MAKALAH
ANALISIS PERBANDINGAN STATUS ANAK DILUAR NIKAH DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Hukum Perdata Dosen Pengampu : Prof.Dr.H.Syahruddin Nawi, SH.,MH
OLEH:
ANDI ANGGUN FADHILAH MULIANDINI 040 2021 0458
Kelas : C1
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR
2024
ii KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, pada kesempatan yang berbahagia ini Allah telah berkenan melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas pada mata kuliah Perbandingan Hukum Perdata. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Analisis Perbandingan Status Anak Diluar Nikah Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. H. Syaharuddin Nawi, S.H.,M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Perbandingan Hukum Perdata. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Saya juga mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya serta teman-teman saya yang telah memberikan motivasi.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
iii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I... 4
A. Latar Belakang Masalah ... 4
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
BAB II PEMBAHASAN ... 7
A. Status Anak Diluar Nikah dalam Hukum Islam ... 7
B. Status Anak Diluar Nikah dalam Hukum Positif Indonesia ... 8
BAB III PENUTUP ... 12
A. Kesimpulan ... 12
DAFTAR PUSTAKA ... 13
4 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang bersifat privat namun memiliki dampak yang luas bagi kehidupan manusia.
Pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk menyambung keturunan yang kelak akan dijadikan ahli waris. Keinginan mempunyai anak bagi setiap pasangan suami isteri merupakan naluri insani dan secara fitrah anak-anak tersebut merupakan amanah Allah SWT kepada suami isteri tersebut. Kehadiran seorang anak merupakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami isteri dan keluarganya, karena anak merupakan buah perkawinan yang suci dan sebagai landasan keturunan bagi suatu keluarga itu selanjutnya. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang utuh.
Kaitannya dengan anak hasil dari perkawinan, ternyata banyak anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Istilah penyebutan anak yang lahir di luar perkawinan, lazim disebut “anak luar kawin” atau “anak luar nikah”. Kedua istilah tersebut mempunyai maksud yang sama yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Dalam penelitian ini, penulis memakai istilah “anak luar nikah”, sehingga penyebutan selanjutnya dengan “anak luar kawin” adalah mempunyai maksud yang sama dalam kedua istilah tersebut oleh karenanya keduanya penulis gunakan secara bergantian. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) mengenal dua macam status anak, yaitu anak sah dan anak luar kawin, sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 42 Undang-undang Perkawinan, bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
Sedangkan anak luar kawin terdapat dalam Pasal 43 Undang-undang Perkawinan, menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar
5 perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.
Anak yang dilahirkan dari perkawinan siri menurut hukum negara dianggap anak yang tidak sah atau luar perkawinan karena tidak ada bukti pencatatan perkawinan berupa akta nikah. Sehingga anak dari perkawinan siri dapat saja diingkari oleh suami dan suami tidak mau menjalankan kewajiban sebagai orang tua untuk memelihara anak tersebut. Sehingga semua kewajiban menjadi beban isteri (ibu dari anak tersebut) dan keluarga dari pihak isteri (sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 43 UUP).
Kondisi inilah yang mendorong Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusannya yang mana dalam rangka uji materiil terhadap Pasl 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan. Hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai jalan untuk menyelesaikan persoalan status hukum dan perlindungan hukum bagi seorang anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah.
Namun putusan Mahkamah Konstitusi nyatanya menimbulkan konflik tersendiri di mata masyarakat, diantaranya ialah Mahkamah Konstitusi tidak membedakan antara anak yang lahir karena perkawinan siri maupun anak perbuatan zina dan bertentangan dengan Undang-Undang negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimakanai menghilangkan hubungan perdata dengan lakilaki yang mana dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata memiliki hubungan darah sebagai ayahnya.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia sebagai Majelis Agama Islam di Indonesia memberikan respon terhadap putusan tersebut dengan mengeluarkan fatwa No.11 Tahun 2012, bahwasanya anak luar kawin sama halnya dengan anak yang dilahirkan dari perbuatan zina yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Perbedaan makna yang terjadi di antara putusan Mahkamah Konstitusi dan Majelis Ulama Indonesia menimbulkan ambigiusitas terhadap pelaksanaan perkawinan dan kedudukan anak zina di Indonesia.
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganalisa lebih lanjut permasalahan tersebut dalam bentuk
6 tugas akhir mata kuliah Perbandingan Hukum Perdata dengan judul
“Analisis Perbandingan Status Anak Diluar Nikah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah Status Anak Diluar Nikah dalam Hukum Islam?
