• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Laju Penerimaan Pajak, Pertumbuhan Penduduk dan Laju Inflasi terhadap Rasio Pajak Daerah di Pulau Jawa tahun 2006 -2018

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Analisis Pengaruh Laju Penerimaan Pajak, Pertumbuhan Penduduk dan Laju Inflasi terhadap Rasio Pajak Daerah di Pulau Jawa tahun 2006 -2018"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH LAJU PENERIMAAN PAJAK, PERTUMBUHAN PENDUDUK, DAN LAJU INFLASI

TERHADAP RASIO PAJAK DAERAH DI PULAU JAWA TAHUN 2006-2018

SKRIPSI

Disusun oleh :

ANTONIO YOSUA PRASETYO BUDI SETJOKONDO 135020100111005

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2020

(2)

LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL

Artikel Jurnal dengan judul :

ANALISIS PENGARUH LAJU PENERIMAAN PAJAK, PERTUMBUHAN PENDUDUK DAN LAJU INFLASI TERHADAP RASIO PAJAK DAERAH

DI PULAU JAWA TAHUN 2006 -2018

Yang disusun oleh :

Nama : Antonio Yosua Prasetyo Budi Setjo Kondo

NIM : 135020100111005

Fakultas : Ekonomi dan Bisnis Jurusan

Program Studi Konsentrasi

: : :

Ilmu Ekonomi

S1 Ekonomi Pembangunan Sumber Daya Alam

Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 16 November 2020.

Malang, 16 November 2020 Dosen Pembimbing,

Shofwan, SE., M.Si

NIP. 197305172003121002

(3)

Analisis Pengaruh Laju Penerimaan Pajak, Pertumbuhan Penduduk dan Laju Inflasi terhadap Rasio Pajak Daerah di Pulau Jawa tahun 2006 -2018

Antonio Yosua Prasetyo Budi Setjo Kondo

Shofwan, SE., M.Si

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Malang Email : antonio.yosua.prasetyo@gmail.com

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kuantitatif deskriptif yang dilakukan untuk mengatahui pengaruh laju penerimaan pajak, pertumbuhan penduduk dan laju inflasi di pulau Jawa tahun 2006 - 2018. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jendrak Pajak (DJP). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah model regresi data panel, terdapat tiga teknik dalam mengestimasi data panel yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Dalam menentukan teknik estimasi yang tepat tersebut dapat dilakukan pengujian model yaitu Uji Chow (Chow Test), Uji Hausman (Hausman Test) dan Uji Lagrange Multiplier (LM Test) dibantu dengan aplikasi eviews. Dari hasil analisis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa laju penerimaan pajak dan pertumbuhan penduduk berpengaruh signifikan positif terhadap rasio pajak daerah, sedangkan variabel laju inflasi tidak berpengaruh terhadap rasio pajak daerah di Pulau Jawa.

Kata kunci: Rasio Pajak Daerah, Pendapatan Pajak Daerah, Pertumbuhan Penduduk, Laju Inflasi, Pendapatan Asli Daerah.

A. PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara berkembang yang sedang berupaya untuk melakukan pembangunan di bidang seperti bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Pembangunan adalah suatu usaha yang saling berkaitan meliputi seluruh kehidupan masyarakat di suatu negara untuk melakukan tugas dan cita-cita negara tersebut. Pembangunan secara nasional bertujuan untuk mewujutkan cita-cita negara yang tertuang di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan dan sejahtera dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dari setiap daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, dijelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini dengan pemberian otonomi daerah pemerintah daerah dapat mengelola sumber-sumber keuangan daerah sendiri guna membiayai kebijakan-kebijakan yang sudah dirancang oleh pemerintah daerah.

Seperti halnya wilayah lain, masing-masing provinsi di Pulau Jawa juga mendapatkan hak otonom yaitu mengatur dan mengurus rumah tangga intern daerahnya, dengan hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurusi rumah tangganya sendiri sesuai dengan undang-undang yang berlaku (Syamsi, 1998). Dalam hal ini sangat berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah (Halim, 2004).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber penerimaan yang harus selalu dipicu pertumbuhan, yang tentunya ditindaklanjuti dengan memberikan pelayanan yang baik dan pelayanan fasilitas umum bagi masyarakat. Jumlah dan kenaikan kontribusi Pendapatan Asli Daerah

(4)

(PAD) akan sangat berperan dalam rencana peningkatan kemandirian pemerintah daerah untuk tidak selalu tergantung kepada bantuan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan penerimaan yang lain seperti Dana Perimbangan yang bersumber dari Pemerintah Pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan lain-lain. Salah satu sumber penerimaan daerah sebagai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah adalah melalui Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan arahan bagi daerah untuk pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus membuat kebijakan pengaturan untuk menjamin keberhasilan penerapan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pajak adalah pungutan yang merupakan hak eksklusif pemerintah, pungutan tersebut dilandasi oleh Undang-Undang. Pemungutan pajak dapat dipaksakan kepada subjek pajak yang dimana tidak ada balas jasa yang langsung ditujukan penggunanya (Mangunkusubroto, 2001). Pengertian dari pajak daerah sendiri menurut Panca di dalam Sahara (2004) adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten atau kota yang berguna untuk menunjang Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan penerimaan tersebut masuk dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Meskipun beberapa jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, namun daerah kabupaten/kota diberikan kebebasan untuk menggali potensi dalam sumber keuangan dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi selain yang sudah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan kemampuan masyarakat.

Pemerintah sebagai pengelola keuangan daerah dan pembangunan daerah memiliki tanggung jawab dalam memenuhi kewajibannya. Pengeluaran pemerintah tumbuh dengan sangat pesat melebihi pertumbuhan PDRB. Dengan kata lain, rasio jumlah pengeluaran pemerintah terhadap PDRB semakin membesar dari waktu ke waktu. Hal ini wajar terjadi di Negara atau daerah manapun di dunia, terutama bagi Negara atau daerah yang sedang dalam proses pembangunan sebuah Negara atau daerah. Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana pemerintah dapat membiayai pengeluarannya yang semakin membengkak tersebut.

Inflasi adalah suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian.

Inflasi menimbulkan beberapa efek buruk pada perekonomian salah satunya mengurangi pendapatan riil (Sukirno, 2004). Tetapi dengan adanya inflasi maka upah atau gaji juga akan mengalami kenaikan, karena upah riil tergantung pada tergantung pada produktivitas marjinal tenaga kerja.

Kesejahteraan ekonomi tergantung pada harga relatif, bukan pada seluruh tingkat harga. Menurut Simanjuntak (2001) inflasi akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) jika didasarkan pada omzet penjualan, misalnya pajak hotel dan pajak restoran. Hal ini karena jika inflasi melambat, pengusaha akan cenderung menaikan sedikit harga tetapi upah yang dibayarkan tetap.

Adanya aktifitas perekonomian oleh penduduk menyebabkan gejolak ekonomi secara menyeluruh atas permintaan barang dan jasa yang berlebih sehingga menyebabkan terjadinya inflasi. Adanya inflasi menggambarkan adanya gejolak ekonomi, apabila inflasi tersebut dibiarkan begitu saja tanpa terkendali akan berdampak pada perekonomian karena nilai tukar rupiah menurun.

Dirjen Pajak, Rahmany (2014) mengatakan bahwa penurunan inflasi berpengaruh ke penerimaan pajak. Karena adanya pertumbuhan penerimaan negara seiring dengan meningkatnya konsumsi yang terjadi di masyarakat. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Tanzi dalam Nalendra (2014) dimana tingkat inflasi saling berhubungan untuk mempengaruhi penerimaan pajak riil.

