MEMBONGKAR MAKNA DAN MITOS DALAM ALBUM POP RELIGI (Studi Analisis Semiotika Tentang Makna dan Mitos
Pada Sampul Album Pop Religi GIGI)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1)
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Disusun Oleh: MULYA ADHITHIA
070904057
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Mulya Adhithia
NIM : 070904057
Judul Skripsi : MEMBONGKAR MAKNA DAN MITOS DALAM ALBUM POP RELIGI (Studi Analisis Semiotika Tentang Makna dan Mitos Islam pada Sampul Album Pop Religi GIGI)
Medan, Juni 2011
Pembimbing Ketua Departemen
Syafruddin Pohan, M.Si., Ph.D Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A NIP: 195812051989031002 NIP: 196208281987012001
Dekan FISIP USU
ABSTRAK
Ada satu hal unik yang hadir dalam kehidupan umat Islam di Indonesia terutama menjelang bulan Ramadhan yakni munculnya berbagai produk berlabel “Islam” atau “religi”. Mulai dari busana hingga film dan sinetron semuanya berlabel “religi” termasuk di dalamnya juga musik pop religi. Sangat menarik untuk dikaji bagaimana label “religi” tersebut dibangun desain kemasan produk. Skripsi ini mengkaji hal tersebut dengan mengambil permasalahan dua sampul album pop religi dari band GIGI yang popularitasnya diakui di kancah musik Indonesia.
Penelitian akan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes guna menangkap makna yang terdapat dalam tanda-tanda, kode-kode kultural, serta konteks kebudayaan dimana lahir produk seperti musik pop religi GIGI ini. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menangkap mitos tentang musik pop religi sebagai satu bentuk budaya massa “Islam” dan bagaimana upaya membongkar mitos tersebut.
Hasil kajian menunjukkan bahwa musik pop religi melabeli dirinya dengan mitos budaya Islam dengan pemanfaatan simbol-simbol yang sebelumnya telah diterima di masyarakat, sebagai simbol-simbol Islam. Simbol-simbol yang nampak diantaranya adalah penggunaan analogi surga sebagai tempat yang tinggi dan terang, jalan kebenaran sebagai siratal mustaqim, dan penggunaan baju koko yang telah dikonotasikan oleh umat sebagai baju “muslim”.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis kepada Allah SWT karena atas berkat dan karuniaNya
penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah (Skripsi) ini tepat pada waktunya.
Skripsi yang berjudul “Membongkar Makna dan Mitos Dalam Album Pop
Religi (Studi Analisis Semiotika Tentang Makna dan Mitos Islam pada Sampul
Album Pop Religi GIGI) ini disusun untuk melengkapi seluruh kegiatan akademik
yang sudah penulis laksanakan sekaligus sebagai salah satu persyaratan yang
harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan skripsi ini, yang tentunya merupakan sebuah proses
dan hasil dari rangkaian proses akademik selama menjalani pendidikan di
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan juga dari data yang berkaitan baik
yang ditemukan melalui perpustakaan, internet, buku-buku literatur, dan
penelitian.
Selanjutnya, dalam menyelesaikan skripsi ini penulis memperoleh banyak
bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah
penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Badaruddin, M. Si selaku dekan FISIP USU
2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu
3. Bapak Syafruddin Pohan, M. Si., Ph. D. selaku dosen pembimbing yang
telah banyak memberikan masukan dan arahan selama pengerjaan skripsi.
4. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Drs. Hasbi Yusuf dan Ibunda Salbiah
Sulaiman yang selalu memberi dukungan dan selalu mendoakan sehingga
penulis mampu menghadapi semua proses akademik.
5. Seluruh dosen dan staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing
penulis selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
USU.
6. Kedua adik penulis yang selalu kurindukan tawa dan candanya. Terima
kasih untuk Ryan Hasri dan Irhas Rizqy.
7. Sahabat-sahabat penulis: Reza, KumKum, Suci, Icha, Ade, Rika, Arief,
Iqbal, Daniel, Ali, Kakek, Dery, terutama Reza yang telah banyak
membantu penulis dalam berdiskusi, PKL, dan dalam pengerjaan skripsi.
8. Kakak dan Abang di Laboratorium Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
USU, Kak Yovita, Kak Emil, Kak Anim, Kak Puan, Bg Mono, beserta
rekan-rekan sejawat penulis: Nata, Firman, Kyky, dan Ara. Tiada hari
tanpa canda tawa.
9. Elza Ayu Alviany, yang selalu memberikan dorongan semangat untuk
menyelesaikan skripsi. Terima kasih juga karena sudah sabar menghadapi
abang.
Menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam laporan PKL
ini, penulis memohon maaf sebesar-besarnya. Dan penulis sangat menerima kritik
dan saran yang bersifat konstruktif untuk perbaikan dan pendorong penulis untuk
dapat semakin maju. Penulis juga berterima kasih atas saran dan kritik yang
diberikan serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian akademik penulis.
Semoga skripsi ini dapat menambah khasanah pengetahuan kita semua.
Amiin.
Medan, Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah I.2. Perumusan Masalah I.3. Pembatasan Masalah
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.5. Kerangka Teori
I.5.1. Tanda I.5.2. Semiotika
I.5.3. Semiotika Roland Barthes I.5.4. Makna
I.5.5. Semiotika Komunikasi Visual I.5.6. Budaya Populer
BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Tanda
II.2. Semiotika
II.3. Semiotika Roland Barthes II.4. Makna
III.2.1. Perkembangan Musik Pop Religi III.2.2. Perjalanan Musik GIGI
III.3. Unit dan Level Analisis III.4. Teknik Pengumpulan Data III.5. Teknik Analisis Data III.6. Kerangka Konsep III.7. Operasionalisasi Konsep
BAB IV PEMBAHASAN
IV.1. Analisis Sampul Depan Album Jalan Kebenaran IV.2. Analisis Sampul Depan Album PINTU SORGA IV.3. Analisis Foto Personel dan Sampul Belakang
IV.4. Membongkar Mitos Islam dalam Album Pop Religi GIGI
BAB V PENUTUP V. 1. Kesimpulan V. 2. Saran
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3. 1. Theoritical Framework
Gambar 4. 1. Sampul Depan Album Jalan Kebenaran
Gambar 4. 2. Sampul Depan Album PINTU SORGA
Gambar 4. 3. Foto Individu pada Album Jalan Kebenaran
Gambar 4. 4. Foto Bersama pada Album Jalan Kebenaran
Gambar 4. 5. Foto Personel pada Album PINTU SORGA
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1. Peta Roland Barthes
ABSTRAK
Ada satu hal unik yang hadir dalam kehidupan umat Islam di Indonesia terutama menjelang bulan Ramadhan yakni munculnya berbagai produk berlabel “Islam” atau “religi”. Mulai dari busana hingga film dan sinetron semuanya berlabel “religi” termasuk di dalamnya juga musik pop religi. Sangat menarik untuk dikaji bagaimana label “religi” tersebut dibangun desain kemasan produk. Skripsi ini mengkaji hal tersebut dengan mengambil permasalahan dua sampul album pop religi dari band GIGI yang popularitasnya diakui di kancah musik Indonesia.