2. Bagaimanakah Status Anak Diluar Nikah dalam Hukum Positif Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami status anak diluar nikah dalam hukum islam
2. Untuk mengetahui dan memahami status anak diluar nikah dalam hukum positif Indonesia
7 BAB II
PEMBAHASAN
A. Status Anak Diluar Nikah dalam Hukum Islam
Dalam terminologi fikih tidak ditemukan istilah “anak di luar nikah”. Ulama fikih menggunakan istilah anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan anak zina. Anak zina adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan tidak halal. Hubungan tidak halal yaitu hubungan badan antara dua orang yang tidak terikat tali perkawinan dan tidak memenuhi syarat dan rukunnya (Makluf, 1976).
Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan ada dua pengertian anak yang sah. Pertama, anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Kedua, anak hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Anak di luar nikah dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah. Menurut imam Malik dan Syafi’i, anak yang lahir setelah enam bulan dari pernikahan ibu dan ayahnya, anak itu dinasabkan kepada ayahnya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah tetap dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah (Hasan, 1997). Kedua, anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah.
Kedudukan anak menurut hukum Islam sebagai mana termuat dalam Kompilasi Hukum Islam pada prinsipnya memiliki pandangan yang sama dengan UU perkawinan, karena Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam Mengandung rumusan yang tidak berbeda dengan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, dimana seorang anak luar kawin hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, seorang suami memiliki hak untuk mengingkari anak yang dilahikan oleh istrinya dengan meneguhkannya melalui lembaga li’an.
Status anak di luar nikah dalam kategori kedua disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an. Anak yang lahir dalam kategori ini memiliki akibat hukum:
8 1. Tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, melainkan mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Ayahnya tidak ada kewajiban memberi nafkah kepada anak tersebut, namun secara biologis adalah anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
2. Tidak saling mewarisi harta dengan ayahnya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab mendapat warisan.
3. Ayah tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah. Apabila anak di luar nikah kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh ayah biologisnya. (Syarifuddin, 2002) .
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 186 menegaskan bahwa:
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”
Menurut Imam Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan siapa saja yang tidur dengan ibunya. Bila dilahirkan di luar perkawinan, menurut Abu Hanifah, anak tersebut meski tidak menjadi wali nasab tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui pernikahan.
B. Status Anak Diluar Nikah dalam Hukum Positif Indonesia
Menurut Pasal 272 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada bukunya Hukum Waris dikatakan anak yang terlahir diluar perkawinan yang sah, dalam hal ini anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam perkawinan yang sah dengan ibu dari si anak tersebut. Maka dari itu status anak tersebut berkedudukan sebagai anak yang tidak sah secara hukum. KUH Perdata dalam hal ini menyebut anak diluar nikah disebut dengan Naturlijk Kind (Anak Alam).
Menurut kacamata dari KUH Perdata, anak yang dihasilkan diluar perkawinan yang sah tidak bisa serta merta mempunyai hubungan hukum kepada Ayah atau Ibu nya. Walaupun dari segi biologis mempunyai kemiripan, secara yuridis Ayah atau Ibu nya tidak memiliki hak dan kewajiban terhadap anak diluar perkawinan yang sah
9 tersebut. Namun pada Pasal 272 KUH Perdata terdapat pengecualian
“Kecuali anak-anak yang yang dibenihkan dalam zina, atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan diluar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan undang-undang.
Menurut pandangan KUHP Perdata, status hukum anak diluar nikah mempunyai 3 tingkatan status hukum. Yaitu (a) Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua orangtuanya; (b) Anak di luar pekawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orangtuanya dan (c) Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orangtuanya melangsungkan perkawinan sah.
Hal tersebut menjelaskan bahwa apabila anak yang lahir diluar pernikahan yang sah ingin memperoleh hak nya terkhusus dalam hal kewarisan, maka harus mendapatkan sebuah pengakuan dari kedua orang tua nya.
Pada prinsip nya, antara anak yang lahir dari pernikahan yang sah dengan anak yang lahir diluar pernikahan yang sah itu sama kedudukannya. Kedua nya berhak mendapatkan perlindungan undang- undang dari negara yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Meskipun memiliki kedudukan yang sama pada umumnya, tetapi kita juga harus meninjau dari Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa “Anak yang lahir diluar perkawinan yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Hal ini sejalan dengan prinsip yang ada pada hukum Islam dalam memandang kedudukan anak luar kawin yang otomatis memiliki hubungan hukum dengan ibunya tanpa perlu adanya pengakuan dari si ibu.
