• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA YURIDIS ATAS DISKRIMINASI PRODUK KELAPA SAWIT INDONESIA OLEH UNI EROPA BERDASARKAN KERANGKA HUKUM WTO SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISA YURIDIS ATAS DISKRIMINASI PRODUK KELAPA SAWIT INDONESIA OLEH UNI EROPA BERDASARKAN KERANGKA HUKUM WTO SKRIPSI"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

FRANS KALEP S.P. HUTABARAT NIM : 160200316

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Frans Kalep S.P. Hutabarat

NIM : 160200316

Judul Skripsi :Analisa Yuridis atas Diskriminasi Produk Kelapa Sawit Indonesia oleh Uni Eropa Berdasarkan Kerangka Hukum WTO

Dengan ini menyatakan :

1. Skripsi yang saya tulis ini adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggungjawab saya.

Dengan pernyataan ini saya buat dengan dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Medan, Maret 2020

Frans Kalep S.P. Hutabarat

NIM: 160200316

(4)

i

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat, kemurahan, ramhat, dan kebaikan-Nya yang selalu melampaui akal dan pikiran Penulis.Pengetahuan, kebijakan, waktu, kesempatan, dan kesehatan selalui dilimpahkan-Nya kepada Penulis sehingga Penulisan Skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi tugas dan syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Adapun Skripsi ini berjudul Analisa Permasalahan Diskriminasi Produk minyak kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa berdasarkan Kerangka Hukum WTO.

Proses perjalanan yang panjang untuk menyelesaikan Skripsi ini tidaklah mudah dan banyak sekali hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam mengerjakan Skripsi ini. Berkat tuntunan-Nya, kerja keras dan keseriusan, Penulis bisa sampai pada titik proses akhir penulisan Skripsi ini.

Dalam penulisan Skripsi ini, Penulis banyak mendapatkan arahan, bimbingan, bantuan, motivasi, dan doa. Sehingga pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

(5)

ii

3. Bapak Prof. Dr. Saidin, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Prof.Dr.Bismar Nasution, S.H.,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I Penulis membimbing, memotivasi, dan memberikan ilmu yang bermanfaat;

7. Ibu Tri Murti Lubis,S.H.,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi di fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Dr.Mahmul Siregar, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis, yang tegas, selalu membantu dan membimbing, dan mempunyai banyak sekali pengetahuan di bidang ekonomi khususnya perdagangan internasional;

9. Ibu Dr. Affila, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik;

10. Bapak/ibu Dosen dan seluruh Staf Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing Penulis selama delapan semester perkuliahan yang dijalani Penulis;

(6)

iii

terhingga sehingga Penulis bisa menyelesaikan perkuliahan;

12. Saudara-saudara Penulis, Kakak Dessy Theresia Hutabarat yang saat ini bekerja sebagai Guru di Semarang dan Adek Zean Y.N Hutabarat yang selalu memberi dukungan dan doa sehingga Penulis bisa menyelesaikan pendidikan sampai ke jenjang ini;

13. Kelompok kecilku EL-Shadai, Bang Elia Silitonga, S.H, Krismoniati Daeli,Lovis Zebua, Afelia Pardede, dan Erlinta yang selalu menjadi tempat ceritaku, tempat bertumbuh, dan mendoakan selama perkuliahan;

14. Sahabat dari semester satu sampe sekarang dalam hal bercerita, berselisih dan bermainku di Hita Namardongan dan THE REDS : Sautmo, Armon, Ronaldo, Ary, Adi, Jonathan, Andre,Gefri,Nico dan yang lainnya;

15. Teman-temanku di KPS FH USU dan khususnya Delegasi AML V : Bang Reinhard , Bang Samuel, Kak Elva, Kan Penita sebagai ibu rohani di delegasi, Dina, Dodi, Sheryn partner menjadi Penuntut Umum, David, Edwin, Irna kawan berantam awak, Yossi ,Inka yang cerewet, Dek Dysa yang gendut, dan Dek Syah yang tukang melawan,yang menjadi tempatku belajar dan berkompetisi;

16. Teman-teman Pengurus Bidang Kompetisi KPS FH USU tahun 2018-2019 : Sheryn , Adil Ginting, Dodi, Edwin, yang menjadi teman dalam mengharumkan nama KPS FH USU dalam lomba NMCC ataupun CMCC

(7)

iv

17. Orang spesial Ruth FM Pardede, yang selalu mengatakan saya ambis dalam pengerjaan skripsi ini dan yang pernah menemani saya di perpus dalam pengerjaan skripsi ini;

18. Teman-teman stambuk 2016 khususnya Kelas D, dan juga Teman-teman IMAHMI , terima kasih buat semua bantuan dan kebersamaanya;

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini sangatlah sederhana dan jauh dari kata sempurna.Oleh karena itu Penulis meminta maaf kepada pembaca Skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dari Penulis. Besar harapan Penulis, semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan.

Medan, Maret 2020 Hormat Saya

Frans Kalep S.P. Hutabarat 160200316

(8)

v HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PEMBIMBING

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ...vii

DAFTAR ISTILAH ASING ...ix

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ...1

B. Perumusan Masalah ...10

C. Tujuan Penulisan ...10

D. Manfaat Penulisan ...11

E. Keaslian Penulisan ...12

F. Tinjauan Pustaka ...14

G. Metode Penelitian ...21

H. Sistematika Penulisan ...23

BAB II PENGATURAN KEBIJAKAN RENEWABLE ENERGY II DITINJAU DARI KERANGKA HUKUM WTO DAN HUBUNGAN DALAM SISTEM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Kerangka Hukum WTO ...25

1. Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan World Trade Organization ...25

2. Tujuan dan fungsi WTO ...29

3. Garis-garis besar ketentuan WTO ...31

4. Keanggotan dalam WTO dan mengikat Perjanjian dan Putusan WTO...40

5. Prinsip-Prinsip dalam WTO ... 44

(9)

vi

C. Kedudukan Kebijakan Renewable Energy Direcyive II and Delegated Regulation dalam Sistem Perdagangan Internasional...52 BAB III DAMPAK DAN TINDAKAN INDONESAI TERHADAP

KEBIJAKAN UNI EROPA ...61 A. Sejarah dan Latar Belakang Kebijakan Renewable Energy Direcyive II and Delegated Regulation ...61 B. Dampak dari Kebijakan Renewable Energy Direcyive II and Delegated Regulation Terhadap Produk Minyak Kelapa Sawit Indonesia ...68 C. Alasan-alasan Indonesia Menggugat Uni Eropa ...73 BAB IV PENYELESAIAN DISKRIMINASI PERDAGANGAN PRODUK

KELAPA SAWIT INDONESIA OLEH UNI EROPA...76 A. Sistem penyelesaian Sengketa WTO ...76

1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa WTO ...76 2. Tahapan Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional

dalam WTO ...81 3. Pelaksanaan Putusan ...90 B. Ketentuan Hukum Yang digunakan dalam penyelesaian Sengketa

Diskriminasi Perdagangan Produk Kelapa Sawit Indonesia Oleh Uni Eropa ...93 C. Penyelesaian Sengketa Diskriminasi Perdagangan Produk Kelapa

sawit antara Indonesia dan Uni Eropa ...100

(10)

vii

B. Saran ...109 DAFTAR PUSTAKA...112

(11)

viii

Dr. Mahmul Siregar, SH. M.Hum**

Frans Kalep S.P. Hutabarat***

Skripsi ini membahas tentang permasalahan diskriminasi produk kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa. Dikeluarkannya kebijakan Renewable Energy Direcyive II ( RED II) pada tanggal 21 Desember 2018 sebagai hukum yang bersifat Supransional oleh Parlemen Uni Eropa sebagai bentuk perhatian besar terhadap energi keberlanjutan, karena permasalahan serius yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan global warming di berbagai negara. Implementasi kebijakan ini dapat dianggap memunculkan diskriminasi berupa hambatan- hambatan dagang yang tidak perlu bagi perdagangan internasional terutama bagi perdagangan biofuel berbasis Crude Palm Oil (CPO) dari negara penghasil sawit khususnya Indonesia.

