A-1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab 2 ini, akan dijelaskan mengenai beberapa tinjauan pustaka yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Bab 2 meliputi beberapa aspek bahasan, diantaranya:
2.1 Teknologi Penyambungan Solder
Teknologi penyambungan solder seringkali digunakan pada industri pengemasan elektronik untuk membuat interkoneksi antara senyawa elektronik untuk waktu yang lama. Dimana proses penyambungan solder dengan tembaga akan membentuk IMCs pada reaksi kimianya. Paduan timah sering kali digunakan sebagai material pada penyambungan logam, hal ini dikarenakan temperatur liquidusnya yang rendah sehingga dapat membentuk ikatan metalik dengan Cu pada temperature yang rendah (Chen, 2006).
Sebagian besar solder eutektik bebas timbal adalah paduan Sn diantaranya yaitu Au, Ag, Cu, Bi, Cd, In, Sb, atau Zn (McCormack, 1994) (Artaki, 1994).
Namun paduan ini memiliki titik melting point yang tinggi sehingga menghasilkan temperatur refow yang tinggi pula, seperti yang terlihat pada Tabel 2.1, hal ini dapat menyebabkan formasi IMC yang terbentuk lebih tebal dan memiliki regangan yang lebih besar pada sambungan.
Tabel 2.1 Solder eutektik Binary tanpa Pb (Laksono, 2017) Sistem
Temp.
Eutektik (oC)
Komposisi Eutektik (wt%)
Sn 231.9 -
Sn-Cu 227 0.7
Sn-Ag 221 3.5
Sn-Au 217 10
Sn-Zn 198.5 9
Sn-Pb 183 38.1
Sn-Bi 139 57
Sn-In 120 51
2 2.2 Reaksi Antarmuka Sn dan Cu
Cu merupakan salah satu logam konduktor yang paling banyak digunakan hal ini menyebabkan ketika logam ini bersinggungan dengan solder maka akan menghasilkan karakteristik berupa kemampuan solder yang baik. Pada temperatur di bawah 350oC dapat terjadi rekasi antarmuka antara solder berbasis Sn yang meleleh sehingga menghasilkan formasi lapisan Cu3Sn(ε) dan Cu6Sn5(η).
Cu6Sn5 memiliki 2 bentuk struktural. Pada temperatur ruang, bentuk stabilnya yaitu η’. Selama proses penyolderan dan penginginan temperatur η yang tinggi akan tetap dalam fasa metastable. Temperatur transformasi ekuilibrium η adalah 186oC, maka dari itu selama penggunaannya, transformasi η’ harus terjadi sedangkan apabila temperatur mendekati temperatur ruang, transformasi bisa tidak dapat terjadi sesuai dengan waktu yang ditentukan, hal ini dikarenakan adanya hambatan kinetik, maka waktu yang dibutuhkan akan semakin singkat apabila temperatur yang digunakan semakin tinggi. Hal ini terjadi pula pada formasi lapisan Cu3Sn(ε), namun temperatur yang digunakan tidak sepasti pada fasa η. Hal lain yang mempengaruhi transformasi adalah ketebalan dari IMC yang dapat meningkat seiring penggunaan alat elektronik. Hal ini meningkatkan kemungkinan cacat yang terjadi pada lapisan IMC (Laurila, 2005).
Gambar 2.1 Diagram Fasa Binary Cu-Sn (Laurila, 2005)
3 2.3 Intermetalic Compound Layer
Penggunaan material dalam dunia industri biasanya berupa material kristalin.
Logam kristalin dapat mengandung beberapa tipe fasa yang berbeda. Seringkali terjadi pengotor (impurities) yang larut menjadi matrix kristalin dari material pelarutnya, hal ini akan menyebabkan terjadinya wilayah intersisi dan substitusi.
Dalam beberapa kasus tambahan pengotor ini akan menyebabkan terbentuknya fasa kristalin baru yang tidak berhubungan dengan struktur komponen materialnya. Fasa ini seringkali disebut dengan sebutan Intermetalic Compounds (Harris, 1998).
