• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 33/PUU-XIII/2015 DALAM UPAYA MEMUTUS DINASTI POLITIK DAN ANTISIPASI PADA PILKADA MENDATANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 33/PUU-XIII/2015 DALAM UPAYA MEMUTUS DINASTI POLITIK DAN ANTISIPASI PADA PILKADA MENDATANG"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

484 DOI: http://dx.doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2018.01003.4

NOMOR: 33/PUU-XIII/2015 DALAM UPAYA MEMUTUS DINASTI POLITIK DAN ANTISIPASI PADA PILKADA

MENDATANG

Nuruddin Hady

Fakultas Hukum Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang

Email : nuruddin_hady@yahoo.co.id

Abstract

In this research article, there are two legal issues to be studied, namely: (i) Implication of Constitutional Court Judgment Number: 33 / PUU-XIII / 2015 in order to break the chain of political dynasty in Indonesian; (ii) what legal instrument can be used in breaking the chain of political dynasties after the Judgment of the Constitutional Court Number: 33 / PUU-XIII / 2015.

This research is a normative legal research using statute and case approach. The result showed that the Judgment of the Constitutional Court Number 33 / PUU-XIII / 2015, has granted the annulment of the formulation of Article 7 letter r of Law 8/2015 and its explanation. According to the Court, such article is contradictory to the 1945 Indonesian Constitution. Following the decision, eff orts to break the chain of political dynasties in Indonesia through legal instruments can no longer be done. The Constitutional Court’s ruling is believed to further enrich the emergence of political dynasties in Indonesian.

Key words: Implications, Judgments, Political Dynasties.

Abstrak

Penelitian dalam artikel ini, terdapat dua isu hukum yang akan dikaji yaitu: (i) Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIII/2015 dalam rangka memutus mata rantai dinasti politik di Indonesia; (ii) instrument hukum apa yang dapat digunakan dalam memutus mata rantai dinasti politik pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIII/2015. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang undangan dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIII/2015, telah mengabulkan pembatalan rumusan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dan penjelasannya karena menurut MK bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945, terutama Pasal-Pasal yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, tentu upaya memutus mata rantai dinasti politik di Indonesia, melalui instrumen hukum tidak dapat dilakukan lagi. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diyakini semakin menyuburkan munculnya dinasti politik dalam perpolitikan di Indonesia.

Kata Kunci: Implikasi, Putusan, Dinasti Politik.

(2)

Latar Belakang

Politik dinasti sering diperbincangkan di ranah publik, karena fenomena dinasti politik begitu marak justru di era reformasi, khususnya pasca Pemilukada Langsung. Di antara data penting sejarah dinasti politik yang mampu dibangun secara massif adalah di Provinsi Banten dengan Ratu Atut yang dianggap sebagai contoh nyata kuatnya politik dinasti di alam demokrasi lokal. Tentu realitas yang terjadi di Banten bukan satu-satunya fenomena lahirnya dinasti politik di republik ini. Di Provinsi Jawa Timur misalnya, fenomena dinasti politik juga terjadi, seperti yang terjadi di Kabupaten Kediri, Kota dan Kabupaten Probolinggo, dimana di ketiga daerah tersebut dinasti politik dibangun pasca Bupati dan Walikota telah dijabat suaminya yang telah menjabat dua periode digantikan oleh istri mereka. Sementara dinasti politik di Kabupaten Bangkalan yang dibangun olehLora Fuad Amin sebagai bupati yang digantikan oleh anaknya, dan yang terbaru adalah dinasti politik yang berhasil dibangun di Kota Batu melalui perhelatan Pemilukada tahun 2017 lalu.

Maraknya dinasti politik, tentu tidak baik dalam membangun iklim demokrasi dan iklim politik yang sehat dan demokratis, bahkan Moh Mahfud MD berpendapat bahwa politik dinasti itu memang kotor, karena dapat menyuburkan korupsi, merusak birokrasi dan merusak moral masyarakat.1 Pertanyaan

esensial yang mengemuka di sini adalah instrument hukum apa yang dapat memutus mata rantai dinasti politik, ketika upaya untuk memutus mata rantai dinasti politik, terutama untuk memperbaiki pelaksanaan Pemiluda secara langsung agar secara substantif kualitas demokrasi menjadi lebih baik, dan salah satunya adalah melalui lahirnya UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (selanjutnya disebut UU 8/2015), yang mensyaratkan bagi calon kepala daerah, diantaranya adalah tidak memiliki konfl ik kepentingan dengan petahana (Pasal 7 huruf r). Dalam penjelasan Pasal 7 huruf r, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tidak memiliki konfl ik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.

Rumusan pasal tersebut sejatinya menjadi instrumen hukum untuk mengatasi sekaligus mencegah maraknya politik dinasti dalam pemilihan kepala daerah secara langsung.

Tetapi sayangnya rumusan Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 tersebut yang secara tegas mengatur larangan bagi keluarga petahana untuk mencalonkan diri dalam Pemilukada

1 M. Mahfud MD, “Politik Dinasti Kotor, tapi MK Benar”, SINDO, (11 Juli 2015).

(3)

dibatalkan oleh Mahkamah konstitusi melalui Putusan MK Nomor: 33/PUU-XIII/2015, sehingga upaya memutus mata rantai dinasti politik melalui pengaturan dalam UU mengalami kebuntuan.

Berangkat dari realitas di atas, dalam artikel ini menarik untuk mengangkatdua isu hukum, yaitu: (1) Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/

PUU-XIII/2015 dalam upaya memutus mata rantai dinasti politik dalam perpolitikan di Indonesia, khususnya dalampemilukada langsung; dan (2) instrument hukum apa yang dapat digunakan dalam memutus mata rantai dinasti politik pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIII/2015.

