P-ISSN 2614-7424 | E-ISSN 2614-8927 571
Assistance for Generative Nurseries and the use of Biofungicides (Trichoderma spp.) for Coffee Farmers in the Mokwam District, Kwau
Manokwari Village
Pendampingan Pembibitan Generatif dan Penggunaan Biofungisida (Trichoderma spp.) kepada Petani Kopi di Distrik Mokwam Kampung
Kwau Manokwari
Antonius Suparno1, Linda E. Lindongi2, Reymas Ruimassa3*
1,2,3Fakultas Pertanian, Universitas Papua
*e-mail : [email protected]
Abstrack
Coffee plant (Coffea arabica) is a superior plant to be developed in the Arfak mountain region due to suitable agro-climatic conditions. The way to develop it can be done in various ways, one of which is to develop it independently using seeds from farmers' gardens. This goal can be achieved if the local farming community is able to prepare seeds that have high growth potential and are healthy, free from pests and diseases, especially diseases that are transmitted through the soil (seed born pathogens). The method used includes first, mentoring and discussion at the Kwau Village Hall which includes lectures and discussions about generative nurseries and the use of Trichoderma spp to treat soil borne diseases. The second method is a demonstration of how to plant cocoa seedlings in the farmer's garden accompanied by the application of Trichoderma spp. Both methods were successfully implemented and the community showed high enthusiasm as seen from the questions asked. In this mentoring activity, 60 coffee seedlings were distributed to be developed by coffee farmers.
Keyword : Coffee Generative Breeding, Assistance, Trichoderma spp
Abstrak
Tanaman kopi (Coffea arabica) merupakan tanaman yang diunggulkan untuk dikembangkan di wilayah pegunungan Arfak karena kondisi agroklimat yang cocok. Cara pengembangannya dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan mengembangkannya secara mandiri dengan sumber bibit berasal dari kebun petani. Tujuan tersebut dapat dicapai jika masyarakat petani lokal mampu menyiapkan bibit yang memiliki daya tumbuh tinggi, dan sehat bebas dari hama dan penyakit terutama penyakit yang menular melalui tanah (seed born pathogen). Metode yang digunakan meliputi pertama, pendampingan dan diskusi di Balai Kampung Kwau yang meliputi ceramah dan diskusi tentang pembibitan generatif dan pemanfaatan Trichoderma spp untuk mengatasi penyakit tular tanah. Metode kedua adalah demonstrasi cara penanaman bibit kakao di kebun petani disertai dengan aplikasi Trichoderma spp. Kedua metode tersebut berhasil dilaksanakan dan masyarakat menunjukkan antusias yang tinggi terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Pada kegiatan pendampingan ini juga berhasil di distribusikan bibit kopi sebanyak 60 pohon untuk dikembangkan oleh petani kopi.
Kata Kunci: Kopi, Pembibitan Generatif, Pendampingan, Trichoderma spp.
1. PENDAHULUAN
Tanaman kopi (Coffea spp.) merupakan tanaman yang populer di kalangan masyarakat berbagai lapisan sosial karena caffein yang beraroma harum dan memberikan efek relaksasi bagi yang mengkonsumsinya (Hastuti, 2018; Hulupi et al. 2012). Kopi disebut sebagai komoditas yang bersifat specialty. Kopi merupakan tanaman unggulan yang dibudidayakan di kebanyakan wilayah Pegunungan Arfak Provinsi Papua Barat karena memiliki cuaca dan iklim yang sesuai
P-ISSN 2614-7424 | E-ISSN 2614-8927 572 (curah hujan lebih dari 100 mm, suhu udara 27.08oC, kelembaban 84.07% dan ketinggian tempat lebih kurang 1.500-2.940 m dpl) untuk pengembangan komoditas kopi tersebut.