Selama proses penyolderan, paduan solder akan meleleh dan bereaksi dengan substrat untuk membentuk intermetallic compounds pada permukaan sambungan.
Lapisan IMC ini merupakan lapisan yang menunjukkan bahwa adanya ikatan metalurgi yang baik, lapisan ini diharapkan tipis, kontinu serta seragam. Hal ini dikarenakan ketebalan yang berlebihan dari lapisan reaksi yang tumbuh diantara solder dan substrate dapat menurunkan sifat fisik dan sifat mekanik dari sambungan logam, terutama pada lingkungan dengan beban impak tinggi. Dimana dapat menyebabkan cacat structural yang disebabkan oleh ketidaksesuaian sifat fisik.
(Kim, 2005) (Lee, 2013).
Munculnya Intermetallic Compounds (IMC) pada antarmuka solder dan substrate dapat mengindikasikan bahwa pada area yang bersentuhan terbentuk sambungan metalurgi yang baik, hal ini dikarenakan material dasar dan coating pada produk elektronik yang digabungkan dengan solder yang meleleh dengan elemen aktif Sn akan memunculkan intermetallic compounds. Pertumbuhan lapisan dan retakan (cracks) yang bersamaan akan menurunkan sifat mekanik dan elektrik, sehingga akan menurunkan konduktivitas sambungan. Semakin banyak retakan pada layer akan meningkatkan transfer resistansi yang tinggi sehingga meningkatkan regangan panas pada sambungan. Apabila lapisan dan retakan semakin melebar maka akan menurunkan kemampuan sambungan bahkan menjadi sambungan yang tidak berfungsi (Šimeková, 2012).
4 Gambar 2.2 Intermetalc Compound Layer Cu/Sn-58Bi (Yoon, 2002)
Pembentukan lapisan Intermetallic Compounds dikontrol oleh reaksi kimia, sedangkan pertumbuhan dari lapisan ini dikontrol oleh laju difusi. Dimana laju difusi dominan Cu memberikan atom Cu yang cukup sehingga terjadi pertumbuhan pada IMC. Berdasarkan hukum Fick, laju difusi Cu akan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur. Hal inilah yang menyebabkan ketebalan lapisan antarmuka IMC akan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur solder (Hu, 2014)
Terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk membentuk lapisan IMC.
Pertama dengan the dipping method dimana sambungan solder di fabrikasi dengan cara mencelupkan substrate ke dalam solder cair. Cara lainnya yaitu dengan reflow test dimana diletakkan lembaran solder ke atas substrate kemudian didapatkan hasil solder dengan cara memanaskan plate di atas temperatur leleh solder (Yu, 2005).
2.4 Wettability
Wettability merupakan kemampuan suatu logam cair untuk basah dan menyebar ke atas permukaan logam induk. Dimana sifat ini menunjukkan bagaimana suatu liquid dan solid dapat memiliki kontak satu sama lain. Wettability ditentukan dengan permukaan dan energi antarmuka yang terlibat pada antarmuka solid/liquid, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti viskositas cairan, reaksi antarmuka, dan kondisi thermal dalam suatu sistem. Laju dari wetting dapat ditentukan dengan seberapa cepat liquid membasahi seluruh permukaan dan
IMC
5 menyebar keseluruh substrate, dimana hal ini dipengaruhi oleh gaya antarmuka berbeda antara solid dan liquid dan gaya permukaan pada liquid.
Indikator penting dalam evaluasi wettability adalah contact angle, wetting force, dan wetting time. Secara umum, sudut wetting berkisar antara 0o hingga 90o, dimana untuk proses soldering sudut ini harus kurang dari 55o. Dilihat dari sisi termodinamiknya, wetting yang benar akan terjadi apabila ada penurunan konstan pada seluruh energi bebas pada antarmuka. Tingkatan wetting ini akan mempengaruhi kekuatan dan reabilitas sambungan solder (Mishra, 2013) (Zhao, 2019).