Sedangkan menurut Ferdiawan (2015) menemukan bahwa tingkat inflasi berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Namun juga ada penelitian lain yaitu Puspita (2014) yang menemukan bahwa tingkat inflasi berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak dikarenakan tingkat inflasi tidak mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak. Hal tersebut menjadi masalah yang akan diteliti lebih lanjut oleh penulis.

(5)

Oleh karena itu berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti menetapkan penelitian ini dengan judul “Analisis Pengaruh Laju Penerimaan Pajak, Pertumbuhan Penduduk, dan Laju Inflasi terhadap Rasio Pajak Daerah di Pulau Jawa tahun 2006 - 2018”.

B. TINJAUAN PUSTAKA Pendapatan Daerah

Menurut Halim (2002) keuangan daerah dapat dijelaskan sebagai adanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan sebagai kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki / dikuasai oleh negara atau daerah lain yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yang termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Pengertian Pendapatan Daerah menurut Fauzi (1995) adalah komponen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membiayai pembangunan dan melancarkan roda pemerintahan.

Karena itu setiap pendapatan daerah dapat dipungut seinsentif mungkin. Selain itu, menurut Samudra (1995) pengertian Pendapatan Daerah diartikan secara luas. Sumber pendapatan daerah meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan pendapatan daerah yang berasal dari penerimaan pemerintah pusat yang realisasinya dapat saja berupa bagi hasil penerimaan pajak dari pusat dan sebagainya.

Dari uraian dan pengertian sumber-sumber pendapatan daerah dapat diartikan bahwa sumber pendapatan daerah adalah pendapatan atau hasil yang tetap didapatkan oleh pemerintah daerah dan mempunyai wewenang yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai jaminan untuk menutup belanja daerah dalam rangka memenuhi kewajibannya sebagai pemerintah yang mandiri dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Rasio Pajak Daerah

Tax ratio atau rasio pajak merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Rasio itu dipergunakan untuk menilai tingkat kepatuhan pembayaran pajak oleh masyarakat dalam suatu negara. Produk Domestik Bruto (PDB) adalah total nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara, dikurangi nilai barang dan jasa yang digunakan dalam produksi. PDB sendiri meliputi belanja konsumen, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor bersih (ekspor dikurangi impor).

Rasio pajak dibedakan menjadi dua, yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, rasio pajak mencakup penerimaan perpajakan beserta penerimaan SDA dan Minerba, sedangkan dalam arti sempit, rasio pajak hanya mengukur penerimaan perpajakan, baik pajak pusat maupun bea dan cukai. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat rasio pajak, antara lain:

1. Faktor-faktor yang bersifat makro: di antaranya adalah tarif pajak, tingkat pendapatan per kapita dan tingkat optimalisasi tata laksana pemerintahan yang baik.

2. Faktor-faktor yang bersifat mikro: di antaranya adalah tingkat kepatuhan Wajib Pajak, komitmen dan koordinasi antar-lembaga negara serta kesamaan persepsi antara Wajib Pajak dan petugas pajak.

Angka rasio pajak digunakan untuk mengukur optimalisasi kapasitas administrasi perpajakan di suatu negara dalam rangka menghimpun penerimaan pajak di suatu negara. Terkait dengan penerimaan pajak dalam rangka menghitung Tax Ratio, suatu negara mungkin saja hanya memasukkan unsur penerimaan pajak pusat saja. Namun, ada pula negara yang memasukkan unsur penerimaan pajak pusat dan pajak daerah. Dalam mengukur rasio pajak, pada umumnya Indonesia hanya memasukkan unsur penerimaan pajak pusat saja, yakni pajak-pajak yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak

Penerimaan Pajak Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu penerimaan mencerminkan tingkat kemandirian daerah (Santosa dkk, 2005). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat penerimaan daerah maka dapat dikatakan semakin mandiri daerah tersebut. Di dalam Undang-Undang No.22 dan No.33

(6)

Tahun 2004 Pendapatan Asli Daerah (PAD) telah ditetapkan yaitu pajak, retribusi, bagian laba pengelolaan aset daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan komponen dari PAD pada unsur pajak merupakan pembayaran iuran oleh rakyat kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dengan tanpa balas jasa yang secara langsung dapat ditunjuk, misalnya pajak kendaraan bermotor, pajak penjualan, pajak pendapatan, pajak penerangan, dan lain-lain. Sedangkan pajak daerah atau kota yang tecantum pada Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 menjelaskan bahwa pajak suatu daerah antara lain: (a) pajak hotel, (b) pajak restoran, (c) pajak hiburan, (d) pajak reklame, (e) pajak penerangan jalan, (f) pajak pengambilan bahan galian golongan C, (g) pajak parkir, Basri (2005)

Halim (2002) menyatakan pendapatan lain-lain merupakan pendapatan yang didapatkan dari lain-lain milik pemerintah daerah. Pendapatan ini berasal dari hasil penjualan barang daerah seperti penjualan drum bekas tempat cairan aspal, penerimaan dari giro dan lain-lain.

Menurut Tjahjono (2005) fungsi pajak pada dasarnya adalah sebagai sumber keuangan negara atau daerah. Namun ada fungsi lainnya yang tidak kalah pentingnya yaitu pajak sebagai fungsi mengatur. Berikut adalah penjelasan untuk masing-masing fungsi tersebut:

1. Sumber Keuangan Negara (Budgetair)

Fungsi sumber keuangan negara untuk memasukkan uang ke kas negara atau dengan kata lain fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara dan digunakan untuk pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.

Negara seperti halnya rumah tangga membutuhkan sumber-sumber keuangan untuk memenuhi kelanjutan hidupnya. Dalam keluarga sumber keuangan dapat berupa gaji/ upah atau laba dari usahanya. Sedangkan bagi suatu negara sumber keuangan adalah pajak dan retribusi.

2. Fungsi Mengatur (Non Budgetair)

Fungsi mengatur dimaksudkan sebagai usaha pemerintah untuk turut campur tangan dalam hal mengatur, mengubah susunan pendapatan dan kekayaan sektor swasta. Fungsi ini digunakan sebagai alat melaksanakan kebijakan negara dalam bidang ekonomi dan sosial.

Selain itu juga dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan.

Jumlah Penduduk

Penduduk adalah sejumlah orang atau manusia yang sah yang mendiami suatu daerah atau negara tertentu serta mentaati ketentuan-ketentuan dari daerah atau negara tersebut. Ananta (2008) menjelaskan bahwa

“Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan untuk menetap”

Jumlah penduduk yang semakin besar membawa akibat berupa jumlah angkatan kerja yang makin besar pula dan itu harus di imbangi dengan kesempatan yang besar juga sehingga negara tidak terbebani dengan pengangguran yang terjadi akibat kesempatan kerja lebih kecil daripada tenaga kerja (Wirosuhardjo, 1981). Sebelum era perekonomian, para penduduk kebanyakan terpusat di sektor primer yang bersifat ekstraktif yaitu pertanian, perikanan, dan pertambangan (emas dan perak) selain itu juga terdapat beberapa permasalahan pendapatan penduduk yang tidak merata karena pengaruh dari kondisi ekonomi. Oleh karena itu jumlah yang besar berdampak langsung dari pembangunan berupa ketersediaan tenaga kerja yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan pemerintah pusat maupun daerah. Tetapi kuantitas penduduk tersebut juga dapat memicu munculnya permasalahan yang berdampak kepada pembangunan itu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya adalah ketersediaan pangan, sandang dan papan, kesenjangan sosial, dan pengangguran. Dari permasalahan-permasalahan yang terjadi di atas, maka diperlukannya jumlah penduduk yang produktif untuk dapat menggerakkan perekonomian di masyarakat, selain daripada untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh penduduk.