Kampung Kwau-Mokwam di Pegunungan Arfak merupakan salah satu wilayah dengan kondisi agroekologi yang sesuai untuk pengembangan kopi Arabika (Dirjenbun, 2017). Hingga saat ini secara mandiri, petani lokal telah melalukan penanaman kopi Arabika dan hasilnya telah mulai dipasarkan. Hasil pemasaran secara nyata meningkatkan pendapatan keluarga petani. Hal ini memberikan dorongan kepada petani melakukan perluasan usaha perkebunannya sehingga memberikan dampak positif yang lebih besar.
Tanaman kopi dapat mencapai produksinya yang maksimal jika komponen- komponen produksi tersedia secara cukup memadai untuk pertumbuhan vegetatif dan produksi serta terhindar dari organisme pengganggu tanaman (OPT) sejak awal pertumbuhan sampai tanaman berproduksi. Sejalan dengan hal tersebut Thamrin (2014) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi arabika adalah penggunaan pupuk, pengendalian gulma dan penyakit serta ketersediaan tenaga kerja. Masyarakat lokal Kwau di Pengunungan Arfak Provinsi Papua merupakan masyarakat yang masih awam dalam hal penggunaan pestisida kimia, sehingga perlu dihindari penggunaannya dan digantikan dengan agens hayati yang lebih aman yaitu Trichoderma spp yang diaplikasikan terutama pada tahap semai dan pembibitan. Pengaplikasian Trichoderma spp terutama untuk mencegah penularan penyakit tular tanah yang dapat mengurangi ketersediaan bibit. Menurut Wardati (2012) salah satu penyakit tular tanah pada persemaian kopi adalah penyakit layu yang disebabkan Fusarium oxysporum. Penyakit ini dapat dicegah atau dikendalikan dengan mengaplikasikan Trichoderma harzianum karena Trichoderma harzianum memiliki enzim kitinase seperti eksokitinase, endokitinase, chitobiosidase yang menyebabkan lisis pada hifa Fusarium.
Berdasarkan pada keingingan masyarakat untuk mengembangkan luas areal penanaman maka masalah yang dihadapi petani adalah ketersediaan bibit yang berkualitas, memiliki daya tumbuh yang tinggi dan sehat terlindung dari penyakit. Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus melalui pendampingan dan pelatihan pembibitan kopi Arabika dengan sumber benih dari pohon kopi yang telah ada di wilayah setempat agar petani secara mandiri/swadaya dan kelompok tani dapat meningkatkan produksi tanaman kopi.
Berdasarkan uraian di atas maka tujuan pengabdian kepada masyarakat (PKM) adalah (1) memberikan pendampingan kepada masyarakat Kampung Kwau mengenai cara perbanyakan tanaman kopi secara generatif dengan menggunakan benih yang berasal dari kebun petani sendiri (2) memberikan pendampingan kepada masyarakat Kampung Kwau tentang pemanfaatan Trichoderma spp dalam budidaya tanaman kopi.
2. METODE
Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan pendampingan kepada masyarakat dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 11 Juni di kampung Kwau Distrik Minyambouw Kabupaten Pegunungan Arfak. Lokasi yang dipilih sebagai lokasi kegiatan adalah perkebunan kopi yang dikelola oleh masyarakat asli Papua di Kampung Kwau Pegunungan Arfak.
Terdapat dua metode yang dilakukan dalam kegiatan pendampingan. Metode pertama yaitu ceramah dilakukan secara tatap muka dan diskusi di Balai Kampung Kwau. Materi yang disampaikan pada metode ceramah antara lain (1) pembibitan kopi secara generatif yang berasal dari buah kopi milik petani sendiri dan (2) pemanfaatan Trichoderma spp. Secara rinci, materinya pembibitan generatif meliputi pemilihan pohon induk, pemilihan buah dan preparasi benih, penyapihan pada tingkat semai dan pemindahan pada koker. Sedangkan pemanfaatan Trichoderma spp meliputi sumber Trichoderma spp, trapping Trichoderma spp, ciri-ciri Trichoderma spp, medium perbanyakan Trichoderma spp, metode pengaplikasian Trichoderma spp, dan pengawetan Trichoderma spp.
