6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dye Sensitized Solar Cell
Sel surya merupakan peralatan yang dapat mengubah energi cahaya menjadi energi listrik yang telah mengalami banyak perkembangan mulai dari generasi pertama yaitu silikon dan generasi kedua yaitu sel surya film tipis (thin film solar cell). Sel surya silikon memiliki efisiensi yang tinggi, namun biaya produksi yang mahal. Sel surya film tipis memiliki biaya produksi lebih murah tetapi efisiensi lebih rendah. Generasi keempat yaitu DSSC (Dye Sensitized Solar Cell) memiliki tujuan penciptaan sel surya yang menghasilkan energi listrik tinggi dengan biaya yang murah dan efisiensi yang tinggi (Richhariyaa, 2017). Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) merupakan terobosan pertama dalam teknologi sel surya fotoelektrokimia yang terdiri dari fotoanoda, elektrolit, dan elektroda. Bahan DSSC yang banyak dikembangkan adalah dye yang digunakan sebagai bahan fotoelektrokimia yang terabsorpsi pada permukaan semikonduktor. Sel surya memiliki 2 komponen elektroda yaitu elektroda kerja dan elektroda counter. Elektroda kerja terbuat dari kaca TCO yang terdeposisi pada semikonduktor yang tersensitisasi zat warna yang berfungsi sebagai transpor pembawa muatan dan zat warna sebagai penyerap cahaya. Sedangkan elektroda counter terbuat dari kaca TCO yang dilapisi dengan karbon.
Kedua elektroda akan dirangkai mengapit elektrolit. Pasangan elektrolit yang biasa digunakan adalah iodine/triiodine (Gratzel, 2003).
Gambar 2. 1 Komponen penyusun DSSC (Sumber : Septina dkk,2017)
7 DSSC terdiri dari nanopori bahan semikonduktor, molekul dye yang terabsorpsi di permukaan bahan semikonduktor, dan katalis yang semuanya terdeposisi di antara dua kaca konduktif yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Septina dkk, 2017).
Kaca yang berfungsi sebagai elektoda dan counter-electrode, terletak di bagian atas dan alas sel surya yang sudah dilapisi oleh TCO dan fotoanoda. Pada TCO counter electrode dilapisi oleh katalis yang berfungsi sebagai pemerrcepat reaksi redoks dengan elektrolit (Septina dkk, 2007). Prinsip kerja dari Dye Sensitized Solar Cell mirip dengan fungsi klorofil pada proses fotosintesis tumbuhan, pada dasarnya merupakan reaksi dari transfer elektron (Setiawan dkk, 2015). Ketika foton dari sinar matahari mengenai elektroda kerja pada DSSC, energi foton akan diserap oleh larutan dye yang melekat pada permukaan partikel ZnO sehingga elektron mendapatkan energi untuk dapat tereksitasi dan akan diinjeksikan ke pita konduksi ZnO yang bertindak sebagai akseptor/kolektor elektron. Molekul dye yang ditinggalkan dalam keadaan tereksitasi, selanjutnya akan ditransfer melewati rangkaian luar menuju elektroda counter. Elektrolit bertindak sebagai mediator elektron sehingga dapat menghasilkan proses siklus dalam sel. Triiodida dari elektrolit yang terbentuk akan menangkap elektron dari rangkaian luar dengan bantuan molekul karbon sebagai fotokatalis. Elektron yang tereksitasi masuk kembali ke dalam sel dan berinteraksi dengan elektrolit menuju dye teroksidasi, sehingga dye kembali ke keadaaan awal.
Tegangan yang dihasilkan oleh DSSC berasal dari perbedaan tingkat energi konduksi elektroda semikonduktor ZnO dengan potensial elektrokimia pasangan elektrolit redoks, sedangkan arus listrik yang dihasilkan dari sel surya dalam proses konversi bergantung pada intensitas penyinaran serta kinerja dye yang digunakan (Kumara, 2012).
2.2 Nanomaterial
Nanomaterial adalah suatu landasan nanosains dan nanoteknologi yang memiliki potensi untuk merevolusi cara membuat bahan dan produk yang telah mempunyai dampak komersial yang signifikan dan diyakini
8 akan meningkat di masa mendatang yang dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Alagarasi, 2011).
