• Tidak ada hasil yang ditemukan

analisis yuridis putusan mahkamah konstitusi

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "analisis yuridis putusan mahkamah konstitusi"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

NOMOR 18/PUU-XVII/2019 TENTANG EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA TERHADAP DEBITUR WANPRESTASI DI INDONESIA

SKRIPSI

Oleh Jihadul Amry 21601021023

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM MALANG

MALANG 2020

(2)

viii

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVII/2019 TENTANG EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

TERHADAP DEBITUR WANPRESTASI DI INDONESIA Jihadul Amry

Universitas Islam Malang

Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan eksekusi jaminan fidusia terhadap debitur yang wanprestasi ditinjau dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Pilihan tema tersebut dilatar belakangi dengan adanya permasalahan-permasalahan yang dalam hal pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang kerap kali menimbulkan rasa ketidakadilan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkhusus dalam norma Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Ratio Decidendi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019? dan 2. Mekanisme eksekusi jaminan fidusia setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019?

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsepual, dan pendekatan analitis. Pengumpulan bahan hukum melalui metode studi literatur, dengan bahan hukum primer maupun sekunder. Selanjutnya bahan hukum yang ada dikaji dan dianalisis dengan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian untuk menjawab isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini.

Hasil penelitian ini, Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 18/PUU-XVII/2019 memberikan penafsiran terhadap norma yang terdapat dalam Pasal (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, eksekusi jaminan fidusia dilaksanakan tetap berdasarkan undang-undang ini sepanjang dalam pelaksanaannya terdapat keseimbangan hak hukum dengan ditandai dengan adanya kesepahaman antara kreditur dan debitur tentang kondisi cidera janji dan dalam pelaksanaan eksekusi, debitur menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Namun jika sebaliknya, apabila debitur tidak sukareka menyerahkan benda objek jaminan fidusia dan tidak terjadinya kesepahaman tentang kondisi cidera janji maka prosedur eksekusi jaminan dilakukan dengan putusan pengadilan dengan terlebih dahulu mengajukan gugatan di pengadilan negeri.

Penafsiran pasal semacam ini, diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dikarenakan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia banyak memberikan celah ketidakadilan dan ketidakseimbangan hak hukum antara pihak dan dalam pelaksanaannya seringkali menimbulkan kesewenang-wenangan salah satu pihak terhadap pihak yang lain.

Kata Kunci: Analisis Yuridis, Putusan Mahkamah Konstitusi, Jaminan Fidusia, Wanprestasi.

(3)

ix

JURIDICIAL ANALYSIS OF THE CONSTITUTIONAL COURT OF THE CONSTITUTION NUMBER 18/PUU-XVII/2019 CONCERNING EXECUTION FIDUSIAN GUARANTEE ON DEBTOR DEBTOR IN

INDONESIA Jihadul Amry

Faculty of Law, University of Islam Malang

In this thesis, the author raises the issue of fiduciary guarantee execution of debtors whose defaults are reviewed from the decision of the Constitutional Court Number 18/PUU-XVII/2019. The choice of the theme is motivated by the problems in the implementation of fiduciary guarantees that often lead to a sense of injustice mandated in Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees especially in the norms of Article 15 paragraphs (2) and (3) Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security.

Based on this background, the authors raise the problem formulation as follows: 1. Ratio Decidendi of the Constitutional Court in Decision Number 18/PUU-XVII/2019? and 2. The mechanism of execution of fiduciary guarantees after the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019?

This research is a normative juridical legal research using a statutory approach, conceptual approach, and analytical approach. Collection of legal materials through literature study methods, with primary and secondary legal materials. Furthermore, the existing legal material is reviewed and analyzed with approaches used in research to answer the legal issues raised in this study.