Lahirnya anak luar kawin menimbulkan beberapa konsekuensi, diantaranya karena tidak adanya keharusan tanggung jawab dari pihak ayah maka dikhawatirkan hak anak luar kawin tersebut tidak terpenuhi.
Potensi kerugian bagi anak yang terutama adalah tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandungnya (bapak biologis), yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Setiap anak yang dilahirkan, tidak seharunya menerima kerugian akibat tindakan dari kedua orang tuanya. Baik anak sah maupun anak luar kawin, seharusnya memiliki hak yang sama
10 tanpa terpengaruh oleh sah atau tidaknya perkawinan kedua orang tuanya.
Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut memutuskan bahwaPasal 43ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945, anak yang lahir di luar nikah hanya memiliki satu hubungan perdata dengan ibu serta keluarga ibunya serta dengan laki-laki yang merupakan ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmiah dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Dengan dikeluarkannya PMK tersebut, maka anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dapat menjalin hubungan perdata dengan ayahnya, selama dapat didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi dan / atau bukti hubungan darah lainnya yang terbukti secara hukum, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayah.
Dasar hukum MK dalam memutuskan perkara Nomor 46/PUU- VIII/2010 tentang status anak diluar nikah yakni, Mahkamah Konstitusi mengadopsi kebijakan dan pertimbangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi :
“ Anak yang lahir di luar perkawinan hanya boleh memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya “
Pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan didirikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945. Dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.Selama diartikan menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca :
“ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya “
Mahkamah Konstitusi mendasarkan kepada prinsip “equality before the Law” yaitu prinsip “persamaan di hadapan hukum” prinsip ini
11 terdapat di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) yang berbunyi:
“ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi "
serta Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi:
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum ”.
Prinsip equality before the law atau persamaan di depan hukum sangat penting, karena realitas yang ada menunjukkan bahwa anak- anak yang lahir di luar nikah selalu diperlakukan dengan diskriminasi dan penuh perlakuan tidak adil.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2012 ini dikeluarkan dengan berbagai pertimbangan, yaitu: pertimbangan moral, pertimbangan hukum dan pertimbangan kemaslahatan. Pertimbangan- pertimbangan tersebut menjamin hak setiap warga negara agar tidak dilanggar oleh pihak lain, terutama oleh negara, karena hak hidup dan mendapat penghidupan yang layak setiap warga negara dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun1945.
Putusan MK tersebut merupakan bentuk pembaruan hukum keluarga diIndonesia yang bisa dilakukan dengan berbagai putusan pengadilan.
12 BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Status anak luar nikah dalam hukum Islam yaitu anak tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, melainkan mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Ayahnya tidak ada kewajiban memberi nafkah kepada anak tersebut, namun secara biologis adalah anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum, tidak saling mewarisi harta dengan ayahnya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab mendapat warisan. Serta ayah tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah.
Apabila anak di luar nikah kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh ayah biologisnya.
Sedangkan status anak diluar nikah dalam hukum positif Indonesia, anak yang dihasilkan diluar perkawinan yang sah tidak bisa serta merta mempunyai hubungan hukum kepada Ayah atau Ibu nya.
Walaupun dari segi biologis mempunyai kemiripan, secara yuridis Ayah atau Ibu nya tidak memiliki hak dan kewajiban terhadap anak diluar perkawinan yang sah tersebut. Namun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2012 maka status anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Putusan MK tersebut merupakan bentuk pembaruan hukum keluarga diIndonesia yang bisa dilakukan dengan berbagai putusan pengadilan.
13 DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Anthin Lathifah & Briliyan E. W. (2023). Perkawinan Anak dan Problematikanya dalam Hukum di Indonesia. Alinea.
Jurnal Hukum / Artikel Hukum
Dewi Noviarni. (2023). KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM
PANDANGAN HUKUM ISLAM. Jurnal Hukum Keluarga Islam, 3(1), 85.
Sarah Qosim. (2022). Status Anak di Luar Pernikahan Menurut Hukum Islam. Adalah Buletin Hukum & Keadilan, 6(3).
Internet
Rusnaniyar S.AP. (2024, 25 Februari). Status Anak Diluar Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam. Diakses dari RRI.co.id - Status Anak di Luar Nikah dalam Persepktif Hukum Islam.pada tanggal 11 Desember 2024
Muhammad Lazuardi. W. (2024,12 Mei). Status Hukum Anak Diluar Nikah Menurut Hukum Positif .Kumparan.com. Diakses pada tanggal 07 Desember 2024