7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Logam Berat
Logam merupakan salah satu unsur yang dapat ditemukan dengan mudah di bumi. Mulai dari tanah dan batuan, perairan, bahkan pada lapisan atmosfer yang menyelimuti bumi. Umumnya logam-logam di alam ditemukan dalam bentuk persenyawaan dengan unsur lain, dan sangat jarang yang ditemukan dalam bentuk elemen tunggal. Dalam perairan, logam pada umumnya berada pada bentuk ion-ion, baik sebagai pasangan ion ataupun dalam bentuk ion-ion tunggal.
Sedangkan pada lapisan atmosfer, logam ditemukan dalam bentuk partikular, unsur-unsur logam tersebut ikut beterbangan dengan debu-debu yang ada di atmosfer (Ainna, 2013). Adapun ciri-ciri logam berat yaitu memiliki kemampuan yang baik sebagai penghantar daya listrik (konduktor), memiliki rapat massa yang tinggi, dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, untuk logam yang padat dapat ditempa dan dibentuk (Palar, 2012).
Timbal (Pb) adalah logam paling umum yang dapat menyebabkan keracunan kronis. Timbal adalah komponen alami dari kerak bumi dengan jumlah cukup banyak yang dapat ditemukan pada tanah, air dan tanaman. Secara umum, timbal tidak bergerak tetapi menjadi sangat beracun ketika ditambang dan digunakan oleh orang-orang. Sumber timbal lingkungan mungkin berasal dari polusi udara, makanan, dan air (Vijaya dkk, 2012). Logam Pb merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan, tak mengkilap, tebal, sangat halus, dapat ditempa dengan titik leleh pada 327.5 ºC dan titik didih 1740 ºC pada tekanan atmosfer. Timbal mempunyai nomor atom besar dari semua unsur yang stabil, yaitu 82 (Nur, 2016).
Titik lebur timbal terjadi pada 327.5°C (621,5°F), sangat rendah dibandingkan dengan kebanyakan logam. Titik didihnya yaitu 1740°C (3180°F) merupakan nilai terendah di antara elemen-elemen kelompok karbon. Tahanan listrik timbal pada 20°C adalah 192 nΩm, hampir urutan magnitudo lebih tinggi
8
daripada logam industri lainnya (seperti tembaga pada 15,43 nΩm; emas 20,51 nΩm; dan aluminium pada 24,15 nΩm) (Boldrev, 2018).
2.2 Jelaga
Jelaga umumnya dibentuk sebagai produk sampingan yang tidak diinginkan dari pembakaran tidak sempurna atau pirolisis. Jelaga yang dihasilkan di dalam api pada dasarnya terdiri dari agregat bola karbon. Jelaga yang ditemukan di cerobong asap perapian domestik mengandung beberapa agregat tetapi dapat mengandung fragmen partikel arang atau arang dalam jumlah besar
(Marsh dkk, 2006).
Jelaga umumnya terbentuk melalui kondensasi dari penguapan material organik, biasanya melalui sejumlah hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH). Ini adalah proses kompleks yang melibatkan produksi benzena dan asetilena dari biomassa asli bahan bakar fosil yang sebagian besar bahan bakar terurai ke dalam spesies yang sama seperti awal proses jelaga. Tahap kedua pembentukan jelaga, asetilena dan benzena diubah menjadi fenil, yaitu hidrokarbon aromatik sederhana yang hanya terdiri dari satu cincin. Rantai cincin aromatik kemudian tumbuh melalui proses polimerisasi cepat (penggantian atom hidrogen dengan grup C2H2).
Dengan meningkatnya jumlah cincin aromatik, terbentuklah inti dari partikel jelaga. Beberapa model menganggap empat cincin sudah cukup untuk nukleasi jelaga (Chylek dkk, 2015). Gambar 2.1 merupakan gambar morfologi jelaga baru
Gambar 2. 1 Morfologi jelaga yang baru diproduksi (Chylek dkk, 2015)
9 diproduksi yang menunjukkan karakteristik struktur rantai dari partikel jelaga berukuran nanometer.
