Maura Putri Kenanga1, Santi Deliani Rahmawati2, Tuti Surtimanah3, Yeni Mahwati4, Sri Komalaningsih5
1Mahasiswa Sarjana Kesehatan Masyarakat, STIKes Dharma Husada email: [email protected]
2Dosen Sarjana Kesehatan Masyarakat, STIKes Dharma Husada email: [email protected]
3Dosen Sarjana Kesehatan Masyarakat, STIKes Dharma Husada email: [email protected]
4Dosen Sarjana Kesehatan Masyarakat, STIKes Dharma Husada email: [email protected]
5Dosen Sarjana Kesehatan Masyarakat, STIKes Dharma Husada email: [email protected]
Abstract
Stunting is still a nutritional problem in Indonesia. SSGI research results, in 2022 the prevalence of stunting in West Java will still be at 24.5%. Families at risk of stunting is an approach from the national action plan in the national strategy to accelerate stunting reduction. The research objective was to spatially describe families at risk of stunting with a stunting prevalence in West Java Province in 2022. The research design was an ecological study with a spatial approach, with a population and sample of 27 districts/cities. Univariate and bivariate data analysis, with the Bivariate Local Moran's I (LISA) test using GeoDa software. There is an overall spatial relationship between families at risk of stunting and the prevalence of stunting where the autocorrelation is positive and strong I=0.361 with significant cluster areas, namely Tasikmalaya Regency (HH), Cianjur Regency (HH), Sumedang Regency (LH), and Bogor Regency (HL) . It was also found that there is an overall spatial relationship between families at risk of stunting accompanied by poverty status and prevalence of stunting where the autocorrelation is positive and strong I=0.155 with significant cluster areas, namely Bogor Regency (HH), Cianjur Regency (HH), Sumedang Regency (HH), Sumedang Regency (HH), Sukabumi City (HH), and Cianjur Regency (HH). In areas with negative autocorrelation, namely Sukabumi City (LH) and Bogor Regency (HL). It is hoped that the government can make this a reference for priority areas to accelerate the acceleration of stunting reduction.
Keywords: stunting, families at risk of stunting, spatial
ANALISIS SPASIAL KELUARGA BERISIKO STUNTING DENGAN KEJADIAN STUNTING DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2022
(Studi Pada Data Pendataan Keluarga Dan Pemutakhirannya Serta Survey Status Gizi Indonesia Tahun 2022)
Abstrak
I. PENDAHULUAN
Dalam rangka menyongsong Indonesia Sejahtera Tahun 2025, dan Generasi Emas Tahun 2045, Indonesia harus mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, pada saat ini Indonesia masih dihadapkan pada berbagai permasalahan seperti kemiskinan, masalah gizi, dan kesehatan. Salah satu masalah gizi yang belum terselesaikan hingga saat ini adalah stunting.[1]
Laporan WHO menyebutkan prevelensi balita yang mengalami stunting di dunia tahun 2019 sekitar 144 juta anak (21,3%). Dilansir dari UNICEF, jumlah ini tertinggi diantara jumlah malnutrisi lain wasting sebanyak 47 juta (5,9%) dan overwight sebanyak 38 juta anak (5,6%).[2]
Asia Tenggara merupakan wilayah benua Asia ke-2 paling banyak yang memiliki proporsi anak stunting, yaitu sebanyak 13,9 juta anak (24,7%).[3] Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), proporsi balita di Indonesia dengan kasus stunting adalah 27,7% pada tahun 2019, 24,4% tahun 2021, dan 21,6% tahun 2022. Sedangkan, provinsi Jawa Barat prevalansi stuntingnya yaitu 24,5% di tahun 2021 dan 20,2% di tahun 2022.[4]
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024, program penurunan stunting menjadi proyek besar yang diprioritaskan untuk mencapai target penurunan prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2024 sebesar 14%.[5] Pemerintah,
dimana Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ditunjuk menjadi leading sector, perlu menyusun strategi dan metode baru yang lebih kolaboratif dan berkesinambungan dalam pelaksanaan program percepatan penurunan stunting. Dalam pelaksanaan strategi nasional percepatan penurunan stunting, maka disusun rencana aksi nasional melalui pendekatan keluarga berisiko stunting.[6]
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stunting
Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021.[7] Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan
Stunting masih menjadi salah satu masalah gizi di Indonesia. Hasil riset SSGI, di tahun 2022 prevalensi stunting di Jawa Barat masih ada di angka 24,5%. Keluarga Berisiko stunting merupakan pendekatan dari rencana aksi nasional dalam strategi nasional percepatan penurunan stunting. Tujuan penelitian adalah menggambarkan secara spasial keluarga berisiko stunting dengan prevalesni stunting di Provinsi Jawa Barat tahun 2022.
