BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan. Menurut diagnosa tenaga kesehatan (dokter, bidan dan perawat) ISPA merupakan infeksi saluran pernapasan akut yang dapat menyerang tenggorokan, hidung, dan paru-paru dan berlangsung kurang lebih 14 hari.(1) Permasalahan ISPA menjadi salah satu penyebab utama mordibitas dan mortalitas akibat penyakit menular di dunia sehingga menyebabkan kematian. Hampir 4 juta orang meninggal karena infeksi saluran pernafasan akut setiap tahun, 98% kematian tersebut disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan bawah. Tingkat kematian ISPA yang tinggi terjadi pada bayi, anak-anak dan orang tua, terutama di negara yang berpendapatan rendah dan menengah.(2) Angka mortalitas ISPA sudah mencapai 4,25 juta setiap tahun di dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2019 penyakit infeksi saluran pernapasan bawah menurunkan angka usia harapan hidup sebesar 2,09 tahun pada penderitanya.(3)
Sekitar 20-40% pasien penderita ISPA yang ada di rumah sakit banyak dari kalangan anak-anak, karena kelompok yang paling rentan terkena ISPA adalah balita dan anak-anak. Sedangkan pada dewasa (25-59
tahun) angka mortalitas ISPA mencapai 1,65 juta. ISPA di Indonesia selalu menempati 10 daftar penyakit terbanyak di rumah sakit dan puskesmas. ISPA masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia ini dikarenakan oleh dampak yang ditimbulkannya sangat besar terhadap penderita, tidak hanya pada bayi atau balita akan tetapi pada orang dewasa juga, selain itu ISPA dapat menjadi pemicu penyakit lainnya.(4)
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional Tahun 2018 menunjukan bahwa prevalensi penyakit ISPA sebesar (4,4%) dengan karakteristik penduduk yang mengalami ISPA tertinggi terdapat pada rentang usia 1-4 tahun (25,8%). Adapun provinsi yang termasuk ke dalam 5 besar ISPA pada balita tertinggi adalah Bengkulu, Jawa timur, Banten, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Papua, Jawa Tengah, Bali, dan Jawa Barat. Sedangkan Jawa Barat berada pada posisi ke- 8 dengan prevalensi (8,2).(5)
Cakupan penemuan Pneumonia atau ISPA pada balita di Indonesia dari tahun 2015 sampai tahun 2019 terjadi peningkatan. Cakupan penemuan ada dikarenakan perubahan angka perkiraan kasus dari 10%
menjadi 3,55%, akan tetapi pada tahun 2020 mengalami penurunan menjadi 34,8%. Penurunan ini lebih disebabkan kepada dampak pandemi COVID-19 yang dimana ada stigma bahwa pada penderita COVID-19 yang berpengaruh pada penurunan jumlah kunjungan balita batuk atau kesulitan bernapas di puskesmas tahun 2020 menjadi 4,972,553 kunjungan.(6)
Adapun upaya penanggulangan yang dilakukan yaitu dengan Program pemberantasan ISPA, program ini terbagi menjadi 2 golongan yaitu Pneumonia dan bukan Pneumonia. Pneumonia terbagi atas derajat penyakit yaitu Pneumonia Berat dan Pneumonia tidak berat. Upaya dalam rangka penanggulangan penyakit Infeksi saluran pernafasan akut lebih difokuskan kepada penemuan dini dan tatalaksana kasus yang cepat dan tepat terhadap penderita ISPA pada balita. Upaya penanganan dan pencegahan yang telah dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan program pemberian vitamin A, program imunisasi lengkap dan program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang telah dilakukan oleh berbagai puskesmas serta dengan pemberian pendidikan kesehatan mengenai penatalaksanaan ISPA. ISPA juga merupakan pandemik yang dilupakan atau sudah tidak menjadi prioritas, sedangkan ISPA adalah masalah multisektoral.(7)
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa dari 65 responden yang menderita ISPA sebanyak 52 orang (80%), dari hasil tersebut menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi ISPA pada balita ini adalah ventilasi dan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat yaitu 7,50 kali dibandingkan dengan ventilasi dan pencahayaan yang memenuhi syarat kesehatan hal ini dikarenakan ventilasi atau jendela pada rumah responden rata-rata tidak dibuka pada siang hari dan masih banyak jendela yang berbahan kaca akan tetapi tidak dapat dibuka, sehingga proses pertukaran udara pada rumah tidak lancar. Upaya penanggulangan yang dilakukan yaitu Puskesmas sudah melakukan IKL rumah sehat, melakukan
penyuluhan tentang kesehatan penyakit ISPA, serta sudah melaksanakan kebersihan lingkungan rumah dan PHBS.(8)
Berdasarkan data dari Profil Dinas Kesehatan Kota Bandung bahwa Pneumonia Balita di Kota Bandung tahun 2020 sebanyak 4.571 kasus yang terdiri atas 4.487 kasus pneumonia dan 85 kasus Pneumonia Berat.
