7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prinsip Dasar Metode Resistivitas
Pada tahun 1826, George Simon Ohm melakukan eksperimen menentukan hubungan antara tegangan dan arus yang melalui penghantar (Lowrie, 2007).
Parameter dalam eksperimen itu disebut resistansi R yang didefinisikan sebagai hasil bagi tegangan dan arus, dinyatakan dalam persamaan
(2.1)
dengan R adalah resistansi bahan (), I adalah besar kuat arus (ampere), dan V adalah besar tegangan (volt).
Sebagai penjelas dari Hukum Ohm, Gambar 2.1 menunjukkan arus listrik yang mengalir melalui silinder homogen sehingga resistansi akan sebanding dengan panjang L dan berbanding terbalik dengan area penampang A. Dengan demikian, persamaan dapat ditulis
(2.2)
dimana adalah resistivitas bahan (m), L adalah panjang silinder konduktor (m), A adalah luas penampang silinder konduktor (m2) (Grant dkk, 1965).
Persamaan (2.1) dan (2.2) disubstitusikan menjadi
(2.3)
Kebalikan dari resistivitas merupakan konduktivitas dengan satuan S (Telford dkk, 1990), merupakan ̅ atau medan listrik (V/m), dan merupakan ̅ atau rapat arus (A/m2) maka persamaan (2.3) menjadi
̅ ̅ (2.4)
I
Gambar 2. 1 Silinder Konduktor (Lowrie, 2007) A
L I
8
Hukum Ohm yang dinyatakan dalam persamaan (2.4) menjadi dasar dalam penggunaan metode geolistrik resistivitas (Everett, 2013).
2.2 Aliran Listrik di Dalam Bum
Persamaan (2.4) digunakan untuk memahami metode resistivitas dalam memperkirakan resistivitas batuan. Persamaan tersebut diketahui bahwa kerapatan arus bawah permukaan berhubungan dengan medan listrik sesuai Hukum Ohm sehingga
̅ ̅ (2.5)
Pada Gambar 2.2 terdapat beda potensial yang diukur pada titik P di dalam permukaan. Beda potensial didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan oleh medan listrik ̅ dalam memindahkan muatan uji dari tak hingga ke titik P (Everett, 2013).
∫ ̅ (2.6)
C adalah potensial di suatu titik sejauh dari titik P. Sehingga potensial di titik P adalah
∫ ̅ ∫ (2.7) dimana merupakan area dari permukaan bola berjari-jari r.
arus, I
Resistivitas,
Arus, I
Gambar 2. 2 Injeksi Arus di Dalam Resistivitas Homogen (Everett, 2013)
9 2.2.1 Arus Tunggal di Permukaan Bumi
Sumber arus listrik yang berada di permukaan bumi akan merambat ke segala arah secara radial berbentuk setengah permukaan bola seperti pada Gambar 2.3. Oleh karena itu, luas permukaan yang dihitung dalam persamaan (2.7) diubah menjadi luas permukaan setengah bola. Jadi, jumlah beda potensial untuk arus tunggal di permukaan bumi adalah sebagai berikut
∫ ̅ ∫ (2.8)
2.2.2 Dua Elektroda Arus Di Permukaan
Menurut Telford et al (1990), ketika jarak antara kedua elektroda tak hingga, potensial pada titik permukaan terdekat akan dipengaruhi oleh kedua elektroda. Gambar 2.4 arus listrik yang mengalir dari elektroda arus A ke elektroda arus B.
Berdasarkan persamaan (2.8), potensial untuk dua elektroda arus listrik di permukaan terdiri dari dan . merupakan potensial di titik P yang
Gambar 2. 3 Elektroda Arus Tunggal di Permukaan (Telford. et al., 1990)
Gambar 2. 4 Arus listrik yang mengalir dari elektroda arus A ke elektroda arus B (Everett, 2013)
10
dipengaruhi oleh elektroda arus A dan B. merupakan potensial di titik Q dipengaruhi oleh elektroda arus A dan B. merupakan jarak dari titik P ke elektroda arus A ( ) dan B ( ). merupakan jarak dari titik Q ke elektroda arus A ( ) dan B ( ).
(
) (2.9)
(
) (2.10)
maka
{(
) (
)} (2.11)
2.3 Metode Geolistrik Resistivitas
Penggunaan metode geolistrik pertama kali dilakukan oleh Conrad Schlumberger pada tahun 1912. Metode geolistrik adalah salah satu metode dalam geofisika yang mempelajari sifat aliran listrik di dalam bumi (Ratnawati, 2009).