Penelitian akan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes guna menangkap makna yang terdapat dalam tanda-tanda, kode-kode kultural, serta konteks kebudayaan dimana lahir produk seperti musik pop religi GIGI ini. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menangkap mitos tentang musik pop religi sebagai satu bentuk budaya massa “Islam” dan bagaimana upaya membongkar mitos tersebut.
Hasil kajian menunjukkan bahwa musik pop religi melabeli dirinya dengan mitos budaya Islam dengan pemanfaatan simbol-simbol yang sebelumnya telah diterima di masyarakat, sebagai simbol-simbol Islam. Simbol-simbol yang nampak diantaranya adalah penggunaan analogi surga sebagai tempat yang tinggi dan terang, jalan kebenaran sebagai siratal mustaqim, dan penggunaan baju koko yang telah dikonotasikan oleh umat sebagai baju “muslim”.
BAB I PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang Masalah
Bulan Ramadhan yang identik dengan bulan suci umat Islam telah
membawa banyak hal terjadi khususnya pada bulan tersebut. Pada bulan suci
tersebut, seluruh umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan sebuah ritual
tahunan, yakni berpuasa. Di Indonesia sendiri, aktivitas ibadah di bulan
Ramadhan tidak jarang diisi dengan berbagai aktivitas kebudayaan, sesuai adat
dan budaya di suatu daerah tertentu. Baik berupa festival atau karnaval unik di
berbagai daerah, maupun ritual penyucian diri menjelang datangnya bulan suci
tersebut. Tak ketinggalan, ritual makan sahur, berbuka puasa, hingga shalat
tarawih berjamaah juga ikut mewarnai bulan suci Ramadhan. Seluruh rangkaian
ritual ini akhirnya akan ditutup dengan tradisi pulang kampung atau mudik ke
kampung halaman.
Kedatangan bulan Ramadhan juga membawa perubahan dalam bidang
ekonomi, khususnya di Indonesia. Hal ini sangat jelas terlihat pada saat akan
berbuka puasa. Berbagai kios jajanan, sebagian besar merupakan pedagang
musiman tampak bermunculan di pinggir jalan bak jamur di musim hujan. Jika
ibadah puasa dilihat dari segi pengurangan kuantitas mengonsumsi makanan, dari
tiga kali sehari menjadi dua kali sehari, namun ternyata makanan yang disantap
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dapat dikatakan lebih spesial daripada
beramai-ramai mendatangi pusat-pusat perbelanjaan pada saat menjelang lebaran
untuk mem beli pakaian baru dan berbagai keperluan lebaran lainnya. Hal ini
tentu mengindikasikan ada sebuah lonjakan konsumsi masyarakat Indonesia pada
saat Bulan Ramadhan.
Adapun terjadinya lonjakan konsumsi pada masyarakat Indonesia ini, telah
dilihat oleh para produsen sebagai sebuah peluang untuk menawarkan berbagai
produk bagi keperluan konsumsi masyarakat. Berbagai strategi digunakan untuk
menarik minat para calon konsumen agar tertarik dan mau membeli produk yang
khusus ditawarkan di saat bulan suci Ramadhan. Semua produsen ingin berlomba
untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya di bulan Ramadhan. Pusat-pusat
perbelanjaan (mall) menawarkan potongan harga (diskon) yang gila-gilaan dan
berbagai program on the spot yang ditujukan untuk menarik minat pengunjung.
Berbagai produsen beriklan di berbagai media massa dengan cara dan strategi
yang disesuaikan dengan bulan suci tersebut. Hal ini tidak lain adalah agar
masyarakat sadar, tertarik, dan mau membeli produk yang mereka tawarkan.
Media massa, khususnya media televisi juga seperti tak ingin kehilangan
momentum dalam memeriahkan bulan suci Ramadhan. Berbagai program acara,
baik hiburan maupun non-hiburan, dikemas dengan apik, menarik, dan tetap
bertemakan Ramadhan. Khususnya program hiburan, berbagai acara pendamping
sahur dan di saat menjelang berbuka merupakan andalan utama bagi berbagai
Satu hal yang sangat menarik yang dapat diamati saat datangnya bula suci
Ramadhan selain yang telah disebutkan di atas tadi yakni bermunculannya
simbol-simbol “Islam” dalam setiap produk yang dipasarkan pada saat bulan
Ramadhan. Mulai dari “busana muslim”, hingga materi-materi hiburan di media
massa yang berlabel “religi”, seperti sinetron religi ataupun film yang bertema
serupa. Dunia musik juga tidak ingin tinggal diam. Hasilnya adalah sebuah
produk yang berlabel “album religi” atau “pop religi”. Cukup banyak
perbincangan mengenai keabsahan status “Islam” dalam pop religi ini, mengingat
adanya perbedaan pendapat antara ulama islam. Namun, hal itu tidaklah menjadi
sebuah masalah yang besar mengingat sedikit banyaknya manfaat yang
ditimbulkan dari pop religi tersebut. Selanjutnya, dibutuhkan sekelompok orang
yang dapat mengajak kepada kebajikan, memerintahkan kepada yang makruf dan
mencegah dari kemungkaran. Bukanlah hal yang mudah untuk dapat
mempertahankan dan menyebarkan nilai–nilai Islam di tengah–tengah gaya hidup
hedonis dan sekuler yang menjangkiti sebagian besar umat muslim. Oleh karena
itu dibutuhkan metode–metode dakwah baru untuk menyampaikan Islam kepada
masyarakat agar lebih bisa diterima. Dahulu, dakwah Islam lebih banyak
disampaikan lewat tabligh akbar, pengajian maupun melalui pondok–pondok
pesantren. Syair–syair musik pun hanya terbatas pada nasyid. Namun seiring
perkembangan zaman, dakwah Islam dapat disampaikan dengan film, internet dan
syair–syair musik pop religi maupun R&B. Hal ini sangat membantu dalam
perkembangan dakwah Islam sehingga dapat mengimbangi laju arus globalisasi
Kemunculan musik pop religi bagi sebagian masyarakat mungkin terkesan
biasa saja, namun tidak demikian halnya jika dilihat dari konteks sistem ekonomi
kapitalisme yang cukup dominan sekarang ini. Bagi masyarakat dalam sstem
kapitalisme, sebuah karya seni dapat dilihat sebagai satu bentuk kebudayaan yang
disebut sebagai budaya massa atau budaya pop. Dalam istilah kapitalisme, budaya pop dapat diartikan sebagai:
“popular has been considered to be that culture which is prevalent amongst the ‘people’. Generally, these ideas about popular culture construct cultural producers as invariably motivated by commercial greed and a common ideological mission, an assumption which elides the varied motives and ideals of those involved in the culture industries, and their artistic independence. Moreover, rather than a conspirational science where producers plot how to conquer markets by persuading the masses to consume their products, making and marketing culture is an inexact science. For instance, record companies are unable to second guess the tastes of consumers, as is indicated by the numerous failed investments which are made in unsuccessful artists and musical products. The hit record remains an elusive prize.”