Metode penelitian mengenai permasalahan diskriminasi produk kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa adalah penelitian hukum normatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang dikumpulkan dengan cara studi kepustkaan dan dianalisis dengan metode kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan dikeluarkannya kebijakan Renewable Energy Direcyive II ( RED II) sebagai bentuk perhatian Uni Eropa terhadap energi terbarukan dalam mencegah permasalahan serius yang mengakibatkan perubahan iklim dan global warming menimbulkan diskrimkinasi berupa hambatan-hambatan dagang yang diindikasikan melanggar prinsip-prinsip fundamental General Agreement of Tariff and Trade (GATT) yaitu prinsip Most- Favourable Nation dan National Treatment yang diatur dalam Technical Barrier to Trade (TBT) Agreement yang menjadi perjanjian turunan dari Piagam WTO.

Langkah-langkah yang dapat diambil Indonesia dalam menanggapi kebijakan tersebut adalah dengan mengajukan peninjauan kembali terhadap ketentuan- ketentuan dalam Renewable Energy Direcyive II ( RED II) yang merugikan Indonesia, tindakan bersama dari pihak Indonesia dan Uni Eropa dalam mencari kebenaran scientific dari ILUC dengan melakukan joint research terhadap dampak sawit terhadap lingkungan hidup serta melakukan pengoptimalan “self regulation”. Agar tidak terciptanya diskriminasi terhadap sawit Indonesia.

Kata kunci: WTO,GATT, RED II, diskriminasi

* Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(12)

ix Ad valorem Tariff

: Tarif yang dikenakan sebagai suatu proporsi nilai barang yang diimpor

Appellate Body : Badan banding Balance of Payment : Neraca pembayaran Bilateral consultation : Konsultasi bilateral

Biofuel : Bahan bakar hayati

Culture Indenty : Identitas budaya Compliance Review : Peninjauan kembali

Contracting Parties : Negara-negara yang menjadi peserta suatu perjanjian atau konvensi internasional

Countervaling Trade Practies

: Tindakan defensif yang diambil oleh suatu negara untuk melawan keuntungan akibat kebijakan proteksi yang dilakukan negara lain

Currency Devaluations : Devaluasi mata uang mengakibatkan naiknya harga produk barang impor

Custom Union : Sebuah perjanjian yang negosiasinya diarahkan untuk menghasilkan kesepakatan untuk menghapus jenis-jenis bea dalam perdagangan bilateral dan membentuk tarif bea bersama untuk importir asing

Delegated Regulation : Ketentuan Turunan

Dispute Settlement Body : Badan penyelesaian sengketa Dispute Settlement

Understanding

: Sebuah perjanjian yang didalamnya terkandung aturan-aturan dan prosedur-prosedur penyelesaian sengketa di WTO

Dumping : Praktek suatu negara yang menjual produknya di negara lain dengan harga yang lebih murah (di bawah harga normal) dengan maksud untuk

(13)

x

Equality : Kesamaan atau kesetaraan

Export Quotas : Perjanjian internasional yang menetapkan batasan/kuota terhadap barang ekspor

Final Act : Kesepakatan akhir

Free Trade Area : Kawasan Perdagangan Bebas General Articles : Ketentuan umum

General Exeptions : Pengecualian Umum

Green Protecsionist : Kebijakan Uni Eropa dalam memproteksi dengan alasan lingkungan

High Risk : Beresiko tinggi

Import Quotas : Menetapkan batasan/kuota terhadap pasokan barang impor, sehingga harga barang tersebut menjadii mahal dan tidak kompetitif dipasar domestik

Indirect Land Use Change

: Perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung

Joint Research : Penelitian Bersama Legally Bound : Terikat secara hukum

Most Favoured Nations : Prinsip yang menekankan perlakuan sama dalam kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya untuk semua negara anggota WTO

National Treatment : Prinsip yang menekankan bahwa produk dari suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri

Non-Tariff Barriers : Pemerintah menghambat arus masuk impor seperti menetapkan beberapa standarisasi barang impor diantaranya kesehatan, keamanan,

(14)

xi

Power Based : Aturan yang berkekuatan Hukum

Rapessed : Minyak nabati

Renewable Energy Direcyive

: Petunjuk energi terbarukan

Rule based : Berdasarkan aturan

Safeguards : Tindakan defensif lainnya yang dapat dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri, salah satunya akibat diberlakukannya penurunan tarif bagi produk impor

Special Agreement : Perjanjian khusus Sustainable Development

Goals

: Tujuan pembangunan berkelanjutan

Tariff : Hambatan dagang berupa penetapan pajak atas barang impor yang mengakibatkan harga barang tersebut mahal didalam negeri

Tariff Binding : Perlindungan melalui tariff Tariff Schedules : Jadwal tarif

Tax : Pajak

Technical Barrier to Trade

: Tindakan atau kebijakan suatu negara yang bersifat teknis yang dapat menghambat perdagangan internasional, dimana penerapannya dilakukan sedemikian rupa sehingga menimbulkan suatu hambatan perdagangan

Uruguay Round : Putaran Uruguay

Violation Complaint : Pengaduan terhadap anggota lain akibat pelanggaran aturan WTO yang menimbulkan kerugian

(15)

1 A. Latar Belakang

Hukum dan perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah ekonomi yang mengarah pada perdagangan bebas dapat mengakibatkan implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi bagi perkembangan ekonomi negara-negara berkembang ,termasuk Indonesia.1 Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Fakta yang sekarang ini terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbuka dalam sejarah perkembangan dunia.

Perdagangan internasional merupakan faktor yang sangat penting bagi setiap negara. Oleh karena itu , sangat diperlukan hubungan perdagangan antarnegara yang tertib dan adil. Untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan di bidang perdagangan internasional ,diperlukan aturan –aturan yang mampu menjaga serta memelihara hak-hak dan kewajiban para pelaku perdagangan internasional ini. Perangkat hukum internasional yang mengatur hubungan dagang antar negara terkandung dalam dokumen GATT yang ditandatangani negara-negara tahun 1947, dan mulai diberlakukan sejak tahun 1948. Dari waktu ke waktu ketentuan GATT disempurnakan lewat berbagai putaran perundingan ,terakhir lewat perundingan-perundingan putaran Uruguay (1986-

1 Syahyu Yulianto, Hukum Anti Dumping di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 15

(16)

1994) yang berhasil membentuk sebuah organisasi Perdagangan dunia (World Trade Organization [WTO]). Badan inilah yang selanjutnya akan melaksanakan dan mengawasi aturan-aturan perdagangan internasional yang telah dirintis GATT sejak tahun 1947. Aturan-aturan GATT 1947 di integrasikan kedalam sistem WTO yang tidak hanya mengatur perdagangan barang ,tetapi juga perdagangan jasa, masalah hak milik intelektual, dan aspek- aspek penanaman modal yang terkait.2 Usaha untuk memperketat aturan penyelesaian sengketa GATT dan dicantumkan dengan tegas norma-norma hukum internasional dalam dokumen WTO yang merupakan suatu kontribusi ke arah penegakan hukum internasional di bidang perdagangan internasional dewasa ini sangat tepat momentumnya karena negara-negara adidaya telah menanggalkan konfrontasi ideologinya dan hampir seluruh dunia sedang bergerak ke arah sistem perdagangan bebas. Pembentukan WTO memberikan prospek yang baik bagi seluruh negara untuk menempuh kebijakan perdagangan bebas dalam batas rule of law.3

Globalisasi ekonomi dan perdagangan internasional yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia, memerlukan pengaturan yang bersifat internasional yang akan mengatur perdagangan internasional. Seperti yang dikemukakan oleh mantan Direktur Jenderal GATT dan WTO, Peter Sutherland pada tahun 1997 menyatakan bahwa tantangan yang dunia hadapi adalah tantangan untuk membentuk suatu sistem (ekonomi) internasional yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara maksimal, tetapi juga dapat menciptakan keadilan (equality). Sistem seperti ini adalah sistem yang dapat

2 AK Syahmin, Hukum Dagang Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 12

3 Ibid, hal. 14

(17)

mengintegrasikan negara-negara yang kuat dan yang lemah dalam upaya mereka memperluas tingkat pertumbuhan ekonomi. Menurut Sutherland, sistem yang dicita-citakan tersebut juga harus dapat menciptakan perdamaian dan kemakmuran di masa yang akan datang dan sistem tersebut hanya dapat terwujud melalui terciptanya suatu kerja sama internasional untuk mencari pendekatan-pendekatan dan lembaga internasional yang efektif.4

Setidak-tidaknya terdapat empat alasan utama akan pentingnya pengaturan hukum yang mengatur perdagangan internasional, yaitu:5

1. Negara-negara harus menahan diri dan mencegah untuk melakukan tindakan-tindakan pembatasan terhadap perdagangan baik bagi kepentingan negara yang bersangkutan maupun bagi ekonomi dunia.

