• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 Kajian Pustaka

N/A
N/A
akbar anggoro

Academic year: 2025

Membagikan "BAB 2 Kajian Pustaka"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bendungan

Menurut Asiyanto (2011), Bendungan atau dam adalah sebuah struktur konstruksi yang dibangun untuk menahan laju air atau sungai bawah tanah yang pada umumnya akan menjadi waduk atau danau artificial. Bendungan pada umumnya memiliki tujuan utama untuk menahan air tetapi juga memiliki bagian yang disebut pintu air atau tanggul yang digunakan untuk mengelola, mencegah atau membuang aliran air ke daerah lain, secara bertahap atau berkelanjutan.

Dalam pembangunan bendungan baik itu bendungan urugan maupun bendungan beton, seringkali juga digunakan untuk mengalirkan air ke sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air atau PLTA.

Bendungan tipe urugan dibangun dengan cara menimbunkan bahan-bahan seperti: batu, kerikil, pasir, dan tanah pada komposisi tertentu dengan fungsi sebagai pengangkat permukaan air yang terdapat di dalam waduk disebut (Sosrodarsono dan Takeda, 2002). Pada penelitian ini, bendungan yang akan di bangun adalah bendungan urugan zonal inti vertikal dengan memiliki dua filter.

2.2. Tanah

Tanah adalah material berupa agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan berasal dari bahan-bahan organik, lapuk, disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut (Das, 1995). Perbedaan antara pasir/

kerikil dan lanau/ lempung dapat diketahui dari sifat-sifat material tersebut:

lanau/lempung seringkali terbukti kohesif (saling mengikat), sedangkan yang berbutir (pasir, kerikil) adalah tidak kohesif (tidak saling mengikat).

2.3. Permeabilitas

Permeabilitas didefinisikan sebagai sifat bahan berongga yang memungkinkan air atau cairan lainnya untuk menembus atau merembes melalui hubungan antar pori. Bahan yang mempunyai pori-pori kontinu disebut dapat tembus (permeable) (Soedarmo dan Purnomo, 1993). Permeabilitas dapat diketahui dengan melakukan beberapa pengujian, yaitu:

a. Uji permeabilitas dengan Packer test

(2)

b. Uji permeabilitas dengan Open End Test

c. Uji Permeabilitas di laboratorium (metode tinggi energi tetap (constant head) dan metode tinggi energi turun (falling head)).

2.4. Rembesan 2.4.1. Umum

Salah satu persyaratan dasar untuk perencanaan bendungan timbunan tanah (earthfill) maupun timbunan batu (rockfill) adalah untuk menjamin keamanan terhadap erosi internal, piping dan tekanan pori yang berlebihan di dalam bendungan maupun pada pondasi. Rembesan air waduk melalui tubuh bendungan atau melalui bidang pertemuan antara pondasi bendungan atau tumpuan bendungan akan menyebabkan dua masalah utama yaitu:

a. Menyebabkan kehilangan air yang berlebihan dan dengan demikian mengurangi penyimpanan yang dapat digunakan reservoir:

b. Piping, yaitu erosi yang terjadi dari tempat keluarnya air rembesan yaitu pada lereng urugan atau permukaan fondasi, yang kemudian berkembang ke hulu membentuk buluh (pipa).

Erosi buluh dapat terjadi, baik di dalam massa pondasi maupun didalam tubuh urugan yang kohesif. Proses erosi buluh dimulai dari suatu titik diskontinuitas di sebelah hilir atau konsentrasi aliran di sepanjang timbunan tanah yang kurang padat, terutama pada bidang kontak antara bendungan dengan struktur tanah arah memanjang dari udik ke hilir, lubang bor yang terbuka, bekas galian, akar tanaman dan liang binatang. Butir – butir tanah yang terlepas dimulai dari sebelah hilir, sehingga membentuk pipa – pipa kecil yang merambat secara perlahan – lahan ke udik bendungan. Pada umumnya lintasan pipa – pipa kecil tersebut mempunyai bentuk seperti jaringan aliran (flownet). Untuk mencegah kejadian semacam ini, harus dibuat suatu sistim pengontrol yang perlu diamati secara kontinyu di lokasi – lokasi rembesan yang terkonsentrasi.

Di dalam upaya untuk melindungi bendungan terhadap bahaya rembesan, terdapat 2 buah kategori yaitu:

a. Mengurangi debit rembesan 1) Cutoff trenches, parit halang 2) Grouting tirai

3) Dinding halang beton atau baja, Sheetpile walls, concrete cutoffs walls 4) Alas kedap air, Upstream blanket

b. Mengontrol debit rembesan atau pengendalian drainasi

(3)

1) Timbunan zonal (embankment zoning)

2) Selimut drainase, Longitudinal drain and blankets 3) Drainase, Chimney drain

4) Drainase kaki, toe drains

5) Sumur pelepas tekanan, Relief wells

Desain bendungan biasanya menggunakan kombinasi kedua cara tersebut.