Rancangan penelitian adalah studi ekologi dengan pendekatan spasial, dengan populasi dan sample 27 kabupaten/kota. Analisa data secara univariat dan bivariat, dengan uji Bivariate Local Moran’s I (LISA) menggunakan software GeoDa. Terdapat hubungan spasial secara menyeluruh terhadap keluarga berisiko stunting dengan prevalensi stunting dimana autokorelasi positif dan kuat hubungan I=0,361 dengan wilayah cluster signifikan yaitu Kabupaten Tasikmalaya (HH), Kabupaten Cianjur (HH), Kabupaten Sumedang (LH), dan Kabupaten Bogor (HL). Ditemukan juga terdapat hubungan spasial secara menyeluruh keluarga berisiko stunting disertai status kemiskinan dengan prevalensi stunting dimana autokorelasi positif dan kuat hubungan I=0,155 dengan wilayah cluster signifikan yaitu Kabupaten Bogor (HH), Kabupaten Cianjur (HH), Kabupaten Sumedang (HH), Kabupaten Sumedang (HH), Kota Sukabumi(HH), dan Kabupaten Cianjur (HH). Pada wilayah dengan Autokorelasi negatif, yaitu Kota Sukabumi (LH) dan Kabupaten Bogor (HL). Pemerintah diharapkan bisa menjadikan hal ini sebagai acuan untuk wilayah prioritas percepatan percepatan penurunan stunting.
Kata Kunci: stunting, keluarga berisiko stunting, spasial
kerugian ekonomi jangka panjang bagi
Indonesia.[8]
Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang dan tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur disebabkan oleh faktor multidimensi yaitu faktor gizi yang buruk yang dialami balita, kekurangan pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi, berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit.[9]
Sebagian besar literatur menjelaskan permasalahan Stunting bukan hanya disebabkan oleh masalah kesehatan saja, tetapi juga dipengaruhi oleh masalah sosial, ekonomi, dan juga politik.[10]
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eko Setiawan, Rizanda Machmud, dan Masrul tingkat asupan energi, rerata durasi sakit, berat badan lahir, tingkat pendidikan ibu , dan tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Stunting pada balita.[11]
Peneltian lain yang dilakukan oleh Ezalina, Ulfa Hasanah, dan Eka Malfasari menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan balita, pengasuhan anak, riwayat penyakit menular, kunjungan ibu ke pelayanan kesehatan, tingkat pendidikan ibu, dan tingkat pendapatan keluarga dengan prevalensi Stunting.[12]
Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan oleh Feni Adriany, Hayana, Nurhapipa, Winda Septiani, dan Nila Puspita Sari air bersih, pengolahan makanan dan kebiasaan mencuci tangan terdapat hubungan dengan kejadian Stunting.[13]
Kejadian Stunting merupakan masalah kesehatan yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyebab langsung kejadian Stunting yakni, pemberian ASI ekslusif, asupan energi, dan riwayat penyakit infeksi. Pada penyebab tidak langsung kejadian Stunting yakni pola asuh dan kesehatan lingkungan.