(Edensor, 2002: 14)
Jika diinterpretasikan, maka budaya pop dapat diartikan sebagai sebuah
kebudayaan yang diproduksi secara massal untuk dinikmati atau dikonsumsi
masyarakat luas dengan tujuan utama untuk mencari keuntungan.
Keberadaan budaya pop (massa) terkait erat dengan perubahan atau
modifikasi dalam segala bidang kehidupan sehingga mempunyai nilai tukar. Hal
ini juga berlaku terhadap industry musik. Produsen akan menyebarkan sebuah
produk untuk dikonsumsi konsumen (consumer) bukan pengguna (user). Hal ini
mana satu citraan mental yang disebut penanda, dalam hal ini objek konsumsi,
dikaitkan dengan satu makna tertentu yang disebut dengan petanda
Musik pop religi sebagai sebuah produk budaya popular, diduga juga
mengandung sebuah mitos yang dikomunikasikan kepada konsumen. Mitos
tersebut melekat pada labelnya sebagai “musik Islami”. Mitos yang kemudian
disampaikan melalui berbagai strategi pemasaran di antaranya lewat kemasan
produk, dalam konteks ini adalah sampul album. Menarik untuk dikaji bagaimana
proses komunikasi yang ditampilkan dalam sampul album musik pop religi
tersebut agar label “Islami” dapat diterima oleh umat Islam di Indonesia sebagai
target pasarnya. Oleh karena itu peneliti mencoba menganalisis sampul album pop
religi band GIGI mengingat beberapa faktor di bawah ini berikut.
Peneliti memilih sampul album pop religi GIGI dikarenakan band ini
merupakan salah satu band papan atas yang diterima di pasar Indonesia. Band
GIGI juga dapat kita katakan mampu mewakili selera musik dari segmen anak
muda jika dibandingkan dengan penyanyi atau musisi lain seperti Bimbo atau
Opick. Warna musik yang diusung GIGI, dengan gaya rock yang ringan dan
catchy tak dapat dilepaskan dari semangat dan budaya anak-anak muda.
Lagu-lagu pop religi lama yang diaransemen ulang oleh mereka dengan warna dan gaya
yang baru, telah membuat mereka diterima di blantika musik Indonesia,
khususnya dalam kategori musik pop religi. Hal ini sangat berbeda dengan band
lainnya, seperti Ungu, yang tetap mempertahankan warna pop dalam lagu-lagu
pop religi mereka. GIGI ternyata juga tidak hanya mampu mengaransemen ulang
religi mereka sendiri, contohnya pada album “Jalan Kebenaran”
(hitsmusik.wordpress.com), yakni yang menjadi salah satu subyek penelitian
dalam skripsi ini. Selain itu, alasan peneliti memilih album pop religi GIGI
sebagai objek kajian dalam penelitian ini adalah karena peneliti melihat bahwa
ternyata GIGI tidak hanya sukses dalam memasarkan album pop religi, namun
juga sukses dalam album pop non-religi.
Sangat menarik nantinya jika kita perhatikan bagaimana makna dalam
tanda-tanda serta mitos Islam yang terdapat pada sampul album pop religi GIGI.
I. 2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah makna dan mitos Islam yang
terdapat pada sampul album pop religi GIGI?”
I. 3. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat
menjadi lebih jelas, terarah, dan spesifik, sehingga tidak mengaburkan penelitian.
Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah :
1. Penelitian ini bersifat kualitatif,
2. Fokus penelitian adalah untuk mencari makna atas tanda-tanda dan
membongkar mitos Islam yang terdapat pada sampul album pop religi
I. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna di balik tanda-tanda
pada sampul album pop religi GIGI,
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mitos Islam yang
terkandung dalam sampul album pop religi GIGI,
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna dan
mitos Islam yang terdapat dalam sampul album pop religi GIGI.
1.4.2 Manfaat Penelitian:
1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah
penelitian tentang ilmu komunikasi, khususnya kajian yang diteliti
dengan analisis semiotika.
2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca
agar lebih memahami perihal makna dalam tanda dan mitos dalam
sebuah media informasi, khususnya pada karya-karya budaya popular,
3. Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi sumbangsih kepada
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan
I. 5. Kerangka Teori
Setiap penelitian soial membutuhkan teori karena salah satu unsur yang
paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995:37).
Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam
memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori
yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana
masalah penelititan yang akan disoroti (Nawawi, 1995:40).
Teori menurut Kerlinger diartikan sebagai suatu himpunan konstruk
(konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis
tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan
dan meramalkan fenomena atau gejala tertentu (Rakhmat, 2004:6).
Adapun teori-teori yang relevan dalam penelitian ini adalah:
1. 5. 1 Tanda
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk
sederhana seperti kata, atau dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara
siaran radio (Danesi, 2010:27).
Aristoteles (384-322 SM) telah meletakkan dasar-dasar teori penandaan
yang sampai sekarang masih menjadi dasar. Ia mendefinisikan tanda sebagai yang
tersusun atas tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang
semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‘penanda’, (2) ‘petanda’, dan (3)
‘signifikasi’ (Danesi, 2010:34).
Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, yakni
pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang
dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan
wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda. Dapat
dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua
komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda juga bersifat
arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur, 2004:32).
Mengapa suatu objek diberi nama ‘komputer’ untuk mengidentifikasikan sebuah
benda mirip televisi yang memiliki kemampuan mengolah data, hal ini dapat
disebut sebagai sebuah sifat arbitraris.