Walaupun prinsip kerja dari kedua cara tersebut berbeda, di dalam analisa rembesan harus digabungkan sebagai satu kesatuan.

Gambar 2. 1 Erosi Internal Dan Piping Pada Tubuh Bendungan Dan Pondasi Sumber: Module 4, Hydraulic Structures For Flow Diversion and Storage, 2009

2.4.2. Kontrol Rembesan pada Timbunan Bendungan

Metode untuk mengontrol rembesan pada timbunan bendungan adalah:

a. Menggunakan Filter

Aliran rembesan yang menyebabkan terjadinya piping, harus dilindungi oleh filter. Filter harus ditempatkan diantara dua jenis material yang memiliki permeabilitas yang berbeda, untuk mencegah terjadinya perpindahan butiran material inti masuk ke zona urugan batu yang permeabilitasnya lebih tinggi. Di samping itu fungsi dari filter adalah mengaliran aliran rembesan tetapi tetap menjaga butiran tanah untuk tetap di tempatnya.

Fungsi dari filter adalah :

- Mencegah terjadinya erosi internal dengan menutup migrasi butiran tanah dari tempat asalnya

- Sebagai saluran drainase dari aliran rembesan tanpa menimbulkan kehilangan tekanan rembesan dan tekanan hidrostatic pada filter atau drainase.

b. Menggunakan Inti (Impervious Core)

(4)

Zona kedap air atau zona inti mutlak diperlukan untuk pembangunan bendungan urugan. Sebagai standard, koefisien filtrasi (K) dari bahan yang digunakan untuk zona kedap air supaya tidak melebihi 1 x 10-5 cm/det.

c. Menggunakan Drainase

Konstruksi drainase yang dipergunakan pada bendungan yang sekaligus berfungsi sebagai filter biasanya menggunakan bahan dengan koefisien filtrasi (K) antara 20 sampai dengan 100 kali lebih besar daripada harga K dari bahan tubuh bendungan.

Pembuatan sistim drainase tersebut supaya dilakukan dengan sangat hati – hati serta pemilihan tipenya didasarkan pada hal – hal sbb :

 Perbandingan nilai K antara bahan tubuh bendungan dan bahan drainase yang terpilih.

 Angka kadar air yang akan terdapat dalam tubuh bendungan.

 Metode pemadatan tubuh bendungan.

 Kemungkinan pencampuran - pencampuran yang dilakukan untuk bahan tubuh bendungan.

2.4.3. Kontrol Rembesan pada Pondasi Bendungan

Pondasi dan abutment dari bendungan, yang harus stabil terhadap pengaruh dari airtanah, sangat mungkin akan menimbulkan piping dan erosi yang disebabkan oleh perubahan regim aliran tanah pada saat pengisian waduk. Piping yang terjadi pada pondasi bendungan dapat juga disebabkan oleh adanya lapisan pondasi yang lulus air. Maka, untuk mengontrol rembesan yang terjadi pada pondasi bendungan diperlukan perbaikan pondasi.

Metode yang umumnya digunakan untuk mengontrol rembesan pada pondasi yang lulus air antara lain parit halang yang disi kembali dengan lempung yang dipadatkan, dinding halang (diafragma) cairan lempung dengan bentonit, dinding halang beton, selimut lempung kedap air di bagian hulu, horizontal drain di bagian hilir, toe drain, sumur pelepas tekanan (relief well) dan kombinasi satu dengan cara lain di atas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.2.

(5)

Gambar 2.2. Berbagai Macam Cara Pengendalian Rembesan Pada Pondasi Dan Tubuh Bendungan Urugan.

Sumber: Zainuddin, 2009

2.5. Stabilitas Bendungan terhadap Aliran Filtrasi

Tubuh bendungan diharuskan mampu mempertahankan diri terhadap gaya- gaya yang ditimbulkan oleh adanya air filtrasi yang mengalir melalui celah celah antara butiran-butiran tanah pembentuk tubuh bendungan maupun melalui pondasi. Untuk mengetahui kemampuan daya tahan tubuh bendungan terhadap gaya-gaya tersebut diatas, maka diperlukan penelitian pada hal-hal sebagai berikut:

a. Formasi garis depresi (seepage line formation) dalam tubuh bendungan dengan elevasi tertentu permukaan air dalam waduk yang direncanakan.

b. Kapasitas air filtrasi yang mengalir melalui tubuh bendungan.

c. Kemungkinan terjadinya gejala sufosi (piping) dan sembulan (boiling) yang disebabkan oleh gaya-gaya hydrodinamis dalam aliran air filtrasi.