Nanomaterial didefinisikan sebagai suatu bahan yang memiliki ukuran kurang dari 100 nm. Setelah riset nanomaterial berkembang, akhirnya muncul kembali penamaaan suatu bahan berdasarkan skala. Pada tahun 1980-an, desain suatu bahan hanya berfokus pada ukuran struktur dalam skala makro dan mikro. Namun, setelah riset mengenai pembuatan suatu bahan pada skala lebih kecil, akhirnya ditambahkan ukuran tingkat nano (Manurung,2018). Klasifikasi nanomaterial memiliki ukuran sangat kecil setidaknya satu dimensi 100 nm atau kurang. Nanomaterial dapat muncul dalam bentuk tunggal, menyatu, digabung atau diaglomerasi dengan bentuk bola, tubular, dan tidak beraturan. Nanomaterial memiliki aplikasi di bidang teknologi nano dan menunjukkan karakteristik kimia fisik yang berbeda dari bahan kimia normal (misal nano perak, karbon nanotube, fullerene, fotokatalis, karbon nano, silika). Menurut Siegel, bahan berstruktur nano diklasifikasikan sebagai nol dimensi, satu dimensi, dua dimensi, tiga dimensi. Nanomaterial dapat dibuat dengan berbagai dimensi modulasi seperti yang didefinisikan oleh Richard W. Siegel: nol dimensi (kluster atom, filamen dan rakitan gugus), satu dimensi
,Gambar 2. 2 Evolusi sains & teknologi dan masa depan(Sumber : Alagarasi, 2011)
9 (multilayers), dua dimensi (lapisan besar ultrafine atau lapisan terkubur), dan tiga dimensi (bahan nanofase yang terdiri dari butiran berukuran nanometer yang sama) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 (Alagarasi, 2011)
.
2.3 Seng Klorida (ZnCl2)
Seng Klorida adalah nama senyawa kimia dengan rumus ZnCl2 dan hidratnya. Bentuk kristal dari seng klorida diketahui, tidak berwarna atau putih, dan sangat larut dalam air. Seng klorida bersifat higroskopis dan bahkan deliquescent. Sampel dari senyawa ini harus dilindungi dari sumber kelembapan karena uap air yang hadir di udara lingkungan. Aplikasi seng klorida sangat luas seperti pengolahan tekstil, fluks metalurgi, dan sintesis kimia (Wicaksono, 2013). Kelebihan dari ZnCl2 sebagai agen pengaktivasi adalah waktu dan suhu karbonisasi yang relatif rendah serta ukuran pori dari karbon aktif mayoritas mikropori (Tanumiharja, 2015).
2.4 Nanopartikel Zink Oksida
Seng oksida atau Zink Oksida merupakan senyawa organik dengan rumus ZnO, berbentuk bubuk putih, pahit dan tidak bau. ZnO sulit atau hampir tidak larut dalam air atau alkohol, tetapi larut dalam garam-garam ammonium, asam atau basa dan tidak beracun (Adi dkk, 2007). ZnO merupakan salah satu kandidat yang telah banyak dikembangkan dan telah menarik perhatian karena memiliki celah pita langsung dari kelompok semikonduktor II-IV (Ozgur, 2005). Zink oksida memiliki celah pita energi 3,37 eV, kemampuan oksidasi yang kuat, stabilitas kimia yang baik, Gambar 2. 3 Klasifikasi Nanomaterial (a) 0D bola dan kluster (b) 1D serat nano, kabel dan batang (c) 2D film, pelat dan jaringan (d) 3D nanomaterial ( Alagarasi,
2011)
10 piezoelektrik, dan emisi ultraviolet yang kuat dengan energi ikat eksiton 60 meV lebih besar dari energi termal pada temperatur ruang (Goswami, 2018).
Material ZnO ini kebanyakan digunakan pada aplikasi elektronik seperti LED, sensor, dan juga sel surya ( Shen L, 2006). ZnO memiliki sifat penghilang bau dan anti bakteri pada ukuran partikel yang halus, dengan memperkecil ukuran ZnO sampai skala nanometer yang berkaitan dengan perbaikan rekombinasi eksitonik pada ZnO sendiri dan besarnya energi fonon yang mencapai 72 meV. Eksiton yang bebas dapat dengan mudah terionisasi dengan proses penghamburan dari fonon. Kekuatan fonon ini dapat memperkecil ukuran dari ZnO yang menyerap kuat fonon dengan energi lebih besar dari celah pita (Cheng, 2008). Salah satu kegunaan pada konversi energi yang mengubah energi cahaya matahari menjadi listrik adalah sel surya. Cara kerja sel surya sifatnya berkaitan dengan semikonduktor dengan energi celah pita yang besar. Diperlukan teknik yang dapat memaksimalkan ZnO sebagai bahan semikondukor untuk sel surya.