Dalam penelitian ini, pembahasan dikhususkan pada metode geolistrik resistivitas.
Metode geolistrik resistivitas merupakan salah satu alternatif yang digunakan untuk eksplorasi dangkal. Metode ini memanfaatkan kontras sifat resistivitas (tahanan jenis) dari lapisan batuan di dalam bumi sebagai media untuk mempelajari keadaan geologi bawah permukaan (Pratama, 2018).
Prinsip dasar dari metode geolistrik adalah pemanfaatan sifat penjalaran arus listrik yang diinjeksikan ke dalam tanah melalui dua buah elektroda arus.
Selanjutnya, dilakukan pengukuran nilai respon beda potensial yang terjadi antara dua buah elektroda potensial yang ditancapkan di permukaan. Metode geolistrik resistivitas didapatkan nilai arus dan beda potensial yang berada di bawah permukaan. Setelah diketahui harga arus dan beda potensialnya maka bisa didapatkan nilai resistivitas batuan di bawah permukaan. Berdasarkan nilai resistivitas tersebut, dapat diketahui jenis material pada lapisan di bawah permukaan (Telford dkk, 1990).
Teknik pengukuran geolistrik dikenal dua teknik pengukuran, yaitu mapping dan sounding. Metode mapping merupakan metode resistivitas yang bertujuan untuk mempelajari variasi resistivitas lapisan bawah permukaan secara lateral.
11 Jarak spasi elektroda yang tetap untuk semua titik sounding (titik amat) di permukaan bumi digunakan pada metode ini. Metode sounding bertujuan untuk mempelajari variasi resistivitas batuan di bawah permukaan bumi secara vertikal.
Pada metode ini, pengukuran pada suatu titik sounding dilakukan dengan mengubah jarak elektroda. Perubahan jarak elektroda dilakukan dari jarak elektroda kecil kemudian bertambah secara gradual. Jarak elektroda ini sebanding dengan kedalaman lapisan batuan yang terdeteksi (Reynold, 2015). Berdasarkan letak (konfigurasi) elektroda arus dan potensialnya, dikenal beberapa jenis metode geolistrik resistivitas antara lain: metode Schlumberger, metode Dipole-Dipole, dan metode Dipole Sounding.
2.4 Resistivitas Semu
Metode geolistrik resistivitas didasarkan pada anggapan bahwa bumi mempunyai sifat homogen isotropis. Asumsi ini beranggapan resistivitas yang terukur merupakan tahanan jenis yang sebenarnya dan tidak tergantung pada spasi elektroda. Namun, pada kenyataannya bumi tersusun atas lapisan-lapisan dengan resistivitas yang berbeda-beda sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh dari lapisan-lapisan tersebut. Oleh karena itu, harga resistivitas yang terukur seolah-olah merupakan harga resistivitas untuk satu lapisan saja.
Resistivitas yang terukur sebenarnya adalah resistivitas semu ( ) (Reynold, 2015).
Resistivitas semu merupakan resistivitas dari suatu medium fiktif homogen dengan medium berlapis. Gambar 2.5 menunjukkan medium yang ditinjau terdiri dari dua lapisan dengan resistivitas berbeda dianggap menjadi medium satu lapis homogen yang mempunyai satu harga resistivitas, yaitu resistivitas semu . Besar resistivitas dinyatakan dalam persamaan
𝜌𝟐 𝜌𝟏
𝜌𝒂
Gambar 2. 5 Konsep Resistivitas Semu Pada Medium Berlapis (Reynold, 2015)
12
(2.12)
dimana adalah resistivitas semu (m) dan K adalah faktor geometri (Reynold, 2015).