2.3 Grafit
Material grafit dan komposit berbasis grafit diklasifikasikan ke dalam kelompok bahan maju yang paling kuat ikatannya. Ikatan mereka paling sering dilakukan dengan ikatan perekat dan vacuum brazing. Vacuum brazing diperlukan untuk mengaktifkan antarmuka bahan dan menggunakan logam pengisi aktif.
Bahan grafit menunjukkan kerapatan rendah tetapi konduktivitas termalnya berada dalam kisaran konduktivitas logam (antara baja dan aluminium yang tidak terikat). Dengan kenaikan suhu, kekuatan mekanik grafit meningkat dan mencapai kekuatan tertinggi dari semua bahan yang dikenal dalam kisaran antara (2000 - 2500)0C (Mirski, 2011).
Grafit bersifat inert terhadap sebagian besar bahan kimia dan memiliki titik leleh tinggi ~ 3.550 ° C, tetapi dengan adanya oksigen akan mulai teroksidasi pada suhu >300°C dan dapat diinduksi untuk mempertahankan pembakaran di atas 650°C. Pada kondisi yang sesuai, laju oksidasi termal lambat tetapi meningkat dengan meningkatnya suhu. Konduktivitas termal dalam grafit bersifat anisotropik tetapi sangat tinggi searah dengan bidang lapisan (Keeling, 2017).
2.4 Polyvinyl Alcohol (PVA)
Poly Vinyl Alcohol atau biasa disingkat PVA adalah salah satu polimer sintesis yang berwarna keputih-putihan, tidak berbau, dan biokompatibel. PVA bukan disintesis oleh polimerisasi monomer struktural (yaitu vinil alkohol) karena sifatnya yang tidak stabil. Untuk produksi komersial PVA, bahan baku dasar untuk polimerisasi PVA adalah vinil asetat (sebagai monomer). Hidrolisis (saponification) vinil asetat dilakukan pada kelompok ester vinil asetat sebagian yang digantikan dengan gugus hidroksil dalam lingkungan berair natrium hidroksida. Endapan dari reaksi ini disebut PVA. PVA memiliki sifat optik yang baik, kekuatan dielektrik besar, dan sangat baik kemampuan penyimpanan dayanya. Secara mekanik, properti sifat optik dan listrik dapat dengan mudah disesuaikan pada doping dengan nanofiller. PVA yang tersedia di pasaran mempunyai nilai yang berbeda tergantung pada dasar viskositas dan tingkat
10
hidrolisisnya (Aslam dkk, 2018). Penggunaan PVA sebagai matriks banyak dilakukan untuk memodifikasi berbagai properti material sesuai kebutuhan.
Polimer matriks komposit adalah salah satu material yang menggunakan polimer sebagai matriks dan serat sebagai penguatnya. Kekuatan dan modulus serat yang jauh lebih tinggi dari bahan matriks normal. Namun, tetap diperlukan matriks dengan sifat adhesi yang baik untuk menguatkan ikatan material pengisi.
Pada saat yang sama, bahan matriks dapat menghasilkan distribusi muatan yang homogen (seragam) dan mentransfer muatan matriks ke material pengisi. Selain itu, beberapa sifat bahan komposit utamanya tergantung pada karakteristik dari bahan matriks. Akibatnya, dalam material komposit, kinerja antara matriks dan material pengisi akan mempengaruhi hasil kinerja komposit yang dihasilkan pula (Ru-Min dkk, 2011).
2.5 Spin coating
Spin coating adalah salah satu prosedur yang digunakan untuk mengaplikasikan film tipis yang seragam pada bidang datar. Proses yang khas melibatkan penyimpanan genangan kecil dari cairan resin ke tengah substrat dan kemudian memutar substrat dengan kecepatan tinggi (biasanya sekitar 3000 rpm).