Teknik tersebut merupakan sel surya tersensitisasi pewarna. Semikonduktor pada sel surya diisyaratkan memiliki struktur nano yang dapat menghasilkan perubahan energi yang efisien. ZnO memiliki sifat-sifat untuk kegunaan sebagai semikonduktor, tidak diperlukan doping untuk mempermudah proses pembuatan ZnO yang sesuai untuk sel surya tersensitisasi pewarna (Lukas, 2007). Salah satu sifat pada nanopartikel ZnO yang diperhatikan adalah perlakuan panas, yaitu annealing. Pengaturan temperatur annealing dibutuhkan guna menghasilkan performa DSSC yang maksimal.
Peningkatan temperatur annealing mempengaruhi jumlah butir, kemampuan absorbansi pewarna dan kerapatan arus (Syukron, 2013).
Penggunaan ZnO sebagai bahan semikonduktor pada sel surya tersensitisasi pewarna pada awal dekade 1990-an, didapatkan sel sruya tersensitisasi pewarna dengan efisiensi yang cukup baik yang berupa oksida titanium. ZnO sebagai bahan semikonduktor untuk sel surya yang mempunyai sifat menyerupai TiO2 (Barkschat, 2008).
Material ZnO ini dapat dibentuk menjadi nanorods, nanowires, nanotube, nanodiscs, nanokristal, dan nanosheet (Primawati, 2016). Oleh
11 karena itu, material ini sering dipelajari sebagai material aktif pada perangkat optoelectronic, transparent conduct, dan piezoelectric material (Zhang, 2013). Struktur nano yang dimiliki ZnO satu dimensi (nanorods, nanowires, dan nanotube) dapat memfasilitasi transport pembawa muatan yang lebih efisien karena memiliki batas butir yang lebih rapat (Syafinaz, 2011). Struktur nanopartikel ZnO dapat disintesis dengan berbagai metode seperti evaporasi termal, molecul beam epitaxy (MBE), deposisi elektrokimia, spray pyrolysis, dan sol-gel. Dari beberapa metode tersebut, metode sol-gel yang paling relatif sederhana dengan biaya yang relatif murah diantara metode lainnya (Zhang, 2013).
2.5 Metode Sol-Gel
Metode sol-gel merupakan metode kimia berbasis larutan yang digunakan untuk pembuatan keramik, hibrida organik-anorganik, dan lain- lain (Peikani, 2016). Sol sendiri adalah partikel koloid atau polimer yang terdispersi secara stabil dalam suatu pelarut, sedangkan gel merupakan bahan semipadat, tembus cahaya, dan mengandung zat aktif. Metode sol- gel dapat digambarkan dengan pembentukan jaringan oksida melalui reaksi polikondensasi dari prekursor molekuler dalam cairan (Pooyan, 2005).
Metode sol-gel memiliki berbagai keunggulan yaitu kemudahan modifikasi komposisi, kemudahan modifikasi ukuran partikel, dapat di sintesis pada suhu pemanasan yang relatif rendah, dan penggunaan peralatan yang relatif sederhana dan murah (Jong, 2009). Pemanasan suhu rendah tersebut berkaitan untuk meningkatkan sifat dispersitas ZnO pada pelarut organik, sehingga mudah digunakan di berbagai aplikasi, diantaranya adalah pada sel surya hybrid dan fotokalis (Riza dan Aprilia, 2013). Prekursor yang digunakan yaitu ZnCl2. ZnCl2 memiliki salah satu kelebihan yaitu waktu dan suhu karbonasi yang relatif rendah.