Mengingat upaya memutus mata rantai dinasti politik sejatinya telah ada, tetapi Mahkamah Konstitusi kemudian membatalkan ketentuan tersebut atas pertimbangan hak asasi manusia.

Pembahasan

A. Perkembangan Demokrasi di Indonesia

Pasca reformasi yang ditandai dengan perubahan UUD NRI Tahun 1945 dan kebijakan Otonomi Daerah, serta perubahan sistem politik multi partai yang kemudian diikuti dengan kebijakan politik Pemilukada secara langsung, ternyata situasi politik di Indonesia pasca Orde Baru tidak serta-

merta membawa Indonesia sebagai Negara demokrasi. Tetapi, mungkin tepatnya kejatuhan rezim Orde Baru telah membawa Indonesia kearah transisi menuju demokrasi, bahkan dalam konteks yang esensial menurut Kacung Marijan, demokrasi Indonesia belum terbentuk, hal itu terjadi karena penguasa pasca pemerintahan Soeharto, meminjam istilahnya Richard Robison dan Vedi R.

Hazid, telah berhasil melakukan reorganisasi kekuasaan yang oligarkis. Hanya saja, fakta yang tidak bisa dimungkiri adalah bahwa pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru, sistem politik Indonesia memiliki corak yang lebih terbuka.2

Kacung Marijan juga mencatat bahwa perilaku para aktor, elit dan anggota masyarakat, di dalam bangunan demokrasi juga menjadi sesuatu yang sangat penting dalam menopang bagi berjalan tidaknya bangunan kelembagaan demokrasi. Sehingga, pertanyaan pentingnya adalah apakah keterkaitan antara kondisi ekonomi dan budaya politik itu berpengaruh terhadap bangunan demokrasi suatu Negara.3

Terkait dengan hal itu, hasil penelitian R. Siti Zuhro, dkk,4 di empat daerah menunjukkan bahwa demokrasi dan budaya politik lokal memberikan nuansa keragaman dan kekhasannya masing-masing.

Dari tradisi politik yang hidup, sebagian aspeknya kompatibel dan sebagian aspek lagi kurang atau tidak kompatibel dengan

2 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 11.

3 Ibid., hlm. 340.

4 R. Siti Zuhro, Model Demokrasi Lokal, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Bali, (Jakarta: The Habibie Center dan TIFA, 2011), hlm. 36-37.

(4)

nilai-nilai demokrasi (universal) dan proses demokratisasi yang berlangsung selama era reformasi. Di Sumatera Barat, misalnya teridentifi kasi nilai-nilai kolektivitas dan division of labor dalam kepemimpinan Bodi Chaniago; di Sulawesi Selatan, khususnya dalam tradisi politik ‘Wajo’ dikenal politik perwakilan dan tradisi ‘berparlemen’ (badan legislasi); di Bali dipraktekkan tradisi yang kuat terkait dengan otonomi masyarakat, dan di Jawa Timur ditemukan perilaku egaliter dan berekspresi secara terbuka.

Selain budaya demokrasi lokal, juga teridentifi kasi tradisi, kebiasaan dan adat yang tak dapat diartikan lain selain budaya kebangsawanan (seperti aristokrasi, feodalisme, patron, dan klien). Demikian juga dengan budaya ‘kekerasan’. Tradisi politik seperti ini kurang atau tidak dapat diterima atau tidak kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi (universal) yang hendak diterapkan di Indonesia.5 Temuan yang menarik lagi adalah studi Hadiz dan Robinson yang menyimpulkan bahwa di aras lokal sedang berlangsung kecenderungan reorganisasi kekuasaan kelompok oligarki. Dalam perspektif demokrasi oligarkis, pergeseran kekuasaan politik yang besar di daerah pada akhirnya memungkinkan aktor politik lama berkolaborasi dengan para kapital lokal untuk menguasai sumber daya ekonomi dan politik

lokal.6 Realitas politik di atas menggambarkan betapa demokrasi dan perpolitikan di Indonesia masih sebatas demokrasi ‘formal’ seperti apa yang dikemukakan oleh Levina sebagaimana dikutip kembali oleh Haynes yang berciri terbukanya dan tetap berlangsungnya

‘lembaga-lembaga yang bebas, pluratistik dan demokratis dalam kehidupan nasional.

Tetapi masih belum pada tataran demokrasi

‘substantif’ yaitu, demokrasi yang ‘lebih mendalam’ yang memberdayakan kelompok yang lemah.7

B. Dinasti Politik Dalam Perpolitikan di Indonesia.

Menurut kamus Black’s Law Dictionary karya Bryan A. Garner, memberikan pengertian dinasti sebagaiDynasty a powerful family line that continues for a long time (an Egyptian dynasty), atau a powerful group of individuals who control a particular industry or fi eld and who control their successors (a literary dynasty) (a banking dynasty).8 Pengertian dinasti apabila merujuk pada kamus di atas ada dua pengertian, yaitu dinasti adalah garis keluarga yang kuat yang terus untuk waktu yang lama, seperti dinasti Mesir, Arab Saudi atau kelompok kuat dari individu yang mengendalikan industri tertentu atau lapangan dan yang mengendalikan penerus mereka, seperti dinasti sastra dan dinasti perbankan.

5 Ibid., hlm. 37.

6 Ibid., hlm. 66.

7 Haynes dan Jeff , Demokrasi & Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga, “gerakan politik baru kaum pinggiran”, (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor, 2000), hlm. 134.

8 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, ninth edition, WEST a Thomson Reuters business, (USA, 2004), hlm. 583.