2.5 Konfigurasi Schlumberger
Konfigurasi Schlumberger merupakan konfigurasi yang tersusun atas dua elektroda arus dan dua elektroda potensial. Berdasarkan konfigurasi seperti pada Gambar 2.6, dapat diketahui faktor geometri konfigurasi Schlumberger dengan menggunakan persamaan (2.12) (Telford dkk, 1990), yaitu
( ) (
) (2.13)
dengan jarak AM, BM, AN, dan BN sesuai Gambar 2.6. Dengan demikian, masing-masing jarak untuk AM, BM, AN, dan BN adalah sebagai berikut:
( ) (2.14)
( ) (2.15)
( ) (2.16)
( ) (2.17)
dimana
,*
( ) ( )+ *
( ) ( )+- (2.18)
( ) (2.20)
Kelemahan konfigurasi ini adalah pembacaan tegangan (V) pada elektroda MN lebih kecil terutama ketika jarak AB yang relatif jauh. Oleh karena itu, peralatan pengirim arus yang mempunyai tegangan listrik Direct Current (DC)
Gambar 2. 6 Skema Konfigurasi Schlumberger (Telford dkk, 1990)
13 yang sangat tinggi diperlukan. Sebaliknya, keunggulan konfigurasi Schlumberger adalah kemampuan untuk mendeteksi adanya ketidakseragaman lapisan batuan pada permukaan dan dapat memberikan kedalaman lapisan 1/3 hingga 1/2 bentangan AB (Kusuma, 2017).
2.6 Sifat Listrik Batuan
Sifat kelistrikan batuan adalah karakteristik dari batuan dalam menghantarkan arus listrik. Batuan dapat dianggap sebagai medium listrik seperti pada kawat penghantar listrik sehingga mempunyai tahanan jenis (resistivitas).
Resistivitas batuan adalah karakteristik batuan yang menunjukkan kemampuan batuan tersebut untuk menghantarkan arus listrik. Tabel 2.1 menunjukkan beberapa material dengan masing-masing resistivitasnya.
Tabel 2. 1 Harga Resistivitas Material Material Resistivitas (Ωm)
Kuarsa 500-800000
Gamping 300 – 10000
Pasir 1-1000
Lempung 1 – 100
Lanau 10 – 200
Aluvium 10 – 800
Batu Bara 0.6-100000
*(Telford dkk, 1990)
Resistivitas batuan dipengaruhi oleh porositas, kadar air, dan mineral.
Menurut Telford et al (1990), aliran arus listrik di dalam batuan dan mineral dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu konduksi secara elektronik, konduksi secara elektrolitik, dan konduksi secara dielektrik. Konduksi secara elektronik terjadi jika batuan atau mineral mempunyai banyak elektron bebas sehingga arus listrik dialirkan oleh elektron-elektron bebas tersebut. Aliran listrik ini juga dipengaruhi oleh masing-masing resistivitas batuan yang dilewatinya. Semakin besar nilai resistivitas suatu bahan maka semakin sulit bahan tersebut menghantarkan arus listrik. Begitu pula sebaliknya apabila nilai resistivitasnya
14
rendah maka akan semakin mudah bahan tersebut menghantarkan arus listrik (Lowrie, 2007).
Sebagian besar batuan merupakan konduktor yang buruk dan memiliki resistivitas yang sangat tinggi. Batuan biasanya bersifat porus dan memiliki pori pori yang terisi oleh fluida. Batuan tersebut menjadi konduktor elektrolitik ketika arus listrik dibawa oleh ion-ion elektrolit dalam air. Konduktivitas dan resistivitas batuan porus bergantung pada volume dan susunan pori-porinya. Konduktivitas akan semakin besar jika kandungan air dalam batuan bertambah banyak, dan sebaliknya resistivitas akan semakin besar jika kandungan air dalam batuan berkurang (Lowrie, 2007).
Konduksi secara dielektrik terjadi jika batuan atau mineral bersifat dielektrik terhadap aliran arus listrik, artinya batuan atau mineral tersebut mempunyai elektron bebas sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Elektron dalam batuan berpindah dan berkumpul karena adanya pengaruh medan listrik di luar sehingga terjadi polarisasi. Peristiwa ini tergantung pada konduksi dielektrik batuan yang bersangkutan (Telford dkk, 1990).
2.6 Kondisi Geologi Daerah Penelitian
Kondisi geologi daerah penelitian berdasarkan peta geologi Balikpapan menunjukkan jenis batuan sedimen yang tersingkap di daerah Balikpapan dan sekitarnya terdiri dari tiga formasi, yaitu Formasi Balikpapan berwarna hijau, Formasi Kampungbaru berwarna kuning, dan endapan aluvial berwarna biru.
Tempat penelitian pada Gambar 2.7 ditandai dengan kotak berwarna merah merupakan formasi Kampungbaru. Formasi Kampungbaru terdiri dari batu pasir kuarsa dengan sisipan batu lempung, serpih, batu lanau, dan sisipan batubara.