Hal-hal tersebut dapat diketahui dengan mendapatkan formasi garis depresi (seepage line formation) dan membuat suatu jaringan trayektori aliran filtrasi (seepage flow-net) dalam tubuh bendungan.

2.5.1. Formasi Garis Depresi (Seepage Line Formation)

Formasi garis depresi pada zone kedap air suatu bendungan dapat diperoleh dengan metode Casagrade. Ujung tumit bendungan dianggap sebagai titik

(6)

permulaan koordinat dengan sumbu-sumbu x dan y, maka garis depresi dapat diperoleh dengan persamaan parabola bentuk dasar sebagai berikut:

x=y2y2

2yo atau y=

2yox+yo2 (2.1)

dan y=

h2+d2d (2.2)

dengan:

h = jarak vertikal antara titik A dan B d = jarak horisontal antara titik B2 dan A l1 = jarak horisontal antara titik B dan E l2 = jarak horisontal antara titik B dan A 25 A = ujung tumit hilir bendungan

B = titik perpotongan antara permukaan air waduk dan lereng udik bendungan B1 = titik perpotongan antara parabola bentuk besar garis depresi dengan garis vertikal

melalui titik B

B2 = titik yang terletak sejauh 0,3 l1, horisontal ke arah udik dari titik B

Gambar 2.3. Garis Depresi Pada Bendungan Homogen (sesuai dengan garis parabola)

Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

Gambar 2.4. Garis depresi pada bendungan homogen (sesuai dengan garis parabola yang mengalami modifikasi)

Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

Akan tetapi garis parabola bentuk besar (B2-C0-A0) diperoleh dari persamaan diatas bukanlah garis depresi yang sesungguhnya, masih diperlukan

(7)

penyesuaian menjadi garis B-C-A yang merupakan bentuk garis depresi yang sesungguhnya seperti terlihat pada Gambar 2.3.

Pada titik permulaan, garis depresi berpotongan tegak lurus dengan lereng udik bendungan dan dengan demikian titik C0 dipindahkan ke titik C sepanjang Δa.

Panjang garis Δa tergantung dari kemiringan lereng hilir bendungan, dimana air filtrasi tersembul keluar yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

ɑ+∆ ɑ= y0

1−cos (2.3)

dengan :

ɑ = jarak

∆ ɑ = jarak

= sudut kemiringan lereng hilir bendungan

Harga a dan Δa yang diperoleh dengan persamaan diatas dan dengan pengambilan nilai C= Δa/(aa) pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.6. Apabila kemiringan sudut lereng hilir bendungan lebih kecil dari 300, maka harga a dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut:

ɑ= d

cos−

(

cosd

)

2

(

sinh

)

2 (2.3)

Gambar 2.5. Beberapa Cara Untuk Memperoleh Harga ‘a’ Sesuai Dengan Sudut

Bidang Singgungnya ( )

Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

(8)

Gambar 2.6. Hubungan Antara Sudut Bidang Singgung ( ) Dengan Δa/(a+Δa)

Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

Gambar 2.13 Skema Formasi Garis Depresi Pada Bendungan Inti Vertikal Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

2.5.2. Jaringan Trayektori Aliran Filtrasi (Seepage Flow-net)

Berbagai metode telah dikembangkan untuk membuat jaringan trayektori aliran filtrasi pada bendungan urugan dan metode yang paling sesuai dan sederhana adalah metode grafis yang diperkenalkan oleh Forchheimer (Forchheimer’s diagramatical solution). Didasarkan pada jaringan trayektori aliran filtrasi yang telah tergambar, selanjutnya dapat dihitung kapasitas air filtrasi dengan ketelitian yang cukup baik dan gambar tersebut akan sangat cocok dengan kenyataan apabila dibuat oleh tenaga ahli yang cukup berpengalaman.

Jaringan trayektori aliran filtrasi (flownet) sangat tergantung pada tipikal bendungan dan kondisi pondasi bendungan. Beberapa referensi flownet pada tubuh maupun pondasi bendungan adalah sebagai berikut:

a. Jaringan trayektori aliran filtrasi pada bendungan urugan dengan tipe zona

Gambar 2.14 Jaringan trayektori aliran filtrasi pada bendungan zonal Sumber : Mujiharjo, 2009

b. Jaringan trayektori aliran filtrasi pada bendungan urugan dengan angka koefisien filtrasi vertikal berbeda dengan angka koefisien filtrasi horisontal

(9)

Gambar 2.15 Jaringan trayektori aliran filtrasi dalam bendungan dimana kv= 5 kh

Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

c. Jaringan trayektori aliran filtrasi pada pondasi bendungan

Model dari jaringan trayektori aliran filtrasi pada pondasi bendungan dibedakan menjadi 2 kondisi yaitu:

1) Angka koefisien permeabilitas pada tubuh bendungan, k sama dengan angka k pada pondasi bendungan.

