• Tidak ada hasil yang ditemukan

7 Andika Wijaya

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "7 Andika Wijaya"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

363

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR PEMEGANG JAMINAN FIDUSIA

DALAM KEPAILITAN DEBITUR

(Studi Kasus Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 18/PUU-XVII/2019)

1Andika Wijaya, 2Hendro Juandra, 3Buyung Ageng Islami, 4Pius Pati Molan, 5Cakra P.

Octavianus

1[email protected]

2-5Universitas Narotama

1Ananta and Wijaya Law Office

5[email protected] ABSTRAK

Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk menemukan bentuk perlindungan hukum terhadap Kreditor pemegang jaminan fidusia dalam hal Debitur dinyatakan pailit. Penelitian dilakukan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020. Putusan tersebut membawa pengaruh pada hak Kreditor pemegang jaminan fidusia untuk mengeksekusi sendiri benda yang diikat dengan jaminan fidusia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan undang-undang, konseptual dan kasus. Penelitian mengandung unsur kebaruan dan orisinal, yang secara praktis dapat menjadi sumber referensi bagi Kreditor pemegang jaminan fidusia untuk memaksimalkan haknya dalam menghadapi kepailitan Debitur.

Melalui penelitian ini, para Kreditor pemegang hak jaminan fidusia (segala lembaga jasa keuangan baik konvensional maupun syariah, seperti : perbankan, perusahaan pembiayaan, perusahaan gadai, dst) dapat menyesuaikan dirinya dengan prosedur kepailitan tanpa harus melanggar ketentuan hukum jaminan fidusia yang mengalami perubahan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020.

Kata Kunci: Kreditor, Debitur, Jaminan Fidusia; Kepailitan, Eksekusi.

ABSTRACT

This study was made to find to find a form of legal protection for Creditors holding fiduciary guarantees in the event that the Debtor is declared bankrupt. Research conducted after the Decision of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia Number: 18 / PUU-XVII / 2019 dated January 6, 2020. This decision was carried out in accordance with the fiduciary Guarantee Holder's right to execute objects bound by fiduciary guarantees.

This research is a normative juridical study, by statute, conceptual and cases approach. Research contains novelty and original elements, which can be used as a source of reference for Creditors who holding fiduciary guarantees to maximize their right to increase the bankruptcy of the Debtor. Through this research, creditors who receive fiduciary security rights (all financial service institutions both conventional and sharia, such as:

banks, finance companies, mortgage companies, etc.) can adjust themselves to bankruptcy procedures without having to violate the provisions of fiduciary guarantee laws that have experienced post-change after Decision of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia Number: 18 / PUU-XVII / 2019 dated January 6, 2020.

Keywords: Creditor; Debtor; Fiduciary Guarantees; Bankruptcy; Execution.

(2)

364 PENDAHULUAN

Utang piutang tidak bisa dilepaskan dari persoalan jaminan. Lembaga keuangan seperti bank, perusahaan pembiayaan, dan lembaga lain menjalankan bisnis, salah satunya dengan menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat. Dalam penyaluran pembiayaan tersebut, Lembaga keuangan wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Salah satu bentuk penerapan prinsip kehati-hatian adalah melakukan mitigasi risiko pembiayaan, yaitu dengan meminta jaminan kebendaan kepada Debitur. Kekurang hati-hatian bank dalam memberikan kredit pada gilirannya dapat membawa akibat tingginya tingkat kredit macet.1 Hal ini pernah terjadi pada tahun 1998 dimana krisis perbankan terjadi, salah satunya karena bank lalai dalam menjalankan prinsip “prudential banking”.2

Salah satu jenis jaminan kebendaan adalah jaminan fidusia. Mengacu pada ketentuan Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (disingkat UU 42/1999), jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Jaminan fidusia pada dasarnya lahir karena adanya kebutuhan yang bersifat praktis.3 Jaminan fidusia muncul untuk mengatasi kekurangan gadai sebagai lembaga jaminan kebendaan, dimana melalui jaminan fidusia, bisa diselenggarakan pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pelaku usaha, terutama pengusaha kecil menengah yang jumlahnya relatif besar.4