Status ekonomi menjadi akar masalah dari kejadian Stunting ini.[11]–[13]
Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) dalam
penanggulangan Stunting pada balita adalah dengan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu) melalui Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Beberapa program penanggulangan Stunting yang telah dilakukan diantaranya adalah Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang diberikan pada balita dan ibu hamil, Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) yang diberikan pada remaja putri dan ibu hamil, Peningkatan cakupan imunisasi dasar lengkap dengan sasaran bayi dan balita, Pemberian vitamin A pada balita, dan Pemberian zinc pada kasus diare terutama pada ibu hamil dan balita.[14]
Berdasarkan Perpres 72 Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stnting, intervensi gizi spesifik adalah kegiatan yang dialksanakan untuk mengatasi penyebab langsung terjadinya Stunting. Sedangkan, intervensi sensitif adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab tidak langsung terjadinya Stunting.[15]
2.2. Keluarga Berisiko Stunting
Keluarga sasaran yang memiliki faktor risiko untuk melahirkan anak Stunting, dengan penapisan faktor risiko yang dilibatkan adalah akses sumber air minum dan jamban yang layak, serta kondisi PUS 4 Terlalu (terlalu muda, terlalu tua, terlalu dekat, dan terlalu banyak) dan kesertaan KB modern. Sehingga, keluarga sasaran dikatakan berisiko Stunting:[16]
1) Jika “bukan PUS", minimal 1 faktor risiko penapisan jamban atau sumber air minum tidak layak; atau
JIKA "PUS", minimal 1 faktor risiko penapisan jamban atau sumber air minum tidak layak atau minimal 1 faktor risiko dari PUS 4 Terlalu terpenuhi dan BUKAN PESERTA KB MODERN ((1) peserta KB tradisional atau (2) bukan peserta KB)
2.2. Analisis Spasial
Data spasial adalah data yang memuat adanya informasi lokasi atau geografis dari suatu wilayah. Menurut De Mers dalam Budiyanto, analisis spasial mengarah pada banyak macam operasi dan konsep termasuk perhitungan sederhana, klasifikasi, penataan, tumpang-susun geometris, dan pemodelan kartografis.[17] Secara umum analisis spasial membutuhkan suatu data data yang
berdasarkan lokasi dan memuat karakteristik
dari lokasi tersebut. Analisis spasial terdiri dari tiga kelompok yaitu visualisasi, eksplorasi, dan pemodelan.Visualisasi adalah menginformasikan hasil analisis spasial.
Eksplorasi adalah mengolah data spasial dengan metode statistika.[18] Sedangkan pemodelan adalah menunjukkan adanya konsep hubungan sebab akibat dengan menggunakan metode dari sumber data spasial dan data non spasial untuk memprediksi adanya pola spasial.[17] Lokasi pada data spasial harus diukur agar dapat mengetahui adanya efek spasial yang terjadi.
Autokorelasi spasial adalah taksiran dari korelasi antar nilai amatan yang berkaitan dengan lokasi spasial pada variabel yang sama. Autokorelasi spasial positif menunjukkan adanya kemiripan nilai dari lokasi-lokasi yang berdekatan dan cenderung berkelompok. Sedangkan autokorelasi spasial yang negatif menunjukkan bahwa lokasi- lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang berbeda dan cenderung menyebar.
Pengukuran autokorelasi spasial untuk data spasial dapat dihitung menggunakan metode Moran’s Index (Indeks Moran), Geary’s C, dan Tango’s excess.[17] Pada penelitian ini metode analisis hanya dibatasi pada metode Moran’s Index (Indeks Moran).
Indeks Moran (Moran’s I) merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menghitung autokorelasi spasial secara global. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi permulaan dari keacakan spasial.