Prekursor atau bahan awal dalam pembuatannya adalah alkoksida logam dan klorida logam, yang kemudian mengalami reaksi hidrolisis dan reaksi polikondensasi untuk membentuk koloid, yaitu suatu sistem yang terdiri dari partikel-partikel padat (ukuran partikel antara 1 nm sampai 1 µm) yang terdispersi dalam suatu pelarut. Bahan awal atau prekursor juga
12 dapat disimpan pada suatu substrat untuk membentuk film (seperti melalui dip-coating atau spin-coating), yang kemudian dimasukkan kedalam suatu kontainer yang sesuai dengan bentuk yang diinginkan contohnya untuk menghasilkan suatu keramik monolitik, gelas, fiber atau serat, membran, aerogel, atau juga untuk mensintesis bubuk baik butiran mikro maupun nano. Dari beberapa tahapan proses sol-gel, terdapat dua tahapan umum dalam pembuatan metal oksida melalui proses sol-gel, yaitu hidrolisis dan polikondensasi. Pada tahap hidrólisis terjadi penyerangan molekul air (Widodo, 2010).
Metode sol-gel banyak dimanfaatkan khususnya pada proses sintesis material yang dapat memperlihatkan kemurnian, homogenitas dan modifikasi sifat material dengan mengubah parameter kisinya (Zawrah, 2009). Metode sol-gel telah menunjukkan bahwa pada proses sol-gel tidak hanya memperlihatkan material yang homogen, tetapi dapat digunakan untuk sintesis berbagai macam material campuran antara organik dan anorganik (Bandyopadhyay, 2005).
2.6 Molaritas
Molaritas merupakan besaran untuk menyatakan konsentrasi atau kepekatan dalam suatu larutan (Ardianto, 2016). Larutan terdiri dari zat terlarut (solute) dan zat pelarut (solvent), larutan tidak hanya berbentuk cair tetapi berbentuk gas atau padat. Secara sistematis perhitungan yang berkaitan dengan konsentrasi larutan dibagi menjadi dua, yaitu molaritas (M) dan molalitas (m) suatu larutan (Azizah, 2017) .
Molaritas dapat dihitung dengan Persamaan (2.1).
(2.1)
Mol zat terlarut dapat dihitung dengan Persamaan (2.2).
(2.2)
Sehingga didapatkan Persamaan (2. 3) dengan menggunakan Persamaan (2.1) dan Persamaan (2.2).
13
(2.3)
Dari persamaan yang didapatkan M adalah molaritas, G adalah massa zat terlarut, Mr adalah massa relatif zat terlarut dan V (mL) adalah volume larutan (Azizah, 2017).
2.7 X-Ray Diffraction (XRD)
X-Ray Diffraction (XRD) merupakan salah satu metode karakteristik material yang paling tua dan paling sering digunakan hingga sekarang. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalit dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel. Bahan yang dianalisis dapat berupa padatan, serbuk yang berbutir halus seperti tanah liat (Ratnasari, 2009: 3).
Ketika suatu material dikenai sinar-X, maka intensitas sinar yang ditransmisikan lebih rendah dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-atom dalam material tersebut. Berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasanya berbeda dan ada juga yang saling menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar-X yang saling menguatkan disebut sebagai berkas difraksi (Ratnasari, 2009: 2).
Hasil dari penembakan logam dengan elektron energi tertinggi dengan karakterisasi tersebut sinar-X mampu menembus zat padat sehingga dapat digunakan untuk menentukan struktur kristal. Hamburan sinar ini dihasilkan bila suatu elektron logam ditembak dengan elektron- elektron berkecepatan tinggi dalam tabung hampa udara (Beiser, 1992:
48). Eksperimen difraksi sinar-X pertama kali dilakukan pada tahun 1921 oleh Friederich, Kniping dan Von Laue, dengan menggunakan susunan eksperimental. Sinar-X yang dihamburkan membentuk sebuah pola interferensi pada film fotografik berupa sebuah potret dan pola.
Eksperimen ini membuktikan bahwa sinar-X adalah gelombang atau setidak-tidaknya bersifat menyerupai gelombang dan juga bahwa atom- atom adalah sebuah kristal yang disusun dalam sebuah pola yang teratur.
Sejak itu, difraksi sinar-X telah terbukti sebagai sebuah alat penelitian
14 yang sangat penting untuk mengukur panjang gelombang sinar-X dan untuk mengukur struktur kristal (Young, 2004).