(7)

Penduduk yang produktif merupakan harapan dari pemerintah daerah, semakin penduduk produktif maka semakin besar kesempatan kerja yang tercipta, selain itu juga jumlah penduduk kota yang di imbangi dengan sumber daya manusia (SDM) yang telah terdidik akan membantu pemerintah daerah dalam membangun daerahnya. Oleh karena itu jumlah penduduk sangat menentukan perekonomian di pemerentihan, baik pemerintah daerah pusat maupun daerah, tentunya diimbangi dengan kesempatan kerja yang memadai untuk mengatasi kesenjangan sosial di dalam masyarakat.

Penduduk merupakan motor penggerak perekonomian, dan jumlah penduduk juga dapat disebut dengan populasi, jika dilihat dari model Solow (Mankiw, 2006) populasi dapat menjelaskan keadaan ekonomi suatu negara antara lain,

“Pertama, pertumbuhan populasi kian mempermudah kita dalam menjelaskan ekonomi berkelanjutan. Kedua, pertumbuhan populasi memberi kita penjelasan lain tentang mengapa sebagian negara kaya dan sebagian lainnya miskin”

Pentingnya jumlah penduduk untuk mengetahui perbandingan ekonomi pada tahun-tahun sebelumnya, apabila pada jumlah penduduk mengalami peningkatan maka diharuskan ekonomi juga mengalami perkembangan. Sedangkan dalam model Kremerian (Menkiw, 2006) menjelaskan hipotesis jumlah penduduk yang banyak akan mendorong terbentuknya teknologi baru, seperti yang diuraikannya,

“... dengan semakin banyaknya penduduk, maka semakin banyak ilmuan, penemu, dan ahli mesin yang memberikan kontribusi pada inovasi dan kemajuan teknologi”

Adanya penemuan teknologi masyarakat akan lebih mempermudah dalam melakukan aktifitas perekonomian karena keperluan atas teknologi juga terus mengalami peningkatan, dengan demikian jumlah penduduk ini pada jangka panjang akan berpengaruh kepada pemerintah yaitu berupa sumbangan pajak karena kegiatan tersebut terjadi karena adanya permintaan secara agregat terutama konsumsi barang pangan (makanan, minuman) ataupun nonpangan (elektronik, teknologi dan lain- lain) dan jasa unttuk mendukung aktifitas ekonomi pada masyarakat. Dari adanya konsumsi atas barang dan jasa didalam masyarakat tersebut terdapat pula berbagai pungutan pajak atas dasar harga barang dan jasa. Pada teori Ekonomi Publik tentang pajak sendiri pada Peacock dan Wiseman (Mangkoesoebroto, 2010) merupakan,

“Masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”

Apabila ekonomi perkembangan pesat yang di iringi jumlah penduduk, maka pemerintah daerah akan mengalami peningkatan berupa pendapatan yang telah ditetapkan pemerintah daerah.

Hukum Wagner (Mangkoesoebroto, 2010) mengutarakan bahwa, Hukum Wagner adalah dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah akan meningkat.

Pemerintah daerah sangat mengaharapkan meningkatnya ekonomi yang diimbangi dengan jumlah penduduk, karena pengeluaran sangat bergantung terhadap perekonomian dalam penduduk, apabila penduduk mampu menciptakan berbagai kegiatan perekonomian baru maka yang terjadi pemerintah akan memperoleh pendapatan dari berbagai kebijakan yang sudah ditetapkan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan perolehannya dapat dikaitkan langsung dengan penerimaan dari pajak maupun retribusi (Boediono, 1981).

Menurut Halim (2002) tinggi rendahnya masyarakat membayar pajak maupun retribusi daerah dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat daerah. Kesejahteraan ini tidak lepas dari tingkat konsumsi yang dapat menggambarkan juga tingkat pendapatan masyarakat. Sedangkan penduduk merupakan potensi sumber daya masyarakat (SDM) dimana kuantitas serta kualitas penduduk akan mempengaruhi dan berdampak langsung pada kinerja pembangunan suatu wilayah dan biasanya peran penduduk dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu adanya sumbangan yang telah diwajibkan oleh pemerintah daerah yang biasanya berupa pajak, retribusi, dan lain-lain (Saliem, 2006)

(8)

Teori Malthus (Rosyidi, 1995) jika pertambahan penduduk tidak melebihi kapasitas penduduk, maka daerah itu masih dapat menyediakan kebutuhan daerahnya lebih dari minimal, artinya penduduk yang relatif rendah tetapi aktifitas perekonomiannya tinggi secara otomatis kebutuhan penduduk akan terpenuhi, selama pemungutan pajak sesuai dengan kondisi perekonomiannya.

Dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk dari waktu ke waktu yang mengalami penigkatan akan dapat meningkatkan pungutan pajak, retribusi dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain. Selain itu pendapatan perekonomian dari penduduk yang produktif akan menambah pendapatan daerah sehingga pertambahan penduduk yang diimbangi dengan perkembangan perekonomian akan membuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan meningkat.

Inflasi

Suatu kota tidak lepas dari keadaan tingkat inflasi karena inflasi yang tinggi akan berdampak negatif pada perekonomian suatu negara atau daerah, inflasi sendiri adalah keadaan dimana permintaan barang yang terlalu tinggi (excess demand) terhadap barang-barang pada perekonomian secara keseluruhan (Gunawan, 1991). Laju pertumbuhan atas permintaan yang tidak diimbangi dengan penawaran maka yang terjadi gangguan terhadap kestabilan harga (inflasi) yang lebih diutamakan pada kegiatan ekonomi yang berupa konsumtif pada sifat produksi (Maski, 2007).

Menurut Warjiyo (2004) tekanan inflasi meningkat karena adanya kombinasi dari faktor melemahnya nilai tukar rupiah, kenaikan harga-harga yang diatur pemerintah Indonesia dan meningkatnya ekspektasi inflasi di masyarakat. Maka inflasi yang rendah di pemerintah daerah sangat diharapkan untuk meningkatkan produktifitas ekonomi, oleh karena itu pertumbuhan inflasi yang tinggi sangat berpengaruh pada perolehan pendapatan asli daerah yang biasanya berupa sumbangan pajak, retribusi masyarakat.

Menurut Keynes (Mankiw, 2006) inflasi adalah kenaikan dalam tingkat harga rata-rata, dan harga adalah tingkat dimana yang dipertukarkan untuk mendapatkan barang dan jasa. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa inflasi adalah kenaikan harga di masyarakat tanpa memandang penghasilah masyarakat sedangkan pemerintah dan masyarakat menginginkan tingkat inflasi yang rendah tetapi juga menginginkan tingkat pengangguran rendah (Rekso, 2000).

Irving Fisher (Gunawan, 1991) inflasi dapat menggunakan persamaan pertukaran yaitu MV=PT di mana MV menggambarkan total pengeluaran untuk barang dan jasa dan PT menggambarkan total penerimaan uang hasil penjualan barang dan jasa. Selain itu dapat dijelaskan pada keterangan di bawah ini.

M : jumlah uang beredar (money supply)

V : kecepatan peredaran uang dalam satu periode (velocity of money) P : tingkat harga rata-rata (average price level)

T : jumlah transaksi yang terjadi pada periode tertentu

Fisher (Gunawan, 1991) mengasumsikan bahwa besarnya kecepatan uang beredar yang konstan atau stabil tidak terlalu bergejolak dari tahun ke tahun, yang disebabkan oleh upah dan kebiasaan atau pola pengeluaran masyarakat yang relatif stabil dan tidak berubah sehingga dalam jangka panjang akan kembali ke ekuilibrium karena adanya masa transisi, yang mana diperlukan waktu bagi tingkat upah untuk merubah dan bereaksi atas perubahan tingkat upah tersebut.