(5)

Membongkar gurita cikeas, buku yang ditulis oleh George Junus Aditjondro merupakan sebuah buku yang menggambarkan betapa politik Indonesia pasca reformasi masih diwarnai oligarki yang mengarah pada upaya membangun dinasti politik. Penguasaan jaringan bisnis sampai pada pengelolaan yayasan yang dikelola oleh kerabat dan orang dekat SBY, sehingga Aditjondro mempertanyakan apakah faktor perkerabatan antara pelaku-pelaku bisnis itu dengan keluarga Cikeas.9 Peranan yayasan- yayasan yang berafi liasi dengan SBY dan Ny.

Ani Yudhoyono dalam mobilisasi dukungan politik dan ekonomi untuk pemilihan SBY sebagai presiden untuk kedua dan terakhir kalinya, membuka jalan bagi berbagai jenis pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pendukungnya. Hal ini dapat dilihat pada duplikasi anggota pengurus yayasan-yayasan itu dengan berbagai tim sukses yang tidak secara resmi terdaftar personalia maupun sumber-sumber pembiayaannya.10 Dinasti politik pada tingkat politik nasional bukan hanya terjadi di Partai Demokrat dengan SBY sebagai elit penentu, tetapi juga terjadi pada partai politik lain dengan menempatkan suami/istri, anak, adik, kakak dan menantu menjadi pengurus partai politik.

Dalam konteks politik lokal, dinasti politik juga telah marak terjadi. Saat ini teridentifi kasi

ada 57 kepala daerah yang membangun dinasti politik lokal. Sebagian politik dinasti tampak pada suksesi langsung. Suami, istri, anak, ayah, kakak, saudara ipar diajukan menggantikan kepala daerah petahana.

Namun, banyak pula suksesi tidak langsung di daerah itu juga, tetapi di daerah lain dalam satu provinsi. Contoh paling menonjol adalah kekerabatan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Dia adalah kakak kandung Wakil Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah, kakak tiri Wali Kota Serang Tb Haerul Jaman, kakak ipar Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, dan anak tiri Wakil Bupati Pandeglang Heryani. Ade Irawan, dkk, mencatat dari delapan kota dan kabupaten yang ada di Banten, empat diantaranya dikuasai oleh kerabat Atut, bahkan beberapa perusahaan keluarga Atut mengendalikan banyak proyekpada kementerian PU dan Pemda Provinsi Banten.11

Dinasti Politik juga terjadi di Provonsi Sulawesi, Ichsan Yasin Limpo yang kini Bupati Gowa adalah adik Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Di Sulawesi Utara, ada Wakil Bupati Minahasa Ivan SJ Sarundajang yang putra Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang. Wali Kota Padang Sidempuan Andar Amin Harahap adalah anak Bupati Padang Lawas Bachrum Harahap. Kendati Zulkifl i Nurdin sudah tidak

9 George Junus Aditjondro, Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Skandal Bank Century, (Yogyakarta: Penerbit Galangpress, 2010), hlm. 46.

10 Ibid., hlm. 59.

11 Ade Irawan, Dinasti Banten, Keruntuhan dan Kebangkitan Kembali, (Malang: Penerbit Intrans Publishing, 2016), hlm. 24-25.

(6)

menjabat Gubernur Jambi, putranya, Zumi Zola, kini jadi Bupati Tanjung Jabung Timur.

Politik kekerabatan ini menunjukkan akar feodalisme dan tradisi monarki di Indonesia belum sepenuhnya berubah. Bukan meritokrasi yang melandasi pilkada, melainkan nepotisme dan kolusi yang berusaha dirobohkan dalam Reformasi 1998.12

Kecenderungan pewarisan politik dalam pola pemerintahan lokal ini berakibatpada pencideraan demokrasi Indonesia. Tidak menjadi masalah ketika keluarga yang menggantikan posisi kepala daerah mempunyai kapabilitas yang cukup untuk melanjutkan pemerintahan. Namun kecenderungan justru menunjukkan bahwa pewarisan dinasti politik ini mengarah pada kelanggengan kekuasaan di daerah. Bisa saja seorang bupati atau walikota yang menggantikan suaminya dalam hal pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan masih dipengaruhi oleh sang suami. Dalam artian bahwa istri hanya dipergunakan sebagai alat oleh sang suami untuk melanggengkan kekuasaannya.

Hal inilah yang menjadi dilema dalam demokrasi lokal, disatu sisi pemilukada merupakan mekanisme yang baik dalam aktualisasi kehidupan demokrasi, namun disisi lain terdapat pencideraan demokrasi akibat munculnya dinasti politik yang pada akhirnya hanya bertumpu pada kelanggengan kekuasaan seseorang.13

Menurut Karyudi Sutajah Putra, dinasti politik merebak dikarenakan 3 (tiga) faktor, yakni: (i) kekuatan modal fi nancial; (ii) kekuatan jaringan; dan (iii) posisi dalam partai.

Sementara Leo Agustino menyebut realitas dinasti politik sebagai patronase politik. Dia menegaskan bahwa transformasi politik yang tengah berlaku di Indonesia di mana kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, telah memberikan dampak negatifnya tersendiri bagi proses demokratisasi. Hal Ini karena Pemiluka secara langsung telah membuka ruang bagi patronase (logika pertukaran kepentingan) yang lebih dalam lagi. Para kepala daerah terpilih berusaha menggunakan kedudukannya untuk memainkan peranan sebagai pemilik sumber utama. Peranan ini bukanlah satu hal yang sukar untuk dilaksanakan oleh para kepala daerah, melalui kedudukannya, para pemimpin politik ini mempunyai banyak peluang untuk menggunakan institusi publik sebagai domain kekuasaannya, serta mendistribusikan public resources yang berada di bawah kendalinya sebagai alat pertukaran bagi tujuan tertentu ketika diperlukan. Tim sukses pun segera berubah menjadi broker politik karena dianggap memiliki second order resources.14 Realitas ini dapat dilihat pada kasus dinastri politik di Banten yang didukung kekuatan jawara sebagai tim sukses yang berperan ganda yakni sebagai pengusaha yang

12 Nasir, Rachmad Yuliadi, Negeri Dinasti Politik Praktis, Makalah, Maret 2013, hlm 1-2.

13 Desiana, dkk, “Pelanggengan Dinasti Politik ‘Samawi’ Sebuah Studi Perilaku Pemilih Model Psikologis Dalam Pilkada Bantul Tahun 2010”, Artikel tanpa tahun,hlm 3.