Prinsip kerja XRD secara umum adalah XRD terdiri dari tiga bagian utama, yaitu tabung sinar-X, tempat obyek sampel dan detektor sinar-X yang berisi katoda yang memanaskan filamen, sehingga menghasilkan elektron. Perbedaan tegangan menyebabkan percepatan elektron akan menembaki objek. Ketika elektron mempunyai tingkat energi yang tinggi dan menabrak elektron dalam objek akan dihasilkan pancaran sinar-X. Objek dan detektor berputar untuk menangkap dan merekam intensitas refleksi sinar-X. Detektor merekam dan memproses sinyal sinar-X dan mengolahnya dalam bentuk grafik (Ratnasari, 2009: 3).
Gambar 2.4 merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk menentukan struktur pada suatu padatan kristalin dengan menggunakan metode difraksi sinar-X. Pada Gmbar 2.4 dapat dijelaskan bahwa pada XRD, pola difraksi dinyatakan dengan besar sudut-sudut yang terbentuk sebagai hasil dari difraksi berkas cahaya oleh kristal pada material. Nilai sudut tersebut dinyatakan dalam 2θ, θ merepresentasikan sudut datang cahaya. Sedangkan nilai 2θ merupakan besar sudut datang dengan sudut difraksi yang terdeteksi oleh detektor. Hukum Bragg merupakan perumusan matematik mengenai proses difraksi yang terjadi sebagai hasil interaksi antara sinar-X yang dipantulkan oleh material. Pantulan tersebut terjadi tanpa mengalami kehilangan energi sehingga menghasilkan pantulan elastis atau elastic scattering. Bragg menunjukan bahwa bidang yang berisi atom-atom di dalam kristal akan memantulkan radiasi dengan
Gambar 2. 4 Prinsip kerja X-Ray Diffraction (XRD) (Beiser, 1992)
15 cara yang sama persis dengan peristiwa pemantulan cahaya di bidang cermin (Agus,2012).
Jika sinar datang mengenai bidang yang tersusun secara paralel dan berjarak d satu sama lain maka terdapat kemungkinan bahwa sinar- sinar datang akan dipantulkan kembali oleh bidang dan saling berinterferensi secara konstruktif sehingga menghasilkan penguatan terhadap sinar pantul dan menyebabkan terjadinya difraksi seperti terlihat pada Gambar 2.6(Agus, 2012).
Pada panjang gelombang lintasan berkas cahaya yang menggunakan persamaan Hukum Bragg :
2.4
dengan adalah panjang gelombang dan d adalah jarak antara bidang kristal (Agus, 2012)
2.8 Metode difraksi
Berdasarkan hukum Bragg ( λ = 2dsinθ), terdapat dua variabel yang dapat divariasikan untuk menghasilkan pola difraksi, yakni panjang gelombang dan sudut difraksi. Nilai d tidak dapat divariasikan karena merupakan rusuk yang menghubungkan antara bidang kristal dan bernilai Gambar 2. 6 Proses difraksi sebagai akibat interferensi konstruktif (Agus, 2012) Gambar 2. 5 pemantulan cahaya pada bidang kristal (bidang bragg)(Agus, 2012)
16 tetap bagi suatu sistem kristal tertentu, kecuali jika struktur kristal tersebut mengalami perubahan (misalnya karena proses interstisi/penyusupan pada material). Oleh karena itu, metode difraksi dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni berdasarkan perubahan panjang gelombang (metode Laue) dan berdasarkan perubahan sudut difraksi (Metode Debye-Scherrer) (Agus, 2012).
2.8.1 Metode Laue
Pada metode Laue, sudut θ dibuat tetap sedangkan panjang gelombang sinar-X dibuat berubah. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan arah sudut datang sinar-X tetapi memvariasikan dengan cara mengubah-ubah plat logam yang menjadi sasaran tembak pada tabung sinar-X. Logam yang berbeda akan menghasilkan panjang gelombang yang berbeda ketika berinteraksi dengan sinar-X, misalnya CuKα1 memiliki panjang gelombang 0,1541 nm, NiKα1 memiliki panjang gelombang 0,1658 nm, dan ZnKα1 memiliki panjang gelombang 0,1435 nm. Difraksi hanya akan terjadi jika terbentuk interferensi gelombang yang konstruktif pada saat berkas cahaya dipantulkan oleh material sampel.
Sementara itu, interferensi konstruktif hanya dapat terjadi pada panjang gelombang tertentu yang datang dengan sudut tertentu pula. Artinya, tidak semua panjang gelombang yang datang pada sudut tertentu akan menghasilkan interferensi konstruktif.