Gambar 2.16 Jaringan trayektori aliran filtrasi pada lapisan pondasi, dimana k tubuh bendungan = k pondasi, Sumber: Suyono Sosrodarsono,

1989.

2) Angka koefisien permeabilitas pada tubuh bendungan, k berbeda dengan angka k pada pondasi bendungan. Pada kondisi ini, trayektori aliran filtrasi diperbesar secara proporsional dengan mengalikan perbedaan dari kedua angka k tersebut.

(10)

Gambar 2.17 Jaringan trayektori aliran filtrasi pada lapisan pondasi, dimana k tubuh bendungan ≠ k pondasi, Sumber: Suyono Sosrodarsono,

1989.

d. Jaringan trayektori aliran filtrasi pada saat terjadinya penurunan mendadak Aliran filtrasi pada saat terjadinya penurunan mendadak permukaan air waduk, merupakan aliran tidak tetap (unsteady flow), maka analisa rembesan harus didasarkan pada teori aliran tidak tetap yang sangat kompleks.

Penyederhanaan analisa biasanya digunakan rumus – rumus Laplace.

Anggapan rumus Laplace, bahwa penurunan permukaan air waduk terjadi demikian cepatnya, sehingga kapasitas dari fasilitas – fasilitas pelimpah pada bendungan dapat diabaikan. Dalam analisa ini gejala penyusutan dan gaya – gaya kapiler yang terjadi pada tubuh bendungan diabaikan, sehingga hasil analisa akan menjadi lebih aman. Jaringan trayektori aliran filtrasi yang diperoleh akan merupakan gambaran dalam kondisi yang bersifat sementara.

Permeabilitas bahan – bahan pembentuk tubuh bendungan merupakan faktor yang paling menentukan untuk karakteristika gambar jaringan aliran filtrasi dan umumnya akan memberikan hasil sebagai berikut:

1) Untuk bahan tubuh bendungan dengan k > 1 x 10-3 cm/det, maka penurunan permukaan air dalam waduk akan bersamaan dengan penurunan air yang terdapat dalam tubuh bendungan.

2) Untuk bahan tubuh bendungan dengan k = 1 x 10-3 cm/det (k < 1 x 10-4 cm/det), maka penurunan permukaan air dalam waduk akan segera diikuti oleh penurunan permukaan air yang terdapat di dalam tubuh bendungan.

3) Untuk bahan tubuh bendungan dengan k < 1 x 10-4 cm/det, maka penurunan muka air dalam waduk tidak lagi segera diikuti oleh penurunan permukaan air dalam tubuh bendungan.

(11)

Gambar 2.18 Jaringan trayektori aliran filtrasi di dalam tubuh bendungan pada saat terjadinya penurunan mendadak untuk berbagai tipe tubuh

bendungan

Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

e. Jaringan trayektori aliran filtrasi bendungan dengan perbaikan pondasi cut off wall, grouting dan upstream blanket

Gambar 2.19 Pengaruh perbaikan pondasi terhadap kapasitas aliran filtrasi Sumber: Mujiharjo, 2009

2.5.3. Kapasitas Aliran Filtrasi

Kapasitas aliran filtrasi adalah kapasitas rembesan air yang mengalir ke hilir melalui tubuh bendungan dan pondasi. Kapasitas filtrasi suatu bendungan mempunyai batas-batas tertentu, apabila kapasitas filtrasi melampaui batas tersebut, maka kehilangan air yang terjadi akan cukup besar. Kapasitas filtrasi

(12)

yang besar dapat menimbulkan gejala sufosi (piping) dan gejala sembulan (boiling) yang sangat membahayakan kestabilan tubuh bendungan.