14 Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff , “Patronase Politik Era Reformasi: Analisis Pilkada Di Kabupaten Takalar Dan Provinsi Jambi”, Jurnal Administrasi Publik Vol. 11, No. 2, (Oktober 2014), hlm. 71.

(7)

berkepentingan mendapatkan akses terhadap local government resources, sementara kapasitas sebagai jawara, mereka juga dapat menggunakan ”sumber daya kekerasan”,15 bahkan kemudian muncul istilah premanisme proyek di Provinsi Banten.16

Pandangan menarik dikemukakan oleh Surya Thandra yang mengatakan bahwa munculnya dinasti politik disebabkan oleh kegagalan gerakan sosial terutama yang dilakukan oleh aktivis LSM dan kekuatan civil society, karena kita justru menjauh dari masyarakat. Sementara apa yang dilihat dan dirasakan oleh masyarakat dalam menghadapi persoalan kehidupan ini terutama terkait dengan keberhasilan incumbent dalam membangun daerahnya tanpa adanya penjelasan dan pembelajaran politik yang berarti dari kekuatan civil society. Padahal diperlukan perlawanan politik agar ruang kreatifi tas dan inovasi masyarakat agar tidak hilang. Hal ini juga disebabkan kecenderungan para aktivis pro-demokrasi terlalu fokus dalam membangun jaringan rakyat, tanpa mencoba masuk ke struktur resmi kekuasaan dan berjuang dari dalam kekuasaan.17

Pepatah bahwa blood is thicker than the water semakin menampakkan wujud nyatanya dalam perpolitikan di Indonesia. Politik kekerabatan dan dinasti atau keluarga politik semakin tampak menguat. Ini tidak terlepas

dari buruknya proses rekrutmen politik yang dilakukan parpol dalam pemilu dan khususnya pada pemilukada. Politik kekerabatan identik dengan pemusatan kekuasaan di keluarga atau kerabat politik tertentu. Menguatnya politik kekerabatan seperti ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Jika kecenderungan ini semakin meluas, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat politik Indonesia akan seperti yang terjadi di Filipina, dimana bossism berbasis teritorial menguasai politik. Negara dijalankan oleh segelintir elite dari beberapa keluarga, klan, atau dinasti politik yang kuat di wilayah-wilayah tertentu, dan karenanya sangat sulit untuk mengharapkan adanya perluasan akses kekuasaan maupun proses demokrasi yang sehat dan substansial,18 realitas tersebut semakin menggejala dalam alam demokrasi lokal kita yang terpotret dari daerah-daerah yang telah membangun dinasti politik, tetapi belum mampumenjamin kesejahteraan bagi masyarakatnya.

C. Upaya Memutus Mata Rantai Dinasti Politik.

Berbagai upaya sejatinya telah dilakukan untuk memutus mata rantai dinasti politik, dalam rangka memperbaiki pelaksanaan Pemilihan Kepala daerah secara langsung agar secara substantif kualitas demokrasi menjadi lebih baik. Berdasarkan hasil evaluasi

15 Syarif Hidayat, Shadow State…?, Bisnis dan Politik di Provinsi Banten, dalam Politik Lokal di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Pustaka Obor, 2014), hlm. 269.

16 Ibid., hlm. 299.

17 Hasil diskusi tentang Politik Dinasti dan Oligarkhi di Kalimetro pada 3/9/2017.

18 NicoHaryanto, Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di Indonesia, Jurnal Analisis CSIS Vol. 40, No.2, (2011), hlm. 153.

(8)

pelaksanaan Pemilihan Kepala daerah secara langsung yang salah satunya adalah semakin maraknya dinasti politik, maka kemudian UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, mensyaratkan bagi calon kepala daerah, diantaranya adalah tidak memiliki konfl ik kepentingan dengan petahana (Pasal 7 huruf r).19 Rumusan tidak memiliki konfl ik kepentingan dengan petahana dalam ketentuan di atas sejatinya merupakan upaya memutus mata rantai dinasti politik, yang menjadi instrumen hukum untuk mengatasi sekaligus mencegah maraknya politik dinasti dalam pemilihan kepala daerah secara langsung.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung pada hakekatnya dianggap sebagai bentuk perwujudan praktek demokrasi yang paling sempurna, karena dengan pemilihan kepala daerah secara langsung ini diharapkan bukan saja mampu memunculkan dan melahirkan

calon-calon pemimpin yang dikenal dan lebih dekat dengan masyarakat, tetapi juga diharapkan dapat mewujudkan akselerasi pembangunan demokrasi dan kesejahteraan rakyat di daerah.20

Pemilihan kepala daerah secara langsung yang diselenggarakan secara serentak tahun 2017 masih saja menyisakan berbagai persoalan, diantaranya masih terjadinya banyak kecurangan, seperti: money politics, tidak netralnya aparat birokrasi, tidak netralnya penyelenggara pemilu, intimidasi politik dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya yang mencederai demokrasi. Disamping itu, masih terjadinya gugatan sengketa hasil Pemilihan kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, terdapat banyak kritik atas pelaksanaan Pemilukada langsung. Misalnya Moh. Mahfud MD melontarkan kritik, bahwa Pemilukada mengekalkan oligarki kekuasaan sekaligus melahirkan orang-orang yang kecanduan kekuasaaan21 Menurut Achmad Sodiki, calon petahana (incumbent) diindikasikan

19 Dalam penjelasan Pasal 7 huruf r, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tidak memiliki konfl ik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.