Pengaturan perdagangan internasional dapat mencegah negara-negara untuk melakukan tindakan-tindakan pembatasan terhadap perdagangan. Negara-negara juga harus menyadari bahwa apabila mereka mengambil dan melakukan tindakan-tindakan yang membatasi perdagangan, negaranegara lainpun akan melakukan hal yang serupa.

Hal ini akan menimbulkan banyaknya tindakan pembatasan dan hal tersebut dapat mendatangkan atau menimbulkan bencana bagi perkembangan perdagangan internasional dan bagi kesejahteraan ekonomi global, pengaturan perdagangan internasional membantu untuk menghindari lonjakan terjadinya tindakan-tindakan yang membatasi perdagangan.

4 An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal, (Bandung: PT. Alumni, 2011), hal.

118

5 Ibid, hal. 119

(18)

2. Adanya kebutuhan dari para pedagang dan penanam modal akan keamanan dan kepastian untuk melakukan usaha. Peraturan perdagangan internasional menawarkan dan menyediakan keamanan dan kepastian. Para pedagang dan penanam modal terikat oleh ketentuan atau peraturanperaturan hukum yang dapat menentukan dan mempengaruhi usaha-usaha para pedagang dan penanam modal di negara yang bersangkutan. Kepastian dan keamanan yang dihasilkan dari adanya pengaturanpengaturan perdagangan internasional akan mendorong penanaman modal dan perdagangan dan akhirnya akan mendorong kesejahteraan global.

3. Pemerintah nasional sendiri tidak akan dapat menghadapi tantangan- tantangan yang timbul dari globalisasi ekonomi. Perlindungan dari pentingnya nilai-nilai yang berkaitan dengan kemasyarakatan (societal values) misalnya kesehatan publik, lingkungan yang bersih, keamanan konsumen, identitas kebudayaan (culture identity) dan standar minimum upah pekerja. Faktor-faktor tersebut merupakan hasil dari berkembangnya perdagangan barang dan jasa, dan tidak lagi merupakan urusan nasional semata tetapi malah lebih merupakan suatu masalah yang mempunyai akibat atau pengaruh internasional. Upaya untuk melindungi nilai-nilai dalam masyarakat pada tingkat nasional dan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah nasional itu sendiri tidak akan efektif dan sia-sia atau tidak berguna. Tindakan-tidakan ini walaupun sering secara tidak langsung atau tidak secara terang- terangan berkaitan dengan pengaturan dari perdagangan, tetapi

(19)

kenyataannya bahwa tindakan yang berbeda dari negara satu dengan negara yang lain merupakan suatu yang merusak perdagangan internasional. Peraturan-peraturan perdagangan internasional bertugas untuk menjamin bahwa negara-negara tetap melakukan tindakantindakan atau membuat peraturan nasional hanya apabila memang perlu untuk perlindungan terhadap nilai-nilai dalam masyarakat seperti yang dikemukakan diatas. Lebih jauh lagi peraturan-peraturan perdagangan internasional memperkenalkan suatu harmonisasi hukum antara pengaturan domestik yang membolehkan suatu negara melakukan tindakan untuk melindungi kepentingan masyarakatnya dan perlindungan internasional terhadap nilai-nilai tersebut.

4. Adanya kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar akan kebersamaan hal dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional . Tanpa peraturan-peraturan perdagangan internasional, pengikatan dan pelaksanaan peraturan serta peraturan-peraturan yang khusus diperlukan bagi negara-negara berkembang, beberapa negara tidak akan dapat melakukan integrasi secara penuh dalam sistem perdagangan internasional dan memperoleh suatu keuntungan- keuntungan dari perdagangan internasional.

Persetujuan-persetujuan yang ada dalam kerangka World Trade Organization (WTO) bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang mengatur masalah-masalah perdagangan agar lebih bersaing secara

(20)

terbuka, fair dan sehat.6 Pendukung perdagangan bebas mengklaim bahwa World Trade Organization (WTO) adalah suatu lembaga yang otoritatif melindungi kepentingan Negara-negara berkembang dengan pemberian perlakuan dan preferensi yang berbeda sebagaimana tertuang dalam persetujuan GATT dengan Negara-negara berkembang.7

Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya. Dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dan lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.

Suatu sengketa dapat terjadi apabila ada pertentangan misalnya karena adanya pelanggaran ketentuan GATT yang menimbulkan kerugian salah satu pihak. Di dalam GATT tidak mengenal istilah ganti rugi atau penyitaan karena GATT mengatur tingkah laku perdagangan untuk mencapai harmonisasi antara peraturan internasional dan kebijaksanaan nasional. Penyelesaian sengketa perdagangan dalam World Trade Organization (WTO), memuat sekitar tiga puluh bentuk, termasuk beberapa kewenangan untuk melakukan tindakan sepihak dari peserta yang dirugikan.8

Sebagai negara berkembang Indonesia memerlukan kepastian hukum yang lebih besar ketimbang negara-negara maju guna menjamin perdagangan internasional yang terbuka dan adil. Indonesia sendiri memiliki banyak

6 Christhophorus Barutu, Seni Bersengketa di WTO, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2015), hal. 2

7 Ade Maman Suherman, Hukum Perdagangan Internasional: Lembaga Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2014), hal. 7

8 Thor B. Sinaga, Efektifitas Peran dan Fungsi WTO (World Trade Organization) dalam Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional, Jurnal Hukum Lex et Societatis, Vol. II/No.

8/Sep-Nov/2014, hal. 118

(21)

hubungan perdagangan internasional dengan berbagai negara contohnya adalah Indonesia dengan negara-negara Uni Eropa.

Indonesia dan Uni Eropa memiliki hubungan ekonomi yang dekat. Hal ini terbukti dari tingginya minat perusahaan-perusahaan Eropa untuk melakukan ekspor ke Indonesia. Perusahaan tersebut juga memiliki minat berinvestasi yang besar dikarenakan besarnya pertumbuhan pasar Indonesia.

Saat ini, perusahaan-perusahaan Eropa yang beroperasi di Indonesia telah mempekerjakan lebih dari 1,1 juta orang. Perdagangan bilateral antara Uni Eropa dan Indonesia dalam komoditas non-migas mencapai € 25,1 milliar pada tahun 2016. Dari jumlah tersebut, € 14,6 milliar merupakan hasil dari ekspor Indonesia ke Uni Eropa.9

Pada tahun 2016, Uni Eropa merupakan tujuan terbesar ketiga dari ekspor non-migas Indonesia setelah Amerika Serikat dan Tiongkok. Ekspor utama Indonesia ke Uni Eropa adalah lemak dan minyak hewani atau nabati, mesin dan peralatan, tekstil, alas kaki serta produk plastik dan karet. Minyak kelapa sawit dari Indonesia merupakan komoditas yang paling banyak diekspor ke Uni Eropa. Jumlahnya mencapai 49% dari total impor Minyak kelapa sawit di Uni Eropa. Sedangkan, ekspor Uni Eropa ke Indonesia kebanyakan merupakan peralatan teknologi tinggi, perlengkapan bidang transportasi, produk manufaktur dan bahan kimia. Nilai perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa di bidang jasa berjumlah € 6,1 milliar.10

9https://setkab.go.id/bertemu-presiden-parlemen-eropa-presiden-jokowi-bahas diskriminasi-bagi-cpo-indonesia (diakses pada 3 Februari 2020)

10 EEAS-European External Action Service (dalam bahasa Inggris).

https://eeas.europa.eu/headquarters/headquarters-homepage_en, diakses tanggal 3 Februari 2020

(22)

Akan Tetapi pada tahun 2019 Uni Eropa mengeluarkan kebijakan bertajuk Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Direcyive II yang diajukan oleh Komisi Eropa, Kebijakan yang dikeluarkan tersebut diangggap mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan Biofuel berbasis minyak kelapa sawit sehingga beredampak negatif terhadap ekspor kelapa sawit Indonesia di pasar Uni Eropa.