Batu pasir kuarsa berwarna putih, tidak berlapis, bertekstur halus sedang, mudah hancur, mengandung oksida besi, tufaan atau lanauan, sisipan batu pasir konglomerat. Batu lempung berwarna abu-abu sampai abu-abu kecoklatan, mengandung sisa tumbuhan. Batu lanau berwarna abu-abu tua, menyerpih, laminasi, padu. Batubara berwarna kecoklatan-hitam, kusam, pecahan menyudut, resin dan pirit, mudah hancur keras, tebal atas beberapa cm sampai 6m berumur Miosen Akhir-Pilo Plistosen, diendapkan dalam lingkungan delta – laut dangkal.
15 Struktur tanah di Kota Balikpapan terdiri atas podsolik merah kuning, tanah aluvial, dan pasir kuarsa.
Sejarah geologi daerah penelitian diawali dengan diendapkannya batupasir dan batupasir pembawa lapisan batubara Balikpapan, pengendapan dipengaruhi oleh proses sungai di upper delta plain – fluvial pada masa Miosen Tengah – Miosen Akhir. Kemudian, batupasir kuarsa Kampungbaru diendapkan secara selaras pada masa Pliosen dengan pengendapan menuju ke arah darat dan dipengaruhi oleh proses sungai (fluvial). Pada masa Pliosen Akhir terjadi proses tektonik yang menyebabkan terjadinya lipatan dan membentuk Antiklin Palaran.
Kegiatan tektonik juga mengakibatkan terangkatnya Formasi Balikpapan dan Formasi Kampungbaru yang mengalami proses pelapukan dan erosional akibat arus sungai. Endapan hasil erosi dan pelapukan kemudian diendapkan di sekitar sungai membentuk dan Endapan Aluvial yang memiliki kontak ketidakselarasan dengan satuan batuan di bawahnya (Jati, 2014).
Gambar 2. 7 Informasi Geologi Daerah Penelitian
16
2.7 Kurva Sounding Resistivitas Semu
Kurva sounding resistivitas semu adalah hasil plot AB/2 dengan nilai resistivitas. Kurva sounding dengan variasi resistivitas dengan kedalaman kasus 3 lapisan terdiri dari tipe H, tipe A, tipe K, dan tipe Q seperti pada Gambar 2.8 (Rizka dan Soni, 2019). Kurva tipe K naik dan maksimum di tengah kemudian menurun. Tipe ini menunjukkan bahwa lapisan tengah memiliki resistivitas lebih tinggi daripada lapisan atas dan bawah. Kurva Tipe H menunjukkan efek sebaliknya, yaitu menurun dan minimum di tengah kemudian meningkat lagi karena lapisan tengah memiliki resistivitas lebih rendah daripada lapisan atas dan bawah. Kurva tipe A menunjukkan beberapa perubahan dalam gradien tetapi resistivitas yang tampak umumnya meningkat terus-menerus. Tipe ini menunjukkan bahwa resistivitas yang sebenarnya meningkat dengan kedalaman dari lapisan ke lapisan. Kurva tipe Q menunjukkan efek sebaliknya, menurun terus menerus bersama dengan penurunan resistivitas dengan kedalaman (Lowrie, 2007). Setelah kurva resistivitas yang teramati diidentifikasi sebagai tipe K, H, A, atau Q, langkah selanjutnya dilakukan pengolahan menggunakan software pada komputer.
Panjang Bentangan
< > 3 (a) Tipe K
> < 3 (b) Tipe H
< < 3 (c) Tipe A
> > 3 (d) Tipe Q
Lapisan 2 & 3
Lapisan 1 & 2 Lapisan 1 & 2 Lapisan 2 & 3
KedalamaKedalaman
KedalamaKedalaman
Panjang Bentangan
Panjang Bentangan Panjang Bentangan
Lapisan 2 & 3 Lapisan 1 & 2
Lapisan 2 & 3 Lapisan 1 & 2
Gambar 2. 8 Kurva Sounding Resistivitas Semu (Lowrie, 2007)
17 2.8 Pemodelan Metode Geolistrik
Pada metode geolistrik, model dan parameter model digunakan untuk mengkarakterisasi suatu kondisi geologi bawah permukaan. Pemodelan merupakan proses perkiraan model dan parameter model berdasarkan data yang diamati di permukaan bumi. Dalam beberapa referensi, istilah model tidak hanya memetakan representasi kondisi geologi oleh besaran fisis tetapi mencakup pula hubungan matematik atau teoritik antara parameter model dengan respons model (Grandis, 2009).
