengungkapkan bahwa blooming fitoplankton sering kali dipicu oleh limpasan nutrien dari aktivitas antropogenik. Dampaknya meliputi penurunan kadar oksigen terlarut dan kematian masal organisme laut. Oleh karena itu, pengelolaan nutrien dan limbah di daerah pesisir sangat penting untuk menjaga keseimbangan populasi fitoplankton dan kualitas ekosistem perairan.
Gambar 4.15. Grafik perhitungan fitoplankton diperairan Angsana
Data fitoplankton memperlihatkan variasi signifikan dalam hal ragam, keseragaman, dan dominansi di lima lokasi pengukuran. Indeks keanekaragaman fitoplankton berada pada rentang 3,20 hingga 4,09, menandakan adanya keragaman spesies yang tinggi, terutama di Stasiun 5 yang mencatat nilai tertinggi (4,09), menunjukkan bahwa ekosistem tersebut sehat dan kaya akan spesies fitoplankton.
Indeks keseragaman mengindikasikan perbedaan yang mencolok antar lokasi, dengan nilai tertinggi di Stasiun 1 (0,93), yang berarti distribusi spesies lebih merata, sedangkan di Stasiun 3 dan 4, nilai keseragaman sangat rendah (sekitar 0,08), menunjukkan dominasi satu atau beberapa spesies tertentu di area tersebut. Indeks dominansi umumnya rendah di sebagian besar lokasi, dengan nilai terendah di Stasiun 5 (0,018), yang menunjukkan tidak adanya spesies yang mendominasi secara signifikan, sehingga kondisi ini mengarah kepada ekosistem yang lebih seimbang.
Secara keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa kebanyakan lokasi memiliki komunitas fitoplankton dengan keragaman yang baik dan kondisi yang mendukung keseimbangan ekosistem, meskipun di beberapa lokasi, dominasi oleh beberapa spesies dapat menandakan adanya ketidakseimbangan dalam distribusi spesies tertentu.
b. Zooplankton
Zooplankton adalah kelompok organisme heterotrofik yang hidup melayang di kolom air dan berperan penting dalam rantai makanan laut sebagai konsumen primer dan sekunder. Zooplankton memakan fitoplankton dan menjadi sumber makanan utama bagi ikan kecil, krustasea, dan predator laut lainnya. Berdasarkan penelitian oleh Santoso et al. (2017), keberadaan dan distribusi zooplankton dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, ketersediaan makanan, dan kondisi arus. Jenis zooplankton meliputi krustasea kecil seperti copepoda, larva ikan, dan ubur-ubur kecil.
Sebagai indikator biologis, komposisi komunitas zooplankton dapat digunakan untuk mengidentifikasi perubahan lingkungan dan kualitas air.
Namun, perubahan lingkungan seperti peningkatan suhu air, pencemaran, atau eutrofikasi dapat memengaruhi populasi dan distribusi zooplankton. Menurut Putri et al. (2019), perubahan populasi zooplankton dapat berdampak signifikan pada ekosistem laut, terutama melalui gangguan rantai makanan. Misalnya, penurunan jumlah zooplankton dapat menyebabkan berkurangnya populasi ikan yang bergantung pada mereka sebagai sumber makanan. Oleh karena itu, monitoring komunitas zooplankton sangat penting untuk memahami dinamika ekosistem laut dan dampak perubahan lingkungan terhadap perairan.
Gambar 4.16. Grafik perhitungan Zooplankton diperairan Angsana
Data mengenai zooplankton menunjukkan bahwa variasi dalam keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi komunitas zooplankton berbeda di lima lokasi pengukuran. Indeks keanekaragaman zooplankton di masing-masing lokasi cukup tinggi, dengan nilai antara 2,44 sampai 2,95, yang menunjukkan adanya keragaman spesies yang baik dan ekosistem yang cukup sehat. Indeks keseragaman juga menunjukkan angka tinggi, dengan nilai berkisar antara 0,92 hingga 0,99, yang menunjukkan bahwa penyebaran spesies zooplankton di setiap lokasi relatif seimbang dan tidak dikuasai oleh satu spesies saja. Indeks dominansi yang lebih rendah, antara 0,065 hingga 0,086, menunjukkan bahwa tidak ada spesies tunggal yang mendominasi komunitas zooplankton di setiap lokasi, menandakan kondisi ekologi yang seimbang.
Secara keseluruhan, informasi ini mencerminkan komunitas zooplankton yang beragam dan seimbang di semua lokasi, dengan dominansi yang minim dan distribusi spesies yang merata, menciptakan situasi yang mendukung keberlanjutan ekosistem perairan tersebut.
4.2. Analisis Indekas Pencemaran