ASSIGNMENT 3
Kronologi Kisruh RI-Uni Eropa yang Berujung di WTO Regionalism/Integrasi Economy
(https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211119131437-92-723411/kronologi-kisruh-ri- uni-eropa-yang-berujung-di-wto)
BY
NAME: Annisa Tjioe Ching - Ching CLASS: IR 24 – SP
Hubungan Indonesia dengan Uni Eropa (EU)
Hubungan kerjsama antara Indonesia dan Uni Eropa sudah terbilang cukup lama. Pada tahun 1967, sebelum EEC berubah menjadi EU, untuk pertama kalinya menjalin hubungan kerjsama dengan ASEAN. Alhasil hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Uni Eropa dihasilkan melalui kerjasama ASEAN dan EU (Uni Eropa). Kerja sama yang dilakukan meliputi bidang ekonomi dan perdagangan, politik dan keamanan, budaya dan lain sebagainya.
Indonesia merupakan negara bagian ASEAN yang pertama menandatangani kesepakatan dengan Uni Eropa melalui Kemitraan Komperhensif (Partnership and Cooperation Agreement – PCA) pada tahun 2009. Kesepakatan yang dilakukan oleh Indonesia, menjadikan hubungan antara Indonesia dengan Uni Eropa sebagai payung hukum dan politik hubungan bilateral.
Kerja sama yang dilakukan oleh keduanya, terbilang cukup memuaskan terutama pada sektor ekonomi dan perdagangan. Hal ini dikarenakan, Indonesia dan Uni Eropa memiliki kedekatan dalam hubungan ekonomi yang dapat dibuktikan dengan tingginya minat perusahaan- perusahaan di Eropa untuk melakukan ekspor ke Indonesia serta berminat untuk melakukan investasi yang besar akibat besarnya pertumbuhan pasar di Indonesia. Saat ini, perusahaan- perusahaan Eropa yang beroperasi di Indonesia telah mempekerjakan lebih dari 1,1 juta orang.
Kerjasama ekonomi dan perdagangan
Ekspor utama Indonesia ke Uni Eropa berupa minyak hewani atau nabati dan lemak, tekstil, alas kaki, mesin dan peralatan serta produk plastik dan karet. Namun, komoditas utama yang paling banyak diekspor ke Uni Eropa adalah minyak kelapa sawit. Jumlah impor minyak kelapa sawit di Uni Eropa mencapai angka hingga 49%.
Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti yang sangat penting dalam membangun perekonomian nasional. Selain dapat menciptakan kesempatan kerja yang baik bagi
kesejahteraan masyarakat, juga sebagai sumber perolehan devisa negara. Kelapa sawit juga menjadi produk yang diminati oleh investor karena memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Negara produsen kelapa sawit dunia ialah Indonesia dan Malaysia, namun potensi aeral perkebunan kelapa sawit terbesar terdapat di Indonesia.
Kelapa sawit juga memiliki produk turunan berupa biodiesel. Produk biodiesel ini, diorientasikan kepada pasar ekspor Eropa, mengingat semakin tinggi permintaan untuk kebutuhan pembangkit listrik dan transportasi. Biodiesel sawit dapat menjadi barang yang diminati karena harganya yang kompetitif dibandingkan dengan biodiesel minyak nabati lainnya seperti kedelai.
Sedangkan Uni Eropa, menjadikan peralatan dengan teknologi tinggi sebagai perdagangan yang cukup baik bagi Indonesia, seperti: perlengkapan manufaktur, perlengkapan bidang transport dan bahan kimia.
Berikut merupakan diagram mengenai perdagangan barang dan jasa dari Indonesia ke Uni Eropa:
Konflik yang terjadi antara Indonesia dengan Uni Eropa (Ekonomi)
Kerjasama yang terjadi antara Indonesia dengan Uni Eropa tidak selamanya berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari munculnya isu mengenai ‘penghentian penggunaan biodiesel kelapa sawit’ oleh Parlemen Eropa pada Januari 2018.