20 Pemilukada dinilai dapat mengakomodasi sistem seleksi terpadu yang saling melengkapi untuk melahirkan calon kepala daerah terpilih yang berkualitas, mulai dari selaksi sistem kenegaraan, partai politik, administratif, sampai seleksi politis. Atas dasar itu, Pemilukada diharapkan akan menghasilkan fi gur pemimpin yang aspiratif, berkualitas, dan legitimate yang akan lebih mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya. Disamping itu, Pemilukada diharapkan menjadi bagian integral dari akslerasi demokratisasi di tingkat nasional. Artinya, demokrasi di tatanan nasional akan bertumbuh kembang secara mapan jika pada tingkatan lokal nilai-nilai demokrasi telah berakar kuat terlebih dahulu. Lihat M. Mahfud MD, Evaluasi …Op, Cit, hlm 7.

21 Moh. Mahfud MD, mencatat 7 (tujuh) persoalan terkait dengan penyelenggaraan Pemilukada, yaitu: (i) Pemilukada menjadi arena rivalitas kekuasaan secara tidak sehat, sehingga belum dapat melahirkan pemimpin yang memiliki political virtues yang bertindak secara bertanggungjawab, mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau partai; (ii) Pemilukada mendorong berjangkitnya moral pragmatisme, baik calon kepala daerah, penyelenggara Pemilukada, maupun masyarakat; (iii) Pemilukada mengekalkan oligarki kekuasaan sekaligus melahirkan orang-orang yang kecanduan kekuasaaan; (iv) Pemilukada menimbulkan persoalan anggaran; (v) Pemilukada memicu politisasi birokrasi; (vi) Pemilukada rentan terhadap konfl ik antar elit politik yang melibatkan massa; dan (vii) penyeragaman tata cara Pemilukada seperti sekarang cenderung mengabaikan karakter masyarakat adat yang masih eksis. Lihat Moh. Mahfud MD, Evaluasi Pemilukada dalam Perspektif Demokrasi dan Hukum, dalam Demokrasi Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hlm11.

(9)

melakukan penyalahgunaan kekuasaan, misalnya melakukan intimidasi terhadap pendukung pesaingnya, melakukan mutasi jabatan bagi PNS yang tidak mendukungnya.

Membagi-bagi bantuan sosial yang jadwalnya disesuaikan dengan kepentingan Pemilukada.22 Disamping itu, calon kepala daerah petahana hampir selalu melibatkan massa PNS, apakah itu pegawai biasa, camat, kepala desa, lurah, dan lain-lain untuk memenangkan dirinya.

Hal inilah yang menurut Moh. Mahfud MD, telah terjadi politisasi birokrasi dalam Pemilukada. Padahal dalam demokrasi, birokrasi seharusnya dibebaskan dari pengaruh dan keterjalinan ikatan politik dengan kekuatan-kekuatan politik, sehingga diharapkan pelayanan kepada masyarakat yang diberikan oleh birokrasi netral, tidak memihak, dan objektif. Netralitas PNS menjadi penting dalam perhelatan Pilkada, upaya mobilisasi PNS untuk mendukung pasangan calon kepala daerah tertentu diyakini hanya sanggup dilakukan oleh calon

“incumbent”.Oleh karena itulah, berdasarkan hasil evaluasi secara holistik pelaksanaan Pemiluka terutama untuk membatasi ruang penyalahgunaan jabatan bagi incumbent dan keluarganya untuk membangun dinasti politik, serta untuk memperbaiki kualiatas demokrasi munculah rumusan Pasal 7 huruf r dalam UU No.8 tahun 2015.

D. Putusan Mahkamah Konstitusi No: 33/PUU-XIII/2015

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:

33/PUU-XIII/2015, secara substansi telah membatalkan konstitusionalitas Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang- Undang, dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 merupakan ketentuan yang mengatur larangan dinasti politik. BerdasarkanPutusan MKtersebut, MK menyatakan Pasal 7 huruf r beserta Penjelasan Pasal 7 huruf r Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Apabila kita cermati lebih mendalam alasan yuridis yang diberikan oleh MK dikarenakan bertentangan dengan pasal- pasal hak asasi manusia yang ada dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Beberapa argumentasi MK adalah sebagai berikut:

22 Achmad Sodiki, Sengketa Pemilukada dan Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, dalam Demokrasi Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), hlm 40-41.

(10)

Pertama, menurut Mahkamah Konstitusi, pembatasan yang termuat dalam rumusan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan sekaligus mengandung muatan diskriminasi,dan oleh karena ketentuan a quo adalah bersangkut- paut dengan hak bagi setiap warga negara atas perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan maka ketentuan a quo dengan sendirinya juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Secara lebih spesifi k, oleh karena hak konstitusional yang terhalangi secara tidak konstitusional oleh ketentuan a quo adalah hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah maka telah nyata pula ketentuan a quo melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

Lebih lanjut MK menilai bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, syarat untuk dapat membatasi pelaksanaan hak asasi bukan semata-mata bahwa pembatasan itu harus dilakukan dengan Undang-Undang, sebagaimana dijelaskan oleh pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden) dalam perkara a quo. Seseorang yang karena kelahirannya atau karena memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala daerah petahana tidaklah mengganggu hak atau

kebebasan orang lain jika hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Demikian pula, dengan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, hal ini pun tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral, agama, keamanan maupun ketertiban umum. Dengan demikian, alasan bahwa larangan itu hanya berlaku sementara, yaitu selama belum terlampauinya jeda satu periode masa jabatan sebagaimanaditerangkan oleh DPR, tidaklah menghilangkan substansi pertentangan ketentuan a quo dengan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dalam putusannya MKmenyimpulkan bahwa problem yang sesungguhnya adalah tidak optimalnya mekanisme pengawasan terhadap kepala daerah petahana oleh institusi-institusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan.23

Kedua, MK berargumentasi bahwa rumusan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 mengandung muatan diskriminasi. Ketentuan a quo nyata- nyata (dan diakui oleh pembentuk UU) memuat pembedaan perlakuan yang semata- mata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang. Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Dengan demikian dalam penilaian MK Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf

23 Lihat lebih lanjut Putusan MK Nomor: 33/PUU-XIII/2015, hlm143.

(11)

r UU 8/2015 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, MK menyadari bahwatidak setiap pembedaan serta-merta berarti diskriminasi.