The results of this study, the Constitutional Court in its decision Number 18/PUU-XVII/2019 provided an interpretation of the norms contained in Articles (2) and (3) of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees. After Decision of the Constitutional Court Number 18/PUU-XVII/2019, the execution of fiduciary guarantees is carried out according to this Law as long as in its implementation there is a balance of legal rights marked by an understanding between the creditor and the debtor regarding the conditions of breach of contract and in the execution of the execution, the debtor submits voluntarily objects that become fiduciary collateral objects. However, if on the contrary, if the debtor does not voluntarily submit fiduciary collateral objects and there is no agreement on the conditions of the breach of contract, the guarantee execution procedure is carried out by a court decision by first submitting an application for execution in a district court.

The interpretation of this kind of article was decided by the Constitutional Court because in Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, there were many gaps in the injustice and imbalance of legal rights between the parties and in practice often caused the arbitrariness of one party to the other party.

Keywords : Juridical Analysis, The Rulling of The Constitutional Court, Fiduciary Guarantee, Default.

(4)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan Negara Hukum, hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang lama tentang Sistem Pemerintahan Negara, angka I dinyatakan: “Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat)”.1 Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa setiap tindakan negara haruslah berdasarkan hukum dan tidak boleh didasarkan pada kekuasaan belaka atau yang biasa di kenal dengan main hakim sendiri, supaya terwujudnya rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum pada tiap-tiap warga negaranya sebagaimana tujuan diciptakannya hukum itu sendiri.

Indonesia juga berasaskan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara sebagaimana tertulis dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin hak-hak seluruh warga negara Indonesia dimana setiap warganya mempunyai kedudukan serta kewajiban yang sama di mata hukum.

Hukum dibuat guna memberikan kepastian kepada setiap warganya akan perlakuan negara terhadapnya. Kepastian Hukum adalah jaminan keadilan dan hal ini dibuktikan dengan adanya dokumen hukum atau standar tertulis, persoalan hukum di Indonesia apapun bentuk dan substansinya tidak dapat dilepaskan dari keterkaitan terhadap hukum tertulis ini sebagai jaminan

1 H.R.T. Sri Soemantri M, (2015), Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, Bandung: Remaja Rosdakary. h. 75.

(5)

kepastian hukum, sistem hukum yang berlangsung saat ini adalah gambaran yang relevan tentang masih dianutnya positivistik atau formalistik oleh pekerja hukum.2

Sebagai negara hukum, Indonesia hendaknya menjadikan hukum sebagai dasar pembangunan nasional disegala sektor, baik dari pembangunan pendidikan, budaya, politik, maupun pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi sebagai salah satu pembangunan nasional, merupakan bagian dari upaya untuk mencapai masyarakat yang makmur dan berkeadilan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karenanya, untuk mengatur perkembangan pembangunan ekonomi sebagai salah satu pembangunan nasional harus diikuti dengan pembangunan hukum di bidang ekonomi sebagai cara untuk menata arah pembangunan ekonomi kearah yang berkepastian hukum. Sehingga kita dapat dengan seksama ikut mengawal perkembangan pembangunan ekonomi tersebut.

Dalam rangka memastikan keberlangsungan pembangunan tersebut, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang cukup besar.

Seiring peningkatan kegiatan pembangunan, maka meningkat pula besaran pembiayaan yang dibutuhkan. Pada peningkatan besaran pembiayaan yang semakin meningkat tersebut, kegiatan pinjam-meminjam kredit menjadi salah satu cara yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan mengenai pembiayaan tersebut.

2 Saifullah, (2018), Tipologi Penelitian Hukum Sejarah Paradigma dan Pemikiran Para Tokoh di Indonesia, Bandung: Rafika Aditama. h. 99.