Analisis data untuk pemodelan 1D dapat dilakukan dengan Software IPI2win. IPI2win merupakan software yang didesain untuk mengolah data Vertical Electrical Sounding secara otomatis dan semi otomatis. Software ini dapat diolah dengan berbagai macam variasi dari konfigurasi metode geolistrik.
Proses pemodelan dapat dituliskan dalam algoritma berikut (Faizin dan Enjang, 2015):
a) penentuan parameter awal, yaitu resistivitas () dan kedalaman (z).
b) memplotkan dalam 1-D.
c) menentukan parameter dugaan.
d) proses inversi, dalam proses inversi parameter dugaan dihitung dan dibandingkan dengan data awal.
e) jika error masih besar maka parameter dugaan dilakukan update.
Proses a dan b disebut forward modeling, sedangkan proses c sampai e disebut invers modeling (Faizin dan Enjang, 2015). Istilah forward modeling digunakan untuk menyatakan pemodelan data geofisika dengan cara coba-coba.
Cara tersebut digunakan untuk memperoleh kesesuaian antara data teoritis (respons model) dengan data lapangan. Proses coba-coba (trial and error) dilakukan dengan mengubah-ubah harga parameter model. Dengan kata lain, istilah forward modeling tidak hanya mencakup perhitungan respons model tetapi juga proses coba-coba secara manual untuk memperoleh model yang memberikan respons yang cocok dengan data. Secara umum, proses forward modeling dilakukan pada proses a dan b menggunakan persamaan integral Hankel yang menyatakan resistivitas-semu sebagai fungsi dari resistivitas.
∫ ( ) ( ) (2.21)
18
adalah setengah jarak antar elektroda arus, adalah fungsi Bessel orde-satu, dan ( ) adalah fungsi transformasi resistivitas yang dinyatakan oleh formulasi rekursif Pekersif.
( ) ( ) ( )
( ) ( ) (2.22) merupakan resistivitas, merupakan ketebalan di tiap lapisan, dan n adalah jumlah lapisan. Persamaan (2.21) dapat dilakukan dengan metode filter linier yang secara umum dinyatakan oleh persamaan berikut
∑ ( ) (2.23)
dimana adalah harga koefisien filter linier. Persamaan diatas merupakan hubungan antara data resistivitas semu dengan parameter model resistivitas dan ketebalan lapisannya sangat tidak linier (Koefoed dalam Grandis, 2009).
Sedangkan proses c sampai e disebut invers modeling. Invers modeling pada dasarnya adalah proses mekanisme modifikasi model agar diperoleh kecocokan data perhitungan dan data pengamatan yang lebih baik dilakukan secara otomatis.
Pemodelan inversi sering pula disebut sebagai data fitting, karena dalam prosesnya dicari parameter model yang menghasilkan respons yang fit dengan data pengamatan. Proses invers modeling dilakukan sesuai dengan algoritma inversi non-linier dengan pendekatan linier. Proses inversi secara umum dinyatakan oleh persamaan berikut
(2.24) dimana merupakan data perhitungan dan merupakan data lapangan.
Semakin kecil selisih antara kedua data tersebut maka semakin mendekati data sebenarnya. Solusi inversi diperlukan iterasi untuk suatu model (m). Iterasi yang disimbolkan dilakukan terhadap model hasil iterasi sebelumnya ( ) dengan menggunakan persamaan
⃑⃑ ⃑⃑ [ ] ( ) (2.25) dimana merupakan matriks Jacobi seperti berikut
* ( ⃑⃑⃑ )
+ ( ⃑⃑⃑ | ) ( ⃑⃑⃑ | )
(2.26)
Setiap elemen matriks Jacobi memerlukan dua kali proses forward modeling, pertama untuk model ⃑⃑ dan kemudian untuk model yang sama, tetapi dengan ketebalan dan kedalaman dari model ⃑⃑ (Grandis, 2009). Model ⃑⃑
19 merupakan model resistivitas di bawah permukaan. Gambar 2.9 menunjukkan algoritma pemodelan inversi pada software IPI2Win.