Namun, dalam kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata- mata didasari oleh maksud untuk mencegah kelompok orang tertentu (in casu anggota keluarga kepala daerah petahana) untuk menggunakan hak konstitusionalnya (in casu hak untuk dipilih atau mencalonkan diri, right to be candidate) dan dilakukan dengan cara yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.Dalam penilaian MK, apabila Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dimaknai sejalan dengan penjelasannya, sebagaimana diterangkan oleh pembentuk UU, telah ternyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, pertanyaan yang kemudian harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah bagaimana apabila Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak dipertimbangkan bersama-sama dengan penjelasannya? Apakah serta-merta hal itu berarti Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut konstitusional? Dengan kata lain, bagaimana jika Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak ada?

Menurut Mahkamah, dalam keadaan demikian Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut akan sulit dilaksanakan dalam praktik, khususnya oleh Penyelenggara Pilkada. Sebab, pemaknaan terhadap frasa “tidak memiliki konfl ik kepentingan dengan petahana” itu berarti diserahkan kepada penafsiran setiap

orang sesuai dengan kepentingannya. Dengan kata lain, dapat dipastikan bahwa tidak akan ada kesamaan pandangan terhadap frasa

“tidak memiliki konfl ik kepentingan dengan petahana”. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum. Padahal, kepastian hukum terhadap penafsiran frasa “tidakmemiliki konfl ik kepentingan dengan petahana” itu menjadi penentu hak seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang dijamin oleh Konstitusi. Dengan demikian, telah terang bahwa apabila Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dimaknai terlepas dari penjelasannya pun, hal itu tetap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena tidak memberi kepastian hukum yang potensial merugikan hak konstitusional warga negara, in casu hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.Sehingga dapat disimpulkan bahwa, secara substansi putusan MK yang mengabulkan pembatalan rumusan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dan penjelasannya bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945, terutama Pasal-Pasal yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia,yakni Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

E. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/Puu- XIII/2015 Dalam Upaya Memutus Dinasti Politik.

Dinamika politik lokal merupakan bagian dari refl eksi ‘wajah’ politik nasional.24

24 Syarif Hidayat, Shadow State…?, Bisnis dan Politik di Provinsi Banten, dalam Politik Lokal di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm 267.

(12)

Oleh karena itu, lahirnya rumusan Pasal 7 huruf r beserta penjelasan Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 merupakan tipe hukum yang responsif apabila dikaitkan dengan pandangan Nonet dan Selzing, yakni hukum sebagai fasilitator dari respons terhadap kebutuhan sosial dan aspirasi sosial,25 karena rumusan Pasal 7 huruf r beserta penjelasannya merupakan salah satu upaya untuk memutus mata rantai dinasti politik dalam Pemilukada dan hal itu berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Pemiluka yang telah berlangsung selama ini, karena aspek negatif dari politik dinasti lebih menonjol dibandingkan dengan prestasi yang telah diraihnya. Terlebih lagirealitas empirik menunjukkan bahwa kerabat kepala daerah yang kemudian maju dan menjadi kepala daerah banyak terjerat kasus korupsi, bahkan cukup banyak yang terkena OTT dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2017 terdapat 58 dinasti politik yang berkembang di Indonesia, dinasti politik berpotensi besar menimbulkan perilaku korupsi.26 Menurut Emerson Yuntho terdapat keterkaitan antara kasus korupsi dan dinasti politik, karena Korupsi kepala daerah

cenderung dilakukan oleh dinasti politik dan keberadaan dinasti politik potensial mendorong kepala daerah untuk melakukan korupsi,27 menurut Basaria Panjaitan ada beberapa faktor yang membuat praktik korupsi melekat dalam dinasti kekuasaan, diantaranya melindungi sesuatu yang dinikmati oleh kepala daerah sebelumnya dalam hal ini ayah atau anggota keluarga lain.28 Menurut Siti Zuhro Praktik dinasti politik itu menghadirkan pemimpin yang kualitasnya tidak bisa dianggap baik, dan ternyata demokrasi yang kita terapkan, justru membuat politik dinasti semakin tumbuh kembang.29 Pendapat senada juga dikemukakan Dahnil Anzar Simanjuntak yang menilai dinasti politik memiliki potensi korupsi karena menurutnya mereka miskin kapasitas dan bermodal hubungan darah pendahulunya,30 disamping potensi korupsi muncul karena masih lemahnya ruang pengawasan.Namun sayangnya, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor: 33/

PUU-XIII/2015, telah membatalkan rumusan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dan penjelasannya karena menurut MK bertentangan dengan UUD Negara RI tahun 1945, khususnya yang berkaitan dengan Pasal 28D ayat (3) yakni hak memperoleh kesempatan yang

25 A. Mukthie Fadjar, Teori-Teori Hukum Kontemporer, (Malang: Setara Press, 2013), hlm 50.

26 https://nasional.tempo.co/read/833618/icw-ada-58-dinasti-politik-di-indonesia.

27 https://nasional.sindonews.com/read/1176220/18/korupsi-kepala-daerah-dan-dinasti-politik.