Pada prinsipya, jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan (accesoir) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.5 Dalam dunia perbankan, perjanjian pokok yang menjadi acuan bagi pembuatan jaminan fidusia adalah berupa perjanjian kredit. Sedangkan dalam dunia perusahaan pembiayaan, jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan daripada perjanjian pembiayaan (sebagai perjanjian pokok).6

Salah satu asas dari jaminan fidusia adalah asas publisitas. Munir Fuady menjelaskan bahwa asas publisitas dari jaminan fidusia tercermin dari kewajiban bagi Penerima Jaminan Fidusia untuk melakukan pendaftaran.7 Dengan terdaftarnya jaminan fidusia, Kreditor atau khalayak ramai dapat mengetahui atau punya akses untuk mengetahui informasi-informasi penting di sekitar jaminan utang tersebut.8

Dewasa ini, pendaftaran jaminan fidusia dapat dilakukan secara elektronik sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik dan Peraturan Menteri Hukum

1 Paripurna P. Sugarda, Kontrak Standar : Antara Prinsip Kehati-Hatian Bank Dan Perlindungan Nasabah Debitur, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 20, Nomor 2, Juni 2008, h. 193.

2 Trisadini P. Usanti, Abdul Shomad, Hukum Perbankan, Jakarta : Kencana, 2017, h. 125.

3 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, h. 1.

4 Moch. Isnaeni, Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan, Yogyakarta : Laksbang Presindo, 2017, h. 188.

5 Andika Wijaya, Hukum Perusahaan Pembiayaan Konvensional dan Syariah di Indonesia, Malang : Setara Press, 2017, h. 279.

6 Ibid.

7 Munir Fuady, Op.Cit, h. 30.

8 Ibid.

(3)

365 dan Hak asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik. Dengan melakukan pendaftaran jaminan fidusia secara online, akan lahir jaminan kebendaan atas benda yang dijadikan agunan pelunasan utang, yang memberikan hak preferensi atas pelunasan piutang bagi Kreditornya.9

Sesuai penjelasan umum UU 42/1999, jaminan fidusia diharapkan dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Salah satu jaminan kepastian hukum tersebut terdapat pada adanya titel eksekutorial pada jaminan fidusia yang memungkinkan Kreditor untuk benda yang dijadikan jaminan fidusia melalui pelelangan umum.10 Kepastian hukum ini juga berlaku ketika Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

Seorang Debitur dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga apabila dapat dibuktikan secara sederhana dalam permohonan pailit bahwa Debitur mempunyai setidaknya 2 (dua) atau lebih Kreditor dan Debitur tidak membayar 1 (satu) utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.11 Dengan dinyatakan pailit, seluruh harta Debitur berada dalam status sita umum dimana selanjutnya pengurusan dan pemberesan atas harta tersebut akan dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas, berdasarkan pada undang-undang kepailitan.12 Sejak dinyatakan pailit, semua perikatan Debitur tidak dapat lagi dibayar dari harta pailit dan segala tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator.13 Dengan demikian, apabila Debitur telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, Kreditor pemegang jaminan fidusia tidak dapat serta merta melakukan eksekusi jaminan fidusia tanpa memperhatikan prosedur kepailitan.

Prosedur hukum kepailitan merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (disingkat UU 37/2004). Sesuai dengan UU 37/2004, sejak Debitur dinyatakan pailit, Kreditor pemegang hak jaminan fidusia wajib mengajukan tagihan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Pasal 115 Ayat 1 UU 37/2004 menentukan bahwa semua Kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada Kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya Kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda. Dengan mengajukan tagihan, Kreditor akan memastikan haknya untuk menerima pembagian atas hasil likuidasi harta pailit yang dilakukan oleh Kurator di masa mendatang.14

Sesuai UU 37/2004, Kreditor pemegang hak jaminan fidusia dapat melakukan eksekusi atas benda yang dijadikan jaminan fidusia sejak harta Debitur berada dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvensi). Pasal 55 ayat 1 UU 37/2004 menentukan bahwa dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

Sejak tanggal insolvensi, Kreditor pemegang hak kebendaan dapat melakukan eksekusi atas

9 Ida Ayu Made Widyari, et.al, Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Dalam Sistem Online, Jurnal Acta Comitas No. 2, 2017, h. 275.