Konflik yang terjadi antara keduanya diakibatkan adanya tuduhan dumping produk biodiesel asal Indonesia. Konflik ini berawal dari negara Indonesia sebagai negara pengekspor bahan
Perdagangan jasa Indonesia – Uni Eropa
2014- 2016 Perdagangan barang Indonesia – Uni
Eropa 2014- 2016
bakar nabati didunia, bahkan 90% negara Uni Eropa yang mengimpor biodiesel dari Indonesia. Namun, Uni Eropa menyatakan bahwa Indonesia telah menjual biodiesel mereka kepada anggota Uni Eropa dengan harga dibawah nilai normal. Berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Uni Eropa, pemberlakuan bea masuk tambahan diberlakukan akibat industri biodiesel di Uni Eropa dirugikan oleh impor biodiesel dari Indonesia.
Pemberkaluan BMAD (BEA Masuk Antidumping) mulai di selidiki oleh Komisi Eropa yang berasal dari pengaduan oleh EBB (European Biodiesel Board) sebagai grup resmi biodiesel Eropa yang tergabung juga oleh beberapa perusahaan. EBB menyatakan bahwa Indonesia menjual harga biodiesel dibawah rata-rata, yang tentunya hal ini dapat merugikan banyak pihak. Hingga akhirnya biodiesel asal Indonesia dikenakan BMAD sebesar € 76,94 hingga € 178,85 per ton.
Melihat hal ini, akibatnya Indonesia harus mengalami penurunan produksi biodiesel yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Sebenarnya, kekayaan yang dimiliki Indonesia berupa kelapa sawit menjadi bukti produksi biodiesel Indonesia yang tinggi. Akibat adanya produksi yang tinggi, sehingga harga penjualan biodiesel menjadi lebih murah. Namun, hal ini malah dijadikan senjata utama bagi Uni Eropa untuk mengenakan tarif berupa BMAD (sanksi terhadap negara-negara yang melakukan dumping) kepada Indonesia.
Sebelumnya, produk biodiesel dari Indonesia membuat kerugian terhadap beberapa perusahaan biodiesel di Eropa. Hal ini diakibatkan karena harga jual yang Indonesia berikan kepada pasar ekspor di Eropa lebih murah. Untuk itu, Uni Eropa pada akhirnya menerapkan BMAD terhadap biodiesel Indonesia. Untuk itu, Indonesia memerlukan langkah yang jelas untuk dapat menyelesaikan masalah ini, karena dampak yang ditimbulkan tidak hanya pada kerugian ekonomi, namun Indonesia secara tidak langsung juga akan kehilangan pasar besarnya yaitu sebagai eksportir biodiesel besar dari Indonesia.
Kampanye negatif yang berdampak pada ekspor sawit (Politik)
Berdasarkan pada konflik yang terjadi antara Indonesia dengan Uni Eropa, Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam melihat keterpurukan ekonomi Indonesia akibat pemberlakuan BMAD oleh Uni Eropa sebesar 8,8% hingga 23,3%. Akhirnya, pemerintah Indonesia melakukan gugatan kepada WTO (World Trade Organization) atas sikap Uni Eropa terhadap Indonesia.
Setelah melalui sidang yang panjang, pada akhirnya WTO memenangkan gugatan Indonesia pada tahun 2018. Untuk itu, Uni Eropa harus menghapus pemberian tarif BMAD terhadap Indonesia mulai 16 Maret 2018.
Meskipun Indonesia telah memenangkan gugatan, namun permasalahan tidak selesai sampai disitu saja. Melainkan lembaga perusahaan-perusahaan lain yang menjual minyak selain kelapa sawit juga tidak tinggal diam. Mereka memiliki cara lain untuk menangkal minyak sawit meskipun Indonesia berhasil memenangkan gugatannya di WTO. Hal ini dilatarbelakangi dengan adanya rasa takut kalah dalam bersaing. Sehingga pada akhirnya, terciptalah sebuah kampanye negatif yang ingin menjatuhkan Indonesia. Kampanye negatif ini dilakukan oleh Uni Eropa dengan cara menghasut sejumlah negara untuk mengurangi impor kelapa sawit dari Indonesia dengan berbagai argument negatif yang disampaikan terkait kesehatan dan lingkungan. Minyak sawit dikatakan memiliki pengelolaan yang tidak baik, pembukaan lahan kelapa sawit yang hanya mengakibatkan pemanasan global dan pengundulan hutan serta pernyataan yang mengatakan bahwa minyak sawit memiliki lemak jenuh yang tinggi.