28 http://www.tribunnews.com/nasional/2017/10/03/jelang-pilkada-kpk-soroti-kemungkinan-korupsi-di- lingkaran-dinasti-politik.

29 http://www.tribunnews.com/nasional/2016/09/19/dinasti-politik-justru-berkembang-setelah-indonesia- menerapkan-pilkada-langsung.

30 http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/01/04/oj8kz4330-dinasti-politik-di-indonesia-sangat- rentan-korupsi.

(13)

sama dalam pemerintahan, tetapi MK tidak mempetimbangkan aspek keadilan yang oleh John Rawls cara pandang terhadap keadilan tersebut disebutnya sebagai fairness yakni posisi kesetaraan asali, menurut Rawls salah satu bentuk keadilan sebagai fairness adalah memandang berbagai pihak dalam situasi awal sebagai rasional dan sama-sama netral.31 Dalam konteks kontestasi di Pemilukada sudah tentu posisi asali masing-masing calon Kepala daerah mensyaratkan dalam posisi setarakarena demokrasi yang idial perlu ada kompetisi yang sehat, tidak boleh ada Calon yang diuntungkan oleh incumbentyang punya hubungan keluarga karena potensial akan menggunakan pengaruh dan posisi politiknya untuk memenangkan pasangan calon Kepala daerah tertentu, seperti mobilisasi birokrasi, akses terhadap anggaran daerah dan relasi dengan elit ekonomi di daerah, tetapi ironisnya hal itu tidak dijadikan sebagai pertimbang oleh mahkamah.

Maka, implikasi pasca putusan MK tersebut, upaya memutus mata rantai dinasti politik di Indonesia, khususnya dalam Pelaksanaan Pemilukada secara langsung melalui instrumen hukum tidak dapat dilakukan lagi. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diyakini semakin menyuburkan munculnya dinasti politik dalam Pemilukada secara langsung.

Sebagai gagasan ius constituendum dalam upaya memutus mata rantai dinasti politik

dalam perpolitikan di Indonesia, setidaknya ada 3 (tiga) hal, yaitu: Pertama, peran Partai politik kita dorong agar terdapat kesadaran dari parpol untuk tidak mengusung calon- calon Kepala daerah yang mengarah pada dinasti politik. Parpol perlu menata diri untuk tidak memberikan ruang bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berpotensi melahirkan dinasti politik. Sebagai konsekuensinya tentu parpol harus lebih selektif dalam memunculkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan diusungnya. Kedua, memberikan penyadaran dan pendidikan politik kepada masyarakat sebagai calon pemilih, dimana mereka harus diberikan pendidikan politik bahwa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berpotensi membangun dinasti politik untuk tidak dipilih, karena bukan saja mengabaikan nilai-nilai demokrasi, tetapi kekuasaan tersebut juga berpotensi disalahgunakan. Oleh karena itu, dalam konteks inilah gerakan sosial yang dilakukan oleh kekuatan civil society perlu diarahkan bagaimana kita merasakan apa yang masyarakat lihat dan rasakan, bukan sebaliknya, sehingga masyarakat mampu melihat keberhasilan pembangunan yang telah diraih bukan merupakan keberhasilan sang incumbent yang wajib diteruskan kepada sanak-kerabatnya, tetapi disisi yang lain persoalan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan dasar juga harus menjadi perhatian yang serius, dan itu merupakan

31 John Rawls, Teori Keadilan, Dasar-dasar fi lsafat politik untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 15.

(14)

tanggung jawab kekuatan civil society untuk memberikan pemahan dan penyadaran kepada masyarakat. Ketiga, peran media massa juga sangat penting, untuk memberikan informasi secara lebih obyektif dan rasional bahaya dinasti politik pada sistem demokrasi kita.

Simpulan

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIII/2015 justru semakin mempersulit upaya memutus mata rantai dinasti politik di Indonesia dan diyakini pula akan semakin menyuburkan lahirnya dinasti politik, khususnya dalam perhelatan Pemiluka langsung. Padahal dinasti politik merupakan salah satu upaya untuk melanggengkan kekuasaan, yang terkadang hadir dengan mengabaikan nilai-nilai integritas, kompetensi, dan kapasitas, untuk merebut suatu kekuasaan atau sebuah jabatan publik. Bahkan dinasti politik juga diyakini dapat membatasi dan menghilangkan ruang kreatifitas dan inovasi masyarakat di daerah. Terlebih lagi mereka diajukan sebagai calon kepala daerah tidak melalui proses kaderisasi dan rekrutmen yang demokratis, atau melalui proses penempaan aktivitas politik yang terencana, sehingga kandidat yang muncul pun sekadar ‘untuk memperkokoh dan melanggengkan kekuasaan’

serta menyelamatkan ‘pundi-pundi’ ekonomi keluarga dan elit ekonomi yang menopangnya, sehingga dinasti politik kerap mengabaikan kepentingan warga. Maka, apabila sistem dinasti politik ini dibiarkan diyakini akan membuka peluang lahirnya pemimpin

yang korup, realitas tersebut tercermin dari beberapa kasus OTT yang dilakukan KPK terhadap beberapa Kepala daerah yang telah membangun dinasti politik.