Ada beberapa ketentuan yang akan mempengaruhi penggunaan sawit dalam bahan bakar di Uni eropa yaitu :

1. Renewable Energy Direcyive II menetapkan kewajiban Uni Eropa untuk memenuhi Target 14% energi terbarukan pada sektor transportasi . Ketetapan ini sabagai bagian target total energi terbarukan sebesar 32%

Pada tahun 2030.

2. Pada 2020 sampai 2030 , perhitungan bahan bakar nabati yang berisiko tinggi Indirect Land Use Change ( High-Risk ILUC) dibatasi maksimum sebesar konsumsi pada tahun 2019. Artinya ,konsumsi minyak sawit di Uni eropa akan dikunci pada volume tertentu maksimum sepanjang periode tersebut

Sementara ,untuk komoditas yang berisiko rendah Indirect Land Use Change ( High-Risk ILUC) dibatasi sebesar konsumsi pada tahun 2020 dengan batas maksimum 7% dari total konsumsi biofuel,setelah itu mulai Januari 20224 ,baru kalkulasi untuk komoditas yang beresiko tinggi Indirect Land Use Change ( High-Risk ILUC) alias minyak sawit diturunkan secara bertahap (phase-out) sampai 0% pada tahun 2030. Artinya , penggunaan minyak sawit

(23)

di uni eropa akan terus dikurangi hingga mencapai nol pada 2030 sesuai dengan tujuan Renewable Energy Direcyive II,oleh karena itu pemberlakuan aturan uni eropa ini akan sangat mempengaruhi industri sawit Indonesia.11

Dalam penggunaan tanah , minyak kelapa sawit dibandingkan dengan jenis minyak nabati lainnya 9 kali lebih efisien,dengan kata lain minyak nabati yang dihasilkan dari bunga matahari atau kacang kedelai mempergunakan luas tanah 5 sampai 9 kali lebih banyak dari pada tanaman kelapa sawit. Minyak kelapa sawit mempergunakan 6.6% dari penggunaan tanah bumi,dan telah menghasilkan 38,7% kebutuhan minyak nabati untuk keperluan pangan dunia, akan tetapi Uni eropa sama sekali tidak mempermasalahkan atau mendiskriminasi minyak nabati yang berasal dari tanaman keledai yang berasal dari Amerika Serikat. Tanaman kedelai mempergunakan 9 kali banyak lahan untuk memproduksi 1 ton minyak nabati dari pada tanaman kelapa sawit . Amerika justru sama sekali tidak mengindahkan kesepakatan Paris mengenai perubahan Iklim , dimana Indonesia jelas memenuhi syarat dalam kesepakatan ini.12 Hal ini pun akan berakibat buruk bagi 19 juta jiwa manusia Indonesia ,petani,pekerja dan keluarganya akan terkena dampak diskriminasi tersebut dan melanggar kesepakatan Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai butir satu Sustainable Development Goals (SDG) atau tujuan pembangunan berkelanjutan dan Juga melanggar ketentuan hukum dalam WTO yaitu Prinsip Most Favoured Nations (MFN) dalam artian semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam

11 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5df75e216c6f5/indonesia-gugat-uni-eropa- soal-diskriminasi-kelapa-sawit-di-wto (diakses pada 3 Februari 2020)

12Gontha Peter,/Kelapa sawit dan Diskriminasi Uni Eropa,http://

https://news.detik.com/kolom/d-4507446/kelapa-sawit-dan-diskriminasi-uni-eropa,diakses, 3 Februari 2020

(24)

pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta menyangkut biaya-biaya lainnya yang diatur dalam Article I section (1) GATT 1947, yang berjudul General Favoured National Treatment yang merupakan kerangka hukum dari WTO.13

Berdasarkan uraian diatas maka penting untuk diteliti atau di analisis permasalahan Diskriminasi Produk minyak kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa berdasarkan Kerangka Hukum WTO.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang merupakan rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan Umum mengenai kebijakan Renewable Energy Direcyive II and Delegated Regulation dari Uni Eropa Ditinjau dari kerangka Hukum WTO dan hubungannya dengan perdagangan internasional?

2. Bagaimana dampak dari kebijakan Renewable Energy Direcyive II and Delegated Regulation dari Uni Eropa Terhadap produk minyak sawit Indonesia ?

3. Ketentuan hukum apakah yang dapat diterapkan sebagai landasan penyelesaian diskriminasi produk kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

13 Astim Riyanto, World Trade Organization (Organisasi Perdagangan Dunia) (Bandung: Yapemendo, 2003), hlm. 49

(25)

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk Mengetahui pengaturan umum mengenai kebijakan Renewable Energy II and Delegated Regulation dari Uni Eropa yang ditinjau dari kerangka hukum WTO dan hubungannya dengan perdagangan internasional.

b. Untuk mengetahui dampak dari kebijakan Renewable Energy II and Delegated Regulation dari Uni Eropa terhadap produk minyak sawit Indonesia.

c. Untuk mengetahui ketentuan hukum yang diterapkan sebagai landasan penyelesaian diskriminasi produk kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa.

2. Manfaat

Tulisan ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :

a. Secara Teoritis

Tulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi awal dalam bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis guna mengetahui lebih lanjut tentang Ketentuan Hukum WTO dalam Penyelesaian Permasalahan diskriminasi Produk dagang Sawit Indonesia oleh Uni Eropa

b. Secara Praktis

(26)

Tulisan ini secara praktis dapat memberikan bahan masukan bagi para pihak yang berkaitan dengan sengketa internasional di bidang perdagangan dalam kaitannya dengan bentuk-bentuk diskriminasi perdagangan Internasional dan Penyelesaian Permasalahan Dengan Ketentuan Hukum WTO.

D. Keaslian Judul

Skripsi ini berjudul “ Analisa Yuridis atas Diskriminasi Produk Kelapa Sawit Indonesia oleh Uni Eropa Berdasarkan Kerangka Hukum WTO”.

Sehubungan dengan keaslian judul Skripsi ini, penulis melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

Oleh karenanya, keaslian dan kebenaran ini dapat dipertanggungjawab kan oleh penulis sendiri dan telah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi secara akademik yaitu kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka. Penulis menyusun skripsi ini melalui referensi buku-buku dan informasi dari media cetak maupun media elektronik. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan, terutama secara ilmiah atau secara akademik.

Penulisan skripsi ini memiliki kemiripan dengan beberapa skripsi yang sudah ditulis oleh beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Nama : Suci Yunita Siregar

(27)

NIM : 030200081

Judul :Penerapan Prinsip Non-Diskriminasi Pada Sistem Perdagangan Multilateral Dalam Kerangka WTO (World Trade Organization)

2. Nama : Sahyan Aritonang NIM : 980200125

Judul : Upaya Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Diantara Sesama Anggota WTO Menurut Isi Ketentuan Perjanjian WTO ( World Trade Organization)

Walaupun terdapat kemiripan dengan beberapa judul di atas, namun terdapat perbedaan signifikan mengenai substansi pembahasan. Penelitian yang dilakukan dengan judul “Analisa Yuridis atas Diskriminasi Produk Kelapa Sawit Indonesia oleh Uni Eropa Berdasarkan Kerangka Hukum WTO” Secara Khusus Membahas tentang tindakan Diskriminasi oleh Uni Eropa terhadap Produk kelapa sawit dari Indonesia yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum WTO ,sedangkan skripsi yang berjudul “Penerapan Prinsip Non-Diskriminasi Pada Sistem Perdagangan Multilateral Dalam Kerangka WTO (World Trade Organization)” membahas mengenai prinsip non-diskriminasi dalam kerangka WTO dan skripsi Yang berjudul “Upaya Penyelesaian sengketa perdagangan Internasional Diantara sesama anggota WTO Menurut Isi Ketentuan perjanjian WTO ( World Trade Organization)” membahas upaya penyelesaian sengketa perdagangan internasional sesama anggota WTO.