Gambar 2.7 menunjukkan bahwa walaupun berkas cahaya datang dari sudut yang sama, namun jika panjang gelombangnya berbeda maka dapat menghasilkan pola interferensi yang berbeda. Kelemahan metode ini adalah kurang praktis karena harus mengubah-ubah plat logam pada
Gambar 2. 7 (a) Interferensi Konstruktif, (b) Interferensi Destruktif (Agus,2012)
17 tabung sumber sinar-X. Oleh karena itu, dikembangkan metode yang lebih baru oleh Debye-Scherrer, yakni metode serbuk.
2.8.2 Metode Debye-Scherrer
Pada metode serbuk, sudut θ yang diubah-ubah sedangkan panjang gelombang λ dibuat tetap. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dengan mengubah-ubah arah datangnya berkas sinar-X tanpa mengganti plat logam sumber sinar-X agar dihasilkan λ yang tetap. Pola interferensi juga dapat dipengaruhi oleh arah datangnya gelombang. Walaupun berkas cahaya yang datang memiliki panjang gelombang yang sama namun jika arah datangnya berbeda maka pola interferensinya akan berbeda. Gambar 2.8 memperlihatkan berkas cahaya yang memiliki panjang gelombang yang sama, namun arah datangnya berbeda sehingga menimbulkan perbedaan pola interferensi (Agus, 2012).
Berdasarkan Hukum Bragg, jika panjang gelombang dari sinar yang membentur diketahui, kemudian kita bisa mengontrol sudut dari benturan maka dapat ditentukan jarak antar atom/geometri dari kisi ( d- spacing ). Dengan menghitung d-spacing yang diperoleh dari rumus Bragg serta mengetahui nilai indeks miller (hkl) yang menyatakan posisi atom dalam kristal, maka dapat ditentukan parameter kisi (a, b dan c) sesuai dengan bentuk kristalnya (Agus, 2012).
2.9 Struktur Kristal
Susunan khas atom-atom dalam kristal disebut struktur kristal.
Struktur kristal dibangun oleh sel satuan (unit cell). Sel satuan adalah bagian terkecil dari unit struktur yang dapat menjelaskan tentang struktur Gambar 2. 8 (a) Interferensi Konstruktif, (b) Interferensi Destruktif (Agus, 2012)
18 suatu kristal. Dalam mengenai geometri kristal setiap dalam kristal sempurna dianggap sebagai suatu titik, tepat pada kedudukan setimbang setiap atom dalam ruang. Pola geometrik yang diperoleh dinamakan kisi kristal, seperti Gambar 2.9.
Sumbu-sumbu a, b dan c adalah sumbu-sumbu yang dikaitkan dengan parameter kisi kristal. Sedangkan α, 𝛽, dan γ merupakan sudut antar sumbu-sumbu referensi kristal. Berdasarkan sumbu-sumbu a, b, dan c (kisi bidang) dan sudut α, 𝛽, dan γ (kisi ruang), kristal dikelompokkan menjadi 7 sistem kristal (hubungan sudut satu dengan sudut yang lain) seperti pada Tabel 2.1:
Tabel 2. 1 Tujuh Sistem Kristal (kittel, 1976)
Sistem Kristal Parameter Kisi Simbol
Kubik a b =c
𝛼= 𝛽 = γ = 90o
P I F
Monoklinik a b ≠ c
𝛼 = 𝛽 = 90o ≠ γ
P C
Triklinik a ≠ b ≠ c
𝛼 = 𝛽 = γ ≠ 90o P
Tetragonal a b ≠ c
𝛼 = 𝛽 = γ = 90o
P I
Orthorombik a ≠ b ≠ c
𝛼 = 𝛽 = γ = 90o
P C I Gambar 2. 9 Struktur kristal menunjukkan sudut hkl (Suwitra, 2011)
19 F
Trigonal/Rhombohedral a ≠ b ≠ c
𝛼 = 𝛽 = γ = 90o P
Heksagonal a b ≠ c
𝛼 = 𝛽 = 90o , γ = 120o P
Pada struktur kristal ZnO memiliki beberapa jenis struktur diantaranya rocksalt kubik, zincblende kubik , dan wurtzite heksagonal.