10 Munir Fuady, Op.Cit, h. 60.

11 Andika Wijaya, Penanganan Perkara Kepailitan dan Perkara Penundaan Pembayaran Secara Praxis, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2017, h. 43.

12 Andika Wijaya, Wida Peace Ananta, Hukum Acara Pengadilan Niaga, Jakarta : Sinar Grafika, 2018, h.

54.

13 Andika Wijaya, Wida Peace Ananta, Op.Cit, h. 56-57.

14 Andika Wijaya, Op.Cit, h. 75.

(4)

366 benda yang diikat dengan jaminan fidusia, dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.15 Jika waktu 2 (dua) bulan tersebut telah dilewati, Kreditor harus menyerahkan benda yang dijadikan jaminan fidusia kepada Kurator, dimana selanjutnya Kurator akan mengeksekusi benda tersebut sesuai dengan ketentuan UU 37/2004.16

Pelaksanaan hak Kreditor pemegang hak jaminan fidusia sebagaimana diatas mengalami perubahan seiring dengan diucapkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020. Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan beberapa hal berikut :

1. Menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial”

dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

2. Menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai

“terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

3. Menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 sepanjang frasa “cidera janji”

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”;

4. Dst.

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 tersebut menimbulkan perdebatan. Agus Yudha Hernoko menyatakan bahwa ada konsekuensi yang muncul pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, antara lain : 1. Proses eksekusi atas benda yang dijadikan jaminan fidusia akan berjalan lebih lama dan

berbelit-belit;

2. Terjadinya biaya tinggi (high cost), kerugian (loses) dan inefisiensi;

3. Kurang mendukung iklim bisnis yang kondusif;

4. Berkurangnya potensi pendapat Negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);

5. Terjadi paradoks terkait dengan kebijakan Pemerintah terkait dengan Ease of Doing Business (EODB).17

15 Andika Wijaya, Op.Cit, h. 94.

16 Ibid.

17 A. Yudha Hernoko, Quo Vadis Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019: Problematikan Aturan atau Penerapan?, dalam

(5)

367 Senada dengan pendapat diatas, Edy Suleksono menyatakan beberapa dampak negatif dari Putusan Mahkamah Konstitusi bagi para Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia, yaitu : 1. Bank tidak dapat melakukan eksekusi jaminan fidusia secara langsung;

2. Proses eksekusi jaminan lebih panjang dari sebelumnya;

3. Biaya yang dibutuhkan untuk proses bertambah;

4. Penyelesaian kredit bermasalah menjadi lebih lama.18

Salah satu pertimbangan yang mendasari putusan Mahkamah Konstitusi (ratio decidendi) menyatakan telah jelas dan terang benderang sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).19 Akan tetapi, apabila yang terjadi justru sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mau mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri (parate executie) melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.20 Dengan pengajuan permohonan eksekusi tersebut, kedudukan antara Kreditor dan Debitur menjadi seimbang.21

Hal diatas menimbulkan masalah baru apabila Debitur dinyatakan pailit. Mengacu pada ketentuan Pasal 55 ayat 1 juncto Pasal 59 ayat 1 UU 37/2004, setiap Kreditor pemegang jaminan fidusia dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak Debitur dinyatakan berada dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvensi). Debitur dinyatakan tidak mampu membayar (insolvensi) apabila telah terpenuhi syarat Pasal 178 ayat 1 UU 37/2004, yaitu : jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sesuai ketentuan tersebut, apabila Debitur menolak untuk mengakui bahwa dirinya wanprestasi, maka sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi, Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia harus mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Hal ini tentu akan menimbulkan masalah karena jangka waktu yang bisa dilalui oleh para pihak untuk mencapai putusan atas permohonan eksekusi bisa memakan waktu paling lama 6 (enam) bulan, sesuai dengan standar pelayanan peradilan yang berlaku (vide Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 026/KMA/SK/II/2012).22 Jangka waktu tersebut tentu akan berpengaruh besar pada pelaksanaan hak eksekusi jaminan fidusia yang hanya dibatasi 2 (dua) bulan berdasarkan ketentuan Pasal 59 ayat 1 UU 37/2004.

Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Bahan Presentasi Seminar, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 18 Februari 2020.

18 Edy Suleksono, Jaminan Fidusia di Perbankan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, dalam Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Bahan Presentasi Seminar, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 18 Februari 2020.

19 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020, h. 121-122.

20 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020, h. 122.

21 Ibid.

22 Andika Wijaya, Wida Peace Ananta, Op.Cit, h. 235.

(6)

368 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 telah menimbulkan perdebatan, baik di kalangan praktisi maupun akademisi.

Hal ini menjadi latar belakang utama dalam penelitian ini. Putusan tersebut dapat mengakibatkan perbedaan penafsiran atas penerapan Pasal 15 ayat 2 dan Pasal 15 ayat 3 UU 42/1999 dalam proses kepailitan Debitur yang dijalankan dengan menggunakan mekanisme UU 37/2004.

Permasalahan

Sesuai dengan latar belakang sebagaimana telah diuraikan dalam pendahuluan, disusun rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep cidera janji/wanprestasi terkait dengan pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 dalam hal Debitur dinyatakan pailit ?

2. Pengadilan mana yang berwenang untuk memutus perkara permohonan eksekusi yang diajukan oleh Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia ketika Debitur telah dinyatakan pailit ? 3. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia

untuk memaksimalkan usahanya dalam mengeksekusi benda yang dijadikan jaminan kebendaan dalam proses kepailitan Debitur ?

METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, dengan tipe penelitian doktrinal (doctrinal research). Mengutip pendapat Terry Hutchinson, Peter Mahmud Marzuki menulis bahwa tipe penelitian hukum doktrinal adalah tipe penelitian yang berupaya menyediakan eksposisi yang bersifat sistematis dalam kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara aturan hukum, menjelaskan masalah hukum dan memprediksi perkembangan hukum di masa depan.23

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : undang-undang (statue), konseptual (conceptual) dan kasus (cases). Bahan hukum yang dipergunakan mencakup sumber hukum primer (undang-undang dan putusan pengadilan), serta sumber hukum sekunder (buku, jurnal, dan seminar). Bahan hukum tersebut dikumpulkan, ditelaah dan dipilih yang paling relevan dengan penelitian melalui penelitian kepustakaan (library research). Pengumpulan data melalui library research adalah menelusuri, menghimpun, meneliti dan mempelajari buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, serta berbagai artikel yang berkaitan dalam mendukung penelitian ini.24

23 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2005, h. 32.

24 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta : Kencana, 2008, h. 49.

(7)

369 PEMBAHASAN

1. Konsep Cidera Janji Dalam Kepailitan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.

18/PUU-XVII/2019

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 membahas isu hukum yang berkaitan erat dengan persoalan konstitusionalitas daripada Pasal 15 ayat 2 dan Pasal 15 ayat 3 UU 42/1999. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa substansi norma dalam Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 berkaitan dengan adanya unsur debitur yang “cidera janji” yang kemudian memberikan hak kepada penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.25 Persoalan yang kemudian muncul dan menjadi isu hukum adalah kapan “cidera janji” itu dianggap telah terjadi dan siapa yang berhak menentukan? Hal ini tidak dijelaskan dalam UU 42/1999.26

Menurut pendapat Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan yang kemudian menjadi landasan putusan (ratio decidendi), ketidak jelasan mengenai kapan terjadinya cidera janji dalam UU 42/1999 telah membawa konsekuensi yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya pemberi fidusia (debitur) telah melakukan “cidera janji” yang berakibat timbulnya kewenangan yang bersifat absolut pada pihak penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang berada dalam kekuasaan debitur. Dalam pandangan Mahkamah Konstititusi, substansi norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, juga terdapat permasalahan konstitusionalitas turunan yang tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan yang sama dengan ketentuan yang substansinya diatur dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, yaitu ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi dan kepastian tentang waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan

“cidera janji” (wanprestasi), apakah sejak adanya tahapan angsuran yang terlambat atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang sudah harus dilunasinya.27

Ketidakpastian yang ada dalam Pasal 15 ayat 2 UU 42/1999 tersebut menurut pandangan Mahkamah Konstitusi juga membawa akibat pada timbulnya penafsiran bahwa hak untuk menentukan adanya “cidera janji” dimaksud ada di tangan kreditur (penerima fidusia).28 Adanya ketidakpastian hukum demikian dengan sendirinya berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri dan kesempatan untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.29 Jadi menurut Mahkamah Konstitusi, ketidakjelasan atau sengketa mengenai kapan terjadinya wanprestasi ini membuat aksi Kreditor yang menjual benda jaminan fidusia secara sepihak menjadi cacat.