Gambar 2.3 Sudut Wetting (Doshi, 2018) 2.5 Solder berbasis Sn-Bi
Pada 42Sn-58Bi ditemukan komposisi eutektik dengan temperatur eutektiknya yaitu 139oC. Paduan ini telah digunakan di industri elektronik lebih dari 20 tahun, dimana solubilitas maksimum Bi di dalam Sn adalah 21wt%. Paduan ini memiliki koefisien ekspansi thermal yang baik sehingga berguna untuk pengaplikasian hemat energi, step soldering, dan proses yang sensitif terhadap temperature atau panas. Solder Sn-58 Bi memiliki mobilitas yang sangat baik pada saat mencair, selain itu paduan ini memiliki wettability pada substrate Cu yang baik dikarenakan gaya permukaannya di udara dan wetting force pada Cu murni. Selain memiliki kemampuan wettability yang baik, solder ini memiliki yield strength, efisiensi cost, kekuatan sambungan yang baik, dan tahan terhadap retakan besar.
Seiring paduan ini dingin, Bi dapat berpresipitasi pada fasa Sn. Hal ini menunjukan bahwa laju pendinginan sangat mempengaruhi mikrostruktur dan sifat mekanik paduan ini. Pendinginan lambat dapat menyebabkan terbentuknya butir berukuran
6 besar dan mengindikasikan adanya pembentukan crack sehingga dapat menurunkan reabilitasnya sebagai sambungan solder. (Zhao, 2019) (Mishra, 2013) (Hu, 2014).
Gambar 2.4 Diagram Fasa Sn-Bi (Yeh, 2011) 2.6 Pengujian Mikroskop Optik
Pengujian metalografi menggunakan mikroskop optik digunakan untuk menguji material menggunakan cahaya tampak untuk menghasilkan gambar perbesaran secara mikro. Perbesaran mikroskop berkisar 50x atau lebih. Mikroskop optik dapat mengkarakterisasi struktur dengan menunjukan batas butir, batas fasa, termasuk pendistribusiannya, dan melihat adanya deformasi mekanik. Hubungan struktur dan sifat yang dapat dilihat dengan penggunaan mikroskop optik adalah sebagai berikut:
1. Secara umum terjadi peningkatan yield strength dan kekerasan logam dengan menurunnya ukuran butir
2. Secara umum adanya kecenderungan dimana keuletan menurun seiring dengan meningkatnya konten inklusi.
Penggunaan mikroskop optik dapat digunakan untuk menentukan spesifikasi material, quality control, quality assurance, process control, dan analisa kegagalan.
Preparasi yang harus dilakukan sebelum melaksanakan pengujian metalografi adalah sectioning, mounting, grinding, polishing, dan etching (Pierpoint, 1987).
7 2.7 Pengujian SEM
Scanning Electron Microscopy atau SEM merupakan mikroskop yang memiliki tingkatan kompleksitas lebih tinggi dibandingkan mikroskop optik. Pada pengujian SEM, electron beam dengan energy dan fokus yang tinggi dibentuk dan memindai spesimen. Pengujian menggunakan SEM dapat menunjukkan informasi mengenai topografi permukaan sampel, komposisi, serta sifat lain seperti konduktivitas elektrik. SEM dapat menghasilkan gambar beresolusi tinggi serta dapat menunjukkan detail kurang dari 1 hingga 5 nm ukuran. Pengujian SEM memiliki kedalaman field yielding secara tiga dimensi sehingga dapat menganalisis permukaan struktur dari sampel. (Mishra, 2013).
2.8 Pengujian XRD
X-ray diffraction merupakan teknik non-destruktif yang digunakan untuk mengkarakterisasi material kristalin. Pengujian ini memberikan informasi mengenai struktur, fase, orientasi kristal pilihan (tekstur), dan parameter struktural lainnya, seperti rata-rata ukuran butir, kristalitas, ketegangan, dan cacat kristal.