Keacakan spasial ini dapat mengindikasikan adanya pola-pola yang mengelompok atau membentuk tren terhadap ruang.[19]
Moran Scatterplot adalah alat yang digunakan untuk melihat hubungan antara nilai pengamatan yang terstandarisasi dengan nilai rata-rata tetangga yang sudah terstandarisasi. Jika digabungkan dengan garis regresi maka hal ini dapat digunakan untuk mengetahui derajat kecocokan dan mengidentifikasi adanya outlier.[18] Moran Scatterplot dapat digunakan untuk mengidentifikasi keseimbangan atau pengaruh spasial.[20]
Pada analisis spasial dapat diidentifikasi koefisien autocorrelation secara lokal yang menggunakan LISA (Local Indicator of Spatial
Autocorrelation). LISA digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana hubungan antara suatu lokasi pengamatan dengan lokasi pengamatan lainnya.[21] Menurut hubungan spasial sesuai dengan nilai LISA dapat diklasifikasikan menjadi 4 hubungan spasial sebagai high-high, low-high, high-low, dan low-low.[22]
Salah satu analisis LISA yaitu analisis bivariat LISA moran I. Analisa bivariat LISA moran I digunakan untuk mengukur seberapa besar korelasi suatu variabel dengan variabel lainnya dengan menggunakan “spatial lag” atau nilai rata-rata pada lokasi terdekat dari variabel berbeda. Bivariate LISA moran I digunakan juga untuk mengukur linearitas (positif atau negatif) dari dua variabel. Korelasi bivariate Lisa moran I berada pada rentang -1, 0, dan +1.
Nilai yang mendekati -1 diartikan bahwa korelasi negatif kuat, nilai mendekati 0 mengindikasikan tidak ada korelasi, dan nilai yang mendekati nilai +1 dapat diartikan sebagai korelasi positif kuat.[23]
Bivariate LISA (Local Indicators of Spatial Association) adalah metode statistik yang digunakan dalam analisis data spasial untuk mengidentifikasi cluster dengan nilai yang sama dalam dua variabel yang berbeda. Ini adalah perluasan dari metode LISA univariat, yang mengidentifikasi cluster dengan nilai serupa dalam satu variabel. LISA bivariat menghitung korelasi antara dua variabel di setiap lokasi dan mengidentifikasi kelompok lokasi yang korelasinya tinggi. Metode ini berguna untuk mengidentifikasi pola spasial dan hubungan antara dua variabel, seperti hubungan antara curah hujan dan hasil panen atau hubungan antara polusi udara dan penyakit pernafasan. LISA bivariat umumnya digunakan dalam bidang-bidang seperti epidemiologi, ilmu lingkungan, dan perencanaan kota.[24]
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain studi ekologi yang menggunakan data sekunder dari survey status gizi Indonesia Provinsi Jawa Barat dan pemutakhiran pendataan keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional tahun 2022. Penelitian ini menggunakan pendekatan waktu cross sectional. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh kab/kota wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat pada tahun 2022 sebanyak 27 kota/kabupaten.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Proporsi keluarga berisiko Stunting dengan kategori sangat rendah terdapat di Kota Banjar sebesar 17,17% namun proporsi sunting tinggi
sebesar 19,3%. Proporsi keluarga berisiko Stunting sangat tinggi terdapat di Kota Sukabumi sebesar 54,80% dan prevalensi Stunting kategori tinggi sebesar 19,2%.
Prevalensi Stunting sangat rendah yaitu 6%
terdapat di Kota Bekasi dengan proporsi keluarga berisiko Stunting menunjukan kategori rendah 25,41%. Prevalensi Stunting sangat tinggi yaitu 27,6% terdapat di Kabupaten Sumedang namun proporsi keluarga berisiko Stunting rendah yaitu 25,28%.
Bivariat Moran’s scatterplot antara proporsi Keluarga Berisiko Stunting dengan Prevalensi Stunting memiliki autokorelasi spasial positif kuat (I=0,361) dengan E[I] = -0,0385 yang berarti sebagian besar kabupaten/kota tersebar di kuadran I dan III.