Danesi (2010:36) menyebutkan bahwa Saussure juga menyatakan bahwa
telaah tanda dapat dibagi menjadi dua–sinkronik dan diakronik. Sinkronik terkait
dengan tanda pada suatu waktu, dan diakronik merupakan telaah bagaaimana
perubahan makna dan bentuk tanda dalam waktu. Selain itu, Saussure juga
melihat tanda sebagai sebuah ‘gejala biner’, yaitu bentuk yang tersusun atas dua
bagian yang saling terkait satu sama lain, yakni penanda (signifier) yang berguna
untuk menjelaskan ‘bentuk’ dan ‘ekspresi’ dan petanda (signified) yang berguna
untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Dalam mencermati hubungan
pertandaan ini, Saussure menegaskan bahwa diperlukan semacam konvensi sosial
Pendekatan yang kedua, yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce,
bermakna kurang lebih sama. Dalam Danesi (2010:36), ia mengartikan tanda
sebagai yang terdiri atas representamen (sesuatu yang melakukan representasi)
yang merujuk ke objek (yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan
arti yang disebut sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam
konteks tertentu). Hubungan antara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu
menyarankan yang lain dalam pola siklis.
Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya ,
keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena
ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.
Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada
pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan
mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua,
menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika
kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti
bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu
kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004:35).
1. 5. 2 Semiotika
Sebuah definisi unik dan penuh makna pernah diusulkan oleh seorang
tidak serius, ini merupakan definisi yang cukup mendalam karena ternyata kita
memiliki kemampuan untuk merepresentasikan dunia dengan cara apa pun yang
kita inginkan melalui tanda-tanda, pun dengan cara-cara penuh dusta atau yang
menyesatkan (Danesi, 2010:33).
Dapat kita katakan, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda:
tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda,
melainkan dunia itu sendiri pun–sejauh terkait dengan pikiran manusia–
seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan
bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem
tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal
seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial
konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari
tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur,
2004:13).
Pendekatan semiotik mengaitkan tanda dengan kebudayaan, tetapi
memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Kalaupun yang diteliti itu teks,
teks itu dilihat sebagai tanda. Kalau tanda itu mengalami proses pemaknaan,
manusia (dan lingkungan sosiohistoriokulturalnya) tidak secara khusus
ditonjolkan dalam analisis semiotic (Hoed, 2004:67). Salah seorang ahli
semiotika, Ferdinand Saussure yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk
menganalisis sejumlah besar “sistem tanda”, dan bahwa tak ada alasan tidak bisa
sebentuk hermeneutika–yaitu nama klasik untuk studi mengenai penafsiran sastra.
Ia termasuk salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks,
dan keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bersandar pada
seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Stokes,
2010:76).
Ada dua jenis kajian semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika
signifikasi (Eco, 2009:8). Yang pertama menekan kan pada pada kajian tentang
produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor
dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran
komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan yang kedua
memberikan penekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks
tertentu.
Pada kajian yang kedua, tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi.
Sebaliknya, yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses
kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses
komunikasinya.
Semiotika, atau semiologi dalam istilah yang diperkenalkan oleh Roland
Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)
memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai
objek-Jika kita berbicara mengenai perihal teks, apakah itu surat cinta, makalah,
iklan , cerpen, poster, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi
“tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni suatu proses signifikasi yang
menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi.
Selain itu, semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang
tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta
proses signifikasi yang menyertainya (Sobur, 2004:17).
1. 5. 3 Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
gencar mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga
intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Roland Barthes adalah
tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh
pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Bertolak dari prinsip-prinsip
Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk
menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur,
lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu
bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang
merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah (1) konsep konotasi yang
merupakan kunci semiotik dalam menga-nalisis budaya, dan (2) konsep mitos
yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam setiap eseinya, Barthes membahas fenomena yang sering luput dari
konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi biasanya merupakan hasil
konstruksi yang cermat.
1. 5. 4 Makna
Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan
istilah yang membingungkan (Sobur, 2004:255). Orang-orang sering
menggunakan istiah pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah
benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama
dengan ‘makna’ –pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan
bisa memiliki satu makna.
Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda.
Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke
penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa
ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya
dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi
dan pemahaman (Danesi, 2010:22).
1. 5. 5. Semiotika Komunikasi Visual
Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh
pada bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur,
termasuk desain komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain
komunikasi visual adalah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan
sebuah pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda
berdasarkan kode-kode tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi
komunikasi mempunyai fungsi signifakasi (signification) yaitu fungsi dalam
menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009:xi).
Semiotika komunikasi visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul,
subjudul, dan teks) dan tanda visual (ilustrasi. Logo. Tipografi, dan tata visual)
desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Dengan analisis
semiotika visual maka akan diperoleh makna yang terkandung di balik tanda
verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual. Dengan pendekatan teori
semiotika, maka karya desain komunikasi visual akan mampu diklasifikasikan
berdasarkan tanda, kode dan makna yang terkandung di dalamnya (Tinarbuko,
2009:9). Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen
komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna,, bentuk dan
tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan
elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal.
1. 5. 6. Budaya Populer
Kebudayaan pada dasarnya adalah hasil dari pemikiran manusia.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985:180). Sedangkan menurut Williams,
budaya merupakan proses perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika
(Storey, 2001:1). Budaya adalah suatu ekologi yang kompleks dan dinamis dari
fundamental bertahan lama tetapi juga berubah dalam komunikasi dan interaksi
sosial yang rutin.
Komunikasi sebagai sebuah media bagi pelestarian budaya telah menjadi
semacam alat untuk memastikan hal tersebut terjadi melalui sebuah pewarisan
sosial. Namun, komunikasi juga menjadi media bagi pewarisan budaya tandingan
(counter culture) yang diam-diam mengakar dan tumbuh sebagai alternatif dari
budaya tinggi yang telah lebih dulu ada dalam masyarakat dan perlahan
menggeser budaya tinggi. Budaya tinggi yang perlahan tergeser akan digantikan
oleh sebuah budaya baru yang disebut budaya populer.
Budaya populer dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang disukai
secara meluas dan sangat diminati oleh orang banyak (Storey, 2001:6). Budaya
populer bersifat dinamis, membaurkan dan mencampuradukkan segala sesuatu,
menghasilkan apa yang disebut budaya homogen. Budaya populer bertindak untuk
melawan kemapanan, memberikan alternatif kepada masyarakat yang berubah,
kemudian menjadi ‘pemersatu’ unsur-unsur masyarakat yang terpisahkan kelas
dan status sosial ke dalam satu komunitas massa yang bersifat ‘maya’. Sebuah
grup musik terkenal adalah salah satu bentuk budaya populer. Mereka memiliki
penggemar yang tersebar di berbagai daerah dan bahkan negara, dan penggemar
tersebut dapat dipersatukan pada saat band tersebut melakukan konser atau tur
mancanegara. Maka pada saat itu mereka tergabung dalam sebuah komunitas yang
I. 6. Kerangka Konsep
Kerangka sebagai suatu hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian
yang bersifat kritis dalam memperkirakan segala kemungkinan hasil yang dicapai
(Nawawi, 1995: 33). Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang
hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat
perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995: 34).