Secara substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/PUU-XIII/2015, telah mengabulkan pembatalan rumusan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 dan penjelasannya karena menurut MK bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal-Pasal yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yakni Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.Oleh karena itu upaya memutus mata rantai dinasti politik melalui instrumen hukum tidak dapat dilakukan lagi dan agar dinasti politik tidak semakin tumbuh subur, makaperan Partai politik sebagai institusi utama rekruetmen Calon Kepala daerah perlu berbenah untuk tidak memberikan ruang bagi calon kepala daerah yang berpotensi melahirkan dinasti politik. Disisi yang lain penyadaran dan pendidikan politik kepada masyarakat sebagai calon pemilih, juga menjadi penting terutama bahaya dinasti politik bagi ancaman demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang bersandar pada pasal-pasal HAM dalam UUD Negara RI Tahun 1945, yakni Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28J ayat (2), tafsirnya terlalu berpijak pada paham individualistik, padahal batasan HAM terdapat pada Pasal 28J ayat 2 UUD Negara RI Tahun 1945, yaitu:”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap

(15)

orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Rumusan Pasal 28J ayat 2 di atas apabila dikaitkanupaya memutus mata rantai dinasti politik dalam Pemiluka karena dinasti politik

mengabaikan nilai-nilai moral yang tentu saja tidak baik dalam membangun iklim demokrasi dan iklim politik yang sehat dan demokratis, selain aspek memenuhi tuntutan yang adil dalam kerangka kontestasi secara lebih fair dalam Pemilukada, maka tidak salah kalau Moh Mahfud MD berpendapat bahwa politik dinasti memang kotor, karena dapat menyuburkan korupsi, merusak birokrasi dan merusak moral masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aditjondro, George Junus. Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Skandal Bank Century. Yogyakarta: Penerbit Galangpress, 2010.

Agustino, Leo, dan Mohammad Agus Yusoff.

“Patronase Politik Era Reformasi:

Analisis Pilkada Di Kabupaten Takalar Dan Provinsi Jambi”. Jurnal Administrasi Publik Vol. 11, No. 2, (Oktober 2014).

Asshiddiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

_______________. Mahkamah Konstitusi:

Fenomena Hukum Tata Negara Abad ke–20, Makalah, tanpa tanggal.

Fadjar, A. Mukthie. Teori-Teori Hukum Kontemporer. Malang: Setara Press, 2013.

Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary, ninth edition. USA: WEST a Thomson Reuters business, 2004.

Haynes, Jeff. Demokrasi & Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga “gerakan politik baru kaum pinggiran”. Jakarta: Yayasan Obor, 2000.

Hadjon, Philipus M, dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta:

Gajahmada University Press, 1994.

Romli, Lili. Evaluasi Pilkada Langsung Di Indonesia. Jakarta: Jurnal LIPI, Democrazy Pilkada, 2007.

Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.

MD, M. Mahfud. Evaluasi Pemilukada dalam Perspektif Demokrasi dan Hukum, dalam Demokrasi Lokal, Evalusi Pemilukada di Indonesia. Jakarta:

Konspres, 2011.

(16)

Nordhoir, Henk Schulte, dkk. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014.

Rawls, John. Teori Keadilan, Dasar-dasar filsafat politik untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam Negara.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik.

Jakarta: Grasindo, 2010.

Sodiki, Achmad. Sengketa Pemilukada dan Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, dalam Demokrasi Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2012.

Sartono Sahlan. Nasib Demokrasi Lokal di Negeri Barbar. Yogyakarta: Thafa Media, 2012.

Zuhro, R. Siti. Model Demokrasi Lokal, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Bali. Jakarta: The Habibie Center dan TIFA, 2011.

Jurnal

Djati, Wasisto Raharjo, Revivalisme Kekuatan Familisme Dalam Demokrasi: Dinasti Politik Di Aras Lokal, Masyarakat:

Jurnal Sosiologi. 2015;18(2):203-231 DOI 10.7454/Mjs.V18i2.3726 .

Haryanto, Nico, 2011,Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di Indonesia, Jurnal Analisis, CSIS, Vol.

40, No.2, 2011.

Masyitha, Dewi, Tafsir Hermeneutika Politik Atas Gejala Demokrasi Versus

Dinasti Pada Pilkada Serentak 2015, Dialogia: Jurnal Studi Islam Dan Sosial.

2015;13(2):267-282 DOI 10.21154/

Dialogia.V13i2.298 .

Sutisna, Agus, Gejala Proliferasi Dinasti Politik Di Banten Era Kepemimpinan Gubernur Ratu Atut Chosiyah, Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review. 2017;2(2):100-120 DOI

10.15294/Jpi.V2i2.9329

Surat Kabar

Desiana, dkk. Pelanggengan Dinasti Politik

‘Samawi’ Sebuah Studi Perilaku Pemilih Model Psikologis Dalam Pilkada Bantul Tahun 2010, Artikel tanpa tahun

MD, M. Mahfud. Politik Dinasti Kotor, tapi MK Benar. Artikel SINDO, Sabtu, 11 Juli 2015.

Nasir, Rachmad Yuliadi,2013, Negeri Dinasti Politik Praktis, Makalah, Maret.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33/

PUU-XIII/2015.

Referensi

Dokumen terkait

mengendalikan, dan mengkoordinasikan perumusan kebijakan teknis dan pelaksanaan fungsi penunjang urusan pemerintahan bidang perencanaan dan fungsi penunjang urusan pemerintahan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa perlakuan berenang 10 menit/hari dan puasa makan selama 5 hari dapat menyebabkan stres oksidatif

(j) pemberian jasa-jasa, termasuk jasa konsultasi, melalui pegawai atau orang lain untuk tujuan tersebut, namun hanya jika kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung

Merupakan jasa pelayanan tambahan untuk memuaskan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Pada PT Sarigading juga melayani konsumen lewat telepon apabila ada

Peluang ini juga didukung oleh produk suku cadang kendaraan bermotor Indonesia yang mampu bersaing dengan produk dari negara berkembang lainnya serta daya beli pasar

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 102/PUU-XIII/2015 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan

Hal paling urgen yang harus ditindaklanjuti adalah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU- XIII/2015 perlu menyesuaikan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun

Pada aplikasi 1: Gambar 1, 2 dan 3 dapat dilihat Pada aplikasi 2: Gambar 4, 5 dan 6 dapat dilihat bahwa prosentase kematian larva Aedes aegypti pada bahwa prosentase