Inflasi berdampak positif apabila inflasi tidak berlebihan yang artinya tidak melebihi 25%, karena inflasi akan memberikan dampak pada perolehan pajak pemerintah daerah, seperti yang diutarakan oleh teori Peacock dam Wisemen (Makoesoebroto, 2010) yaitu inflasi merupakan gejolak sosial sehingga peran pajak menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi gejolak yang terjadi di masyarakat. Clarke (Makoesoebroto, 2010) juga menjelaskan bahwa inflasi atau gangguan sosial terjadi ketika limit perpajakan melebihi dari 25% dari pendapatan nasional. Dengan kndisi tersebut apabila tidak melebihi limit perpajakan maka tidak akan terjadi inflasi bahkan inflasi merupakan kondisi untuk mendorong perekonomian di suatu daerah.

(9)

C. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Jenis penelitian kuantitatif ditujukan untuk mengetahui berapa besarnya variabel-variabel (berupa angka) dalam penelitina ini. Variabel-variabel tersebut tersusun dalam sebuah model yang diestimasi dengan alat analisis regresi yang kemudian hasilnya akan dideskripsikan.

Pada pendekatan kuantitatif digunakan sejumlah data yang bersifat variabel bebas (independent variable) dan juga variable terikat (dependent variable). Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif ini diharapkan penelitian ini dapat diketahui seberapa besar pengaruh laju rasio pajak, pertumbuhan penduduk dan laju inflasi terhadap laju pajak daerah.

Lokasi Penelitian

Pulau Jawa adalah sebuah pulau yang memiliki 6 provinsi antara lain DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Pulau Jawa juga merupakan pulau dengan kepadatan penduduk paling tinggi Indonesia. Jumlah penduduk Pulau Jawa sekitar 141 juta dan termasuk terpadat di dunia. Pulau Jawa adalah pusat beberapa kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, serta pusat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pulau ini berdampak besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.

Pulau Jawa memiliki luas 128.297 km2 yang secara astronomis terletak di 7° – 30,1° Lintang Selatan dan 111° – 154,7° Bujur Timur. Pulau Jawa memiliki berbagai macam orang dari berbagai macam suku bangsa dan budaya. Penduduk Jawa tidak lagi identik dengan suku Jawa, Sunda, Madura dan Betawi saja, namun sudah menjadi pusat dari segala budaya dan suku di Indonesia, didominasi migrasi dari suku Minang, suku Batak, suku Ambon dan suku Banjar yang terkenal dengan semangat merantaunya.

Obyek Penelitian

Dalam penelitian ini, obyek penelitian yang digunakan bisa dilihat pada penjelasan diawal, yaitu 1) perbedaan laju penerimaan pajak yang dapat diamati dengan melihat pendapatan pajak per tahun di Pulau Jawa; 2) pertumbuhan penduduk berdasarkan jumlah penduduk di Pulau Jawa; 3) laju inflasi di Pulau Jawa. Variabel-variabel tersebut menjadi faktor utama pada penelitian ini, karena perbedaan laju penerimaan pajak, pertumbuhan penduduk, dan laju inflasi di Pulau Jawa bisa dilihat peningkatan atau penurunan yang ada. Dari adanya peningkatan atau penurunan variabel- variabel tersebut juga dapat dilihat seberapa besar pengaruhnya terhadap rasio pajak daerah di Pulau Jawa.

Populasi dan Sampel

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data time series. Dimana peneliti menganalisis laju pajak daerah pada tahun 2006 - 2018. Populasi penelitian adalah Pulau Jawa.

Sedangkan sampel merupakan bagian dari populasi yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini menggunakan Judgment Sampling yaitu pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu (disesuaikan dengan tujuan dan masalah penelitian). Peneliti mengambil sampel Pulau Jawa.

Data, Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, data sekunder yaitu data yang sudah berupa publikasi yang diterbitkan oleh lembaga atau instansi tertentu. Sumber data yang digunakan meliputi, (i) BPS; Data laju penerimaan pajak, jumlah penduduk, dan laju inflasi (ii) Data kemenkeu; rasio pajak daerah. Semua data yang digunakan merupakan data tahunan Pulau Jawa sejak tahun 2006 sampai dengan 2018.

(10)

Adapun metode pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini sebagai alat pendukung pembuktian jawaban penelitian. Metode pengumpulan data dengan pendekatan kuantitatif karena penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data angka. Data yang diperoleh dalam penelitian ini didapatkan dengan menggunakan teknik sebagai berikut:

a. Studi Pustaka

Studi ini digunakan sebagai landasan teori yang digunakan dalam menganalisis kasus.

Dasar-dasar yang diperoleh dari buku-buku, literatur-literatur ataupun tulisan-tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini.

b. Studi Dokumen

Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan jalan melihat, membaca, mempelajari, kemudian mencatat data yang berhubungan dengan obyek penelitian.

D.HASILDANPEMBAHASAN

Gambaran Umum Objek Pulau Jawa

Wilayah Pulau Jawa berada dititik koordinat 7° – 30,1° Lintang Selatan dan 111°– 154,7°

Bujur Timur dan memiliki 6 Provinsi di antaranya adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Lokasi Pulau Jawa berada di sekitar garis Khatulistiwa yang berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Selatan di sebelah Utara, Pulau Bali di sebelah timur, Pulau Sumatera di sebelah Barat, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka yakni Samudera Hindia. Luas wilayah Pulau Jawa mencapai 138.793 km2. Pulau Jawa memiliki perubahan musin sebanyak dua jenis setiap tahunnya, yaitu musim kemarau dan musim penghujan.

Luas wilayah Pulau Jawa hampir mencakup 90% berada di daratan Pulau Jawa, sedangkan 10% berada di Pulau Madura dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Keadaan Geografis Pulau Jawa dapat dibedakan menjadi tiga dataran yaitu dataran tinggi, sedang dan rendah. Oleh karena itu, Pulau Jawa memiliki topografi yang berupa pegunungan, perbukitan, dan kepulauan. Pulau Jawa juga memiliki sumber daya pertanian, kelautan, kehutanan, dan pertambangan yang potensial. Iklim di daerah Pulau Jawa termasuk dalam iklim tropis lembab dengan suhu rata-rata sepanjang tahun adalah antara 22 °C sampai 29 °C, dengan kelembapan rata-rata 75%. Daerah pantai utara biasanya lebih panas, dengan rata-rata 34 °C pada siang hari di musim kemarau.

Secara fisiografis, Provinsi Jawa Timur memiliki kondisi tanah yang subur dan keindahan alam yang sangat menarik. Faktor yang mempengaruhi tingkat kesuburan tanah tersebut salah satunya ialah banyaknya gunung berapi yang masih aktif serta aliran sungai yang cukup besar.

Terdapat tiga puluh delapan gunung yang terbentang dari timur ke barat pulau ini, yang kesemuanya pada waktu tertentu pernah menjadi gunung berapi aktif. Gunung berapi tertinggi di Jawa adalah Gunung Semeru (3.676 m), sedangkan gunung berapi paling aktif di Jawa dan bahkan di Indonesia adalah Gunung Merapi (2.968 m) serta Gunung Kelud (1.731 m). Gunung-gunung dan dataran tinggi yang berjarak berjauhan membantu wilayah pedalaman terbagi menjadi beberapa daerah yang relatif terisolasi dan cocok untuk persawahan lahan basah. Lahan persawahan padi di Jawa adalah salah satu yang tersubur di dunia.