Adapun variabel yang diangkat dalam penelitian ini berupa tiga tingkatan
hubungan semiotika (Sobur, 2004: 19 dan Morissan, 2009:27):
1.6. 1 Sintaktik (Syntactic Level)
Sintaktik berkaitan dengan studi mengenai tanda, baik berdiri sendiri
maupun kombinasi dengan tanda lainnya dalam struktur tertentu. Level sintaktik
juga berfokus pada analisis mengenai koherensi, bentuk-bentuk kalimat, preposisi
dalam sebuah kombinasi kalimat, dan kata ganti, baik untuk orang maupun benda
tertentu.
Ranah sintaktik menjelaskan bahwa tanda tidak pernah sendirian mewakili
dirinya, tanda selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar. Dengan
demikian, tanda yang berbeda mengacu atau menunjukkan benda berbeda dan
tanda digunakan bersama-sama melalui cara-cara yang diperbolehkan.
1.6. 2 Semantik (Semantic Level)
Analisis semantik berfokus pada studi mengenai hubungan antara tanda
dan maknanya (makna dari tanda-tanda atau teks). Semantik merupakan salah satu
suatu metode analisis yang bertujuan untuk mengetahui makna yang ditunjukkan
oleh struktur teks. Semantik ingin melihat unit-unit kebahasaan dalam melihat
makna, baik makna leksikal (makna sesuai kamus) ataupun makna gramatikal
(sesuai tata bahasa). Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu ‘dunia benda’
(world of things) dan dunia tanda (world of signs) dan menjelaskan hubungan
keduanya. Buku kamus, misalnya, merupakan referensi semantik; kamus
mengatakan kepada kita apa arti suatu kata atau apa yang diwakili atau
direpresentasi oleh suatu kata. Prinsip dasar semiotika adalah bahwa representasi
selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu,
dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari satu situasi
ke situasi lainnya.
1.6. 3 Pragmatik (Pragmatic Level)
Pragmatik berkaitan dengan studi mengenai hubungan antara tanda (sign)
dan pengguna dan pemberi makna terhadap tanda (the interpreter), khususnya
pada penggunaan tanda dalam wacana berbeda dan pengaruhnya terhadap
pengguna. Singkat kata, pragmatik melihat mengenai penerimaan dan pengaruh
BAB II
URAIAN TEORITIS
II. 1. Tanda
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk
sederhana seperti kata, atau dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara
siaran radio (Danesi, 2010:27).
Aristoteles (384-322 SM) telah meletakkan dasar-dasar teori penandaan
yang sampai sekarang masih menjadi dasar. Ia mendefinisikan tanda sebagai yang
tersusun atas tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang
membentuk kata seperti “komputer”); (2) referen yang dipakai untuk menarik
perhatian (satu jenis alat tertentu); (3) pembangkitan makna (yang diisyarakatkan
oleh referen baik secara psikologis maupun sosial. Sebagaimana dalam konteks
semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‘penanda’, (2) ‘petanda’, dan (3)
‘signifikasi’ (Danesi, 2010:34).
Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, yakni
pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang
dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan
wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda,
sedangkan konsep-konsep dari bunyi-bunyian atau gambar, disebut sebagai
petanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep
sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda
2004:32). Mengapa suatu objek diberi nama ‘komputer’ untuk
mengidentifikasikan sebuah benda mirip televisi yang memiliki kemampuan
mengolah data, hal ini dapat disebut sebagai sebuah sifat arbitraris.
Danesi (2010:36) menyebutkan bahwa Saussure juga menyatakan bahwa
telaah tanda dapat dibagi menjadi dua–sinkronik dan diakronik. Sinkronik terkait
dengan tanda pada suatu waktu, dan diakronik merupakan telaah bagaaimana
perubahan makna dan bentuk tanda dalam waktu. Selain itu, Saussure juga
melihat tanda sebagai sebuah ‘gejala biner’, yaitu bentuk yang tersusun atas dua
bagian yang saling terkait satu sama lain, yakni penanda (signifier) yang berguna
untuk menjelaskan ‘bentuk’ dan ‘ekspresi’ dan petanda (signified) yang berguna
untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Hubungan antara keberadaan fisik
tanda dan konsep atau makna tersebut dinamakan dengan signification. Dalam
mencermati hubungan pertandaan ini, Saussure menegaskan bahwa diperlukan
semacam konvensi sosial untuk mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.
Pendekatan yang kedua, yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce,
bermakna kurang lebih sama. Dalam Danesi (2010:36), ia mengartikan tanda
sebagai yang terdiri atas representamen (sesuatu yang melakukan representasi)
yang merujuk ke objek (yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan
arti yang disebut sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam
konteks tertentu). Hubungan antara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu
Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya ,
keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena
ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.
Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada
pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan
mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua,
menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika
kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti
bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu
kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004:35).
Tanda terdapat di mana-mana, kata, demikian pula gerak isyarat tubuh,
lampu lalu lintas, bendera, warna, dan sebagainya dapat pula menjadi tanda.
Semua hal dapat menjadi tanda, sejauh seseorang menafsirkannya sebagai sesuatu
yang menandai suatu objek yang merujuk pada atau mewakili sesuatu yang lain di
luarnya. Kita menafsirkan sesuatu sebagai tanda umumnya secara tidak sadar
dengan menghubungkannya dengan suatu sistem yang kita kenal hasil konvensi
sosial di sekitar kita. Tidak semua suara, gerakan, kata, isyarat bisa menjadi tanda,
namun hal tersebut bisa menjadi tanda ketika ia diberi makna tertentu.
II. 2. Semiotika
Sebuah definisi unik dan penuh makna pernah diusulkan oleh seorang
penulis dan pakar semiotika kontemporer, yakni Umberto Eco. Ia mendefinisikan
semiotika sebagai sebuah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dpat
tidak serius, ini merupakan definisi yang cukup mendalam karena ternyata kita
memiliki kemampuan untuk merepresentasikan dunia dengan cara apa pun yang
kita inginkan melalui tanda-tanda, pun dengan cara-cara penuh dusta atau yang
menyesatkan (Danesi, 2010:33).
Dapat kita katakan, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda:
tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda,
melainkan dunia itu sendiri pun–sejauh terkait dengan pikiran manusia–
seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan
bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem
tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal
seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial
konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari
tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur,
2004:13).
Pendekatan semiotik mengaitkan tanda dengan kebudayaan, tetapi
memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Kalaupun yang diteliti itu teks,
teks itu dilihat sebagai tanda. Kalau tanda itu mengalami proses pemaknaan,
manusia (dan lingkungan sosiohistoriokulturalnya) tidak secara khusus
ditonjolkan dalam analisis semiotic (Hoed, 2004:67). Salah seorang ahli
sebentuk hermeneutika–yaitu nama klasik untuk studi mengenai penafsiran sastra.