Hal ini mengakibatkan Indonesia merasa terdiskriminasi melalui tindakan Uni Eropa dalam kampanye negatif-nya terhadap produk kelapa sawit Indonesia yang berdampak terhadap penurunan ekspor produk ke sejumlah negara. Seperti adanya beberapa negara yang mulai mengurangi impor kelapa sawit dari Indonesia, antara lain Italia, Spanyol, Belanda dan India.
Hingga ditahun 2018, Indonesia mengalami penurunan sebesar 5% dari 2,53 juta ton mengakibatkan negara-negara yang menjadi tujuan utama seperti Uni Eropa, China, India dan Amerika Serikat mengalami penurunan impor sehingga hal ini berdampak pada nilai ekspor minyak sawit nasional.
Sudut pandang realisme
Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, dapat dilihat bahwa hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Uni Eropa sering mengalami perselisihan terutama dalam sektor perdagangan.
Maka, menurut pandangan realisme, permasalahan yang terjadi antara Indonesia dengan Uni Eropa kadang kala bisa terjadi. Hal ini dikarenakan, baik Indonesia maupun Uni Eropa sama- sama memiliki kepentingan dan interest-nya masing-masing dan mereka juga saling berusaha menggunakan kekuataan atau power yang dimiliknya. Adanya ancaman perang dagang antara Indonesia dengan Uni Eropa menjadi salah satu keterkaitannya dengan teori realisme.
Jika dijabarkan lebih lanjut, pandangan realisme dapat dilihat dari kerjasama antara Indonesia dengan Uni Eropa yang tidak saling menguntungkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya konflik internasional (politik internasional anarkis) diantara keduanya pada sektor perdagangan yaitu kelapa sawit.
Berikut merupakan analisis realisme terhadap sikap Uni Eropa yang ingin memberhentikan impor sawit dari Indonesia dan sikap Indonesia yang tidak ingin berdiam diri dan mencoba untuk melakukan serangan balik kepada Uni Eropa:
a. Kebijakan Uni Eropa terhadap impor sawit Indonesia
Dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa terhadap perhentian impor sawit Indonesia yang beralasan untuk menyelamatkan lingkungan atau ingin mengganti energi sawit menjadi energi yang diperbaharui. Hal ini menjadikan Uni Eropa memiliki kepentingan atau interest- nya sendiri. Bahkan disaat Indonesia mengajukan gugatan kepada WTO, Uni Eropa tidak peduli dan menjadikan kebijakan tersebut menjadi kebijakan yang resmi.
Selain itu, Uni Eropa juga merasa memiliki power atau kekuatan dalam melakukan mitra dagang yang strategis dengan Indonesia dalam mengekspor produk manufaktur.
Sehingga, Uni Eropa merasa bahwa Uni Eropa memiliki kekuatan atau power yang lebih dibandingkan dengan Indonesia.
Grafik produksi Sawit 2015 - 2019
Dalam hal ini, sikap yang ditunjukan oleh Uni Eropa merupakan sikap yang egois dan individualistik sehingga hal ini yang menjadikan Uni Eropa tetap teguh kepada pendiriannya dalam hal kebijakan dalam menghentikan impor sawit dari Indonesia.
b. Serangan yang dilakukan Indonesia terhadap Uni Eropa
Serangan balik yang dilakukan Indonesia terhadap Uni Eropa adalah dengan membuat kebijakan berupa larangan memberhentikan ekspor biji nikel ke Uni Eropa. Tentunya hal ini akan menimbulkan kegelisahan kepada Uni Eropa. Sikap Indonesia ini, menunjukan bahwa Indonesia memiliki kekuatan atau power, karena biji nikel yang berasal dari Indonesia merupakan hak Indonesia sendiri dalam mengekspor atau tidak mengekspor biji nikel tersebut.
Kepentingan atau interest yang dimiliki Indonesia, Indonesia dapat mengelola biji nikel itu sendiri untuk memajukan industri pemurnian dan peleburan dalam negeri guna untuk memperluas lapangan pekerjaan.