Jumlah perkiraan kasus pneumonia Balita di Kota Bandung pada tahun yang sama yaitu sebanyak 8.930 kasus, angka penanganan kasus pneumonia Balita tahun 2020 baru mencapai 51,20%.(9) Berdasarkan data Puskesmas Griya Antapani Infeksi Saluran pernafasan Akut (ISPA) termasuk ke dalam 10 penyakit terbanyak yang dimana berada pada urutan kedua pada tahun 2021 dengan jumlah kasus 156 kasus sedangkan pada tahun 2022 jumlah penduduk yang mempunyai balita sebanyak 2,143 dan jumlah Pneumonia Balita yaitu 214 orang.
Kejadian ISPA ini dapat dijelaskan dengan teori segitiga (Triangle Theory) yang dimana dapat digambarkan oleh interaksi tiga komponen penyakit seperti host (manusia), agent (penyebab), dan environment (lingkungan). Gordon berpendapat bahwa penyakit ini timbul karena ketidakseimbangan antara agent (penyebab) dan host (manusia), keadaan keseimbangan yang bergantung pada sifat alami dan karakteristik agent dan host (baik individu atau kelompok). Karakteristik agent dan host akan mengadakan interaksi yang berhubungan langsung dengan keadaan alami dari lingkungan seperti (lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan biologis).(10)
Sanitasi Lingkungan adalah status kesehatan dalam lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya.(11) Sampah adalah limbah yang bersifat padat dan terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi sehingga harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.(12) Rumah sehat adalah tempat berlindung/bernaung serta tempat untuk beristirahat sehingga dapat menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik rohani maupun sosial.
Menurut Depkes RI bahwa rumah sehat harus memenuhi kriteria minimal akses minum, akses jamban sehat, lantai, ventilasi, dan pencahayaan.
Kriteria rumah sehat yang digunakan apabila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi yang cukup, pencahayaan alami cukup, dan tidak padat huni.(13)
Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi derajat kesehatan manusia.
Kesehatan lingkungan merupakan aspek kesehatan mayarakat yang terkait dengan cara hidup, bahan kimia, dan tekanan yang ada disekeliling manusia yang mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraannya termasuk orang lain disekeliling yang berperan dalam menentukan kualitas kesehatan lingkungan.(14)
Penilaian terhadap rumah sebagai tujuan akhir dari manusia tentunya sangat dipengaruhi oleh kesehatan, hal ini dikarenakan kesehatan
merupakan faktor utama sebagai parameter penilaian kelayakan sebuah hunian, sebelum faktor bentuk dan gaya arsitektur dari sebuah rumah.
Rumah yang sehat tentu akan mendukung tercapainya peningkatan kualitas fisik maupun psikologis penghuninya. Mengemukakan, bahwa penduduk pedesaan merupakan bagian terbesar penduduk Indonesia dan karenanya harus mendapatkan penekanan dalam kegiatan pembangunan pemukiman, masalah perumahan di daerah pedesaan titik beratnya bukan pada kekurangan jumlah rumah seperti di daerah perkotaan, tetapi pada keadaan rumah dan lingkungan yang masih di bawah batas persyaratan sehat.(13)
Masalah pemukiman yang ada yaitu masih banyak dijumpai penduduk yang tinggal pada rumah dengan kondisi kurang layak atau kurang sehat, banyak dijumpai rumah yang besar akan tetapi kurang memenuhi persyaratan rumah sehat. Sehubungan dengan kualitas lingkungan perumahan tersebut berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan status sosial ekonomi penduduk bersangkutan. Pengetahuan rumah sehat dapat dijadikan alat untuk menganalisis dan mewujudkan sebuah rumah tinggal yang lebih sehat.
Tiga faktor risiko terjadinya ISPA yaitu Host (penjamu) dari penyakit ISPA ini adalah jenis kelamin, status imunisasi, umur, status gizi, dan pemberian ASI eksklusif. Faktor agent (penyebab) penyakit ISPA ini adalah Bakteri (Streptococcus, Staphyloccus, haemophillus), Virus (Silomegalovirus, Adenovirus, dan Influenza), dan jamur (Histoplasma, Candida Albicans, dan Aspergilus sp.).(15) Faktor risiko lingkungan yang
menyebabkan penyakit ISPA ini adalah faktor lingkungan fisik rumah dan sanitasi lingkungan yang dimana faktor fisik rumah ini meliputi ventilasi rumah, kelembaban, pencahayaan, kepadatan hunian, paparan asap rokok, penggunaan obat nyamuk bakar, kendaraan bermotor, lantai rumah, suhu udara, kadar debu, dinding rumah, jumlah bakteri diudara, jenis bahan bakar, atap rumah, lubang asap dapur, dan kebiasaan membuka jendela.