Bagan 1 Kerangka Teori
Gambar 1 Peta Sebaran Keluarga Berisiko Stunting pada Peta Sebaran Prevalensi Stunting Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2022
Gambar 2 Moran’s Scatterplot Stunting dan Keluarga Berisiko Stunting
Gambar 3 Peta Signifikasi Hasil Uji Bivariat LISA Keluarga Berisiko Stunting dengan Prevalensi Stunting
Berdasarkan gambar 3 terlihat bahwa Kabupaten Bogor, Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sumedang signifikan pada 0,05. Kabupaten Cianjur signifikan pada 0,01.Dilihat dari gambar 4.17 Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Cianjur berada pada kuadran High-High (HH) yang merupakan kabupaten dengan prevalensi Stunting tinggi dan dikelilingi oleh wilayah yang mempunyai proporsi keluarga berisiko Stunting tinggi pula. Kabupaten Sumedang berada pada kuadran Low-High (LH) yang merupakan kabupaten dengan prevalensi Stunting rendah dan dikelilingi oleh wilayah yang mempunyai proporsi keluarga berisiko Stunting tinggi. Sedangkan, Kabupaten Bogor berada pada kuadran High-Low (HL) yang merupakan kabupaten dengan prevalensi Stunting tinggi dan dikelilingi oleh wilayah yang mempunyai proporsi keluarga berisiko Stunting rendah.
4.2 Pembahasan
Proporsi keluarga berisiko Stunting dengan kategori sangat rendah terdapat di Kota Banjar sebesar 17,17% namun proporsi sunting tinggi sebesar 19,3%. Proporsi keluarga berisiko Stunting sangat tinggi terdapat di Kota Sukabumi sebesar 54,80%
dan prevalensi Stunting kategori tinggi sebesar 19,2%. Prevalensi Stunting sangat rendah yaitu 6% terdapat di Kota Bekasi dengan proporsi keluarga berisiko Stunting menunjukan kategori rendah 25,41%.
Prevalensi Stunting sangat tinggi yaitu 27,6%
terdapat di Kabupaten Sumedang namun
proporsi keluarga berisiko Stunting rendah yaitu 25,28%.
Mengetahui proporsi dari keluarga berisiko Stunting per wilayah bermanfaat untuk menentukan fokus kabupaten/kota mana saja yang perlu di perketat program percepatan penurunan Stunting dengan pendekatan keluarga berisiko Stunting.
Berdasarkan hasil analisis spasial bivariat LISA antara Proporsi keluarga berisiko Stunting dengan Prevalensi Stunting terdapat empat kabupaten/kota yang signifikan terjadi autokorelasi spasial positif kuat yang artinya pola berkelompok I=0,361 dengan E[I] = - 0,0385, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Sumedang.
Kabupaten Bogor terdapat hubungan autokorelasi negatif High-Low (HL) dan signifikan pada p=0,05. Dimana hal itu memiliki arti tingginya prevalensi Stunting di Kabupaten Bogor terdapat hubungan spasial terhadap rendahnya Proporsi keluarga berisiko Stunting di daerah sekitar Kabupaten Bogor (neighbours). Daerah sekitar (neighbours) Kabupaten Bogor meliputi Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Bogor.
Pada Kabupaten Tasikmalaya terdapat hubungan autokorelasi positif High-High (HH) dan signifikan pada p=0,05. Dimana hal itu memiliki arti tingginya prevalensi Stunting di Kabupaten Tasikmalaya terdapat hubungan spasial terhadap tingginya Proporsi keluarga berisiko Stunting di daerah sekitar Kabupaten Tasikmalaya (neighbours). Daerah sekitar (neighbours) Kabupaten Tasikmalaya meliputi Kabupaten Majalengka, Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Garut, dan Kota Tasikmalaya.