Pulau Jawa merupakan salah satu provinsi yang terpadat penduduknya di Indonesia. Dari hasil proyeksi penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Pulau Jawa, jumlah penduduknya sebanyak 160 juta jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar 1.317 jiwa/km² menjadikan Pulau Jawa salah satu pulau di dunia yang paling dipadati penduduk.

Deskripsi Data

Data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder yang diperoleh melalui proses pengolahan dari instansi yang terkait dengan penelitian. Data diperoleh dari dokumen cetak milik Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah dipublikasi. Untuk

(11)

mendeskripsikan dan menguji pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan data laju penerimaan pajak, pertumbuhan penduduk dan inflasi di Pulau Jawa periode tahun 2006-2018.

Berikut akan disajikan deskripsi data dari tiap-tiap variabel yang telah diperoleh serta akan disajikan secara rinci data dari setiap variabel yang digunakan.

Deskripsi Rasio Pajak Daerah

Rasio Pajak Daerah dalam penelitian ini dihitung menggunakan perbandingan antara penerimaan pajak daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang ada di Pulau Jawa tahun 2006 hingga 2018. Dalam kurun waktu tahun 2006 hingga 2018, perkembangan rasio pajak daerah di Pulau Jawa dapat digambarkan melalui gambar 4.1 sebagai berikut.

Gambar 1 Rasio Pajak Daerah di Pulau Jawa Tahun 2006 hingga 2018

Sumber: Badan Pusat Statistik (2018).

Rasio Pajak di Pulau Jawa dari tahun 2006 hingga 2018 memiliki yang fluktuatif. Rasio Pajak tertinggi terjadi di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2018 sebesar 2,33%. Provinsi DKI Jakarta juga memiliki angka Rasuo Pajak tertinggi dibanding dengan provinsi lainnya yang dapat dilihat pada tahun 2011 hingga 2018. Provinsi dengan angka rasio pajak terendah adalah Provinsi Jawa Timur. Angka terendah di Provinsi Jawa Timur terdapat pada tahun 2010 dengan 0,6 %. Namun pada tahun 2018 Provinsi Jawa Timur dapat menggenjot nilai rasio pajak sampai di angka 1,38%.

Pada tahun 2007 Provinsi Yogyakarta mampu mengungguli Provinsi DKI Jakarta hingga menjadi nilai rasio pajak tertinggi di tahun tersebut dengan nilai 1,74%. Provinsi Jawa Tengah disbanding Provinsi yang lainnya cenderung memiliki nilai Rasio Pajak yang lebih stabil tidak terlihat begitu banyak nilai yang meningkat drastis atau menurun drastis.

Deskripsi Laju Penerimaan Pajak

Laju Penerimaan Pajak Daerah di Pulau Jawa dapat menunjukkan besaran laju penerimaan pajak di masing-masing provinsi di Pulau Jawa tahun 2006-2018. Data penerimaan pajak diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Laju pajak di Pulau Jawa dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:

𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ =𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ𝑡− 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ𝑡−1

𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ𝑡−1 × 100%

0,81%

1,74%

0,60%

1,38%

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 BANTEN DKI JAKARTA JAWA BARAT

JAWA TENGAH YOGYAKARTA JAWA TIMUR

(12)

Dimana :

Pajak Daeraht = Pajak Daerah tahun sekarang Pajak Daeraht-1 = Pajak Daerah tahun lalu

Laju penerimaan pajak daerah di pulau jawa dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini.

Gambar 2 Pertumbuhan Laju Penerimaan Pajak Daerah di Pulau Jawa Tahun 2006 hingga 2018

Sumber: Badan Pusat Statistik (2018).

Laju penerimaan pajak di Pulau Jawa dari tahun 2006 hingga 2018 memiliki angka yang fluktuatif. Di tahun 2008, provinsi Yogyakarta dengan nilai laju penerimaan pajak daerah sebesar 43,60 persen merupakan laju penerimaan pajak tertinggi sepanjang tahun 2006 hingga 2018. Namun di tahun-tahun berikutnya, provinsi DKI Jakarta menjadi provinsi dengan laju penerimaan pajak tertinggi di tahun 2011, 2013 dan 2017 sebesar 41,57 persen, 31,87 persen dan 15,46 persen. Tidak hanya mengalami kenaikan, penurunan laju penerimaan pajak juga terjadi di Yogyakarta dan DKI Jakarta dengan penurunan di kisaran -0,48 persen hingga -6,05 persen. Salah satu provinsi yang memiliki laju penerimaan dengan nilai stabil dialammi oleh provinsi Jawa Barat dengan nilai besaran rata-rata laju penerimaan di Pulau Jawa.

36,49%

11,28%

-0,48% -2,19%

41,57%

31,87%

15,46%

43,60%

-6,05% -3,66%

-10,00%

0,00%

10,00%

20,00%

30,00%

40,00%

50,00%

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 BANTEN DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH YOGYAKARTA JAWA TIMUR

(13)

.Gambar 3 Laju Pertumbuhan Penduduk di Pulau Jawa Tahun 2006 hingga 2018

Sumber: Badan Pusat Statistik (2018).

Laju Pertumbuhan Penduduk di Pulau Jawa tahun 2006 – 2018 mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi pada tahun 2010 untuk provinsi DKI Jakarta. Terlihat juga terjadi lonjakan yang sangat signifikan pada tahun tersebut sebesar 3,7 persen dan menjadi yang tertinggi diantara provinsi lainnya. Sementara itu pada tahun 2006, Provinsi Jawa Tengah memperlihatkan Laju Pertumbuhan Penduduk yang sangat rendah yaitu sebesar -2,22 lebih kecil dibandingkan dengan provinsi Yogyakarta dengan Laju Pertumbuhan Penduduk sebesar 0,5.

Diantara 6 Provinsi di atas, Laju Pertumbuhan Penduduk paling stabil adalah Provinsi Banten. Dapat dilihat grafik yang ditunjukkan oleh Provinsi Banten cenderung landau tidak terjadi lonjakan grafik yang signifikan.

Gambar 4.4 Pertumbuhan Inflasi di Pulau Jawa Tahun 2006 hingga 2018

Sumber: Badan Pusat Statistik (2018).

Pertumbuhan inflasi di Pulau Jawa tahun 2006 - 2018 mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Pada tahun 2008 pertumbuhan inflasi di DKI Jakarta dan Jawa Barat menunjukkan laju

1,94 3,70

2,61

-2,22

-1,47 2,00

-3,00 -2,00 -1,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 BANTEN DKI JAKARTA JAWA BARAT

JAWA TENGAH YOGYAKARTA JAWA TIMUR

9,59 9,78

4,22 11,1111,11

2,02 10,40

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 BANTEN DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH YOGYAKARTA JAWA TIMUR

(14)

inflasi tertinggi dengan 11,11 persen yang merupakan laju pajak tertinggi selama tahun 2006 – 2018.

Namun untuk tahun setelahnya secara bergantian 6 provinsi ini menjadi yang tertinggi di antara lainnya. Tahun 2009 adalah tahun dimana laju inflasi mengalami penurunan yang signifikan dan provinsi Jawa Tengah menjadi provinsi yang paling kecil perununannya dengan 2,02 persen. Pada tahun 2015 sampai 2018 laju inflasi di semua provinsi di Pulau Jawa cenderung rendah dan dapat dilihat di atas fluktuasinya tidak begitu besar. Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki laju inflasi terendah di banding provinsi lainnya setiap tahunnya dan cenderung stabil laju inflasinya.