Ia termasuk salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks,
dan keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bersandar pada
seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Danesi,
2010:76).
Ada dua jenis kajian semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika
signifikasi (Eco, 2009:8). Yang pertama menekan kan pada pada kajian tentang
produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor
dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran
komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan yang kedua
memberikan penekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks
tertentu.
Pada kajian yang kedua, tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi.
Sebaliknya, yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses
kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses
komunikasinya.
Semiotika, atau semiologi dalam istilah yang diperkenalkan oleh Roland
Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)
memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai
berarti bawa objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana
objek-objek tersebut hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem
Jika kita berbicara mengenai perihal teks, apakah itu surat cinta, makalah,
iklan, cerpen, poster, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi
“tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni suatu proses signifikasi yang
menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi.
Selain itu, semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang
tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta
proses signifikasi yang menyertainya (Sobur, 2004:17).
II. 3. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
gencar mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga
intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Roland Barthes adalah
tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh
pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Bertolak dari prinsip-prinsip
Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk
menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur,
lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu
bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang
merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah (1) konsep konotasi yang
merupakan kunci semiotik dalam menga-nalisis budaya, dan (2) konsep mitos
konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi biasanya merupakan hasil
konstruksi yang cermat.
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli
tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara
panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran
ke-dua , yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya (Sobur,
2004:68).
Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap
(two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara
signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini menggambarkan relasi
antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam tanda, dan antara tanda dan
dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini mengacu pada makna
sebenarnya (riil) dari penanda (objek). Dan sinifikasi tahap kedua adalah interaksi
yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi). Dalam istilah yang digunakan
Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda
(konotasi, mitos, dan simbol) dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua).
Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan
atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting
dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama (4) dalam peta Ronald
Peta Ronald Barthes :
Tabel 2. 1. Peta Roland Barthes
Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara
signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes
menyebut hal tersebut sebagai denotasi, yaitu makna yang nyata dari tanda
ataupun makna yang dapat tampak oleh khalayak. Signifikasi tahap kedua adalah
makna konotasi, yakni makna ekstra (secara mitologis) yang tampak oleh
khalayak (Smith, 2009:105). Barthes menggunakannya untuk menunjukkan dan
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan nilai-nilai
kebudayaan. Konotasi mempunyai makna yang subjektif dari khalayak yang
melihat pesan yang disampaikan.
Dari peta Ronald Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi (objek
konotatif (4) yaitu makna tersirat yang memunculkan nilai-nilai dari penanda (1)
dan petanda (2). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut Barthes adalah
mitos atau operasi ideologi yang berada di balik sebuah penanda (1).
Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Ini merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti
bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang terhenti pada panandaan dalam
tataran denotatif (Sobur, 2004:69).
Barthes merumuskan tanda sebagai sistem yang terdiri dari expression (E)
yang berkaitan (relation –R-) dengan content (C). Ia berpendapat bahwa E-R-C
adalah sistem tanda dasar dan umum. Teori tanda tersebut dikembangkannya dan
ia menghasilkan teori denotasi dan konotasi. Menurutnya, content dapat
dikembangkan. Akibatnya, tanda pertama (E1 R1 C1) dapat menjadi E2 sehingga
terbentuk tanda kedua: E2 = (E1 R1 C1) R2 C2. Tanda pertama disebutnya
sebagai denotasi; yang kedua disebutnya semiotik konotatif. Barthes
[image:38.595.179.432.598.693.2]menggambarkan hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut:
Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap, sedangkan konotasi
sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna
tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif,
berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata ‘GIGI’ bermakna ‘salah satu
anggota tubuh’. Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi,
sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang
subjektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa,
konotais dimunculkan melaluim ajas (metafora, hiperbola, eufemisme, ironi), dan
sebagainya. Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman
pribadi atau masyarakat penututrnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi
emotif misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak,
menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. Jenis ini tidak
terbatas. Pada contoh di atas: GIGI bermakna konotatif ‘grup band terkenal’.
Konotasi ini bertujuan untuk membongkar makna yang tersembunyi.
Salah satu karya besarnya yang merupakan hasil dari penerapan metode
analisis struktural, konsep sintagmatik dan paradigmatik adalah sistem berbusana.
Ia menganalogikan dikotomi dari Saussure: langue-parole dengan tata busana
(unsur-unsur mode dan aturannya)–aktualisasi individual. Tata busana
menentukan mode pada masa tertentu. Di negara yang memiliki empat musim,
ada tata busana untuk setiap musim. Sistem ini disebutnya sebagai denotasi,
panas. Semua konsep analisis ini nantinya akan mengarahkan kita untuk mengenal
konsep mitos yang dicetuskan oleh Roland Barthes.
Mitos dari Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos
dalam arti umum. Sebaliknya dari konsep mitos tradisional, mitos dari Barthes
memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis. Bagi Barthes, mitos
adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang diperluas oleh
Barthes dapat berbentuk verbal (lisan dan tulis) atau non verbal: n’importe quelle
matière peut être dotée arbitrairement de signification „materi apa pun dapat
dimaknai secara arbitrer‟. Seperti kita ketahui, parole adalah rea-lisasi dari langue
(Barthes, 2007:16). Oleh karena itu, mitos pun dapat sangat bervariasi dan lahir di
dalam lingkup kebudayaan massa. Mitos merupakan perkembangan dari konotasi.
Konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan
tersebut terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu
kepada suatu hal secara tetap sehingga lama kelamaan menjadi mitos: makna yang
membudaya. Barthes membuktikannya dengan melakukan pembongkaran
(démontage sémiologique).
Ciri-ciri mitos (Barthes, 1991:121):
1. Deformatif. Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form
(signifier), concept (signified). Ia menambahkan signification yang merupakan
hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification inilah yang menjadi mitos
yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang
sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is
dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan, mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk
menghilangkan. Dengan demikian, form dikembangkan melalui konteks linear
(pada bahasa) atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi
apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form.
2. Intensional. Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara
intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah yang harus
menemukan mitos tersebut. Contoh: ketika ia berjalan-jalan di Spanyol, ia melihat
kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali arsitektur itu sebagai
produk etnik: gaya basque. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk
menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di Paris dan
ia melihat sebuah rumah yang, berbeda dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil,
rapi, bergenting merah, berdinding setengah kayu berwarna cokelat tua, beratap
asimetris, secara spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque.
3. Motivasi. Bahasa bersifat arbitrer, tetapi, kearbitreran itu mempunyai batas,
misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan: baca-membaca-
dibaca-terbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbitrer, selalu ada
motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa
kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan bentuk.
Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis.
Minuman anggur adalah salah satu contoh penerapan mitos. Denotasi dari
adanya pelabelan tahun bagi minuman tersebut. Anggur dengan merek tertentu
dengan usia yang semakin tua semakin mahal harganya. Di dalam menu makan,
anggur mengambil bagian sintagmatik, yaitu anggur putih menyertai makanan
dengan ikan, anggur merah dengan daging, dan sebagainya. Dengan demikian,
konotasi anggur, yaitu kenikmatan, tertanam di dalam praktik kehidupan
sehari-hari, memegang peranan dalam menu dan pada akhirnya menjadi mitos.
II. 4. Makna
Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan
istilah yang membingungkan (Sobur, 2004:255). Orang-orang sering
menggunakan istiah pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah
benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama
dengan ‘makna’ –pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan
bisa memiliki satu makna.
Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda.
Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke
penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa
ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya
dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi
dan pemahaman (Danesi, 2010:22)
Ada beberapa pandangan mengenai teori dan konsep makna. Seperti yang
diungkapkan oleh Wendell Johnson (Sobur, 2004:258):
1) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata. Kita
komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk
mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di benak kita. Reproduksi
ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.
2) Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita
gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata-kta tersebut
mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional dari
makna. Seperti kata-kata hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan
perkawinan (Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada
saat ini dan di masa-masa yang lalu).
3) Makna membutuhkan acuan. komunikasi hanya masuk akal bilamana ia
mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang
paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna
yang tidak mempunyai acuan yang memadai.
4) Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan
gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang
timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan
yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta,
persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang
serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan
bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak
membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda
maksudkan dan tidak.
5) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam
suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan
kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah
kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.
Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi;
ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing
pihak diketahui.
6) Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya
sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan.
Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya,
pemahaman yang sebenarnya–pertukaran makna secara sempurna–barangkali
merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut
signifier atau penanda dan konsep dari bunyi-bunyian atau gambar tersebut,
disebut sebagai signified atau petanda. Hubungan antara gambaran mental atau
konsep tersebut dinamakan dengan signification atau pemaknaan.
II. 5. Semiotika Komunikasi Visual
Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh
termasuk desain komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain
komunikasi visual adalah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan
tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem
semiotika seni. Di dalam semotika komunikasi visual melekat fungsi
‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari
sebuah pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda
berdasarkan kode-kode tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi
komunikasi mempunyai fungsi signifakasi (signification) yaitu fungsi dalam
menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009:xi).
Semiotika komunikasi visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul,
subjudul, dan teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi, dan tata visual)
desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Dengan analisis
semiotika visual maka akan diperoleh makna yang terkandung di balik tanda
verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual. Dengan pendekatan teori
semiotika, maka karya desain komunikasi visual akan mampu diklasifikasikan
berdasarkan tanda, kode dan makna yang terkandung di dalamnya (Tinarbuko,
2009:9). Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen
komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk dan
tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan
elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal.
Tanda verbal akan didekati pada aspek ragam bahasa, tama dan pengertian yang
didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya,
apakah secara ikonis, indeksikal atau simbolis dan bagaimana cara
mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari
dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara
yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, ketika karya desain komunikasi visual
mempunyai tanda berbentuk verbal (bahasa) dan visual, serta merujuk bahwa teks
karya desain komunikasi visual mengandung ikon terutama berfungsi dalam
sistem-sistem nonkebahasaan untuk mendukung pesan kebahasaan,
makapendektaan semiotika komunikasdi visual sebagai sebuah metode analisis
tanda guna mengupas makna kerya desain komunikasi visual layak diterapkan dan
disikapi secara proaktif sesuai dengan konteksnya.
Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep
komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media
komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri dari gambar
(ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi dan layout. Semua itu dilakukan
guna menyampaikan pesan secara visual, audio atau audio visual kepada target
sasaran. Jagat desain komunikasi visual senantiasa dinamis, penuh gerak dan
perubahan karena peradaban dan ilmu pengetahuan modern memungkinkan
lahirnya industrialisasi. Sebagai industri fotografi yang terkait dalam sistem
ekonomi dan sosial, desain komunikasi visual juga berhadapan dengan
konsekuensi sebagai produk massa dan komsumsi massa. Terklait dengan fakta
rupa yang dapat dikecap orang banyak dengan pikiran maupun perasaan. Rupa
yang mengandung pengertian makna, karakter, serta suasana yang mampu
dipahami (diraba dan dirasakan) oleh khalayak umum atau terbatas.
Tipografi dalam konteks desain komunikasi visual mencakup pemilihan
bentuk huruf, besar huruf, cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau
kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin
disampaikan. Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak
guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan
orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian
pesan dari komunikator kepada komunikan atau target sasaran. Dalam
hubungannya dengan desain komunikasi visual, huruf dan tipografi adalah elemen
penting yang sangat diperlukan guna mendukung proses penyampaian
pesanverbal maupun visual. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak
dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital. Dalam perkembangannya, ada lebih
dari seribu macam huruf romawi atau latin yang telah diakui oleh masyarakat
dunia. Tetapi huruf-huruf tersebut sejatinya merupakan hasil perkawinan silang
dari lima jenis huruf berikut ini :
1. Huruf (Romein)
Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal tipis dan
mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.
3. Huruf Sans Serif
Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait.
4. Huruf Miscellaneous
Jenis huruf ini mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya.
Bentuk senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.
5. Huruf Script
Jenis huruf yang menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan.
Desain komunikasi visual digunakan untuk memperbarui atau memperluas
jangkauan cakupan ilmu dan wilayah kerja kreatif desain grafis. Desain grafis
dipelajari dalam konteks tata letak dan komposisi, bukan seni grafis murni. Area
kerja kreatif desain grafis diantaranya ialah desain perwajahan buku, koran,
tabloid, majalah dan jurnal.
Menurut Rustan Layout dapat dijabarkan sebagai tata letak elemen-elemen
desian terhadap suatu bidan dalam media tertentu utnuk mendukung konsep/pesan
yang dibawanya. Membuat layout adalah salah satu proses tahapan kerja dalam
desain (Rustan, 2008:0). Dimulai dari 25.000 S.M dimana para pemburu yang
hidupnya berpindah-pindah di jaman Paleolitikum sampai Neolitikum melukisi
dinding gua dengan objek-objek binatang, peristiwa perburuan dan bentuk-bentuk
lain.