Gambar 2. 2 Terbentuknya PVA dan efek yang ditimbulkan (Marin dkk, 2014)
- +
High viscosity
High tensile strength
High stability and aquous solubility
High adhesivity
High crystalinity
Low viscosity
High solubility in organic solvents
High flexibility
Molecular Weight
11 Ketebalan lapisan akhir dan sifat-sifat lainnya akan tergantung pada sifat larutan, seperti viskositas, laju pengeringan, persen padatan, tegangan permukaan, dan lain-lain. Faktor-faktor seperti kecepatan rotasi akhir, akselerasi, dan pembuangan asap berkontribusi terhadap bagaimana sifat-sifat film berlapis didefinisikan (Tyona, 2013). Mesin yang digunakan untuk pelapisan spin disebut spin coating, atau sekadar pemintal.
Semakin tinggi kecepatan pemutaran pada alat spin coating maka lapisan tipis yang dihasilkan dari larutan akan memiliki ketebalan yang kecil. Lapisan tipis terbentuk karena adanya gaya sentrifugal. Dari percobaan yang telah dilakukan, substrat lapisan tipis yang dihasilkan tidak terlihat bagus karena kecepatan pada piringan terlalu besar sehingga larutan banyak yang terpental keluar dari substrat, jadi lapisan tipisnya tidak terbentuk dengan bagus (Pertiwi dkk, 2015).
2.6 Four Point Probe
Four-Point Probe (FPP) merupakan salah satu metode pengukuran yang biasa digunakan untuk mengukur nilai resistivitas dari suatu material yaitu material semikonduktor seperti Silikon (Si), Germanium (Ge), Galium Arsenide (GaAs), dan material logam pada thin film yang digunakan pada perangkat elektronik. Metode ini disebut Four Point Probe karena ada empat titik yang menyentuh permukaan sampel. Keempat titik (probe) dibuat berbaris dalam garis lurus dengan jarak antar probe diatur sedemikian rupa, sehingga masing-masing probe memiliki jarak yang sama. Pada densitas elektron berkinerja tinggi,
Gambar 2. 3 Metode Spin Coating (Gao dkk, 2016)
12
pembawa muatan dibatasi terutama oleh hamburan pengotor terionisasi, yaitu interaksi Coulomb antara elektron dan dopan. Konsentrasi doping yang lebih tinggi dapat mengurangi mobilitas pembawa menuju konduktivitas yang tidak meningkat, dan hal ini juga mengurangi transmitansi cahaya optik dekat inframerah. Dengan meningkatnya konsentrasi dopan, resistivitas mencapai batas yang lebih rendah (Afre dkk, 2017). Selain beberapa pengaruh tersebut, konduktivitas listrik tidak dipengaruhi oleh ukuran ketebalan lapisan pada sampel, melainkan dipengaruhi pada jenis bahan penyusunnya (Kusumawati dan Yahya, 2012). Penurunan konduktivitas dapat disebabkan karena meningkatnya porositas yang akan menyebabkan lapisan tipis sulit mengalirkan arus listrik, sehingga nilai resistivitasnya meningkat (Sembiring, 2009). Metode four point probe mengacu pada prinsip Hukum Ohm, yaitu
𝑅 =
(2.1)dan
𝑅 = 𝜌
(2.2)Sifat listrik suatu lapisan dapat ditentukan melalui pengukuran konduktivitas, resistivitas, dan pembawa muatannya. Untuk menentukan karakteristik suatu material, pengukuran nilai resistivitas dilakukan pada area dan ketebalan tertentu. Metode ini juga dapat dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan mobilitas suatu material semikonduktor yang diberi perlakuan doping (Agumba dkk, 2011).