Pada Kabupaten Cianjur terdapat hubungan autokorelasi positif High-High (HH) dan signifikan pada p=0,01. Dimana hal itu memiliki arti tingginya prevalensi Stunting di Kabupaten Cianjur terdapat hubungan spasial terhadap tingginya Proporsi keluarga berisiko Stunting di daerah sekitar Kabupaten Cianjur (neighbours). Daerah sekitar (neighbours) Kabupaten Cianjur meliputi Kabupaten Bandung Barat, Gambar 4 Peta Cluster Hasil Uji Bivariat
LISA Keluarga Berisiko Stunting dengan Prevalensi Stunting
Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung,
Kabupaten Garut, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi.
Pada Kabupaten Sumedang terdapat hubungan autokorelasi positif Low-High (LH) dan signifikan pada p=0,05. Dimana hal itu memiliki arti rendahnya prevalensi Stunting di Kabupaten Sumedang terdapat hubungan spasial terhadap tingginya Proporsi keluarga berisiko Stunting di daerah sekitar Kabupaten Sumedang (neighbours). Daerah sekitar (neighbours) Kabupaten Sumedang meliputi Kabupaten Majalengka, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Bandung.
Wilayah prioritas pertama untuk penurunan Stunting yakni Kabupaten Tasikmalaya karena berada di wilayah High- High (HH). Wilayah ini memiliki ketetanggan dengan karakteristik yang sama sehingga untuk mengintervensi Kabupaten Tasikmalaya, pemerintah juga perlu mengintervensi wilayah ketetanggaannya (neighbours). Dilihat dari Gambar 4.2 Persebaran Stunting di kabupaten/kota sekitar Kabupaten Tasikmalaya termasuk kategori tinggi hingga sangat tinggi. Selnjutnya, dilihat dari Gambar 4.4 persebaran Baduta pada Keluarga Berisiko Stunting di kabupaten/kota sekitar Kabupaten Tasikmalaya termasuk kategori sangat tinggi.
Pada Gambar 4.5 persebaran Balita pada Keluarga Berisiko Stunting di kabupaten/kota sekitar Kabupaten Tasikmalaya termasuk kategori tinggi hingga sangat tinggi. Pada Gambar 4.7 persebaran PUS Hamil pada Keluarga Berisiko Stunting di kabupaten/kota sekitar Kabupaten Tasikmalaya termasuk kategori sangat tinggi. Pada Gambar 4.11 – Gambar 4.13 persebaran “4T” Terlalu Tua, Terlalu Dekat dan Telalu Banyak pada Keluarga Berisiko Stunting di kabupaten/kota sekitar Kabupaten Tasikmalaya termasuk kategori sangat rendah.
Wilayah prioritas selanjutnya untuk penurunan Stunting yaitu Kabupaten Cianjur karena berada di wilayah High-High (HH).
Wilayah ini memiliki ketetanggan dengan karakteristik yang sama sehingga untuk mengintervensi Kabupaten Cianjur, pemerintah juga perlu mengintervensi
wilayah ketetanggaannya (neighbours). Pada Gambar 4.11 dan Gambar 4.12 persebaran
“4T” Terlalu Tua dan Terlalu Dekat pada Keluarga Berisiko Stunting di kabupaten/kota sekitar Kabupaten Cianjur termasuk kategori rendah hingga sangat rendah.
Dari beberapa karakteristik wilayah tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah- wilayah yang memiliki autokorelasi spasial positif terdapat kemiripan. Selanjutnya, diperlukan analisis autokorelasi terhadap masing-masing wilayah yang signifikan untuk menentukan daerah tetangga (neighbours).
Daerah tetangga ini juga menjadi pertimbangan untuk dilakukan atau tidaknya intervensi pada wilayah tersebut, karena kabupaten/kota yang berdekatan akan mempengaruhi kondisi wilayah yang signifikan tadi.