Pemilihan Model dan Metode Estimasi

Pada analisis model regresi data panel, terdapat tiga teknik dalam mengestimasi data panel yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM).

Dalam menentukan teknik estimasi yang tepat tersebut dapat dilakukan pengujian model yaitu Uji Chow (Chow Test), Uji Hausman (Hausman Test) dan Uji Lagrange Multiplier (LM Test). Berikut merupakan hasil dari pengolahan data panel pada penelitian ini.

1. Uji Signifikansi F (Chow Test)

Chow test adalah pengujian untuk menentukan model Pooled OLS atu model Fixed Effect yang paling tepat digunakan dalam mengestimasi data panel. Hipotesis dalam uji Chow adalah sebagai berikut:

H0: Common Effect Model atau Pooled OLS H1: Fixed Effect Model

Dasar penolakan terhadap hipotesis di atas adalah dengan melihat nilai probabilitas (Prob.) untuk Cross-section F. Jika nilainya lebih besar (>) dari alpha 5% atau 0,05 maka H0 diterima dan model yang digunakan adalah Common Effect Model. Begitupun sebaliknya, nilai Prob. lebih kecil (<) dari alpha 5% atau 0,05 maka H0 ditolak yang berarti model yang paling tepat untuk digunakan adalah Fixed Effect Model.

Tabel 1 Hasil Uji Signifikansi F (Chow Test)

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 1.396823 (5,69) 0.2363

Cross-section Chi-square 7.520590 5 0.1847

Sumber: Data diolah

Berdasarkan hasil pengujian didapatkan nilai Prob. Cross-section F sebesar 0,2363 yang nilainya lebih besar 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diterima adalah H0 yang berarti model regresi yang digunakan adalah Common Effect Model atau Pooled OLS.

2. Hausman Test

Hausman Test adalah pengujian yang digunakan untuk membandingkan Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Hipotesis yang digunakan pada kedua pengujian tersebut adalah:

H0: Model yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM) H1: Model yang digunakan adalah Random Effect Model (REM)

(15)

Metode pengambilan keputusan dalam kedua pengujian tersebut adalah dengan menggunakan nilai signifikansi, dimana jika nilai signifikansi lebih kecil dari alpha 5% maka hipotesis H0 yang diterima, dan jika nilai signifikansi lebih besar dari alpha 5%, maka hipotesis H1 yang diterima.

Tabel 2 Hasil Pemilihan Model Regresi Hausman Test

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 5.096634 3 0.1649

Sumber: Data diolah

Berdasarkan hasil pengujian didapatkan nilai signifikansi (Prob.) dari Cross-Section sebesar 0.1649. Nilai signifikansi yang lebih besar dari alpha 5% menunjukkan bahwa hipotesis yang diterima adalah H1 yang berarti model regresi yang digunakan adalah Random Effect Model (REM).

3. Langrangge Multiplier (LM) Test

Langrangge Multiplier Test adalah pengujian yang digunakan untuk membandingkan Common Effect Model (CEM) dan Random Effect Model (REM). Hipotesis yang digunakan pada kedua pengujian tersebut adalah:

H0: Model yang digunakan adalah Common Effect Model (CEM) H1: Model yang digunakan adalah Random Effect Model (REM).

Metode pengambilan keputusan dalam kedua pengujian tersebut adalah dengan menggunakan nilai sigifikansi both dari uji Breusch-Pagan yang diolah melalui program Eviews.

Apabila nilai signifikansi tersebut lebih besar dari alpha 5% maka hipotesis H0 diterima, sebaliknya apabila nilai signifikansi lebih kecil dari alpha 5% maka hipotesis H1 diterima. Nilai tersebut disajikan dalam tabel 4.3 di bawah ini.

Tabel 3 Hasil Uji Langrangge Multiplier (LM)

Null (no rand. effect) Cross-section Period Both

Alternative One-sided One-sided

Breusch-Pagan 0.018297 0.006878 0.025175

(0.8924) (0.9339) (0.8739)

Sumber: Data diolah

Berdasarkan hasil pengujian Breusch-Pagan pada tabel 4.3 didapatkan nilai signifikansi Both sebesar 0.025175. Nilai signifikansi yang lebih kecil dari alpha 5% menunjukkan bahwa hipotesis yang diterima adalah H1 yang berarti model regresi yang digunakan adalah Random Effect Model (REM).

Dari hasil beberapa pengujian di atas dapat disumpulkan bahwa model yang paling sesuai untuk menganalisis pengaruh laju penerimaan pajak, pertumbuhan penduduk, dan laju inflasi terhadap rasio pajak daerah di Pulau Jawa adalah model random effect.

Hasil dan Pembahasan

Berikut ini adalah hasil estimasi model random effect untuk variabel laju penerimaan pajak, pertumbuhan penduduk, dan laju inflasi sebagai variabel independen/bebas serta variabel rasio pajak

(16)

daerah sebagai variabel dependen/terikat. Hasil estimasi persamaan dalam penelitian ini disajikan dalam tabel 4 berikut ini.

Tabel 4 Hasil Uji Regresi Panel Random Effect Model

Variabel Koefisien Std. Eror t-Statistik Prob.

Konstanta (C) 0.002258 0.264251 26.94794 0.0000

Laju Penerimaan Pajak (X1) 0.069010 0.031432 2.195493 0.0301 Pertumbuhan Penduduk (X2) 0.012998 0.003230 4.024771 0.0001

Laju Inflasi (X3) 0.001057 0.001136 0.930889 0.3549

R-squared: 0. 616567

Adjusted R-squared: 0.592971 F-Statistic: 6.235577

Prob. (F-statistic): 0.000781

Sumber: data diolah

Pada hasil uji regresi panel di atas diketahui variabel terikatnya adalah Rasio Pajak Daerah, sedangkan variabel bebasnya adalah Laju Penerimaan Pajak (X1), Pertumbuhan Penduduk (X2), dan Inflasi (X3). Model regresi berdasarkan hasil analisis di atas adalah sebagai berikut:

Y = 0.002258 + 0.069010 X1it + 0.012998 X2it + 0.001057 X3it + u Keterangan :

Y = Rasio Pajak Daerah X1 = Laju Penerimaan Pajak X2 = Pertumbuhan Penduduk X3 = Inflasi

Dari hasil persamaan regresi di atas, dapat diketahui bahwa:

1. Konstanta

Konstanta menunjukkan besarnya nilai variabel terikat apabila variabel bebasnya bernilai nol. Dari hasil regresi di atas diketahui bahwa konstanta yang bernilai positif sebesar 0.002258 menjelaskan bahwa apabila nilai dari variabel laju penerimaan pajak, pertumbuhan penduduk, dan inflasi bernilai 0, maka rasio pajak daerah meningkat sebesar 0.002258.

2. Variabel Laju Penerimaan Pajak

Koefisien regresi variabel Laju Penerimaan Pajak yang bernilai positif sebesar 0.069010 menjelaskan bahwa apabila terjadi peningkatan pada variabel Laju Penerimaan Pajak sebesar 1 persen maka variabel Rasio Pajak Daerah akan mengalami peningkatan sebesar 0.069010.

3. Variabel Pertumbuhan Penduduk

Koefisien regresi variabel Pertumbuhan Penduduk yang bernilai positif sebesar 0.012998 menjelaskan bahwa apabila terjadi peningkatan pada variabel Pertumbuhan Penduduk sebesar 1 persen maka variabel Rasio Pajak Daerah akan mengalami peningkatan sebesar 0.012998.