Besarnya kapasitas filtrasi yang mengalir melalui tubuh bendungan dan pondasi yang didasarkan pada jaringan trayektori aliran filtrasi, dapat dihitung dengan beberapa rumus sebagai berikut:

a. Berdasarkan trayektori aliran Qf=Nf

Np KHL (2.5)

dengan:

Qf = kapasitas aliran filtrasi (kapasitas rembesan) Nf = nilai pembagi dari garis trayektori aliran filtrasi Np = nilai pembagi dari garis equi-potensial

K = koefisien filtrasi

H = tinggi tekanan air total

L = panjang profil melintang tubuh bendungan b. Berdasarkan rumus empiris

Q=q . B (2.6)

dan

q=k .i . A (2.7)

dengan:

Q = kapasitas filtrasi

q = kapasitas filtrasi per unit panjang tubuh bendungan

B = lebar potongan memanjang tubuh bendungan (gambar 20) k = koefisien filtrasi

i = kemiringan hidraulik

A = luas potongan melintang yang dilalui aliran filtrasi per unit lebar

Gambar 2.20 Penampang memanjang sebuah bendungan urugan Sumber: Suyono Sosrodarsono, 1989.

Kapasitas filtrasi yang mengalir keluar tubuh bendungan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

(13)

1) Maksimal 2% - 5% dari debit rata – rata yang masuk ke dalam waduk1 2) 0,05 % kapasitas tampungan waduk bruto2

1 Sumber : Sudibyo, Teknik Bendungan, 2003, h.80.

2 Sumber : The Japanese Institute of Irrigation and Drainage, Engineering Manual for Irrigation and Drainage No.3, Fill Dam, Maret 1998, h.193

2.5.4. Gejala-gejala Sufosi (Piping) dan Sembulan (Boiling)

Agar gaya-gaya hydrodinamis yang timbul pada aliran filtrasi tidak akan menyebabkan gejala sufosi dan sembulan yang sangat membahayakan tubuh bendungan, maka kecepatan aliran filtrasi dalam tubuh bendungan tersebut pada tingkatan tertentu perlu dibatasi.

Analisa rembesan yang mengindikasikan terjadinya piping ditentukan berdasarkan faktor keamanan terhadap piping. Faktor keamanan terhadap piping berdasarkan pedoman pengendalian rembesan pada bendungan urugan adalah sbb:

dengan :

FK piping min = 4 In = gradien hidraulik debit Icr = gradien hidraulik dari material timbunan atau pondasi Icr =

2.6. Analisa Rembesan (Seepage)

Analisa rembesan pada pondasi dan bendungan umumnya dimodelkan baik secara fisik maupun secara empiris untuk mengetahui fenomena pola aliran dari rembesan. Dengan memberikan kondisi batas tertentu dan sifak fisik material tanah maupun pondasi, pemodelan ini dapat digunakan untuk menentukan tekanan hidraulik, pola aliran, serta jumlah debit rembesan. Analisa rembesan yang logis, diawali oleh hukum Darcy tahun 1856 dan persamaan Laplace untuk kondisi aliran langgeng (steady state flow) suatu fluida melalui suatu media yang lulus air (porous).

2.6.1. Hukum Darcy

Pada tahun 1856, Henry Darcy mempublikasikan suatu formula yang mengatur aliran melalui media lulus air, berdasarkan studi aliran air melalui filter vertikal di laboratorium. Hukum Darcy telah dijelaskan pada persamaan 2.2 dan 2.3.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada hukum Darcy adalah:

(14)

a. Kecepatan aliran, V adalah kecepatan aliran fluida dan didefinisikan sebagai jumlah kotor aliran yang mengalir melalui luas penampang massa tanah dalam satuan waktu tertentu. Karena aliran hanya terjadi melalui pori – pori tanah, aliran air yang riil atau kecepatan rembesan untuk suatu molekul tunggal dari air yang melalui suatu alur unik dari pori – pori tanah adalah lebih besar dibandingkan dengan kecepatan debitnya.

b. Kecepatan rembesan secara kasar adalah sama dengan kecepatan debit dibagi dengan porositas tanah.

c. Hukum Darcy hanya berlaku untuk aliran laminer (aliran – aliran air yang berdekatan saling sejajar dan lurus serta kecepatan aliran adalah proporsional dengan gradien hidraulis, i).

d. Hukum Darcy dibatasi untuk aliran yang melalui material jenuh.

e. Hukum Darcy tidak cocok untuk aliran melalui retakan atau rekahan melalui batu atau tanah.

Beberapa aplikasi dalam analisis rembesan yang menggunakan rumus Darcy adalah sebagai berikut :

a. Penentuan permeabilitas, baik di lapangan maupun laboratorium b. Memprediksi jumlah aliran laminer 35

Hukum Darcy juga digunakan untuk mengatasi masalah – masalah rembesan dan drainase pada bendungan urugan. Salah satu contoh penggunaan hukum Darcy adalah menentukan permeabilitas yang diperlukan atau penentuan drainase dari suatu bendungan seperti tertera pada gambar 2.22.

Gambar 2.22 Desain chimney drain menggunakan hukum Darcy Sumber : Balai Bendungan, 2010.