P-ISSN 2614-7424 | E-ISSN 2614-8927 573 Penyerahan bantuan bibit sebanyak 60 tanaman dilaksanakan pada akhir ceramah dan diskusi tersebut.
Metode kedua yang dilaksanakan yaitu demonstrasi cara. Pada metode ini petani dilatih secara langsung cara aplikasi kompos dan Trichoderma spp secara langsung di kebun petani kopi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan penyuluhan kepada masyarakat di Kampung Kwau Distrik Mokwam, Kabupaten Pegunungan Arfak Manokwari dilaksanakan pada tanggal 11 Juni 2022, dihadiri oleh 28 orang masyarakat kampung Kwau. Kehadiran masyarakat di Balai Kampung karena keingintahuan petani terhadap materi dan keinginan mengembangkan perkebunan milik pribadi yang akhirnya dapat meningkatkan taraf hidupnya sendiri.
Gambar 1. Kegiatan pendampingan diawali dengan sambutan oleh Bapak Kepala Kampung, Semuel Mandacan
Pedampingan Masyarakat dengan materi pembiakan kopi secara generatif dgn Metode tatap muka dan diskusi langsung
Setelah sambutan oleh Bapak Semuel Mandacan, kegiatan dilanjutkan dengan pendampingan pentahapan pembibitan kopi secara generatif yang dilaksanakan di Balai Kampung. Bahan pendampingan berupa benih kopi diperoleh langsung dari kebun petani sehingga menjadi contoh bahwa buah kopi milik petani dapat dijadikan bibit untuk pengembangan perkebunan kopi milik petani sendiri dan tidak tergantung dari bantuan bibit oleh pihak eksternal diluar kelompok masyarakat petani kopi Kwau. Kegiatan pendampingan yang dilakukan meliputi pemilihan pohon induk yang berproduksi tinggi dan bebas hama dan penyakit, bibit yang superior yang telah masak sempurna, mulus, tidak bercacat dan berukuran normal; teknik memproses benih kopi yang akan dijadikan bibit; pembuatan semai dan pengkokeran serta pemberian air.
Hasil pemaparan materi membuat petani ingin mengetahui lebih jauh lagi tentang sistem budidaya kopi secara menyeluruh. Terdapat beberapa pertanyaan yang terkait hal tersebut.
Keingin tahuan yang pertama adalah tentang berapa lama suatu bibit telah dapat ditanam dilapangan. Tim pengabdian kepada masyarakat (PKM) menjelaskan bahwa bibit kopi yang akan ditanam di kebun adalah bibit kopi yang sehat, kuat dan bebas hama dan penyakit. Bibit kopi dapat di tanam di kebun jika telah berumur 8-9 bulan. Penyiapan lubang sudah dilakukan 2
P-ISSN 2614-7424 | E-ISSN 2614-8927 574 bulan sebelumnya dan 1 bulan sebelum penanaman pada lubang tersebut sudah harus diberikan kompos dan di sarankan menggunakan Trichoderma spp.
Keingintahuan yang kedua adalah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produksi.
Faktor produksi yang ingin diketahui oleh masyarakat adalah (1) terkait pemangkasan. Petani bertanya bagaimana caranya melakukan pemangkasan supaya kopi berbuah banyak. Tim PKM menjelaskan Tim pendampingan memberikan jawaban bahwa Pangkas kopi meliputi 2 kegiatan yaitu pangkas pohon pelindung, pangkas kopi dan sanitasi lingkungan. Pangkas pohon pelindung agar cahaya matahari cukup bisa masuk ke kebun. Pemangkasan pohon pelindung 2 kali setahun dapat meningkatkan produksi. Pangkas pohon kopi yaitu tindakan pemeliharaan.