4. Variabel Laju Inflasi

(17)

Koefisien regresi variabel Laju Inflasi yang bernilai positif sebesar 0.001057 menjelaskan bahwa apabila terjadi peningkatan pada variabel Inflasi sebesar 1

persen maka variabel Rasio Pajak Daerah akan mengalami peningkatan sebesar 0.001057.

Uji Parsial/Uji Statistik t

Untuk menguji pengaruh masing-masing variabel bebas (X) terhadap variabel teriakt (Y), digunakan uji statistik t. Dasar pengambilan keputusan pada uji statistik t dengan membandingkan antara t hitung dengan t tabel. Apabila nilai t hitung lebih besar dari t tabel maka variabel bebas dikatakan signifikan berpengaruh terhadap variabel terikat, begitu pula sebaliknya. Atau juga bisa dengan melihat nilai signifikansi (Prob.) dari masing-masing variabel, apabila nilai Prob. lebih kecil (<) dari nilai signifikansi yang telah di tetapkan (5%) maka variabel bebas signifikan berpengaruh terhadap perubahan variabel terikat, dan sebaliknya. Berdasarkan hasil uji t pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa:

1. Variabel Laju Penerimaan Pajak

Variabel Laju Penerimaan Pajak memiliki nilai signifikansi sebesar 0.0301 atau lebih kecil (<) dari alpha 5% (0.05) yang berarti bahwa variabel Laju Penerimaan Pajak berpengaruh signifikan terhadap variabel Rasio Pajak Daerah pada taraf kesalahan 5%.

2. Variabel Pertumbuhan Penduduk

Variabel Pertumbuhan Penduduk memiliki nilai signifikansi sebesar 0.0001 atau lebih kecil (<) dari alpha 5% (0.05) yang berarti bahwa variabel Pertumbuhan Penduduk berpengaruh signifikan terhadap variabel Rasio Pajak Daerah pada taraf kesalahan 5%.

3. Variabel Laju Inflasi

Variabel Laju Inflasi memiliki nilai signifikansi sebesar 0.3549 atau lebih besar (<) dari alpha 5% (0.05) yang berarti bahwa variabel Laju Inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel Rasio Pajak Daerah pada taraf kesalahan 5%.

Uji Simultan/Uji Statistik F

Untuk menguji hipotesis pengaruh dari variabel bebas secara simultan terhadap variabel terikat, digunakan uji statstik F. Dasar pengambilan keputusan pada uji statistik F dengan membandingkan antara F hitung dengan F tabel. Apabila nilai F hitung lebih besar dari F tabel maka variabel bebas dikatakan signifikan berpengaruh terhadap variabel terikat, begitu pula sebaliknya.

Atau juga bisa dengan melihat nilai signifikansi (F-statistic ), apabila nilai Prob. (F-statistic ) lebih kecil (<) dari alpha yang telah di tetapkan (5%) maka variabel bebas secara bersama-sama signifikan berpengaruh terhadap variabel terikat, dan begitu pula sebaliknya.

Berdasarkan hasil regresi pada tabel 4.4 diperoleh nilai Prob. (F-statistic) sebesar 0.000781 atau lebih kecil dari alpha 5% (0.05). Besarnya nilai Prob. tersebut menunjukkan bahwa H1 diterima dan menolak H0 yang berarti secara bersama-sama variabel Laju Peneriman Pajak, Pertumbuhan Penduduk, dan Laju Inflasi berpengaruh signifikan terhadap variabel Rasio Pajak Daerah.

Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (R2) menunjukkan seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat (Y), sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Berdasarkan hasil regresi pada tabel 4.4 diperoleh nilai R-square sebesar 0. 616567 atau 62%. Artinya kontribusi terhadap variabel Rasio Pajak Daerah dijelaskan sebesar 62% oleh variabel Laju Peneriman Pajak, Pertumbuhan Penduduk, dan Laju Inflasi. Sedangkan sisanya sebesar 38%

dijelaskan oleh variabel bebas lain di luar model.

Pengaruh Laju Penerimaan Pajak terhadap Rasio Pajak

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa variable Laju Penerimaan Pajak berpengaruh positif terhadap Rasio Pajak Daerah. Hal sejalan dengan penelitian Scully di Amerika Serikat

(18)

ataupun Chao dan Grubel di Kanada yang menyatakan bahwa kenaikan penerimaan pajak terhadap Rasio Pajak Daerah akan berpengaruh positif pada tingkat pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

Pengeluaran pemerintah yang dibiayai dari penerimaan pajak akan berpengaruh positif pada kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dengan syarat pengeluaran pemerintah tersebut dipergunakan untuk membiayai pengeluaran yang produktif, seperti pembangunan infrastruktur yang akan mendorong kegiatan perekonomian suatu daerah.

Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Rasio Pajak Daerah

Hasil penelitian didapat bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap Rasio Pajak Daerah. Hal ini sama dengan teori dimana ketika Pertumbuhan Penduduk meningkat maka akan membuat Rasio Pajak Daerah meningkat juga. Menurut teori Hansen mengenai stagnasi (seculer stagnation) menyatakan bahwa bertambahnya jumlah penduduk akan membuat permintaan agregat bertambah terutama dibidang investasi.

Pertumbuhan Penduduk tidak selalu menjadi penghambat pembangunan ekonomi suatu daerah. Jika Pertumbuhan Penduduk pada suatu daerah tinggi maka akan berdampak pada penyerapan produksi bertambah. Sehingga tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi akan disertai dengan pendapatan dari produsen yang tinggi juga. Berdasarkan uraian diatas pertumbuhan jumlah penduduk akan berpengaruh terhadap banyaknya wajib pajak ntuk membayar pajak daerah. Hasil Helti (2010) menunjukan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap pajak daerah sektoral di Kabupaten Karanganyar.

Hasil ini sejalan dengan penelitian Arianto (2014) menyatakan bahwa jumlah penduduk berpengaruh postif terhadap penerimaan pajak daerah di Kota Surabaya. Begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Artha 2016 yang menyatakan bahwa jumlah penduduk memiliki pengaruh positif dansignifikan terhadap penerimaan pajak daerah Kabupaten Jember Hasil penelitian Hariyuda (2009) menunjukan bahwa jumlah penduduk mempunyai elastisitas positif dengan penerimaan pajak daerah. karena syarat untuk memungut pajak diantaranya adalah harus adanya subjek pajak.

Dengan naiknya jumlah penduduk, maka akan semakin banyak penduduk yang menikmati jasa pelayanan yang diberikan pemerintah yang bersumber dari pajak daerah. Semakin banyak pemerintah harus mengeluarkan barang barang publik karena semakin banyak permintaan akan barang publik akibat peningkatan jumlah penduduk. Sebagai subjek pajak, maka penduduk akan mengeluarkan sebagian penghasilannya untuk membayar pungutan pajak dan akan semakin banyak pajak daerah yang diterimaoleh pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Hal ini akan membuat pemerintah melakukan pengoptimalan akan penerimaan pajak daerah dengan meningkatkan tarif pajak yang berlaku.

Pengaruh Tingkat Inflasi terhadap Rasio Pajak Daerah

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa variabel inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan rasio pajak daerah. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan Rasio Pajak Daerah. Hasil itu juga tidak sesuai dengan teori yang menyatakan inflasi mempunyai dampak yang luas terhadap perekonomian suatu negara. Inflasi akan menyebabkan berkurangnya daya beli masyarakat dan menyebabkan peningkatan biaya produksi perusahaan. Peningkatan biaya produksi akan menyebabkan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan berkurang sehingga penerimaan pajak yang dipungut pemerintah terhadap perusahaan tersebut menjadi semakin menurun. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agustin Patmawati 2007 yang menyatakan bahwa variabel Inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan. Sehingga hasil penelitian menyatakan bahwa variabel inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan.