Salah satu strategi percepatan penurunan Stunting adalah pendekatan keluarga melalui pendampingan keluarga berisiko Stunting. Pendampingan keluarga berisiko Stunting bertujuan untuk memberikan dukungan, edukasi, dan pelatihan kepada keluarga dengan anak-anak berisiko Stunting.[15]
Penelitian oleh Fatmaningrum pada tahun 2022 yang bertujuan menganalisis faktor pendukung dalam upaya percepatan penurunan Stunting dengan pendekatan keluarga berisiko Stunting di Kabupaten Jombang Jawa Timur menunjukan hasil terjadi penurunan kasus Stunting dari tahun 2020 ke tahun 2021 di Kabupaten Jombang dengan strategi yang diterapkan adalah edukasi kesehatan melalui kemandirian keluarga, gerakan masyarakat hidup sehat, gerakan seribu hari pertama kehidupan dan revitalisasi Posyandu.[25]
Dalam rangka percepatan penurunan Stunting, pendekatan keluarga berisiko Stunting menjadi penting karena dapat memberikan dukungan dan intervensi yang spesifik kepada keluarga yang berisiko Stunting. Dengan melibatkan keluarga secara aktif, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan implementasi praktik gizi yang baik, perbaikan kondisi lingkungan, serta akses terhadap layanan kesehatan yang memadai.
Berdasarkan pembahasan diatas maka diharapkan Pemerintah dapat menentukan fokus wilayah untuk mendapatkan pendampingan oleh Tim Pendamping Keluarga
secara optimal. Wilayah tersebut yaitu
Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Sumedang.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Determinan yang signifikan memiliki hubungan spasial secara menyeluruh terhadap prevalensi Stunting adalah keluarga berisiko Stunting dengan autokorelasi positif dan kuat hubungan I = 0,361. Secara lokal hubungan spasial antara variabel Stunting terhadap keluarga berisiko Stunting terdapat pada wilayah dengan Autokorelasi positif, yaitu Kabupaten Cianjur (HH) dan Kabupaten Sumedang (HH). Sedangkan, autokorelasi negatif Kabupaten Bogor (HL) dan Kabupaten Sumedang (LH). Rekomendasi untuk menetapkan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Tasikmalaya sebagai wilayah prioritas untuk penanganan Stunting di Provinsi Jawa Barat.
DAFTAR PUSTAKA
[1] A. Nurak and H. Bakri, “Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Pegunungan Bintang dalam Penanggulangan Stuntin,” JD, vol.
19, no. 1, pp. 58–64, Jul. 2022, doi:
10.58839/jd.v19i1.1101.
[2] S. Hartini, “Pemberian Makanan Bergizi Seimbang terhadap Kejadian Stunting pada Balita,” Journal of Telenursing (JOTING), vol. 4, no. 2, pp. 897–906, Dec. 2022.
[3] T. F. Zahrawani, E. Nurhayati, and Y.
Fadillah, “Hubungan Kondisi Jamban Dengan Kejadian Stunting Di Puskesmas CicalengkaTahun 2020,” J Integr Kes Sains, vol. 4, no. 1, pp. 1–5, Jan. 2022, doi: 10.29313/jiks.v4i1.7770.
[4] S. L. Munira, “Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022.” Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Feb. 03, 2023.
[5] T. Rahmawati and H. Harahap, “The Intervention Service Coverage on Convergence Action to Reduce Stunting in Riau Province Priority Districts, Indonesia,” Open Access Maced J Med Sci, vol. 10, no. T8, pp. 200–206, Jan.
2022, doi: 10.3889/oamjms.2022.9464.
[6] M. J. A. L. M. H. S. Sitti Wirdhana Ahmad, Rencana Aksi Daerah (RAD)
Upaya Penurunan Stunting Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2022-2024.
Penerbit Adab. [Online]. Available:
https://books.google.co.id/books?id=n32f EAAAQBAJ
[7] F. Sari and V. F. Rozi, “Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita di Kota Bengkulu,” Injection : Nursing Journal, vol. 2, no. 1, p. 9, 2022.
[8] Sutarto, D. Mayasari, and R. Indriyani,
“Stunting, Faktor Resiko dan Pencegahannya”.
[9] S. Arnita, D. Y. Rahmadhani, and M. T.