(28)

Apabila dikemudian hari, ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat maka hal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban dikemudian hari.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. World Trade Organization (WTO)

Berdirinya WTO telah memberikan konsekuensi bagi Indonesia sebagai salah satu diantara 125 negara yang ikut menandatangani perjanjian WTO dan telah meratifikasinya melalui UU No. 7 Tahun 1994 pada tanggal 2 November 1994. Dengan ratifikasi ini maka seluruh ketentuan dalam WTO wajib dilaksanakan oleh Indonesia. Pelaksanaan ketentuan WTO tersebut dilakukan dengan menyesuaikan seluruh ketentuan yang berlaku di bidang perdagangan/perekonomian dengan ketentuan-ketentuan WTO tersebut.

World Trade Organization (WTO) memiliki status sebagai Organ Khusus PBB seperti halnya IMF dan IBRD. WTO memiliki fungsi mendukung pelaksanaan administrasi dan menyelenggarakan persetujuan yang telah dicapai untuk mewujudkan sasaran. Persetujuan-persetujuan tersebut merupakan forum perundingan bagi negara anggota mengenai persetujuan- persetujuan yang telah dicapai,termasuk keputusan-keputusan yang kemudian di tentukan dalam pertemuan tingkat menteri, mengadministrasi pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan, mengadministrasi mekanisme peninjauan kebijakan dibidang Perdagangan. Menciptakan Kerangka Kerja sama internasional dengan IMF dan Bank Dunia,serta badan- badan lain yang terfiliasi.

(29)

Prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya Perjanjian mengenai Jasa (GATS), Perdagangan yang terkait dengan Penanaman Modal (TRIMs), dan juga dalam Perjanjian mengenai Perdagangan yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (TRIPS). Adapun prinsip-prinsip yang dijalankan oleh GATT antara lain sebagai berikut:14

1) Prinsip non diskriminasi yang meliputi:

a. Prinsip Most Favored Nation (MFN), prinsip ini diatur dalam pasal I ayat (1) GATT 1947 yang berjudul general favored nation treatment, prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non diskriminatif, keringanan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dan mitra dagang negara anggota lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera tanpa syarat terhadap produk yang berasal / yang diajukan kepada semua anggota GATT.

b. Prinsip perlakuan nasional (national treatment / NT principle) Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1947, berjudul national treatment on international taxation and regulation, prinsip ini menyatakan bahwa,

“this standard provides for inland parity that is say equality for treatment between nation and foreigners”.

2) Prinsip resiprositas (reciprocity), prinsip ini diatur di dalam pasal II GATT 1947. prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT, prinsip ini

14Hata, Hukum Ekonomi Internasional, ( Bandung: Setara Perss, 2016), Hal. 120

(30)

tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan- perundingan tariff yang didasarkan atas dasar timbal balik dan saling menguntungkan kepada kedua belah pihak, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra datangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut. Prinsip ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya pertukaran barang antara dua negara secara timbal balik yang menghendaki adanya kebijaksanaan / konsensi yang seimbang dan saling menguntungkan antara negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan internasional.

3) Prinsip larangan restriksi (pembatasan) kuantitatif yang menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan retriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT terhadap ekspor impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor / ekspor, retriksi penggunaan lisensi impor dan ekspor pengawasan pembayaran produkproduk impor / ekspor), pada umumnya dilarang (pasal IX) hal ini disebabkan karena praktek perdagangan yang demikian mengganggu praktek perdagangan yang normal.

4) Prinsip perdagangan yang adil (fairness), prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang dumping (pasal VI) dan subsidi (pasal XVI), dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijakan tersebut, justru menimbulkan kerugian bagi negara lainnya. Dalam perdagangan internasional, prinsip fairness ini diarahkan untuk menghilangkan praktek- praktek ekonomi yang disebut dengan praktek subsidi dan dumping.

(31)

5) Prinsip perlindungan melalui tarif (tariff binding principle), setiap anggota Negara WTO harus mematuhi berapapun besarnya tariff yang telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tariff mengikut, prinsip ini diatur dalam pasal II ayat (1) GATT-WTO 1995. Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industry domestic melalui tariff (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya sehingga masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat.15

Dalam prakteknya pada GATT, penyelesaian sengketa yang diterapkan menggunakan ketentuan yang ada pada perjanjian GATT sendiri.

Dalam berbagai perjanjian komersial seringkali terdapat ketentuan mengenai penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase. Namun seringkali pula perjanjian tersebut mengandung ketentuan yang samar-samar mengenai aspek enforcement. Demikian pula dalam GATT, yang juga mengandung elemen yang agak samar-samar mengenai enforcement. Seperti yang akan dilihat dibawah tujuannya bukan untuk melakukan enforcement dalam arti ”punitif”

dan menghukum satu pihak yang melanggar tetapi untuk mencabut tindakan yang melanggar dan mengembalikan atau melakukan ”restorasi” kembali keuntungan yang diperoleh dari perjanjian yang telah diganggu akibat tindakan dari salah satu anggota.16

Dalam GATT, sistem penyelesaian sengketa yang berkembang merupakan elemen yang cukup khas yang tidak terdapat pada lembaga

15 Ibid., hal. 122

16 H.S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sistem, Kelembagaan, Prosedur Implementasi, dan Kepentingan Negara Berkembang, (Jakarta: UI-Press, 2000), hal.125

(32)

multilateral lainnya. Penyelesaian sengketa ini merupakan salah satu jenis kegiatan yang lambat laun telah melembaga dalam GATT. Hal ini berarti bahwa khusus dalam bidang penyelesaian sengketa, berdasarkan atas pengalaman institusional sejak didirikannya GATT, telah tersusun suatu sistem dan tata cara yang semakin berbentuk. Dalam kata lain, dengan telah berjalannya sistem tata cara yang telah tersusun sejak 40 tahun lamanya, maka telah tercipta suatu insitutional memory yang menjadi landasan dalam melaksanakan kegiatan penyelesaian sengketa.17 Dalam proses perundingan Uruguay Round telah ditentukan cara untuk melakukan perundingan untuk menyempurnakan sistem penyelesaian yang ada dalam GATT. Tujuan dan prosedur untuk melakukan perundingan tersebut ditentukan dalam Deklarasi Punta del Este. Mengikuti pedoman tersebut maka perundingan Uruguay Round akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk menyempurnakan sistem penyelesaian sengketa. Dengan berhasilnya perundingan Uruguay Round, maka di bidang dispute settlement, sebagai salah satu hasil adalah diterapkannya Understanding on Rules Procedures Governing the Setlement of Disputes (DSU). Perjanjian ini memperjelas lagi arah dari mekanisme penyelesaian sengketa yang akan diterapkan pada tahun-tahun mendatang.18

Mekanisme penyelesaian sengketa yang telah disepakati sebagai hasil Uruguay Round tersebut akan semakin memperkuat prosedur GATT yang sudah ada. Prosedur penyelesaian sengketa yang telah disepakati pada Mid- term Review Uruguay Round di Montreal, Desember 1988 sebagai hasil interim¸ telah memperketat prosedur yang berlaku dan penunjukan panel,

17 Ibid., hal. 128

18 Ibid., hal. 177

(33)

kerangka acuan, dan komposisi panel, tidak lagi ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dengan berbagai penyempurnaan tambahan maka telah disepakati suatu perjanjian yang lengkap di bidang penyelesaian sengketa.19

2. Kebijakan Renewable Energy Direcyive II and Delegated Regulation Pada November 2016, Komisi Eropa menerbitkan inisiatif “Clean Energy for all Europeans”. Sebagai bagian dari paket ini, Komisi mengadopsi proposal legislatif untuk menyusun kembali Petunjuk Renewable Energy Direcyive. Dalam konteks prosedur pengambilan keputusan bersama, teks kompromi terakhir di antara lembaga-lembaga UE disepakati pada Juni 2018.