Pada prinsipnya, konsep cidera janji berkaitan erat dengan persoalan pelaksanaan perjanjian. Pada situasi yang bersifat normal, perjanjian bersifat timbal balik dimana Kreditor

25 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020, h. 119.

26 Ibid.

27 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020, h. 120.

28 Ibid.

29 Ibid.

(8)

370 di satu sisi berhak menuntut prestasi dan Debitur dituntut untuk memenuhi prestasi.30 Pada situasi tertentu, terjadi peristiwa dimana pertukaran prestasi tidak berjalan, dan hal ini disebut wanprestasi.31 Hal ini diatur dalam Pasal 1243 BW yang berbunyi : “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.

Mengacu pada pendapat Subekti, Debitur dinyatakan wanprestasi apabila dia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang diperjanjikan.32 Untuk dapat dikatakan wanprestasi, dapat dikutip ketentuan Pasal 1238 BW yang berbunyi : “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Menurut Ricardo Simanjuntak, ada 2 (dua) cara untuk menentukan kapan seseorang dapat dikatakan wanprestasi, yaitu : 1) wanprestasi yang ditentukan demi hukum berdasarkan undang-undang;

dan 2) yang ditentukan berdasarkan perjanjian itu sendiri.33 Pada umumnya, wanprestasi terjadi setelah adanya pernyataan lalai (ingebereke stelling) dari pihak Kreditor kepada Debitur.34 Dalam kasus tertentu, pernyataan lalai tidak diperlukan dalam hal di dalam perjanjian telah dimasukkan klausul yang bersifat “fatale termijn”, dimana tidak terpenuhinya salah satu kewajiban Debitur dalam kontrak sekaligus secara otomatis telah menyebabkan terjadinya wanprestasi.35

Konsep tentang wanprestasi menjadi pertanyaan apabila Debitur telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Sebagaimana diketahui, Pasal 21 UU 37/2004 menentukan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Selanjutnya, tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator, sebagaimana Pasal 26 ayat 1 UU 37/2004. Pasal 27 UU 37/2004 menentukan bahwa selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap Debitor Pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.

Dengan dinyatakan pailit, Debitur demi hukum kehilangan hak untuk mengurus (daden van behooren) dan melakukan perbuatan kepemilikan (daden van beschikking) terhadap harta kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan.36 Karena kehilangan haknya atas harta kekayaannya, Debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada Kreditor sebagaimana halnya bila dia tidak dinyatakan pailit oleh Pengadilan.

Pada prinsipnya, seorang Debitur yang sudah dalam keadaan insolven dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan setelah dimintakan permohonan untuk mempailitkan Debitur yang bersangkutan.37 Insolvensi adalah keadaan keuangan suatu subyek hukum perdata, sedangkan

30 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Jakarta : Kencana, 2014, h. 260-261.

31 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, h. 261.

32 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1987, h. 147.

33 Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Jakarta : Kontan Publishing, 2018, h. 290.

34 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, h. 261.

35 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, h. 262.

36 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta : Kencana, 2015, h. 165.

37 Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas dan Teori Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang No.

37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, Jakarta : Kencana, 2016, h. 3.