(15)

2.6.2. Teori Matematika Laplace

Kejadian proses resap pada pondasi dan timbunan bendungan dapat didekati melalui teori aliran air dalam tanah, khususnya peristiwa aliran pada akuifer bebas, sehingga pergerakan air dianggap dapat mengikuti hukum hidraulika air dalam tanah.

Untuk mengkaji masalah ini, maka dapat digunakan teori pendekatan dengan hukum Darcy, yaitu memandang gerakan air dalam tanah yang diilustrasikan dengan system koordinat Kartesius meliputi gerakan aliran air ke arah 3 sumbu koordinat itu, yaitu arah sumbu x, y, dan z, seperti tergambarkan berikut ini. Menurut hukum Darcy khususnya pada keadaan tanah homogen isotropis, debit spesifik sebagai vektor pada sistem koordinat Kartesius di muka adalah:

vx=−k .u

x (2.8)

vx=−k .u

y (2.8)

vx=−k .u

z (2.8)

Gambar 2.23 Debit Spesifik Aliran Air Melalui Elemen Tanah Sumber : Balai Bendungan, 2010

Dalam hal ini ketebalan elemen tanah adalah arah x = ∆x, arah y = ∆y dan arah z =

∆z, maka air yang mengalir masuk ke dalam elemen tanah itu adalah sebesar:

Arah x = vz . ∆y . ∆z (2.21) Arah y = vy . ∆x . ∆z (2.22)

Arah z = vz . ∆x . ∆y ... (2.23)

Sedangkan air yang mengalir keluar elemen tanah besarnya adalah:

(16)

Jika berpedoman pada azas kontinuitas bahwa jumlah air yang masuk elemen tanah akan sama dengan jumlah air yang keluar elemen tanah maka:

Sehingga persamaan kontinuitas menjadi

Persamaan (2.32) dalam matematika dinamakan persamaan laplace.

2.6.3. Informasi yang Dibutuhkan untuk Analisa Rembesan

Validitas dan kualitas dari analisis rembesan tergantung dari informasi yang tersedia sebagai masukan ke dalam analisis, antara lain meliputi:

a. Lokasi batasan dan alur aliran b. Jenis aliran

(17)

c. Permeabilitas dari berbagai aliran yang dilalui aliran rembesan

Masalah – masalah rembesan timbul, karena informasi yang tersedia pada saat tahap desain dan konstruksi bendungan sering tidak mencukupi untuk memprediksi rembesan. Untuk itu, diperlukan pengamatan lapangan pasca konstruksi sebagai tambahan informasi dalam mengatasi rembesan yang timbul.

2.6.4. Kondisi Pembebanan

Kondisi muka air waduk sebagai faktor pembebanan dalam analisa rembesan, harus diperhitungkan sebagai berikut :

a. Elevasi muka air maksimum harus digunakan untuk menentukan pengaruh gradien keluaran dan tekanan angkat pada pondasi yang porus. Jika pondasi sudah jenuh, perubahan tekanan dapat terjadi dalam waktu yang singkat.

Kapasitas maksimum dari sistim drainasi akibat pengaruh pondasi yang porus juga harus ditentukan dari pembebanan maksimum ini.

b. Elevasi muka air normal harus digunakan untuk memperkirakan debit rembesan dan untuk menentukan garis freatik pada kondisi aliran langgeng (steady seepage). Pada banyak kasus, elevasi ini merupakan elevasi yang digunakan dalam penentuan kapasitas maksimum untuk kebutuhan air (konservasi air)

c. Elevasi muka air waduk minimum atau disebut juga sebagai elevasi muka air konservasi tidak aktif, harus digunakan untuk studi retak susut di dalam tubuh bendungan, bila terjadi dalam waktu yang lama (jangka panjang).

Kriteria ini dapat digunakan, kecuali jika ada kriteria lain, sebagai perbandingan.

d. Elevasi muka air buri (tail water) rata – rata harus digunakan pada analisa aliran langgeng.

2.6.5. Kondisi Batas

Kondisi batas (boundary condition) ini menentukan batas dan kondisi aliran dan penampang yang dianalisis. Daerah batas mencakup lapisan pondasi kedap air (tidak terjadi rembesan), bidang masuknya aliran dan bidang keluaran rembesan, termasuk penentuan rembesan bersifat tetap atau sementara (transient).