Puncak XRD diproduksi oleh gangguan konstruktif dari sinar-X monokromatik yang tersebar pada sudut tertentu dari setiap set bidang kisi dalam sampel. Intensitas puncak ditentukan oleh posisi atom dalam pesawat kisi. Sehingga, pola XRD adalah sidik jari atom periodik berkala dalam material tertentu. Pencarian online dari database standar untuk pola difraksi bubuk sinar-X memungkinkan identifikasi fasa untuk berbagai sampel kristalin (Kohli, 2019).
2.9 Penelitian Terdahulu
Berikut adalah rangkuman hasil penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan.
Tabel 2.2 Penelitian terdahulu No Nama dan
Tahun Publikasi Hasil
1 Yee-Wen Yen dkk, 2008
Metode: menggunakan metode metallic substrate/solder system dimana sampel dimasukkan ke dalam tabung kuarsa di dalam vakum 1.0x10-5 N/m2. Kemudian di furnace 1000oC selama 72 jam. Substrat kemudian dicelupkan ke dalam fluks RMA (Rosin Mildly
8 Activated) dan direaksikan dengan temperature 240, 270, dan 300oC selama 5-100 menit.
Hasil: Ukuran butir pada IMC dengan menggunakan solder SB/Cu lebih besar dibandingkan solder SAC/Cu dan Sn/Cu sehingga menurunkan densitas pada antarmuka solder/substrat. Pada sistem SB/Cu memiliki laju disolusi terendah.
2 Yee-Wen Yen dkk, 2010
Metode: menggunakan substrat Au/Ni/SUS304 yang telah di bersihkan secara elektronik.
Kemudian substrat dan sampel dimasukkan ke dalam tabung kuarsa dengan di dalam vakum 1.0x10-5 Pa. Kemudian diletakkan di dalam furnace 240oC, 255oC, dan 270oC. Setelah 1-5 jam reaksi, tabung sampel di quenching ke dalam air es
Hasil: Terbentuk fasa Ni3Sn4 pada IMC dengan butir berbentuk jarum serta ukuran butir yang lebih besar ketika temperatur dan waktu reaksi meningkat
3 Xiaowu Hu dkk, 2013
Metode: Menggunakan substrat Cu dan solder SnBi yang diletakkan di dalam oven dengan temperature berkisar antara 220 hingga 300oC selama 30 menit dan sampel lainnya diletakkan di dalam oven dengan temperature konstan 240oC dengan waktu 10, 30, 60, 90 menit
Hasil: Terbentuk lapisan IMC Cu6Sn5 dan Cu3Sn dengan ukuran butir yang meningkat seiring dengan meningkatnya waktu dan temperatur.
Terjadi segregasi Bi pada antarmuka Cu3Sn/Cu sehingga terbentuk partikel Bi yang terisolasi.
4 Xiaowu Hu dkk, 2014
Metode: Menggunakan solder pasta Sn-58Bi dan dua lembaran tembaga. Spesimen disatukan dengan menggunakan temperature reflow 180, 200, dan 220oC selama 10 menit. Kemudian dilakukan pengujian secara mekanik
Hasil: Terbentuk lapisan IMC Cu6Sn5 dengan ketebalan yang meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur reflow. Peningkatan temperatur ini juga menunjukkan adanya penurunan kekuatan tarik. Peningkatan laju regangan menyebabkan peningkatan kekuatan tarik pada sambungan.
5 J. F. Li dkk, 2006 Metode: Sampel digabungkan dengan temperatur udara 200, 220, dan 240oC antara 1 hingga 48 jam kemudian dilakukan pengujian untuk mengidentifikasi dan mengukur ketebalam IMCs.
9 Hasil: Terbentuk lapisan IMC berupa Cu6Sn5 dan Cu3Sn dengan ketebalan yang bervariasi mengikuti distribusi normalnya.