Ketidaksesuaian antara teori dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa inflasi tidak berpengaruh terhadap penerimaan Pajak karena inflasi menyebabkan kenaikan harga barang secara terus menerus yang berdampak terhadap berkurangnya daya beli masyarakat. Masyarakat yang dirugikan dalam hal ini adalah buruh yang bergaji tetap, karena kenaikan harga barang tidak disertai dengan kenaikan pendapatan yang setara dengan kenaikan inflasi. Sedangkan bagi masyarakat yang berpenghasilan tinggi, dampak inflasi ini tidak begitu dirasakan karena berapapun tingginya harga suatu barang, maka barang tersebut tetap akan dibeli karena merupakan sifat konsumtif manusia.

(19)

Oleh sebab itu, keuntungan yang diperoleh perusahaan tetap stabil dan penerimaan pajak yang dipungut pemerintah terhadap perusahaan tersebut juga relatif stabil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya dampak kenaikan inflasi, maka tidak berpengaruh terhadap jumlah penerimaan Pajak Daerah karena masyarakat yang berpenghasilan tinggi masih dapat menyerap hasil produksi yang dihasilkan perusahaan, sehingga pajak yang dipungut pemerintah terhadap perusahaan tersebut relatif stabil.

Pengujian oleh peneliti, menyatakan bahwa tingkat inflasi tidak berpengaruh parsial terhadap penerimaan pajak diterima. Penelitian Richard dan Toly (2013), Wibowo (2013), dan Utami (2015) dimana menunjukan bahwa tingkat inflasi tidak berpengaruh secara parsial dan signifikan terhadap penerimaan pajak ataupun juga rasio pajak. Diperhitungkannya inflasi dalam perhitungan target penerimaan pajak dalam APBN menunjukan bahwa adanya pengaruh yang ditimbulkan oleh inflasi terhadap penerimaan pajak. Tingginya inflasi akan menurunkan daya beli masyarakat. Turunnya daya beli akan menurunkan produksi suatu perusahaan sehingga penghasilan kena pajak perusahaan juga akan menurun. Hal ini tentu berakibat pada penerimaan pajak. Syahputra (2006:10) mengungkapkan bahwa “Terlalu tingginya tingkat inflasi bisa berdampak negatif terhadap penerimaan pajak melalui perubahan kondisi ekonomi.” Kesimpulannya, penerimaan pajak akan menurun jika tingkat inflasi suatu negara tinggi, demikian sebaliknya.

E.PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian penulis maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pengeluaran pemerintah yang dibiayai dari penerimaan pajak akan berpengaruh positif pada kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dengan syarat pengeluaran pemerintah tersebut dipergunakan untuk membiayai pengeluaran yang produktif, seperti pembangunan infrastruktur yang akan mendorong kegiatan perekonomian suatu daerah.

2. Pertumbuhan Penduduk tidak selalu menjadi penghambat pembangunan ekonomi suatu daerah. Jika Pertumbuhan Penduduk pada suatu daerah tinggi maka akan berdampak pada penyerapan produksi bertambah. Sehingga tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi akan disertai dengan pendapatan dari produsen yang tinggi juga.

Berdasarkan uraian diatas pertumbuhan jumlah penduduk akan berpengaruh terhadap banyaknya wajib pajak ntuk membayar pajak daerah.

3. Inflasi akan menyebabkan berkurangnya daya beli masyarakat dan menyebabkan peningkatan biaya produksi perusahaan. Peningkatan biaya produksi akan menyebabkan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan berkurang sehingga penerimaan pajak yang dipungut pemerintah terhadap perusahaan tersebut menjadi semakin menurun.. Hal itu dikarenakan masyarakat akan cenderung menyimpan uangnya yang disebabkan harga-harga barang dan jasa lebih tinggi dari sebelumnya sehingga penerimaan pajak daerah akan lesu.

5.2. Saran

Untuk pemerintah Provinsi di Pulau Jawa hendaknya lebih mengoptimalkan lagi pos-pos penerimaan pajak daerah. Usaha peningkatan penerimaan pajak daerah dapat dilakukan dengan pengembangan ekonomi daerah yang berbasis pada kekuatan lokal untuk pengembangan komoditas unggulan. Selain itu menumbuhkan kesadaran masyarakat akan membayar pajak juga penting untuk menumbuhkan rasio pajak karena Pulau Jawa merupakan salah satu pulau terpadat penduduknya.

Pertumbuhan perekonomian akan berdampak pada peningkatan pendapatan per kapita masyarakat, sehingga kemampuan masyarakat dalam membayar pajak daerah semakin meningkat. Selain itu, menekan laju inflasi sangat berguna untuk menstimulasi masyarakat untuk membayar pajak sehingga pendapatan pajak suatu daerah juga akan meningkat dan tingkat rasio pajak daerah dapat tumbuh.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Anata, Firdaus. 2008. Pengaruh Tingkat Pengangguran Terbuka, PDRB Perkapita, Jumlah Penduduk dan Index Williamson Terhadap Tingkat Kriminalitas (studi kasus 31 provinsi di Indonesia tahun 2007-2012). Skripsi. Jurusan Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Malang

Amir, Amri.2007.Pengaruh Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengangguran di Indonesia.

Ghozali. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS (Edisi Kedua). Semarang:

Universitas Diponegoro

Gujarati, D.N. dan Dawn C. Porter. 2012. Dasar–dasar Ekonometrika. Jakarta: Salemba Empat.

Halim, Abdul. 2004. Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Irawan dan Suparmoko. 2008. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: BPFE

Iwan, Susanto. 2014. Analisis Pengaruh PDRB, Penduduk, dan Inflasi Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Studi Kasus Kota Malang Tahun 1998 – 2012). Jurnal Universitas Brawijaya Malang

Khusaini, Mohammad. 2006. Ekonomi Publik (desentralisasi fiscal dan pembangunan daerah).

Malang: Badan Penerbit fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Erlangga Mankiw, N. Gregory. 2006. Makroekonomi. Jakarta: Erlangga.

Mubarok, Mu’min. 2014. “Pengaruh Pendapatan Perkapita dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penerimaan Pajak di Indonesia”. Jurnal. universitas Negeri Gorontalo

Muchtholifah. 2010. Pengaruh PDRB, Inflasi, Investasi Industri dan Jumlah Tenaga Kerja terhadap PAD di Kota Mojokerto. Jurnal Universitas Pembangunan Nasional Pasuruan

Rahardja, Pratama, dan Mandala Manurung. 2008. Teori Ekonomi Makro. Jakarta: FE-UI.

Sahara,Topan, 2004, Potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Sebagai Sumber Penerimaan Daerah Kabupaten Malang, Skripsi, Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang.

Samudra, A. Ashari. 1995. Perpajakan di Indonesia (Keuangan Pajak dan Retribusi). Cetakan I, Gramedia. Jakarta.

Sugiono.(2008). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif R&D. Bandung: Alfabeta

Wibowo, D. 2013. “Pengaruh Pendapatan Perkapita, Economic Growth Rate, Economic Structure, Dan Tax Rate Terhadap Tax Ratio Pada Negara-Negara OECD Dan Indonesia”, Jurnal Akuntansi. Universitas Jember.

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penilaian tersebut akan diumukan pada penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU Pengadaan Tanah,

THE VOCATIONAL HIGH SCHOOL STUDENTS’ PERCEPTIONS AND PREFERENCES ON TEACHER’S WRITTEN FEEDBACK THESIS NADIAH AMELIA NIM 180210401028 ENGLISH EDUCATION STUDY PROGRAM LANGUAGE AND