(6)

Menurut D.Y Witanto Lembaga keuangan, baik bank maupun non bank memegang peranan strategis dalam lalu lintas transaksi bisnis di era modern saat ini, hampir tidak ada aktifitas bisnis pada zaman ini yang tidak membutuhkan lembaga keuangan atau perbankan, karena sistem transaksi yang dilakukan perlahan-lahan mulai bergeser dari sistem transaksi manual (manual transaction) ke sistem transaksi digital (digital transaction) dengan menggunakan perangkat elektronik dan koneksi jaringan internet, kenyataan tersebut dipacu oleh beberapa alasan, antara lain karena sistem transaksi digital dipandang lebih memiliki kemudahan, kecepatan dan kepraktisan karena dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi.3

D.Y Witanto juga mengungkapkan bahwa meningkatnya kebutuhan masyarakat akan peran lembaga keuangan dalam aktifitas bisnis dan perdagangan secara simultan telah memicu lahirnya lembaga-lembaga non bank (LKNB) yang memberikan fasilitas (jasa) pembiayaan bagi masyarakat melalui sistem pembayaran secara angsuran (kredit), hal itu menunjukan bahwa tingkat kebutuhan masyarakat terhadap konsumsi barang dan jasa terus atau semakin meningkat, kondisi tersebut tentunya menjadi peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku usaha untuk dapat menarik keuntungan dengan membuka peluang bisnis dibidang pembiayaan dan fasilitas jasa keuangan (finance). 4

Berkaitan dengan adanya jaminan dengan transaksi kredit antara kreditur dan debitur, maka dipandang perlu untuk diadakannya suatu lembaga jaminan, salah satunya adalah lembaga jaminan fidusia yang kini dijalankan

3 D.Y Witanto, (2015), Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen, Bandung: Mandar Maju. h. 1.

4 Ibid.

(7)

berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Di Indonesia, lembaga fidusia lahir berdasarkan Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 (BPM-Clynet Arrest), lahirnya Arrest ini karena pengaruh asas konkordansi, lahirnya Arrest ini dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dari pengusaha-pengusaha kecil, pengecer, pedagang menengah, pedagang grosir yang memerlukan fasilitas kredit untuk usahanya.5 Bentuk transaksi dengan jenis jaminan fidusia ini menjadi salah satu pilihan yang paling diminati masyarakat umum dikarenakan proses pembebanannya dianggap sederhana, cepat dan mudah.

Fidusia yang berarti penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan memberikan kedudukan kepada debitur untuk tetap menguasai barang jaminan, walaupun hanya sebagai peminjam pakai untuk sementara waktu atau tidak lagi sebagai pemilik, apalagi lembaga fidusia ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1152 KUH Perdata memang tampaknya sangat bertentangan, karena menurut ketentuan Pasal tersebut mengharuskan barang jaminan diserahkan secara fisik kepada pemberi kredit. Ketentuan Pasal 1152 KUH Perdata menyatakan, bahwa: “Jika barang jaminan tetap dibiarkan dikuasai debitur maka jaminan tersebut akan tidak sah”.6

Menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan dalam Salim HS, latar belakang timbulnya lembaga fidusia, sebagaimana dipaparkan oleh para ahli adalah karena ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga pand (gadai) mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan

5 Salim H.S, (2017), Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada.

h. 60.

6 Sri Ahyani, (2011), Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Pada Perjanjian Jaminan Fidusia, Jurnal Yuridika, Vol. 24 Nomor 1, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Bandung, Bandung, h. 308- 309.

(8)

masyarakat, hambatan itu meliputi: 1. Adanya asas inbezitstelling, asas ini menyaratkan bahwa kekuasaan atas bendanya harus pindah/berada pada pemegang gadai, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1152 KUH Perdata, 2.

Gadai atas surat piutang, kelemahan dalam pelaksanaan gadai atas surat piutang ini karena: a. Tidak adanya ketentuan cara penarikan dari piutang- piutang oleh si pemegang gadai, b. Tidak adanya ketentuan mengenai bentuk tertentu bagaimana gadai itu harus dilaksanakan, 3. Gadai kurang memuaskan, karena ketiadaan kepastian berkedudukan sebagai kreditur terkuat, sebagaimana tampak dalam hal membagi hasil eksekusi, kreditur lain yaitu hak pemegang privilege dapat berkedudukan lebih tinggi daripada pemegang gadai.7

Disamping itu juga transaksi ini dianggap lebih menjamin kepastian hukum karena dijalankan berdasarkan hukum yang jelas dan terang. Jelas dan terang yang dimaksud adalah segala hal yang berkaitan dengan transaksi dengan jaminan fidusia telah tertuang dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, termasuk proses penyelesaian sengketa terhadap pihak yang wanprestasi atau cidera janji.