Ancaman yang dilakukan Indonesia dalam melakukan perang dagang dengan Uni Eropa, didasari oleh sifat individualistik dan egois yang dimiliki oleh suatu negara. Dalam konteks Indonesia dengan Uni Eropa, sikap egois dan individualistik timbul akibat adanya keinginan suatu negara yang meinginkan untuk selalu unggul dalam berkompetitif dan tidak ingin kalau negaranya dimanfaatkan oleh negara lain. Konflik yang akan diselesaikan berdasarkan pandangan realisme, diantara keduanya akan diselesaikan dengan cara berperang demi mempertahankan kesejahteraan dan kepentingan untuk negara mereka.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang disampaikan, dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang terjadi antara Indonesia dengan Uni Eropa berkaitan dengan industri kelapa sawit merupakan hal yang sensitif. Seperti halnya penjualan minyak sawit oleh Indonesia diekspor ke negara Eropa dengan harga yang rendah. Sedangkan penjualan minyak di Eropa dilakukan dengan harga yang tinggi. Sehingga hal ini secara tidak langsung merusak pasar internasional. Untuk itu, Uni Eropa melakukan kebijakan untuk melarang impor sawit dari Indonesia. Sebetulnya, Indonesia melakukan ekspor dengan biaya yang rendah ke negara Eropa dikarenakan produksi akan kelapa sawit yang tinggi di Indonesia. Maka dari itu, persoalan perdagangan kelapa sawit yang terjadi diantara keduanya dikatakan sensitif. Keduanya sama-sama memiliki kepentingannya masing-masing yang harus diupayakan agar terwujud. Namun, sebenarnya kepentingan diantara keduanya memiliki titik temu yang dapat menyelaraskan kesenjangan yang tercipta. Akan tetapi, keduanya tetap mencoba pada kebenarannya masing- masing yang tentu saja hal ini tidak akan dapat menyelesaikan masalah.
Aksi EU dalam melarang impor kelapa sawit dengan alasan menyelamatkan kepentingan lingkungan karena kerusakan yang disebabkan oleh industri kepala sawit, bukanlah sebuah kebenaran. Karena hal ini tentu saja akan menimbulkan resiko yang jauh lebih besar, seperti hilangnya minyak kelapa sawit dari pasar minyak nabati membuat kebutuhan dunia akan minyak nabati akan beralih kepada minyak lobak, minyak kedelai, minyak bunga matahari yang memiliki produktifitas serta efektifitas yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelapa sawit. Efektifitas serta produktifitas yang rendah akan membuat komoditas minyak nabati selain minyak kelapa sawit membutuhkan lahan yang lebih luas dengan kuantitas yang sama dalam jangan waktu yang sama juga dengan minyak kelapa sawit. Dalam hal ini, EU tidak memikirkan dampak yang akan terjadi kedepannya.
Kampanye negatif yang dilakukan oleh EU juga menonjolkan sikap EU yang mencari kesalahan Indonesia untuk dijadikan instrument proteksionisme. Apabila penyidikan dapat diverifikasi dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, maka Indonesia bisa saja membawa masalah ini ke ranah hukum internasional (power). Namun, hal ini belum terlaksanakan dan
hanya berharap kepada pemerintah untuk melakukan tindakan aktif dalam menangani kasus ini seperti memberikan sertifikasi bagi produk sawit Indonesia agar dapat sesuai dengan standar Eropa, sehingga minyak sawit Indonesia dapat bersaing kembali dengan sehat di pasar Uni Eropa.
Kesimpulan akhir, apabila Indonesia tidak dapat mengekspor kembali kelapa sawit, maka dampak yang akan dirasakan bagi Indonesia adalah mengalami penurunan penjualan yang cukup merugikan dalam waktu jangka pendek. Akan tetapi, negara-negara lainnya seperti Italia, Spanyol, Belanda dan India bahkan Uni Eropa akan ikut terkena dampaknya, karena mereka kehilangan untuk mengimpor kelapa sawit sebagai komoditas minyak nabati yang dapat menciptakan manfaat ekonomi di negara-negara importir.