Terdapat beberapa prinsip layout menurut Kusrianto (2007:227) yang
baik menurut Tom Linchty dalam Design Principle for Desktop Publishing ialah
• Proporsi (proportion)
Proporsi yang dimaksud adalah kesesuaian antara ukuran halaman dengan
isinya. Dalam dunia layout, dikenal dengan ukuran kertas atau bidang kerja yang
palaing populer, yaitu dikenal dengan ukuran Letter, 8.5x11”. • Keseimbangan (balance)
Prinsip keseimbangan merupakan suatu pengaturan agar penempatan
elemen dalam suatu halaman memilki efek seimbang. Terdapat dua macam
keseimbangan, yaitu keseimbangan informal atau tidak simetris. Keseimabangan
formal digunakan untuk menata letak-letak elemen grafis agar terkesan rapi dan
informal. Keseimbangan informal memilki tampilan yang tidak simetri.
Pada dasarnya, setiap elemen yang disusun memilki kesan yang seimbang,
hanya saja cara pengaturannya tidak sama. Prinsip itu sering digunakan untuk
menggambarkan adanya dinamika, energi dan pesan yang bersifat tidak formal.
Prinsip tersebut juga sering digunakan kalangan muda. Penerapan prinsip itu
berhubungan dengan prinsip-prinsip lainnya menurut Kusrianto (2007:229), yakni
kesatuan dan harmoni diantaranya : • Kontras (rhytm)
Irama atau rhytm sebenarnya bermakna sama dengan repetition yaitu pola
perulangan yang menimbulkan irama yang enak diikuti. Penggunaan pola warna
maupun motif yang diulang dengan irama teretentu merupakan salah satu prinsip
• Kesatuan (Unity)
Prinsip kesatuan atau unity (pakar lain menyebutkan proximity =
kedekatan adalah hubungan antara elemen-elemen desain yang semula berdiri
sendiri yang disatukan menjadi sesuatu yang baru dan memilki fungsi baru yang
utuh.
Menurut Rustan (2008:31) elemen-elemen teks pada layout umumnya
terdiri dari :
1. Judul/Head/Heading/Headline
Suatu artikel biasanya diawali oleh sebuah atau beberapa kata singkat yang
diberi judul. Judul diberi ukuran besar untuk menarik perhatian pembaca dan
membedakannya dari elemen layout lainnya.
2. Deck/Blurb/Stanfirst
Deck adalah gambaran singkat tentang topik yang dibicarakan di bodytext.
Letaknya bervariasi, tetapi biasanya antara judul dan bodytext. Biasa juga disebut
dengan subline.
Fungsi deck berbeda dengan judul, yaitu sebagai pengantar sebelum orang
membaca bodytext. Ada atau tidaknya deck dan penataan letaknya dipengaruhi
oleh luas area halaman yang tersedia dan panjang pendeknya artikel.
3. Byline/Credit line/Writer’s Credit
Berisi nama penulis, kadang disertai dengan jabatan atau keterangan
singkat lainnya. Byline letaknya sebelum bodytext, ada juga yang meletakkan di
4. Bodytext/Bodycopy/Copy/Copytext
Isi/naskah/artikel merupakan elemen layout yang palaing banyak
memberikan informasi terhadap topik bacaan tersebut. Keberhasilan suatu
bodytext ditentukan oleh beberapa hal, antara lain: dukungan judul dan deck yang
menarik sehingga memancing pembaca meneruskan keingintahuannya akan
informasi yang lengkap dan gaya penulisannya yang menarik dari naskah itu
sendiri.
5. Caption
Keterangan singkat yang menyertai elemen visual dan inzet. Caption
biasanya dicetak dalam ukuran kecil dan dibedakan gaya atau jenis hurufnya
dengan bodytext dan lemen text lainnya.
6. Callouts
Pada dasarnya sama seperti caption, kebanyakan callouts menyertai
elemen visual yang memiliki lebih dari satu keterangan, misalnya pada diagram.
Balloon adalah salah satu bentuk callouts.
7. Kickers/Eyebrows
Kickers adalah salah satu atau beberapa kata pendek yang terletak di atasa
judul, fungsinya untuk memudahkan pembaca menemukan topik yang diinginkan
dan mengingatkan lokasinya saat membaca artikel tersebut.
8. Initial Caps
naskah. Initial caps dapat juga berfungsi sebagai penyeimbang komposisi suatu
layout.
Selain elemen teks, sebuah karya desain visual juga memiliki
elemen-elemen visual yang berfungsi untuk menambah daya tarik dalam sebuah karya
desain visual. Yang termasuk dalam elemen visual adalah semua elemen bukan
teks yang kelihatan dalam suatu layout (Rustan, 2008:53). Adapun elemen-elemen
visual tersebut adalah sebagai berikut:
1. Foto
Foto sering digunakan dalam karya-karya desain visual dikarenakan foto
memiliki sebuah kekuatan yang tak dimiliki oleh elemen lainnya, yakni
kredibilitasnya atau kemampuannya untuk member kesan sebagai ‘dapat
dipercaya’.
2. Artworks
Untuk menyajikan informasi yang lebih akurat, kadang pada situasi
tertentu ilustrasi menjadi pilihan yang lebih dapat diandalkan dibandingkan bila
memakai teknik fotografi. Artworks adalah segala jenis karya seni bukan fotografi
baik itu berupa ilustrasi, kartun, sketsa, dan lain-lain yang dibuat secara manual
maupun dengan komputer.
3. Infographics
Fakta-fakta dan data-data statistik hasil dari survei dan penelitian yang
4. Garis (Rules)
Garis merupakan elemen visual yang dapat menciptakan kesan estetis pada
suatu karya desain. Di dalam suatu layout, garis mempunyai sifat yang fungsional
antara lain mebagi suatu area, penyeimbang berat dan sebagai elemen pengikat
sistem desain supaya terjaga kesatuannya.
5. Kotak/Bingkai (Box/Border/Frame)
Umumnya berisi artikel yang bersifat tambahan/suplemen dari artikel
utama dalam sebuah karya desain visual. Sering terletak di pinggir halaman dan
disebut dengan sidebar. Elemen-elemen visual juga terkadang diberi kotak agar
terkesan rapi.
6. Inzet (Inline Graphics)
Elemen visual berukuran kecil yang diletakkan di dalam elemen visual
yang lebih besar. Fungsinya member informasi pendukung. Benyak terdapat pada
informational graphic. Inzet kadang juga diserta dengan caption maupun callouts.
7. Point/Bullets
Suatu daftar/list yang mempunyai beberapa baris berurutan ke bawah,
biasanya di depan tiap barisnya diberi penanda angka atau poin. Dingbats juga
sering digunakan sebagai poin. Dingbats adlah simbol, tanda baca, dan
ornament-ornamen.
II. 6. Budaya Populer
dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985:180). Sedangkan menurut Williams,
budaya merupakan proses perkembangan intelektual, spiritual, dan