(9)

371 kepailitan adalah suatu keadaan hukum dari suatu subyek hukum perdata, dan Debitur hanya dapat dikatakan berada dalam situasi pailit oleh Pengadilan apabila Debitur tersebut telah memenuhi unsur keadaan insolven.38

Ricardo Simanjuntak berpendapat bahwa status pailit adalah bukti terjadinya wanprestasi oleh Debitur.39 Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 24 ayat 1 UU 37/2004 yang berbunyi : “Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Tanpa hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya, Debitur tidak mungkin lagi melaksanakan prestasi atas jaminan kekayaanya. Sejak dinyatakan pailit, semua transaksi hukum baik yang memberikan nilai tambah maupun memberikan nilai kurang tidak dapat ditujukan kepada Debitur Pailit, tetapi kepada harta kekayaannya/harta pailit, dimana legal standing in judicio atas harta kekayaannya berada pada Kurator dengan diawasi oleh Hakim Pengawas.40 Oleh karena Debitur telah pailit, yang menjadi bukti bahwa dirinya telah wanprestasi, maka Kreditor pemegang jaminan fidusia dapat melaksanakan haknya sesuai ketentuan pasal 55 ayat 1 UU 37/2004.41

2. Kewenangan Pengadilan Dalam Hal Permohonan Eksekusi Ketika Debitur Telah Dinyatakan Pailit

Salah satu hal yang menjadi masalah dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia adalah apabila Debitur tidak bersedia menyerahkan benda yang dijadikan jaminan pelunasan utang kepada Kreditor. Pada masa sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020, salah satu cara yang dapat ditempuh oleh Kreditor untuk menguasai benda jaminan fidusia adalah dengan menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia (disingkat Perkap 8/2011). Dalam praktek, ternyata masih banyak ditemukan usaha penarikan benda jaminan fidusia secara paksa tanpa menggunakan Perkap 8/2011. Hal ini menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas Pasal 15 ayat 2 dan Pasal 15 ayat 3 UU 42/1999.

Dalam pertimbangan putusannya, Mahkamah Konstitusi menunjuk pada fakta adanya perbuatan “paksaan” dan “kekerasan” dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur, dapat bahkan telah melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penerima fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur.42 Menurut Mahkamah Konstitusi, tanpa adanya penyerahan barang secara sukarela dari Debitur, Kreditor harus mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri.43 Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg yang berbunyi :

“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan

38 Ibid.

39 Ricardo Simanjuntak, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 dan Konsekuensinya Terhadap Aktivitas Kredit dan Pembiayaan serta Permasalahannya dalam Kepailitan, dalam Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Bahan Presentasi Seminar, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 18 Februari 2020, h. 12.

40 M. Hadi Shubhan, Op.Cit, h. 167.

41 Ricardo Simanjuntak, Loc. Cit.

42 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020, h. 120.

43 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020, h. 121.

(10)

372 damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”.

Apabila Debitur dinyatakan pailit, isu hukum selanjutnya yang muncul adalah kemana permohonan eksekusi atas barang yang tidak diserahkan secara suka rela oleh Debitur diajukan, Pengadilan Negeri atau Pengadilan Niaga. Mengacu pada Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg, eksekusi harus diajukan kepada Pengadilan Negeri. Namun berdasarkan Pasal 3 ayat 1 UU 37/2004, Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Niaga. Dalam hal ini terjadi benturan norma, yaitu antara : Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg dengan Pasal 3 ayat 1 UU 37/2004.

Pasal 299 UU 37/2004 menentukan bahwa : “Kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata”. Selanjutnya, Pasal 3 ayat 1 UU 37/2004 juga menyatakan bahwa : “Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor”.

Penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU 37/2004 menjelaskan bahwa : “Yang dimaksud dengan “hal-hal lain”, adalah antara lain, actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana Debitor, Kreditor, Kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya. Hukum Acara yang berlaku dalam mengadili perkara yang termasuk “hal-hal lain” adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit termasuk mengenai pembatasan jangka waktu penyelesaiannya”. Menurut M. Hadi Shubhan, kewenangan untuk memeriksa perkara pailit, penundaan kewajiban pembayaran utang dan hal lain-lain sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat 1 UU 37/2004 merupakan kewenangan absolut Pengadilan Niaga.44 Dalam hal ini, hal-hal lain yang dimaksud oleh Pasal 3 ayat 1 UU 37/2004 adalah mencakup pula perkara yang berkaitan dengan harta pailit.45

Sesuai ketentuan Pasal 3 ayat 1 UU 37/2004, pengajuan permohonan eksekusi terhadap benda jaminan fidusia dapat diajukan ke Pengadilan Niaga. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 3 ayat 1 UU 37/2004 merupakan “lex specialist “terhadap hukm acara perdata pada umumnya (sebagaimana diatur dalam HIR dan RBg).46