Sedangkan faktor sanitasi lingkungan meliputi kebiasaan membakar sampah, sarana pembuangan sampah, sarana air bersih, jamban, dan sarana pembuangan air limbah.(16),(17),(18),(19),(20)
Berdasarkan latar belakang di atas yang telah diuraikan, penulis bermaksud untuk mengkaji tentang hubungan kualitas sanitasi lingkungan rumah dengan angka kejadian ISPA pada Balita di wilayah Puskesmas Griya Antapani.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan data Puskesmas Griya Antapani Infeksi Saluran pernafasan Akut (ISPA) termasuk ke dalam 10 penyakit terbanyak yang dimana berada pada urutan kedua pada tahun 2021 dengan jumlah kasus 156 kasus sedangkan pada tahun 2022 mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei jumlah penduduk yang mempunyai balita sebanyak 2,143 dan jumlah ISPA Balita yaitu 214 orang. Sedangkan untuk sanitasi lingkungan rumah yang menjadi faktor penyebab ISPA pada balita adalah Kelembaban, Kebersihan Jamur di dinding, Pencahayaan, Ventilasi, Kepadatan Hunian dan Sarana Pembuangan Sampah. Maka rumusan masalah penelitian ini yaitu apakah ada “Hubungan Sanitasi Lingkungan
Rumah dengan Kejadian Penyakit Berbasis Lingkungan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Griya Antapani?”
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan Rumah Dengan ISPA (Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Griya Antapani tahun 2022.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kondisi fisik rumah ventilasi, kelembaban, pencahayaan, kepadatan hunian dan sarana pembuangan sampah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani tahun 2022.
b. Mengetahui hubungan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani tahun 2022.
c. Mengetahui hubungan kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani tahun 2022.
d. Mengetahui hubungan kebersihan jamur di dinding dengan kejadian ISPA pada balita.
e. Mengetahui hubungan pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani tahun 2022.
f. Mengetahui hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani tahun 2022.
g. Mengetahui sarana sanitasi (sarana pembuangan sampah) dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani Tahun 2022.
h. Mengetahui faktor yang berhubungan paling kuat dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani Tahun 2022.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan berguna terhadap pengembangan ilmiah pada bidang Kesehatan Masyarakat Kesehatan Lingkungan, sebagai masukan bagi tenaga kesehatan lingkungan untuk melakukan IKL terhadap rumah yang tidak memenuhi persyaratan.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Responden
Dapat memberikan infromasi kualitas sanitasi lingkungan yang saat ini ada, diharapkan dapat mendorong perubahan menjadi lebih baik agar tidak terkena penyakit ISPA.
b. Bagi STIKes Dharma Husada Bandung
Manfaat yang dapat diperoleh bagi instansi pendidikan adalah tambahan referensi, dan pengembangan keilmuan terbaru bagi civitas akademika terkait Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).
c. Bagi tempat penelitian di Puskesmas Griya Antapani
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan informasi tentang faktor risiko ISPA, sehingga dapat dilakukan pencegahan dan penanganan kasus ISPA pada balita.
d. Bagi peneliti selanjutnya
Dapat menjadi pendukung atau dasar penelitian selanjutnya.
Sehingga penelitian ini dapat digunakan sebagai suatu informasi yang bermanfaat dan dapat menambah ilmu pengetahuan.
E. Ruang Lingkup
1. Ruang lingkup waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juni-Juli 2022 di wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani.
2. Ruang lingkup tempat
Penelitian Di Wilayah Kerja Puskesmas Griya Antapani Kota Bandung.
3. Ruang lingkup penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meneliti kondisi fisik rumah meliputi ventilasi, kelembaban, kebersihan jamur di dinding, pencahayaan, dan kepadatan hunian. Serta untuk sanitasi lingkungan yaitu sarana pembuangan sampah.
4. Ruang lingkup materi
Penelitian ini membahas tentang hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Griya Antapani Bandung. Metodologi penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain penelitian case control menggunakan data primer dengan
pengamatan secara langsung menggunakan lembar observasi dan data sekunder Puskesmas Griya Antapani Tahun 2021.