Tujuan pemangkasan adalah agar pohon tidak menghasilkan tunas-tunas yang banyak saja tetapi juga menghasilkan buah yang banyak. Pemangkasan produksi yang dapat dilakukan adalah memangkas cabang yang telah kering, cabang yang telah mati, dan tunas-tunas yang tumbuh berlebihan, terlalu padat dan cabang-cabang yang terserang hama atau penyakit.
Dengan demikian nutrisi yang terserap oleh akar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh tanaman untuk menghasilkan buah kopi yang banyak. (2) keingintahuan petani tentang pemupukan. Tim PKM memberikan penjelasan bahwa tanaman kopi yang telah dewasa tidak perlu di pupuk secara rutin karena pupuk akan terbentuk dari serasah daun pohon pelindung dan serasah daun kopi sendiri. Faktor yang perlu diperhatikan adalah pemberian pupuk pada tahap penanaman bibit. Pemberian pupuk SP-36 sebanyak sembilan gram dan kompos kotoran sapi sebanyak 500 g memberikan pertumbuhan bibit dan bobot biomasa terbaik (Elidar, 2021).
Bersamaan dengan itu juga disampaikan bahwa faktor lain yang turut diperhatikan adalah frekuensi penyiraman bibit tanaman. Penyiraman bibit kopi yang sebaiknya dilakukan enam hari sekali sesuai dengan hasil penelitian Rochmah et al. (1916) jika dilakukan terlalu sering akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan.
Hasil diskusi juga terungkap bahwa masyarakat petani kopi belum mengenal ciri-ciri hama dan penyakit. Tim PKM menjelaskan bahwa hama contohnya Hipotenemus hampei yaitu kumbang kecil yang menyebabkan buah berlubang-lubang sehingga produksi rendah dan banyak buah yang jatuh ke bawah permukaan tanah sedangkan penyakit contohnya layu pada pembibitan yang menyebabkan semai mati, penyakit ini disebabkan oleh Fusarium atau penyakit karat (Hemileia vastarix) yang menyebabkan daun gugur lebih cepat dari biasanya.
Pengendalian hama dan penyakit tersebut dapat dilakukan dengan cara mekanis dan fisik yaitu bagian-bagian yang sakit atau terserang hama dipangkas kemudian dimasukkan ke dalam lubang berukuran 1 x 1 meter yang telah dibuat sebelumnya, kemudian ditutup dengan tanah atau dibakar.
Gambar 2. Pemilihan Benih kopi untuk dijadikan bibit
P-ISSN 2614-7424 | E-ISSN 2614-8927 575 Gambar 3. Penyerahan bantuan bibit Kopi Arabika kepada masyarakat Kampung Kwau-Mokwam.
Pendampingan masyarakat dalam hal pemanfaatan Trichoderma spp. untuk mencegah infeksi penyakit tular tanah dengan metode tatap muka dan diskusi langsung
Pada pendampingan pemanfaatan Trichoderma spp. masyarakat di perkenalkan bagaimana mendapatkan Trichoderma spp., mengembang biakannya, memanfaatkannya dan mengawetkannya. Terkait dengan materi tersebut maka terdapat beberapa hal yang diinformasikan kepada petani yaitu pertama, Trichoderma spp sangatlah mudah diperoleh di Kwau, hal ini dikarenakan lokasi Kampung Kwau dikelilingi oleh hutan-hutan primer yang di atas permukaan tanahnya tertumpuk oleh banyak serasah yang merupakan habitat Trichoderma spp sebagai dekomposer. Hasil penelitian Yunita et al. (2017) membuktikan bahwa Trichoderma spp dapat mendekomposisi serasah akasia dalam waktu 3 bulan menjadi media tanam untuk tumbuhan pertanian maupun kehutanan.