Sari, “Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu dengan Upaya Pencegahan Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Kawat Kota Jambi,” jab, vol. 9, no. 1, p. 7, Mar. 2020, doi:
10.36565/jab.v9i1.149.
[10] I. F. Ulfah and A. B. Nugroho, “Menilik Tantangan Pembangunan Kesehatan di Indonesia: Faktor Penyebab Stunting di Kabupaten Jember,” Sospol, vol. 6, no. 2, pp. 201–213, Oct. 2020, doi:
10.22219/sospol.v6i2.12899.
[11] E. Setiawan and R. Machmud, “Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018”.
[12] E. Ezalina, U. Hasana, and E. Malfasari,
“Analysis of Stunting Factors in Children Aged 24-59 Months during The Covid-19 Pandemic,” jks, vol. 17, no. 1, p. 36, Apr.
2022, doi: 10.20884/1.jks.2022.17.1.5134.
[13] F. Adriany, H. Hayana, N. Nurhapipa, W.
Septiani, and N. P. Sari, “Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Pengetahuan dengan Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah Puskesmas Rambah,” JKG, vol.
4, no. 1, pp. 17–25, Jan. 2021, doi:
10.33085/jkg.v4i1.4767.
[14] I. Kuswanti and S. Khairani Azzahra,
“HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU
TENTANG PEMENUHAN GIZI
SEIMBANG DENGAN PERILAKU
PENCEGAHAN STUNTING PADA
BALITA,” JKI, vol. 13, no. 1, Jan. 2022, doi: 10.36419/jki.v13i1.560.
[15] “Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun
2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting.”
[16] L. Widyastuti, “Penyampaian Dataset Keluarga Berisiko Stunting Hasil Pemutakhiran Pendataan Keluarga 2022.”
BKKBN, Mar. 15, 2023.
[17] E. Budiyanto, Sistem Informasi Geografis dengan ArcView GIS. Yogyakarta: Andi, 2010.
[18] T. Wuryandari, A. Hoyyi, D. S.
Kusumawardani, and D. Rahmawati,
“IDENTIFIKASI AUTOKORELASI
SPASIAL PADA
JUMLAHPENGANGGURAN DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN INDEKS MORAN,” Medstat, vol. 7, no. 1, pp. 1–
10, Jun. 2014, doi:
10.14710/medstat.7.1.1-10.
[19] R. Kosfeld, Spatial Econometric. 2006.
[Online]. Available:
http://www.scribd.com
[20] L. Anselin, Exploratory Spatial Data Analysis and Geographic Information Systems. National Center for Geographic Information and Analysis of California Santa Barbara: CA93106.
[21] N. P. Yuriantari and M. N. Hayati,
“Analisis Autokorelasi Spasialtitik Panas Di Kalimantan Timur Menggunakan Indeks Moran dan Local Indicator Of Spatial Autocorrelation (LISA),” vol. 8, 2017.
[22] M. R. Fauzi, “Ketimpangan, Pola Spasial, dan Kinerja Pembangunan Wilayah di Provinsi Jawa Timur,” JP2WD, pp. 157–
171, Oct. 2019, doi:
10.29244/jp2wd.2019.3.3.157-171.
[23] G. Grekousis, Spatial Analysis Methods and Practice: describe-explore-explain through GIS. Cambridge University Press, 2020.
[24] D. Novani, “EPIDEMIOLOGI SPASIAL KEJADIAN COVID-19 DI PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2020-202”.
[25] W. Fatmaningrum, S. R. Nadhiroh, A.
Raikhani, B. Utomo, L. Masluchah, and Patmawati, “ANALISIS SITUASI UPAYA PERCEPATAN PENURUNAN
STUNTING DENGANPENDEKATAN
KELUARGA BERISIKO STUNTING (Studi Kasus di Kabupaten Jombang Jawa
Timur),” MGI, vol. 17, no. 1SP, pp. 139–
144, Dec. 2022, doi:
10.20473/mgi.v17i1SP.139-144.