Pada Desember 2018, arahan energi terbarukan yang direvisi 2018/2001 / EU mulai berlaku. Dalam RED II, target keseluruhan UE untuk konsumsi sumber energi terbarukan pada tahun 2030 telah dinaikkan menjadi 32%. Proposal asli Komisi tidak termasuk sub-target transportasi, yang telah diperkenalkan oleh co-legislator dalam perjanjian akhir: Negara-negara anggota harus meminta pemasok bahan bakar untuk memasok minimal 14% dari energi yang dikonsumsi dalam transportasi jalan dan kereta api pada tahun 2030 sebagai energi terbarukan.

Petunjuk 2009/28/EC menentukan target energi terbarukan nasional untuk tahun 2020 untuk setiap negara, dengan mempertimbangkan titik awalnya dan potensi keseluruhan untuk energi terbarukan. Target ini berkisar dari yang terendah 10% di Malta hingga yang tertinggi 49% di Swedia.Negara- negara UE menetapkan bagaimana mereka berencana untuk memenuhi target 2020 ini dan arah umum kebijakan energi terbarukan mereka dalam rencana

19 Ibid., hal. 177-178

(34)

aksi energi terbarukan nasional.Kemajuan menuju target nasional diukur setiap dua tahun ketika negara-negara UE mempublikasikan laporan kemajuan energi terbarukan nasional.20

Nilai emisi GRK default dan aturan perhitungan disediakan dalam Lampiran V (untuk biofuel cair) dan Lampiran VI (untuk biomassa padat dan gas untuk produksi listrik dan panas) dari RED II. Komisi dapat merevisi dan memperbarui nilai standar emisi GRK ketika perkembangan teknologi membuatnya perlu. Operator ekonomi memiliki opsi untuk menggunakan nilai intensitas GHG default yang disediakan pada RED II atau untuk menghitung nilai aktual untuk jalurnya.

Ini menetapkan batas pada biofuel berisiko tinggi, bioliquid dan bahan bakar biomassa dengan ekspansi yang signifikan di tanah dengan stok karbon tinggi. Batasan-batasan ini akan memengaruhi jumlah bahan bakar yang dapat diperhitungkan oleh Negara-negara Anggota terhadap target nasional mereka ketika menghitung keseluruhan bagian nasional dari energi terbarukan dan bagian energi terbarukan dalam transportasi. Negara-negara anggota masih akan dapat menggunakan (dan mengimpor) bahan bakar yang dicakup oleh batas-batas ini, tetapi mereka tidak akan dapat memasukkan volume ini ketika menghitung sejauh mana mereka telah memenuhi target terbarukan mereka.

Batasan ini terdiri dari pembekuan di level 2019 untuk periode 2021-2023, yang secara bertahap akan menurun dari akhir 2023 menjadi nol pada 2030.21

20 https://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/PDF/?uri=CELEX:32019R0807 ( diakses pada 5 Februari 2020)

21 https://ec.europa.eu/info/law/risk-management-and-supervision-insurance-companies- solvency-2-directive-2009-138-ec/amending-and-supplementary-acts/implementing-and-

delegated-acts_en ( diakses pada 8 Februari 2020)

(35)

Arahan juga memperkenalkan pengecualian dari batas ini untuk biofuel, bioliquid dan bahan bakar biomassa yang disertifikasi sebagai risiko ILUC rendah.Untuk pelaksanaan pendekatan ini, seperti yang disyaratkan oleh arahan, Komisi telah mengadopsi Peraturan Delegasi (UE) 2019/807, mengikuti periode dua bulan pengawasan untuk Parlemen Eropa dan Dewan sebagaimana didefinisikan dalam prosedur standar komitologi UE

Tindakan yang didelegasikan ini menetapkan kriteria khusus baik untuk:22

1. menentukan bahan baku berisiko-ILUC yang tinggi di mana perluasan signifikan area produksi menjadi lahan dengan stok karbon tinggi diamati; dan

2. sertifikasi biofuel risiko rendah ILUC, bioliquid dan bahan bakar biomassa.

Komisi juga telah mengadopsi laporan terlampir tentang status perluasan produksi tanaman pangan dan pakan yang relevan di seluruh dunia, berdasarkan data ilmiah terbaik yang tersedia. Laporan ini memberikan informasi yang dapat digunakan oleh negara-negara anggota bersama dengan kriteria yang ditetapkan dalam tindakan yang didelegasikan untuk mengidentifikasi bahan bakar berisiko ILUC tinggi dan mensertifikasi bahan bakar risiko ILUC rendah.23

22https://kumparan.com/maulana-hadalfath/penyebab-terjadinya-persengketaan-kelapa- sawit-antara-indonesia-dan-uni-eropa ( diakses pada 9 Februari 2020)

23https://ec.europa.eu/jrc/en/jec/renewable-energy-recast-2030-red-ii (diakses pada 5 Februari 2020)

(36)

F. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.24 Dengan metode penelitian normatif tersebut, penelitian ini akan menganalisis hukum baik yang tertulis dalam literatur - literatur, maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), yaitu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, serta sumber data sekunder lainnya.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskritif analitis. Deskritif berarti bahwa penelitian ini menggambarkan keberlakuan dan dampak dari kebijakan Renewable Energy II and Delegated Regulation Oleh Uni Eropa terhadap produk kelapa sawit Indonesia berdasarkan kerangka hukum WTO.

3. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini meliputi data sekunder. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data melalui pengkajian terhadap literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum,

24 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hal. 15.

(37)

bahan kuliah, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan hakim yang berkaitan dengan peneltian ini.

4. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori- teori, asas-asas, norma-norma, doktrin terpenting yang relevan dengan permasalahan. Membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

G. Sistematika Penulisan

Secara umum, sistematika penulisan ini terdiri dari 5 bab. Bab satu merupakan pendahuluan, bab ini ,menguraikan latar belakang dari permasalahan dari penulisan ini. Melalui latar belakang tersebut, dapat diidentifikasi tiga rumusan permasalahan yang akan dibahas dan dikaji, diuraikan juga tujuan dan manfaat dalam penulisan. Uraian mengenai keaslian penulis, menyatakan bahwa penulisan ini belum pernah dilakukan dalam pendekatan dari perumusan permasalahan yang sama. Selanjutnya untuk memudahkan penelitian, dijelaskan metode penelitian dan sistematika penulisan sebagai gambaran dari keseluruhan isi dari penelitian.

Bab dua berjudul Pengaturan Kebijakan Renewable Energy II Ditinjau dari Kerangka Hukum WTO dan Hubungan Dalam Sistem Perdagangan Internasional. Bab ini memaparkan mengenai kerangka hukum WTO dari

(38)

mulai sejarah, tujuan dan fungsi WTO, garis-garis besar ketentuan WTO, keanggotaan dalam WTO dan mengikan perjanjian dan putusan WTO dan dikaji juga mengenai ketentuan umum dalam kebijakan Renewable Energy II and Delegated Regulation serta kedudukan nya dalam sistem perdagangan internasional

Bab tiga berjudul Dampak dan Tindakan Indonesia terhadap Kebijakan Uni Eropa. Bab ini memaparkan sejarah dan latar belakang dari kebijakan Renewable Energy II and Delegated Regulation serta dampaknya terhadap produk minyak kelapa sawit Indonesia dan alasan-alasan Indonesia menggugat Uni Eropa.

Bab empat berjudul Penyelesaian Diskriminasi Perdagangan Produk Kelapa Sawit Indonesia Oleh Uni Eopa. Bab ini memaparkan bagaimana sistem penyelesaian sengketa WTO dimulai dari mekanisme penyelesaian sengketa WTO, tahapan penyelesaian sengketa perdagangan internasional dalam WTO serta pelaksanaan putusan dan ketentuan hukum yang digunakan dalam penyelesaian sengketa diskriminasi perdagangan produk kelapa sawit antara Indonesia dan Uni Eropa.