𝜌 = × × 𝑡
(2.3)𝜌 = × 𝑅 × 𝑡
(2.4)atau
𝜎 =
(2.5)dengan ρ adalah resistivitas, σ adalah konduktivitas, t merupakan ketebalan lapisan, dan R adalah resistansi. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan 4 probe yang disusun di atas sampel seperti pada Gambar 2.4. Dua probe digunakan sebagai pengukur arus dan 2 probe lainnya untuk mengukur tegangan. Arus listrik konstan dialirkan sepanjang sampel melalui dua probe terluar. Jika sampel
13 memiliki resistansi, akan ada drop tegangan ketika arus mengalir di sepanjang sampel. Perubahan tegangan diukur melalui dua probe dalam. Kuantitas listrik
yang menunjukkan konduktivitas material, seperti tegangan keluaran dan arus keluaran, dapat ditentukan dengan cermat menggunakan metode ini (Waremra dan Betaubun, 2018).
2.7 Mikroskop Optik
Mikroskop optik terbagi menjadi beberapa tipe tergantung dari jenisnya.
Sebagai contoh, berdasarkan metode pencahayaannya, terdapat jenis transmisi dan refleksi. Pada jenis transmisi, cahaya akan langsung melewati objek transparan menuju ke lensa. Sedangkan pada jenis refleksi, sumber cahaya dipasang di atas lensa mikroskopis dan menerangi objek yang tidak transparan, lalu pantulan cahayanya akan dikumpulkan oleh lensa (Chen, 2011). Terdapat beberapa komponen utama yang pada mikroskop optik, yaitu kondensor, lensa objektif, kaca preparat, dan lensa okuler. Kaca preparat berfungsi sebagai wadah spesimen.
Kondensor berfungsi untuk memusatkan cahaya yang datang menuju kaca preparat, Lensa objektif merupakan lensa yang berada dekat dengan spesimen dan berfungsi untuk memperbesar objek yang diamati. Sedangkan, lensa okuler merupakan lensa yang berada dekat dengan mata, berfungsi untuk memperbesar objek pengamatan yang dihasilkan oleh lensa objektif agar dapat dilihat oleh
Gambar 2. 4 Skema metode Four Point Probe (Agumba, 2011)
14
pengguna. Secara sederhana, cara kerja sebuah mikroskop optik terjadi seperti ilustrasi pada Gambar 2.5. Cahaya yang datang akan dipusatkan oleh kondensor
menuju ke objek pengamatan. Lalu, lensa objektif akan memperbesar objek yang diamati dan meneruskannya hingga dapat diamati oleh pengguna.
2.8 Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah daftar penelitian terdahulu yang telah dilakukan dan memiliki keterkaitan dengan penelitian.
Tabel 2. 1 Penelitian terdahulu No
Nama dan Tahun
Publikasi Hasil
1 Singh dkk, 2019
Topik: Penggunaan jelaga hasil pembakaran tidak sempurna oleh lilin sebagai pelapis permukaan keramik ferroelectric (BCZTO) untuk adsorpsi methylene blue.
Hasil: Jelaga menunjukkan tingkat adsorpsi tertinggi hingga 90%, sehingga memiliki potensi sebagai pelapis suatu material adsorpsi.
2 Maknun, 2019
Topik: Studi Sensor Ion Timbal Berbasis Jelaga dan Grafit dengan menggunakan metode pemintalan elektrik Hasil: Uji deteksi sensor resistif berhasil dilakukan dengan melihat adanya perubahan tegangan ketika larutan PbNO3 diteteskan pada sensor.
3 Swastiko dkk, 2016
Topik: Karakterisasi Fisis Nanomaterial Karbon Berbasis Grafit Dari Lapisan Tipis Jelaga Hasil Gambar 2. 5 Ilustrasi cara kerja mikroskop optik
15 Pembakaran Lampu Teplok Berbahan Bakar Minyak Tanah
Hasil: Adanya penambahan jelaga berpengaruh pada nilai resistansi yang dihasilkan lapisan tipis.
4 Phillips dkk, 2017
Topik: Efek ratio grafit dan black carbon terhadap konduktivitas listrik
Hasil: Resistivitas terendah dicapai pada perbandingan komposisi grafit dan jelaga yaitu 2.6:1. Penambahan karbon dengan komposisi tertentu dapat meningkatkan konduktivitas listrik.
16
Halaman ini sengaja dikosongkan