ZnO dengan struktur heksagonal wurtzite merupakan struktur yang paling stabil dalam suhu ruang dibandingkan struktur lainnya karena strukturnya yang unik, berupa non-sentrosimetri dengan atom Zn dikelilingi oleh empat atom oksigen, dan sebaliknya (ichwan, 2017). Zincblende kubik stabil jika tumbuh pada substrat dengan struktur kisi kubik, sedangkan kubik rocksalt merupakan struktur yang jarang diamati. Dalam kondisi ruang, fase ZnO yang stabil secara termodinamika adalah fase wurtzite.
Kristal ZnO dengan struktur zink blende dapat menjadi stabil hanya dengan penumbuhan pada substrat-substrat struktur kubik. Kombinasi ZnO dengan material ini mampu membentuk sambungan heterogen metalik/semikonduktor yang dapat meningkatkan performa material (alfarisa, 2018).
2.10 Ukuran Kristal
Untuk dapat mengetahui pengaruh ukuran butir pada suatu struktur kristal maka dilakukan cara promissing. Cara ini memiliki berbagai jarak tertentu yang dapat menangkap suatu efek ukuran nyata atau sebenarnya dalam butir kristal (Smith, 2006). Pada fasa tunggal bahan terdiri atas sejumlah kristal tunggal atau butir yang semua butirnya memiliki struktur kristal dan komposisi kimia yang sama, perbedaannya terletak pada orientasi yang mengakibatkan terjadinya batas kristal lebih yang disebut dengan batas antar kristal atau batas butir. Pada batas butir terdapat susunan atom yang sangat tidak beraturan bila dibandingkan dengan sejumlah garis, tetapi batas butir pada kenyataannya merupakan permukaan antar kristal. Pergerakan atom pada sepanjang batas butir lebih
20 capat dibandingkan melalui susunan kristal (French, 1983). Besar butir tergantung pada laju pendinginan, pendinginan lambat menghasilkan butir halus (banyak) sedangkan pendinginan cepat menghasilkan butir kasar (sedikit) karena batas butir berpengaruh atas material (Bransden, 1991).
Ukuran kristal dihitung dengan menggunakan persaamaan Debye Scherrer (Calvalcante dkk, 2008) :
Keterangan :
D = Ukuran Kristal (nm) K = Konstanta (0.9)
λ = Panjang gelombang (nm)
β = FWHM (Full Width Halft Maximum, radian)
θ =
2θ = Posisi puncak difaktogram
2.6
Pada struktur nano akan memperbaiki kinerja DSSC, faktor berikutnya adalah faktor ukuran optimum. Ukuran partikel yang terlalu besar dan terlalu kecil dapat menyebabkan kinerja menurun drastis.
Ukuran partikel yang besar memungkinkan banyaknya bahan pewarna yang melekat, akan tetapi jarak tempuh elektron menjadi jauh lebih panjang. Sedangkan untuk ukuran partikel yang kecil dapat mengurangi serapan bahan pewarna , sehinga konversi energi cahaya matahari menjadi kurang efisien (Rahman, 2011).
2.11 Derajat Kristalinitas
Derajat kristalinitas yaitu besaran yang menyatakan banyaknya kandungan kristal dalam suatu material dengan membandingkan luasan kurva kristal dengan total luasan amorf dan kristal. Derajat kristalinitas dihitung menggunakan parameter FWHM (Full Width at Half Maximum).
Fraksi luas kristal atau amorf dihitung dengan mengkalikan FWHM dengan intensitas. FWHM dianggap setengah alas dan intensitas sebagai tingginya (Purnama, 2006).
21
% (2.7) 2.12 Penelitian Terdahulu
Berikut adalah rangkuman hasil penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan
Tabel 2. 2 Penelitian terdahulu yang berkaitan
No
Nama dan Tahun Publikasi
Hasil
1. Siswanto, 2017
Metode : Fabrikasi dan Karakterisasi Nanopartikel Seng Oksida (ZnO) dengan Metode Sol-Gel. Bahan yang digunakan untuk membuat ZnO yaitu Zn (CH3COOH)2 dan NaOH, metanol dan aquades dengan NaOH 1.0 M dan Zn (CH3COOH)2 0.2 M.