Dalam hal terjadi cidera janji atau wanprestasi, dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah mengatur secara jelas, bagaimana jika terjadinya cidera janji antara salah satu pihak dan juga mengatur tata cara eksekusi jaminan terhadap perjanjian jaminan fidusia tersebut. Dalam undang-undang ini mengatur mengenai sertifikat jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial selayaknya putusan pengadilan yang

7 Salim H.S, Op.cit. h. 57-58.

(9)

sudah berkekuatan hukum tetap. Hal tersebut sebagaimana dimuat dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. “Sertifikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dimaksud adalah terhadap sertifikat jaminan fidusia tersebut memiliki derajat kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang inkracht, artinya pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia tidak harus menunggu putusan pengadilan karena sifat sertifikat jaminan fidusia tersebut berkekuatan hukum sama dengan putusan pengadilan.

Begitu pula dimuat dalam ayat ke (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berbunyi “apabila debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.” Norma yang terkandung dalam pasal ini mengandung makna bahwa terhadap seseorang yang dinyatakan cidera janji atau wanprestasi tidak perlu mendapat putusan dari pengadilan, artinya terhadap kondisi cidera janjinya debitur dapat ditentukan sendiri oleh kreditur dan kreditur berhak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut atas kekuasaannya sendiri.

Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara

(10)

pelaksanaan titel eksekutorial, penjualan melalui pelelangan umum, atau penjualan di bawah tangan dengan persetujuan kedua belah pihak, namun dalam praktiknya terkadang ketika akan melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia pada salah satu debitur, jaminan tersebut ternyata telah beralih dan dikuasai oleh pihak ketiga tanpa persetujuan dari pihak bank.8

Dalam pelaksanaannya dilapangan, eksekusi jaminan fidusia acapkali menimbulkan persoalan, yang salah satunya adalah tindakan main hakim sendiri dalam penyelesaian sengketa fidusia apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi, terutama wanprestasi yang dilakukan oleh debitur.

Hal tersebut menjadi konflik baru mengingat adanya dilema penafsiran terhadap unsur-unsur wanprestasi yang berakibat pada timbulnya ketidakpastian hukum. Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia juga pada prakteknya masih banyak yang menggunakan jasa debt collector yang pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak dijelaskan mengenai eksistensi beserta kewenangan debt collector dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia tersebut.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia oleh Apriliani Dewi dan Suri Agung Prabowo dirasa menimbulkan konflik baru yang berakibat pada ketidakpastian hukum dalam aktifitas jaminan fidusia, juga tidak memiliki nilai keadilan dan bertentangan dengan hak-hak dasar kebebasan warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu dibuktikan dengan diajukannya judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh Apriliani

8 Setia Budi, (2013), Permohonan Eksekusi Kepada Pengadilan Negeri Berkaitan Dengan Perjanjian Fidusia Terhadap Jaminan yang Digelapkan, Jurnal Cendekia Hukum, Vol. 3 Nomor 1, STIH Putri Maharaja Payakumbuh, Payakumbuh, h. 100.

(11)

Dewi dan Suri Agung Prabowo melalui kuasa hukumnya, dan telah diputuskan dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 Tanggal 06 Januari 2020 yang pada intinya bahwa Mahkamah Konstitusi telah menafsirkan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa kekuatan eksekutorial yang dimiliki oleh sertifikat jaminan fidusia tidak lagi bersifat absolut sama dengan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kekuatan eksekutorial dinyatakan dapat dilaksanakan secara langsung sepanjang debitur secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, dan apabila debitur keberatan menyerahkan benda objek jaminan fidusia maka pelaksanaan eksekusi harus dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pada norma selanjutnya, terhadap pihak yang dinyatakan cidera janji harus berdasarkan kesepakatan para pihak, atau penetapan status cidera janji harus dinyatakan dengan putusan pengadilan.

