Kearifan Lokal Suku Muaro Jambi dalam Pengelolaan Lingkungan Annisa Nurul Lailatul Rahmadani
4512421017
Dalam proses pembentukan kebudayaan nasional, kepribadian budaya bangsa mempunyai kedudukan sentral karena dapat bertahan terhadap benturan budaya luar dan dapat berkembang untuk masa-masa yang akan datang. Kebudayaan ini dipandang sebagai sebuah manifestasi kehidupan setiap atau sekelompok orang yang selalu mengubah alam. Dalam perjalanannya, kegiatan manusia dalam memperlakukan lingkungan alamiahnya membentuk kebudayaan. Seperti diajarkan di lingkungan sekolah, perkembangan pendidikan sains sangat terdorong oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan sains normal.
Sedangkan di dalam lingkungan masyarakat lokal terbentuk pengetahuan asli dalam wujud pesan, adat istiadat yang diyakini oleh masyarakat dan disampaikan secara turun temurun mengenai bagaimana harus bersikap terhadap alam. Bentuk pengetahuan ini tidak terstruktur seperti halnya pengetahuan-pengetahuan berbasis kurikulum yang ditemui dalam pendidikan-pendidikan formal melainkan pengetahuan berbentuk pesan dan amanat yang disampaikan secara turun temurun di suatu masyarakat.
Supaya adat istiadat berupa kearifan terhadap ala mini tidak punah, maka pelestarian nilai-nilai luhur ini penting untuk diterapkan dan diwariskan kepada generasi penerus melalui pembelajaran sains dalam konteks budaya. Oleh karenanya, penelitian khusus mengenai pengetahuan murni di suatu masyarakat menjadi obyek yang semakin penting untuk diteliti.
Pembelajaran sains berbasis kearifan lokal ini memberikan pengalaman psikologis kepada siswa sebagai pengamat dan pelaksana kegiatan. Berdasarkan penelitian, perilaku hijau dapat dikembangkan dari nilai-niai kearifan lokal dari hutan lindung Situ Lengkong. Berkaitan dengan kearifan lokal, terdapat beberapa hal tabu yang ditaati oleh masyarakat setempat seperti larangan untuk menebang pohon, mengambil hasil hutan, berbicara kasar/sembarangan, dan berperilaku tidak senonoh.
Mereka percaya apabila hal tabu tersebut dilanggar, maka akan mendatangkan banyak petaka. Dalam hal ini, kearifan lokal dapat dimaknai sebagai wujud penjagaan dan pemeliharaan kelestarian hutan.
Bagi Suku Anak Dalam, hutan merupakan suatu kawasan yang memiliki arti begitu penting dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan keagamaan.
Masyarakat Suku Anak Dalam memiliki hutan keramat yang tidak boleh diganggu bahkan dimasuki oleh pihak tertentu tanpa izin dan kesepakatan bersama. Mereka percaya bahwa hutan keramat ini merupakan tempat bersemayam segala macam makhluk ghaib dan dewa. Dalam hal ini, sebuah tradisi tidak dapat dipisahkan dari mitos yang mengiringi tradisi Suku Anak Dalam tersebut.
Tradisi yang dilakukan Suku Anak Dalam dapat bermacam-macam, salah satunya tradisi mereka dalam melakukan perladangan. Perladangan ini merupakan tradisi suku Anak Dalam dalam mengolah hutan. Dalam menanam tanam-tanaman, Suku Anak Dalam tidak menanamnya hanya untuk dikonsumsi sendiri melainkan juga untuk dijual ke pasar.
Dalam mengelola hutan, Suku Anak Dalam mengenal wilayah peruntukan seperti mancah, matiko ukor, nobong, ngengong totobongan, bekor, menugal, perawatan dan penyiangan, dan manen. Susunan aktivitas ini merupakan suatu kesatuan yang selalu dilakukan suku Anak Dalam dari kelompok manapun. Aktivitas ini disertai dengan beberapa ritual dan melantunkan seloko yang diyakini dapat menyenangkan hati para dewa.
Menurut Suku Anak Dalam, lading yang sudah lama ditinggalkan karena alasan melangun akan berubah menjadi sesap, merupakan lading yang ditinggalkan namun masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka jika mereka kembali dari melangun.
Setelah tidak menghasilkan makanan pokok, sesap berubah menjadi belukor. Belukor tidak menghasilkan makanan pokok, namun masih menyisakan tanaman buah-buahan dan berbagai tumbuhan yang akan tumbuh dan bermanfaat seperti durian, duku, rambutan, cempedak, petai, pohon sialang, dan beragam jenis rotan. Belukor ini akan berubah menjadi benuaron yaitu kebun penghasil makanan berupa buah-buahan dan kayu yang bermanfaat. Kemudian seiring berjalannya waktu, benuaron ini akan besar dan menua lalu kembali menjadi rimbo atau hutan.