Kondisi dan lokasi daerah batas tersebut ditentukan oleh:

a. Investigasi lapangan dan geologi lapangan b. Asumsi berdasarkan “engineering judgement”

(18)

c. Kondisi yang diinginkan untuk perencanaan dan jenis struktur d. Geometri bendungan

Dalam beberapa kasus, diperlukan simplikasi asumsi untuk menentukan kondisi batas. Beberapa kondisi batas tertera pada gambar 2.24

Bidang kontak antara media pervious yang jenuh dengan material di dekatnya berupa tanah atau beton yang mempunyai koefisien permeabilitas rendah dianggap sebagai kondisi batas yang kedap air dan diasumsikan bahwa aliran rembesan tidak dapat menembus lapisan ini, sehingga aliran yang melalui lapisan yang porous di dekatnya adalah sejajar dengan daerah batas tersebut.

Garis – garis AB dan 1-8 pada gambar 2.24 A di atas merupakan daerah batas.

Garis – garis yang mementukan dimana air masuk atau keluar dari massa yang porous, disebut daerah pemasukan (entrance) dan daerah keluaran (exit). Di sepanjang garis – garis ini (garis – garis 0-1 dan 8-G di gambar 2.24A serta garis – garis AD dan BE di Gambar 2.24B adalah merupakan garis – garis potensial yang mempunyai level pisometrik yang sama). Aliran tegak lurus bidang pemasukan atau keluaran.

Massa pervious yang jenuh juga mempunyai suatu daerah kondisi batas yang berhubungan dengan atmosfir dan air keluar di sepanjang bidang tersebut, seperti garis GE di gambar 2.24B. Tekanan di sepnajng bidang ini adalah sama dengan tekanan atmosfir. Bidang ini disebut muka aliran atau bidang rembesan.

(19)

Gambar 2.24 Kondisi – kondisi batas Sumber: Balai Bendungan, 2010

Garis DG pada gambar 2.24B adalah garis yang terletak di antara massa pervious dimana air pada tekanan atmosfir. Garis ini diebut garis freatik atau permukaan bebas (free surface). Material di bawah garis freatik adalah dalam kondisi jenuh. Diasumsikan bahwa tidak ada aliran yang memotong permukaan freatik, jadi aliran dalam massa porous di dekatnya sejajar dengan garis freatik.

Pada daerah batas kedap air serta pemasukan dan keluaran, muka air freatik tidak diketahui, sampai distribusi aliran di dalam massa pervious diketahui.

Gambar 2.24 di atas juga menunjukkan 2 kasus umum rembesan, yakni aliran bebas (confined flow) pada gambar 2.24A dan aliran tertekan (unconfined flow) pada gambar 2.24B. Aliran bebas terjadi di dalam suatu massa pervious jenuh di bawah suatu bendungan beton yang tidak mempunyai garis freatik. Aliran tertekan terjadi bila massa tanah pervious mempunyai suatu garis freatik, permukaan rembesan dan garis freatik harus ditentukan dengan analisis (atau dari pengamatan lapangan).

2.6.6. Metode Analisa

Penyelesaian terhadap kondisi steady seepage, untuk aliran laminar berdasarkan pada persamaan Laplace dan Darcy. Beberapa cara telah dikembangkan untuk menyelesaikan persaman – persamaan tersebut untuk berbagai kasus rembesan yang diringkas pada gambar 2.25.

(20)

Gambar 2.25 Beberapa metode analisa rembesan Sumber: Balai Bendungan, 2010

Sebelum melakukan analisa rembesan terlebih dahulu perlu disusun suatu rencana analisis, seperti berikut di bawah ini :

a. Penjelasan singkat tentang maksud dan tujuan analisa b. Pemilihan metode analisa

c. Kondisi yang akan dianalisa yaitu :

1) Kondisi pembebanan akibat perubahan muka air waduk 2) Parameter yang akan divariasi

3) Data material yang digunakan untuk analisa 4) Hasil kuantitatif yang akan diperoleh

Petunjuk penggunaan beberapa metode analisa rembesan dijelaskan pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Petunjuk penggunaan beberapa metoda analisa rembesan.

Situasi Investigasi Tipikal Metode Analisis

Timbunan homogin,

pondasi kedap air, kondisi steady 2-D

Muka air freatik, tekanan air pori, gaya perembesan air (stabilitas)

Cassagrande grafis atau flownet

Timbunan zonal, pondasi kedap air, kondisi steady 2- D

Muka air freatik, tekanan air pori, gaya perembesan air (stabilitas)

Flownet atau model numerik

Timbunan homogin,

pondasi porus seragam, kondisi steady 2-D

Muka air freatik, tekanan air pori, gaya rembesan (stabilitas)

Flownet atau model numerik

Gradien keluaran, debit rembesan

Alternatif kontrol rembesan, variasi sifat material

Timbunan Zonal, pondasi

porous, kondisi steady 2-D Sama dengan atas Model Numerik Aliran transient 2-D, kondisi

batas steady

Penjenuhan, waktu untuk mencapai kondisi steady

Flownet transien Situasi 2-D aliran

nonsteady, zona jenuh/tak jenuh atau timbunan

homogen. Pondasi

heterogen, kondisi batas transient, kondisi transient

Pengisian pertama, operasi waduk, perubahan kadar air dan perubahan tekanan air pori, pengaruh presipitasi dan evaporasi

Model numerik (lihat Groundwater modelling Herbert F., Anderson, Mary P)

(21)

2-D

Sumber: Direktorat Sungai Danau dan Waduk, Desember 2005.