Berdasarkan uraian dikemukakan diatas menarik untuk dikaji dan diteliti tentang mekanisme eksekusi jaminan fidusia sesudah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, dengan mengangkat judul skripsi: “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 Tentang Eksekusi Jaminan Fidusia Terhadap Debitur Wanprestasi Di Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka yang menjadi rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah:

(12)

1. Apa ratio decidendi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang eksekusi jaminan fidusia terhadap debitur wanprestasi di Indonesia?

2. Bagaimana mekanisme eksekusi jaminan fidusia sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui ratio decidendi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang eksekusi jaminan fidusia terhadap debitur wanprestasi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui mekanisme eksekusi jaminan fidusia sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau landasan dalam mengembangkan ilmu hukum baik dari segi peraturan perundang-undangannya maupun dari segi teori-teori yang ada di bidang hukum jaminan fidusia.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi hukum di Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, dan sekaligus menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya dimasa yang akan datang.

(13)

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Pembuat Kebijakan

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan argumentasi yang kuat dalam pembentukan regulasi hukum tentang jaminan fidusia kedepannya agar regulasi yang tercipta lebih memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berperan didalam jaminan fidusia tersebut.

b. Dunia Usaha

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi pedoman bagi dunia usaha yang bergerak di bidang jaminan fidusia dalam melakukan aktifitas yang berkenaan dengan eksekusi jaminan fidusia.

c. Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan terhadap masyarakat tentang bagaimana pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia khususnya tentang tata cara pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia terhadap debitur wanprestasi.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian atau metode ilmiah merupakan suatu cara bagaimana penelitian itu harus dilaksanakan, dengan mengikuti cara-cara tertentu yang dibenarkan.9

9 Suratman dan Philips Dillah, (2015), Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabet. h. 35.

(14)

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan jenis penelitian hukum normatif, karena penelitian ini ditujukan hanya pada peraturan- peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain, dan lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.10 2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini menggunakan 2 pendekatan penelitian, yaitu pendekatan penelitian terhadap azas-azas dan pendekatan terhadap sistematika hukum, yang penjelasannya sebagai berikut:

a. Penelitian terhadap azas-azas hukum, yaitu penelitian terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap kaidah-kaidah hukum yang hidup didalam masyarakat.11

b. Penelitian terhadap sistematika hukum, yaitu dengan menelaah pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.12

3. Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif, bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yakni sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

10 Ibid., h. 51.

11 Ibid., h. 52.

12 Ibid.

(15)

pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.13 Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);

3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019;

b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang berupa semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen-dokumen resmi.

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.14

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan dengan kegiatan studi kepustakaan (library research). Dengan melakukan pengumpulan dan klasifikasi bahan hukum akan membawa akibat pada penataan dan pengorganisasian bahan hukum melalui proses sinkronisasi.15 Dengan kata lain, proses pengumpulan dan klasifikasi bahan hukum ini dapat memudahkan dalam melakukan sistematisasi dan analisis bahan hukum.

langkah selanjutnya adalah melakukan kajian yang berkaitan dengan teori yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam pencarian teori, peneliti akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan yang berhubungan agar dapat menjawab isu hukum yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini. Bahan hukum tersebut diantaranya

13 Ibid., h. 67.

14 Ibid.

15 Ibid., h. 85.

(16)

diperoleh dari buku, jurnal, majalah, hasil penelitian (skripsi, tesis dan disertasi) dan sumber-sumber lainnya (internet, koran dll) yang sesuai dengan isu hukum yang dibahas.