3. Upaya Hukum Bagi Kreditor Separatis Untuk Memaksimalkan Usaha Eksekusi Sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat 1 UU 37/2004, hak Kreditor Separatis untuk mengeksekusi sendiri benda yang menjadi jaminan fidusia adalah paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal Debitur dinyatakan dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvensi). Jangka waktu 2 (dua) bulan tersebut dapat dirasa tidak cukup oleh Kreditor Separatis apabila ternyata benda yang dijadikan jaminan fidusia masih dikuasai oleh Debitur dan/atau Debitur tidak mau secara sukarela menyerahkan benda tersebut kepada Kreditor. Jika hal ini terjadi, Kreditor Separatis akan terpaksa mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Niaga, dimana jangka waktu yang tersedia untuk permohonan tersebut adalah 60 (enam puluh hari).

44 M. Hadi Shubhan, Op.Cit, h. 103.

45 M. Hadi Shubhan, Op.Cit, h. 104.

46 R. Saija, Rekonstruksi Mekanisme Hukum Kepailitan di Pengadilan Niaga, Jurnal Hukum Acara Perdata, Vol. 2, No. 1, Januari – Juni 2016, h. 152.

(11)

373 Salah satu kritik terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 dalam kautan dengan perlindungan hukum bagi Kreditor Separatis adalah semakin berbelitnya proses eksekusi benda jaminan fidusia. Dengan didahului oleh pengajuan permohonan eksekusi dan kemudian dilanjutkan dengan proses pendaftaran lelang, hal itu tentu akan memakan banyak waktu. Dengan sedikitnya waktu yang tersedia bagi Kreditor Separatis untuk melikuidasi benda yang dijadikan jaminan pelunasan utang, tentu akan semakin besar risiko tidak tertutupinya piutang. Untuk itu, Kreditor Separatis harus mampu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.

Apabila Debitur menolak untuk menyerahkan benda yang dijadikan jaminan fidusia, Kreditor Separatis dapat melakukan upaya hukum. Upaya hukum pertama yang dapat dilakukan adalah mengajukan permohonan kepada Kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan atas hak eksekusi Kreditor. Sebagaimana diketahui, Pasal 56 ayat 1 UU 37/2004 menentukan bahwa hak eksekusi Kreditor Separatis ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Untuk mengangkat penangguhan tersebut, Kreditor Separatis mengajukan permohonan kepada Kurator. Apabila Kurator menolak permohonan tersebut, Kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada Hakim Pengawas.47 Selanjutnya, Hakim Pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan diterima, wajib memerintahkan Kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir, Kreditor Separatis untuk didengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut.48 Hakim Pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan diajukan kepada Hakim Pengawas.49

Apabila permohonan pengangkatan penangguhan dikabulkan, Kreditor Separatis dapat memohon bantuan pengamanan kepada pihak Kepolisian untuk mengambil benda jaminan fidusia sesuai dengan Perkap 8/2011. Hal ini menjadi upaya hukum kedua. Kreditor Separatis dapat pula mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Niaga setelah ditetapkannya pengangkatan masa penangguhan (masa stay) oleh Hakim Pengawas.

Namun bila permohonannya ditolak oleh Hakim Pengawas, Kreditor dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan diucapkan, dan Pengadilan wajib memutuskan perlawanan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah perlawanan tersebut diterima.50 Atas putusan ini tidak tersedia upaya hukum apapun, baik kasasi maupun peninjauan kembali.51

Apabila upaya eksekusi berjalan dengan lancar dan berhasil menjual menjual benda jaminan fidusia, Kreditor Separatis wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Kurator tentang hasil penjualan benda yang menjadi agunan dan menyerahkan sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah utang, bunga, dan biaya kepada Kurator.52 Dalam hal ada tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditor pemegang hak jaminan fidusia, maka Kreditor pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan.53 Lain halnya bila hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, Kreditor pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas

47 Pasal 57 ayat 3 UU 37/2004.

48 Pasal 57 ayat 4 UU 37/2004.

49 Pasal 57 ayat 5 UU 37/2004.

50 Pasal 58 ayat 3 UU 37/2004.

51 Pasal 58 ayat 4 UU 37/2004.

52 Pasal 60 ayat 1 UU 37/2004.

53 Pasal 60 ayat 2 UU 37/2004.

(12)

374 kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang.54

KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan yang diambil berdasarkan pembahasan antara lain disebut dibawah ini :

1. Jika Debitur telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, pada saat itu ia kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya, dan tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator.