Hasil pendampingan telah membuka wawasan petani tentang alternatif pengendalian hama dan penyakit tanpa resiko. Hal tersebut terlihat melalui keingintahuan petani kopi terhadap sumber Trichoderma spp melalui pertanyaan bagaimana cara memperoleh Trihoderma tersebut. Tim pengabdian kepada masyarakat (PKM) menjelaskan bahwa Trichoderma dapat dibeli atau diperoleh dari laboratorium penyakit tanaman. Namun demikian Trichoderma dari biakan murni juga dapat diperbanyak secara mandiri oleh petani. Cara memperbanyak adalah: (1) Siapkan lobang di kebun (pekarangan) sedalam 20-30 cm. (2) Isi lobang tersebut dengan kompos dan serasah daun yang ada dikebun sambil dicampurkan dengan biakan Trichoderma murni. (3) Setelah lobang tersebut penuh selanjutnya lakukan penyiraman dengan air supaya lembab. (4) Setelah selesai tutup lobang tersebut dengan plastik/daun lebar. Setalah 2-3 bulan. (5) Campuran kompos, serasah daun, Trichoderma tersebut sudah dapat dipanen/digunakan seperti dalam penyiapan bibit kopi.
Kedua, mengenai pemanfaatan. Trichoderma spp dapat mengatasi penyakit tular tanah yang dibuktikan oleh Widyastuti et al. (2001) bahwa Trichoderma spp efektif mengendalikan penyakit tular tanah pada tanaman kehutanan seperti Rigidiporus lignosus, Ganoderma sp, Sclerotium rolfsi dan keefektifan tersebut sebanding dengan penggunaan fungisida Captafol dan Benomil. Hasil pendampingan telah menimbulkan keinginan masyarakat petani untuk memanfaatkan Trichoderma spp pada sistem budidaya kopinya. Hal tersebut terlihat dari pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut (1) Bagaimana cara aplikasi Trichoderma supaya kopi dapat tumbuh dengan baik. Tim PKM menjelaskan bahwa sebelum diberikan pada tanaman, biakan Trichoderma diencerkan (dicampur) dengan kompos. Setiap Biakan Trichoderma (120
P-ISSN 2614-7424 | E-ISSN 2614-8927 576 gram) dicampur merata dengan 2 kg kompos. Selanjutnya Trichoderma yang telah dicampur dengan kompos tersebut diaplikasi pada akar tanaman. Trichoderma yang diaplikasikan di perkaran tanaman adalah supaya terjadi infeksi pada akar dan membantu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit tular tanah seperti karat daun (Hemiliea vastatrix). Fungsi Trichoderma ini akan lebih baik (efektif) jika aplikasinya dilakukan bersamaan pada saat penyiapan bibit kopi. Lobang tanaman di polybag diberikan 1-2 sendok campuran Trichoderma dan kompos, selanjutnya kecambah kopi ditanam pada lobang tersebut. Bibit kopi dalam polybag yang telah diaplikasi tersebut dipelihara hingga siap untuk ditanam di lapangan (kebun) (2) Apakah Trichoderma ini dapat diberikan pada tanaman sayuran. Tim PKM menjelaskan bahwa Trichoderma pada dasarnya dapat digunakan pada semua tanaman, karena sifatnya sebagai agen hayati (obat biologi) untuk mencegah/mengendalikan penyakit tanaman yang berasal dari tular tanah. Aplikasi Trichoderma pada tanaman sayuran akan diberikan secara khusus pada program Pengabdian selanjutnya.
Pada kegiatan pendampingan tersebut selain bibit kopi juga didistribusikan kepada masyarakat petani 30 kantong biakan Trichoderma spp dan dua karung kompos kotoran sapi.
Dengan demikian petani mampu mengaplikasikan teknologi tepat guna tersebut bersamaan dengan penanaman 60 bibit kopi yang juga didistribukan tersebut.