5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Penganalisaan bahan hukum yang terkumpul, baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, menggunakan teknik deskriptif analisis, yaitu dengan mendeskripsikan bahan hukum terlebih dahulu, kemudian menganalisa melalui teknik analisis sebagai berikut:

1. Teknik deskriptif, yaitu uraian tentang suatu kondisi atau posisi dari preposisi-preposisi hukum atau non hukum. Penulis akan menguraikan kasus yang berkaitan dan mempunyai isu hukum dengan tema penulis.

2. Teknik evaluatif, yaitu melakukan penilaian dan mengevaluasi tepat atau tidak tepat, benar atau tidak benar, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan, preposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Sebagai salah satu teknik yang dipilih oleh penulis, teknik evaluatif menjadi sangat penting dikarenakan isu hukum yang pertama penulis mengangkat pertimbangan hakim konstitusi.

3. Teknik Argumentatif, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan- alasan yang bersifat penalaran hukum. Penulis memilih teknik argumentatif dikarenakan, adanya frasa “sertifikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-

(17)

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menimbulkan tafsir bahwa frasa tersebut tidak sesuai dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 serta menimbulkan kekacauan hukum karena penafsirannya dapat mencederai norma dasar bahwa eksekusi suatu jaminan atau objek sengketa haruslah berdasarkan pada putusan pengadilan yang bersifat inkracht.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dilakukan dengan membagi ke dalam empat bab dengan maksud dan tujuan untuk mempermudah bagi pembaca untuk memahami isi skripsi ini. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pendahuluan ini berisi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan, masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, dan sistematika penulisan yang memberikan pemahaman secara umum terhadap isi dari penelitian.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab tinjauan pustaka ini berisi uraian mengenai tinjauan umum tentang jaminan fidusia (pengertian jaminan fidusia, objek dan subjek jaminan fidusia, hapusnya perjanjian jaminan fidusia, serta eksekusi jaminan fidusia), tinjauan umum tentang wanprestasi (pengertian wanprestasi dan akibat hukum wanprestasi), tinjauan umum tentang putusan (pengertian putusan, macam-macam putusan, dan kekuatan hukum putusan), dan tinjauan umum tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (sejarah lahirnya

(18)

Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, dan sifat putusan Mahkamah Konstitusi).

BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pembahasan pada bab ini adalah membahas atau menguraikan hal-hal yang telah tertulis pada rumusan masalah diantaranya adalah, pertama menguraikan tentang apa ratio decidendi Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019, dan yang kedua adalah membahas bagaimana mekanisme eksekusi jaminan fidusia terhadap debitur wanprestasi setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dari keseluruhan uraian dan juga saran-saran sebagai sumbangsih pemikiran tersendiri dari penulis.

(19)

91

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis bahas tersebut maka dapat diambil kesimpulan, antara lain:

1. Dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019, dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara Judicial review terhadap norma Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah adanya celah-celah hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berimplikasi kepada tindakan kesewenang-wenangan salah satu pihak dalam perjanjian jaminan fidusia. Tindakan kesewenang- wenangan yang semacam itu akan menimbulkan rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh pihak-pihak tertentu dalam perjanjian jaminan fidusia, maka dari itu Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menentukan tafsir Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

2. Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU- XVII/2019, pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dilakukan dengan 2 kemungkinan, yang pertama tetap dilaksanakan berdasarkan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang dalam pelaksanaannya pihak debitur secara sukarela untuk menyerahkan benda objek jaminan fidusia dan adanya kesepahaman para pihak terhadap kondisi cidera janji yang terjadi. Kedua, eksekusi jaminan fidusia harus

(20)

didasarkan pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, jika dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia tidak memenuhi 2 unsur yang telah diuraikan sebelumnya. Apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh pihak yang kalah selama 8 hari maka eksekusi jaminan fidusia dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 196 HIR. Berbeda halnya sebelum dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU- XVII/2019, yang pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia terhadap debitur wanprestasi dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

B. Saran

Saran yang dapat penulis berikan mengenai hasil Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 ialah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan sosialisasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU- XVII/2019 terkait perubahan norma Pasal 15 Ayat (2) dan (3) Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, meskipun putusan Mahkamah Konstitusi telah dimuat dalam lembaran negara, dengan harapan masyarakat lebih paham tentang mekanisme pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia setelah putusan ini dikeluarkan.

2. Perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam terkait mekanisme eksekusi jaminan fidusia agar kedepannya produk hukum yang menjadi landasan bertindak bagi setiap warga negara terkhusus dalam hal pelaksanaan jaminan fidusia agar lebih memberikan keseimbangan dan keadilah kepada para pihak yang terlibat didalamnya.

(21)

93

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Herzien Inlandsch Reglement (HIR)

Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.

Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Buku

Abdulkadir Muhammad, 2014, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

..., 2015, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Bambang Sutiyoso, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

D.Y Witanto, 2015, Hukum Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen, Bandung: Mandar Maju.

Dahlan Thaib, 2009, Ketatanegaan Indonesia Perspektif Konstitusional, Yogyakarta: Total Media.

(23)

Gunawan Wijdjaja dan Ahmad Yani, 2017, Jaminan Fidusia, Jakarta:

RajaGrafindo Persada.

HRT. Sri Soemantri M., 2015, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, Bandung: Remaja Rosdakarya.

I.D.G. Palguna, 2018, Mahkamah Konstitusi Dasar Pemikiran, Kewenangan dan Perbandingan Dengan Negara Lain, Jakarta: Konstitusi Press.

Lukman Santoso Az dan Yahyanto, 2106, Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press.

Monstequieu, 2007, The Spirit of laws. Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, Bandung: Nusa media.

Mukti Arto, 1996, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Munir Fuady, 2012, Teori Hukum Pembuktian, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Purwahid., Kashadi. 2008, Hukum Jaminan Fidusia, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

R.M. Sunardi, 1976, Eksekusi Keputusan-Keputusan Perkara Perdata, Semarang:

Panitia Penataran Panitera Pengadilan Negeri pada Pengadilan Tinggi.

Raihan A. Rasyid, 1998, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju.

Saifullah, 2018, Tipologi Penelitian Hukum Sejarah Paradigma dan Pemikiran Para Tokoh di Indonesia, Bandung: Rafika Aditama.

Salim H.S., 2017, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta:

Rajagrafindo Persada.

Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, Jakarta: Sinar Grafik.

Subekti, 1989, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta.

Suratman dan Philips Dillah, 2015, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta.

Yahya Harahap, 2011, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafik.

Yan. Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris. Pramudia Puspa.

(24)

Jurnal

Ahyani, Sri, 2011. Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Pada Perjanjian Jaminan Fidusia, Jurnal Yuridika, Vol. 24., No. 1.

Budi, Setia, 2013. Permohonan Eksekusi Kepada Pengadilan Negeri Berkaitan Dengan Perjanjian Fidusia Terhadap Jaminan Yang Digelapkan, Jurnal Cendekia Hukum, Vol. 3., No. 1.

Heriawanto, Benny Krestian, 2019. Pelaksanaan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Berdasarkan Title Eksekutorial, Jurnal Legality, Vol. 27, No. 1.

Siahaan, Maruarar, 2009. Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Konstitusi, Jurnal Hukum, Vol. 16., No. 3.

Soeroso, Fajar Laksono, 2014. Aspek Keadilan Dalam Sifat Final Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 11, No. 1.

Syahrizal, Ahmad, 2007. Problem Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 4, No. 1.

Internet

Aida Mardatillah. (2020), Mahkamah Konstitusi Tafsirkan Cidera Janji Dalam Eksekusi Jaminan Fidusia, Diakses pada tanggal 22 Februari 2020. Hukum

Online. Website:

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e13345852149/Mahkamah Konstitusi-tafsirkan-cidera-janji-dalam-eksekusi-jaminan-fidusia/.

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan tersebut bersifat internal antara jaksa penuntut umum