Hasil : Campuran (CH3COO) 2Zn.2H20 dan NaOH.H20 menggunakan titrasi. Optimasi titrasi digunakan diketentuan waktu penetasan, suhu, dan kecepatan pengaduk. sampai pH larutan berubah. ZnO koloid adalah yang tercepat dan paling lama untuk diselesaikan pada pH 7 dan pH 12 dengan waktu pengendapan pH 4320 menit dan 120 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara variasi deposit seng oksida, satu dari solusi pH 12 diperoleh waktu pengendapan tercepat, kuran partikel rata- rata ZnO dari pH 12 adalah 73.8 nm. Semakin besar pH larutan, semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya solusi dari ukuran partikel yang dihasilkan meningkat. Sebaliknya, semakin kecil pH larutan, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengendap dan semakin kecil ukuran partikel yang dihasilkannya.
22 2. Nugroho, 2012
Metode : pengaruh variasi pH pada sintesis nanopartikel ZnO dengan metode sol-gel. Bahan yang digunakan Serbuk (CH3 COOH)2 Zn.2H2O dilarutkan dalam metanol diaduk dengan sonikator 750 Watt selama 30 menit dan 1,0 M NaOH yang dilarutkan dalam 500 mL aquabidest.
mentitrasi NaOH diteteskan ke dalam larutan (CH3
COOH)2 Zn.2H2O sehingga mengubah nilai pH 7,8,9,10,11 dan 12.
Hasil : Setelah terbentuk larutan seperti susu putih diaduk kembali dengan menggunakan sonikator selama 30 menit.
Endapan tersebut dipanaskan agar H2O dan prekursor senyawa lain dapat hilang dengan menggunakan oven pemanas pada 80 oC selama 1 jam. Selanjutnya padatan ZnO digerus menggunakan mortar dan diperoleh serbuk ZnO nanopartikel. Kemudian sampel larutan ZnO dianalisis dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) untuk mengetahui komposisi dari sampel hasil sintesis.
Ukuran partikel ZnO dari hasil karakterisasi PSA diperoleh yaitu pada pH 7 dan pH 12 adalah 1,3 nm dan 73,8 nm.
Hasil analisis XRD dengan program diperoleh tingkat kemurnian dari ZnO yang dihasilkan pada pH 7, pH 8, pH 10 dan pH 12 masing-masing sebanyak 42,9%, 62,2%, 64,7%, dan 100 %.
3. Alias, 2010
Metode : Pengaruh pH pada sifat nanopartikel ZnO disintesis oleh sentrifugasi sol-gel. Dimana 0.2 M Zn(CH3COO)2·2H2O dicampurkan dengan 1.0 M NaOH.
ZnO disintesis dengan pH 9 dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan terbentuk koloid ZnO dengan fase padatan putih.
23 Hasil : struktur kristal berbentuk heksagonal dan ukuran partikel 48,31 nm.
4. Shi dkk, 2014
Metode : Sintesis nanopartikel ZnO menggunakan beberapa metode seperti metode hidrotermal, metode sol – gel, metode mechanochemical, dan metode vapour phase.
Hasil : Hasil menunjukkan bhawa aktivitas antibakteri nanopartikel ZnO tergantung pada ukuran dan konsentrasi.
Aktivitas antibakteri nanopartikel ZnO dapat ditingkatkan dengan doping ZnO dengan logam lain. Hasil sampai saat ini menunjukkan bahwa nanopartikel ZnO aman hingga tingkat tertentu, tetapi dapat menjadi racun pada konsentrasi yang lebih tinggi.
5. Preethi dkk, 2016
Metode : Bahan yang digunakan untuk sintesis nanopartikel ZnO yaitu Zinc Acetate Dyhidrate, Zinc Nitrate, ZnCl2, dan NaOH dengan menggunakan 2 metode : metode hidrotermal dan metode sol-gel.
Hasil : Hasil menunjukkan bahwa sintesis ZnO dengan metode hidrotermal dan sol-gel pada suhu yang berbeda.
dalam kedua metode rata-rata ukuran kristal dihitung dari ola XRD ditemukan berada dalam kisaran 20-30 nm.
6. Nath dkk, 2018
Metode : menggunakan metode sol-gel dengan bahan yang digunakan asam hidroklorat, natrium hidroksida, seng klorida dan air suling.
Hasil : hasil difraksi sinar-x menunjukkan bahwa pembentukan struktur heksagonal dengan tingkat kristalinitas tinggi. Hasil pemindaian elektron bahwa morfologi pada konsentrasi NaOH tidak teratur dan
24 mengalami kenaikan ukuran partikel.