Dengan keadaan demikian, Debitur secara hukum telah memenuhi unsur cidera janji;

2. Dalam hal Debitur telah dinyatakan pailit, maka permohonan eksekusi terhadap benda yang dijadikan jaminan fidusia harus diajukan kepada Pengadilan Niaga yang sama dengan Pengadilan Niaga yang menyatakan Debitur pailit. Hal ini sesuai dengan kewenangan absolut Pengadilan Niaga berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat 1 UU 37/2004;

3. Dalam hal benda yang dijadikan jaminan fidusia belum diserahkan secara sukarela oleh Debitur, Kreditor pemegang hak dapat mengajukan permohonan pengangkatan penangguhan atas hak eksekusinya sesuai dengan mekanisme yang berlaku pada Pasal 57 ayat 3, ayat 4 dan ayat 5 UU 37/2004. Apabila permohonan dikabulkan, Kreditor dapat mengajukan permohonan bantuan kepada Polisi untuk mengambil benda jaminan fidusia berdasarkan Perkap 8/2011, atau mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Niaga berdasarkan pasal 3 ayat 1 UU 37/1004. Hal ini dapat dilakukan segera setelah Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA BUKU :

Fuady, Munir, Jaminan Fidusia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.

Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Jakarta : Kencana, 2014.

Isnaeni, Moch., Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan, Yogyakarta : Laksbang Presindo, 2017.

Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta : Kencana, 2008, h. 49. nesia, Malang : Setara Press, 2017.

Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta : Kencana.

Simanjuntak, Ricardo, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Jakarta : Kontan Publishing, 2018.

Sjahdeini, Sutan Remy, Sejarah, Asas dan Teori Hukum Kepailitan : Memahami Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, Jakarta : Kencana, 2016.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1987.

Usanti ,Trisadini P., Abdul Shomad, Hukum Perbankan, Jakarta : Kencana, 2017.

54 Pasal 60 ayat 3 UU 37/2004.

(13)

375 Wijaya, Andika, Penanganan Perkara Kepailitan dan Perkara Penundaan Pembayaran

Secara Praxis, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2017.

Wijaya, Andika, Wida Peace Ananta, Hukum Acara Pengadilan Niaga, Jakarta : Sinar Grafika, 2018.

Wijaya, Andika. Hukum Perusahaan Pembiayaan Konvensional dan Syariah di Indo Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2005.

JURNAL :

Saija, R., Rekonstruksi Mekanisme Hukum Kepailitan di Pengadilan Niaga, Jurnal Hukum Acara Perdata, Vol. 2, No. 1, Januari – Juni 2016.

Sugarda, Paripurna P., Kontrak Standar : Antara Prinsip Kehati-Hatian Bank Dan Perlindungan Nasabah Debitur, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 20, Nomor 2, Juni 2008.

Widyari, Ida Ayu Made, et.al, Akibat Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Dalam Sistem Online, Jurnal Acta Comitas No. 2, 2017.

PROSIDING :

Hernoko, A. Yudha, Quo Vadis Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019: Problematikan Aturan atau Penerapan?, dalam Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Bahan Presentasi Seminar, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 18 Februari 2020.

Simanjuntak, Ricardo, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 dan Konsekuensinya Terhadap Aktivitas Kredit dan Pembiayaan serta Permasalahannya dalam Kepailitan, dalam Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Bahan Presentasi Seminar, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 18 Februari 2020.

Suleksono, Edy, Jaminan Fidusia di Perbankan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, dalam Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Bahan Presentasi Seminar, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 18 Februari 2020.

PUTUSAN PENGADILAN :

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam riset ini menggunakan opini pelanggan dari data tweet berdasarkan sentimen positif atau negatif untuk membandingkan algoritma klasifikasi Naive Bayes (NB) dan Support Vector