2.6.7. Pemodelan Numerik

Pemodelan numerik adalah simulasi matematika dari proses fisik yang terjadi di lapangan. Dua metode utama dari model numerik tersebut adalah fine difference dan finite element method. Keduanya dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah rembesan 2-D dan 3-D. Kedua cara di atas menggunakan sistim grid untuk membagi - bagi daerah aliran ke dalam elemen terpisah.

Beberapa kelebihan pemodelan numerik jika dibandingkan dengan pemodelan fisik adalah sbb:

a. Pemodelan numerik dapat dibuat dalam waktu yang singkat b. Dapat digunakan untuk penelitian beberapa alternatif skenario.

c. Hampir tidak ada kesulitan dalam perhitungan gravitasi

d. Dapat memberikan informasi pada beberapa lokasi berupa potongan melintang

e. Dapat mengakomodasi bermacam – macam variasi dari kondisi batas

2.6.8. Pemodelan Rembesan dengan Seep/W

Seep/W merupakan software analisa rembesan yang berdasarkan metode elemen hingga yang merupakan bagian dari GEO-SLOPE internasional. Teori dasar yang digunakan untuk menganalisa rembesan pada Seep/W adalah hukum Darcy dan persamaan Laplace. Program ini mempunyai kemampuan untuk menganalisa rembesan airtanah dan kelebihan tekanan air pori pada material lulus air yaitu tanah dan batuan.

Program ini dapat diaplikasikan untuk analisa dan perencanaan bidang geoteknik, sipil, hidrogeologi dan proyek pembangunan tambang. Pemodelan dapat dilakukan pada kondisi tanah jenuh (saturated) maupun tidak jenuh (unsaturated). Pemodelan dengan menggunakan program Seep/W sudah digunakan secara luas dan hasil analisa program dapat dipercaya. Analisa rembesan dengan menggunakan program Seep/W berdasarkan pada hukum Darcy dan persamaan Laplace untuk aliran air tanah.

Salah satu contoh sederhana perbandingan hasil perhitungan manual dengan penggunaan program Seep/W adalah seperti tertera pada gambar 2.26.

Analisa rembesan untuk mengetahui besarnya debit rembesan pada timbunan dan pondasi bendungan dengan menggunakan Seep/W, memerlukan data – data sebagai berikut: potongan melintang bendungan, parameter fisik

(22)

Gambar 2.26 Perbandingan hasil analisa rembesan secara manual dan menggunakan Seep/W Sumber: Seep/W Engineering Manual, 2004

Referensi

Dokumen terkait

Analisa dan perhitungan pada tugas akhir ini betujuan untuk menentukan koefisien permeabilitas air ( k w ) pada tanah tak jenuh air, yang diambil dari data hasil

Penampang melintang pada elemen struktur direncanakan dengan memperhitungkan perilaku regangan inelastik sampai dicapai batas maksimum kekuatan material (kekuatan

Analisa dan perhitungan pada tugas akhir ini betujuan untuk menentukan koefisien permeabilitas air ( k w ) pada tanah tak jenuh air, yang diambil dari data hasil

Prosentase penambahan limbah padat kertas dalam campuran beton yang optimum untuk menurunkan permeabilitas dan meningkatkan kuat tarik belah beton secara maksimal

Adalah penyusutan akibat perubahan suhu lingkungan. Perbedaan koefisien pengaruh thermal beton akan menyebabkan penyusutan yang tidak seragam pada beton. Perubahan volume pada

Keterlibatan tugas sehari-hari seorang Public Relations adalah mengadakan kontak sosial dengan kelompok masyarakat tertentu untuk menjaga hubungan baik (community

Aktiva tetap adalah aktiva berwujud termasuk material cadang dan hak atas tanah yang dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan, untuk digunakan dalam fungsi

Adapun tujuannya yaitu dengan diketahuinya nilai koefisien permeabilitas tanah tersebut dapat ditentukan penggolongan tanah dan untuk menghitung kebutuhan luas tanah untuk penyerapan