Gambar 4. Penjelasan tentang ciri-ciri dan medium perbanyakan Trichoderma spp
Pelatihan dan demonstrasi cara pengaplikasian Trichoderma spp
Pendampingan pada balai Kampung dilanjutkan dengan pelatihan penanaman disertai aplikasi cendawan Trichoderma spp. Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu dilakukan pencampuran antara kompos dan Trichoderma spp. dengan perbandingan 3 bungkus Trichoderma spp (1 bungkus sama dengan 50 gr Trichoderma) di campurkan pada 1 kg kompos (Gambar 5). Pencampuran dilakukan secara merata dengan menggunakan sarung tangan hingga tidak tampak adanya gumpalan-gumpalan kompos atau sekam dan dedak padi. Campuran tersebut di masukkan ke lubang tanam kira-kira sebanyak 2 kg, pohon kopi di tanam kemudian di tutup kembali dengan tanah dan serasah dan di siram dengan air secukupnya (Gambar 6).
Jika akan diberikan pada bibit kopi yang sebelumnya belum terdapat aplikaksi Trichoderma maka dari campuran tersebut dapat di aplikasikan 1-2 sendok makan Trichoderma.
P-ISSN 2614-7424 | E-ISSN 2614-8927 577 Gambar 5. Pencampuran kompos dengan Trichoderma spp., sebelum dilakukan penanaman bibit kopi
Gambar 6. Pelatihan penanaman kopi disertai dengan pemberian Trichoderma spp
4. KESIMPULAN
Kesimpulan dari kegiatan pengabdian ini adalah sebagai berikut :
1. Petani kopi di kampung Kwau sangat antusias untuk mengembangkan perkebunan kopi miliknya
2. Masyarakat petani kopi di Kwau belum memahami secara menyeluruh cara-cara agronomi yang sesuai untuk menghasilkan benih/bibit kopi unggul dan sehat
3. Masyarakat sangat antusias untuk memperdalam pengetahuan tentang Trichoderma spp dan pengaplikasiannya pada tanaman kopi dan tanaman pertanian selain kopi.
Saran terhadap kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini perlu memperlihatkan penggunaan Trichoderma spp pada tanaman pertanian lainnya seperti sayur-sayuran dan bunga-bungaan.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Perkebunan [Dirjenbun]. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia. Kopi.
Kementerian Pertanian Indonesia. Jakarta.
Elidar Y. 2021. Pertumbuhan bibit kopi arabika (Coffea arabica L.) pada berbagai pemupukan dan urine sapi. J Agrifarm 10(2): 50-56
Hastuti DS. 2018. Kandungan kafein pada kopi dan pengaruhnya pada tubuh.
https://www.researchgate.net/publication/325202688
Hulupi R, Mawardi S, Yasianto. 2012. Pengujian sifat unggul beberapa klon harapan kopi arabika di kebun percobaan Andungsari, Jawa Timur. J Pelita Perkebunan 28(2): 62-71
P-ISSN 2614-7424 | E-ISSN 2614-8927 578 Kusmiati A, Windiarti R. 2011. Analisis wilayah komoditas kopi di indonesia. J SEP 5(2): 47-58 Rochmah HF, Wachjar A, Sulistyono E. 2016. Karakteristik agronomi bibit kopi arabika (coffea
arabica L.) pada berbagai interval penyiraman air. Prosiding seminar Nasional Pendidikan Vokasi Indonesia. https://www.researchgate.net/publication/348788462
Thamrin S. 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani kopi arabika di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. J Agric 26(1&2): 1-6.
Wadati I. 2012. Potensi cendawan Trichoderma harzianum dan macam media tanam dalam menekan serangan penyakit layu (Fusarium oxysporum) pada bibit tanaman kopi. J Ilmiah INOVASI 12(1): 49-54.
Widyastuti SM, Sumardi, Sumantoro P. 2001. Effektifitas Trichoderma spp. sebagai pengendali hayati terhadap tiga patogen tular tanah pada beberapa jenis tanaman kehutanan. J Perlindungan Tanaman Indonesia 7(2): 98-107
Junita Y, Suryantini R, Wulandari RS. 2017. Potensi Trichoderma isolat lokal sebagai dekomposer serasah Akasia (Acacia mangium). J Hutan Lestari 5(2): 437 - 441