Bab lima sebagai penutup, memuat kesimpulan dari penellitian yang merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang diungkapkan dalam bab pendahuluan dan saran sebagai rekomendasi yang dapat disumbangkan dalam penyelesaian tindakan Diskriminasi terhadap produk kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa.

(39)

25 BAB II

PENGATURAN KEBIJAKAN RENEWABLE ENERGY II DITINJAU DARI KERANGKA HUKUM WTO DAN HUBUNGAN DALAM SISTEM

PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Kerangka Hukum WTO

1. Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan World Trade Organization Perdagangan internasional pada Perang Dunia II berada dalam keadaan yang tidak menentu. Banyak perangkat dari subsistem yang menunjang kelancaraan perdagangan yang telah merusak baik institusional maupun fisik. Dan pada akhir Perang Dunia II 1945, negara-negara sekutu sebagai pihak pemenang perang mulai mengambil upaya untuk membenahi sistem perekonomian dan perdagangan internasional berdasarkan kerjasama antarnegara.

ECOSOC suatu badan dibawah PBB, pada sidang pertamanya telah mengambil resolusi untuk mengadakan konferensi guna menyusun piagam internasional di bidang perdagangan. Pada waktu yang bersamaan, pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan suatu draft mengenai piagam untuk International Trade Organization (ITO) sebagai langkah menangani masalah perdagangan internasional pada bulan Februari 1946.25

Suatu panitia persiapan ITO dibentuk dan bersidang di Landon 18 Oktober sampai 26 Desember 1946 sebagai langkah menyusun inisiatif tersebut. Panitia persiapan berhasil mengeluarkan suatu rancangan Piagam Landon (The Landon Draft Charter). Namun anggota peserta pertemuan itu

25H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO (Jakarta: Universitas Indonesia Press (UI Press), 1996), hlm. 64

(40)

gagal oleh karena AS (Amerika Serikat) sebagai salah satu peserta tidak bersedia meratifikasi mencapai kata sepakat untuk mengesahkan rancangan piagam tersebut.

Suatu pertemuan diadakan pada tanggal 21 November 1947 sampai dengan 24 Maret 1948 yang berlangsung di Havana. Pertemuan ini membahas piagam ITO oleh delegasi dari 66 negara. Pertemuan berhasil mengesahkan piagam Havana. Namun sampai dengan pertengahan tahun 1950 negara-negara peserta menemui kesulitan dalam meratifikasi piagam ITO. Dengan kegagalan ITO dijadikan realitas maka telah dibentuk apa yang dinamakan dengan GATT (General Agreement on Tariff and Trade).

GATT sendiri sebenarnya menjelma setelah pada akhir Perang Dunia II, negara-negara yang telah menang perang ini tidak berhasil mendirikan apa yang mereka namakan “International Trade Organization”. Menurut tujuannya semula, maka ITO ini akan dibentuk sebagai “Specialized Agency” dari PBB.

ITO ini semula diharapkan agar dapat membangun kembali sistem ekonomi moneter sebelum perang dunia dengan mengatasi kekurangan yang telah dikemukakan terhadap perdagangan bebas.26

Sejarah GATT dipengaruhi oleh berbagai faktor politis, baik ekonomi maupun institusional di negara penandatanganan perjanjian. Dalam proses ke arah terwujudnya GATT dapat dicatat bahwa inisiatif utama untuk mengambil langkah, yang akhirnya sampai pada pembentukan GATT diambil Amerika Serikat dan sekutunya terutama Inggris, pada waktu Perang Dunia II masih melanda.

26 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Perdagangan Internasional (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 108

(41)

GATT yang telah ditandatangani pada 30 Oktober 1947 oleh 23 negara, bukanlah merupakan suatu konstitusi atau anggaran dasar tetapi merupakan suatu “Common Code Coducy” untuk internasional. GATT merupakan alat untuk stabilisasi secara progresif dari tarif bea masuk dan merupakan forum untuk konsultasi, forum perundingan untuk bicara secara berkala antara negara-negara peserta (Contracting Practicess-CPS). Disamping itu juga disediakan prosedur untuk konsiliasi dan penyelesaian sengketa atau biasa disebut dengan (Seetlement of Dispute Mechanism).

Konsultasi, forum perundingan untuk bicara secara berkala antara negara-negara peserta (Contracting Practicess-CPS). Disamping itu juga disediakan prosedur untuk konsiliasi dan penyelesaian sengketa atau biasa disebut dengan (Seetlement of Dispute Mechanism).

GATT dibentuk sebagai suatu dasar wadah yang sifatnya sementara setelah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul kesadaran masyarakat internasional akan suatu lembaga multilateral disamping Bank Dunia dan International Monetaring Fund (IMF). Kebutuhan akan adanya suatu lembaga multilateral yang khusus pada waktu ini sangat dirasakan benar. Pada waktu itu masyarakat internasional menemui kesulitan untuk mencapai kata sepakat mengenai pengurangan dan penghapusan berbagai kuantitatif serta diskriminasi perdagangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terulangnya praktik proteksionisme yang berlangsung pada tahun 1930-an yang memukul perekonomian dunia.27

27 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 102

(42)

GATT mendirikan usaha di Palais Des Nation dari Liga Bangsa- bangsa lama yang digantikan oleh PBB. Palais tersebut berada di Jenewa, dimana GATT sejak saat itu mendirikan bangunan kantor pusat untuk menempatkan sekretariatnya. Untuk mengurangi tarif dan rintangan perdagangan lainnya, perundingan GATT diselenggarakan dalam delapan putaran yang dimulai pada tahun 1947. Delapan putaran tersebut adalah Putaran Jenewa tahun 1947, Putaran Annecy tahun 1949, Putaran Turki tahun 1951, Putaran Jenewa tahun 1956, Putaran Jenewa (Dillon) tahun 1960-1961, Putaran Jenewa (Kennedy) tahun 1964-1967, Putaran Jenewa (Tokyo) tahun 1973-1979, Putaran Jenewa (Uruguay) tahun 1986-1994, dan Putaran Doha tahun 2001 yang masih berlangsung sampai dengan saat ini. Sebagai hasil dari kesimpulan perundingan GATT Putaran Uruguay yang berhasil, pada tanggal 1 Januari 1995 maka WTO menggantikan Sekretariat GATT dan mulai mengatur sistem hukum perdagangan internasional.

WTO secara resmi berdiri Pada tanggal 1 Januari 1995, meneruskan peran yang sebelumnya dilaksanakan oleh General Agreement on Tariff and Trade/GATT (Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan). GATT sebagai pendahulu ( The Predecessor) WTO bertujuan untuk pengurangan tarif dalam perdagangan internasional dan pengurangan tarif tersebut merupakan komitmen yang mengikat secara hukum.28

World Trade Organization adalah organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan menfasilitasi perdagangan internasional. WTO adalah suatu lembaga perdagangan multilateral yang permanen, peranan WTO

28 Sutiarnoto,Hukum Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional(Medan:USU Press,2016),hal. 2

(43)

akan lebih kuat daripada GATT. Hal ini secara langsung tercermin dalam struktur organisasi dan pengambil keputusan.29

GATT sebagai lembaga yang telah mengalami transformasi telah menjelma sebagai suatu lembaga baru dengan wewenang dan wawasan substantif yang jauh lebih luas. Rangkaian perjanjian yang disepakati mencakup penyempurnaan aturan GATT yang ada. Dengan perluasan wewenang dan wawasan substantif tersebut maka WTO sebagai lembaga penerus GATT akan mempunyai peranan luas pada tahun-tahun mendatang.

2. Fungsi dan Tujuan WTO a. Fungsi WTO

WTO harus betul-betul menjalankan fungsinya secara baik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Ada tiga fungsi WTO dalam mencapai tujuannya, yaitu:30

1) Sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara anggota dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the rule of the road for the trade).

2) Sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Disini diupayakan agar praktik perdagangan dapat dibebaskan dari rintanganrintangan yang mengganggu (liberalism perdagangan).

Selain itu, WTO mengupayakan agar aturan atau praktik perdagangan demikian itu menjadi jelas agar aturan atau praktik

29 Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi Analisis), (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2005), hal. 51

30 Huala Adolf, Op. Cit., hal. 98-102

(44)

perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable), baik melalui pembukaan pasar nasional atau melalui penegakkan atau penyebarluasan pemberlakuan peraturannya.

3) Sebagai suatu “pengadilan” internasional dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota WTO lainnya. Fungsi penyelesaian sengketa ini sifatnya penting dan pengaturannya mengalami perkembangan yang menarik. WTO semula hanyalah aturan kesepakatan mengenai perdagangan internasional. WTO bukan lembaga khusus yang dilengkapi dengan badan khusus atau aturan khusus tentang penyelesaian sengketa perdagangan multilateral.

WTO adalah satu-satunya instrument multilateral di bidang perdagangan internasional yang disepakati bersama dengan negara- negara anggotanya (Contracting Parties). Disamping pedoman bagi hubungan internasional, WTO juga merupakan forum dimana negara anggotanya dapat membahas dan menanggulangi masalah-masalah perdagangan yang dihadapi.

Sesuai dengan fungsinya, WTO sebagai lembaga internasional yang mengatur sistem dan mekanisme perdagangan internasional yang telah menciptakan kerangka kerja dalam Uruguay Round. Tujuan dari putaran atau perundingan ini bertujuan untuk mempercepat liberalisasi perdagangan internasional.

b. Tujuan WTO

(45)

Tujuan utama WTO adalah untuk menciptakan persaingan sehat di bidang perdagangan internasional bagi para anggotanya dan juga membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam kegiatan perdagangan. Tujuan WTO adalah:31

1) Untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan;

2) Menjamin terciptanya lapangan pekerjaan;

3) Meningkatkan produksi dan perdagangan serta;

4) Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia.

Para pihak WTO memasuki suatu rencana timbal balik yang menguntungkan yang diarahkan untuk mengurangi tarif dan rintangan- rintangan pada perdagangan lainnya dan menghilangkan diskriminasi dalam perdagangan internasional. Dengan memperhatikan tujuan-tujuan di atas sangat umum sifatnya, yang mana rencana itu ditujukan untuk dapat memberikan sumbangannya secara tidak langsung pada tujuan ini melalui promosi perdagangan yang bebas dan multilateral.

3. Garis-garis Besar Ketentuan WTO

WTO adalah sebuah organisai Internasional yang secara khusus Mengatur mengenai tarif dan perdagangan yang dimuat dalam sebuah perjanjian internasional. Kata “perdagangan” disini mempunyai arti sempit,yaitu hanya meliputi perdagangan barang-barang yang nyata (goods).

Jadi didalam hal ini termasuk jasa-jasa atau penanaman modal. Dalam perjanjian GATT/WTO termasuk didalamnya komitmen terinci atas jadwal tarif ( tarif schedules ) yang memenuhi banyak teks perjanjian. Tetapi GATT

31 Suci Yunita Siregar, Penerapan Prinsip Non Diskriminasi pada Sistem Perdagangan Multilateral dalam Kerangka WTO (World Trade Organization), (Skripsi, Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara), hal. 22

(46)

sering disebut dengan teks “General Articles” ( Pasal-pasal Umum) tidak termasuk didalamnya daftar tarif yang merupakan komitmen kebijaksanaan dari para pihak dalam perjanjian. Pasal yang berisi ketentuan-ketentuan dan kewajiban-kewajiban yang terinci, secara umum dimaksudkan untuk menghindari negara-negara melaksanakan kebijaksanaan perdagangan yang disebut sebagai “beghar neighbor policy” yang pada akhirnya merugikan negara sendiri jika dilakukan pembalasan dari negara-negara lain yang terkena dampak dari kebijakan tersebut.

WTO bukanlah merupakan perjanjian tunggal melainkan terdiri atas serangkaian dari lebih seratus agreement,protokol,process verbaux,dan lain- lain. Bebereapa Protokol ini merupakan Pasal-pasal Umum GATT/WTO,sementara yang lainnya merupakan koreksi atau revisi dari jadwal tarif beberapa perjanjian samping yang khusus ( Special side agreement ) telah dimasukkan dalam konteks GATT yang mencantumkan kewajiban-kewajiban atas subjek-subjek tertentu, yang lainnya diterapkan bagi para penandatangannya.

Dalam perjanjian tersebut telah diterima 9 (sembilan) perjanjian khusus ( Special Agreement ) dan 4 ( Empat) “Understanding” berkenaan dengan masalah-masalah berikut :

Perjanjian Khusus

1) Hambatan-hambatan Teknis Dagang

2) Ikut sertanya Negara atau Pemerintah dalam bidang perdagangan

3) Interpretasi dan penggunaan ketentuan-ketentuan mengenai subsidi dari perjanjian GATT

(47)

4) Perjanjian Berkenaan denga produksi daging

5) Persetujuan internasional tentang produksi susu ( diary arangements) 6) Implementasi penilaian Bea cukai

7) Prosedur lisensi mengenai Impor 8) Perdagangan pesawat udara sipil 9) Implementasi Anti Dumping

Disamping itu telah diperoleh persesuaian pendapat (Understanding) mengenai masalah-masalah :

1) Perlakuan yang berbeda yang lebih menguntungkan, resiprositas serta ikut sertanya negara-negara berkembang secara lebih intensif

2) Deklarasi tentang tindakan-tindakan perdagangan yang diambil untuk mengurangi defisit Balance of payment

3) Tindakan – tindakan untuk melindungi pembangunan

4) Pemufakatan tentang cara pemberitahuan, konsultasi, dan penyelesaian sengketa.32

Kerangka WTO/GATT memiliki 38 pasal. Secara garis besarnya . dari pasal-pasal tersebut dibagi kedalam 4 bagian berikut.

Bagian pertama mengandung 2 pasal . yaitu :

a) Pasal I, berisi pasal utama yang menetapkan prinsip utama GATT, yaitu keharusan negara anggota untuk menerapkan klausul ‘most favoured nation’ treatment, kepada semua anggotanya.

32 Sudargo Gautama, Masalah-masalah Perdagangan, Perjanjian Hukum Perdata Internasional dan Hak Milik Intelektual,Penerbit PT Citra Aditya Bakti,Bandung,1992 , hal 2.

Referensi

Dokumen terkait

elarangan ekspor nikel mentah oleh pemerintah Indonesia sejak awal 2020 mendapat gugatan dari Uni Eropa di WTO. Kebijakan peningkatan nilai tambah nikel domestik ini

yang susah hati dan menguis tanah dengan ranting tadi seraya bersabda: ‘Setiap kamu, setiap nyawa yang hidup telah ditetapkan tempatnya sama ada di syurga atau neraka,

Dengan diberlakukannya kebijakan RED II yang mempersulit masuknya minyak kelapa sawit Indonesia ke pasar Uni Eropa, maka dari kebijakan tersebut penulis menemukan sebuah

Andaikata anda sudah menyisihkan sebagian dari pendapatan yang dialokasikan ke dalam pos tabungan untuk membeli sebidang tanah.. Teman anda menawarkan mobilnya untuk

Pada pembuatan senyawa pengontras MRI Gd-DTPA maupun Sm-EDTMP diperlukan bahan baku Gadolinium dan Samarium, yang merupakan unsur tanah jarang dari kelompok unsur

Keadaan SMA Negeri 1 Cempaka sudah cukup bagus dan memadai, fasilitas yang mendukung para siswa, gedung yang terdiri dari beberapa ruangan antara lain: ruang kantor, ruang kepala

Tetapi pada Pasal 81 ayat (1) dan (2) Undang – undang No 35 Tahun 2014 penjatuhan pidananya yang diberikan Hakim tidak sesuai dengan batas minimal yang diberikan

Hanya dengan Ridho Allah, maka saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “Alasan Uni Eropa Menuduh Indonesia Melakukan Dumping Terhadap Ekspor