2.9 Amblesan
Amblesan (subsidence) merupakan turunnya permukaan tanah akibat terjadinya perubahan volume pada lapisan-lapisan batuan di bawahnya (Makmur dkk, 2016). Kebalikannya adalah pengangkatan (uplift) yang menghasilkan naiknya permukaan atau elevasi permukaan tanahnya bertambah. Amblesan dapat disebabkan oleh pengurangan volume endapan sedimen lunak disertai dengan proses kompaksi yang terjadi secara alamiah maupun kegiatan oleh manusia
𝑑𝑜𝑏𝑠 data
𝑚0 model awal
forward modeling g(m)
𝑑𝑐𝑎𝑙 𝑔(𝑚) data perhitungan 𝐽̅ 𝑑𝑔 𝑑𝑚
Matriks Jacobi 𝑚 𝐽̅𝑇𝐽̅ 𝐽̅𝑇 𝑑
𝑚𝑛 𝑚𝑛 𝑚 Modifikasi parameter model
Solusi/model m 𝑑 𝑑𝑐𝑎𝑙 𝑑𝑜𝑏𝑠
fit ?
Ya Tidak
Gambar 2. 9 Algoritma Pemodelan Inversi Menggunakan Program IPI2WIN (Grandis, 2009)
20
(Setyawati, 2016). Penurunan juga dipengaruhi oleh sebaran tanah lempung yang terdapat di bawah permukaan (Yulianti & Indrayani, 2013). Tanah lempung mempunyai sifat sulit menyerap air, tekstur tanahnya cenderung lengket bila dalam keadaan basah, dan dalam keadaan kering tanah cenderung sangat keras dengan ukuran butiran tanahnya terpecah-pecah secara halus (Retnoningtyas dkk, 2017).
Faktor internal yang dapat menyebabkan terjadi amblesan adalah daya ikat batuannya yang lemah. Hal tersebut menyebabkan butiran batuan dapat terlepas dari ikatannya. Pergerakan butiran ini dapat menyeret butiran lainnya yang ada disekitarnya sehingga membentuk massa yang lebih besar. Faktor eksternal yang dapat mempercepat dan memicu terjadinya amblesan adalah sudut kemiringan lereng, curah hujan, perubahan kelembaban tanah, dan tutupan lahan (Manrulu dan Aryadi Nurfalaq, 2017).
Terdapat tipe-tipe amblesan yang disebabkan oleh beberapa hal seperti pada Gambar 2.10. Pertama, tipe amblesan yang disebabkan oleh ekstraksi minyak/gas alam. Tekanan awal saat proses gas alam diekstraksi di lapangan mendukung lapisan tanah akan turun selama bertahun-tahun sehingga menyebabkan terjadinya amblesan. Kedua, amblesan yang disebabkan oleh penambangan. Beberapa jenis metode penambangan khususnya metode yang sengaja menyebabkan kekosongan
Kondisi Awal Gangguan Efek Gangguan
Ekstraksi Minyak / Gas Alam
Penambangan
Pelarutan Batuan
Air Tanah
Gambar 2. 10 Tipe-tipe Amblesan
21 di bawah tanah akan menghasilkan penurunan pada permukaan. Ketiga, amblesan oleh pelarutan batuan. Pelarutan batuan oleh fluida menciptakan rongga di bawah permukaan sehingga bagian atas permukaan akan jatuh dan menyebabkan amblesan di permukaan. Keempat, amblesan yang diakibatkan terkait air tanah.
Masalah ini biasa terjadi di negara berkembang karena bertambahnya penduduk dan meningkatnya penggunaan air. Penggunaan air yang berlebih menyebabkan berkurangnya jumlah air tanah pada suatu lapisan akuifer. Hilangnya air tanah ini menyebabkan terjadinya kekosongan pori – pori tanah. Selanjutnya akan terjadi pemampatan lapisan akuifer (Archenita dkk, 2015).
2.10 Penelitian Terdahulu
Berikut adalah rangkuman hasil penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan.
Tabel 2. 2 Penelitian Terdahulu No Nama dan
Tahun Publikasi Hasil
1 Sarah dkk, 2013 Metode: Metode geolistrik resistivitas konfigurasi Schlumberger
Hasil: Bawah permukaan di kota Semarang bagian barat menunjukkan sususnan lapisan tanah bawah permukaan hingga kedalaman 50 m terdiri atas lempung (0.1-1.5 Ωm), lanau-lempung (1.5-7.0 Ωm), dan pasir (10-<40 Ωm). Lapisan lempung menebal ke arah pantai (Utara), ke Selatan cenderung menebal lapisan lanau-lempung dan pasir. Lapisan lanau-lempung semakin besar ke arah Barat mengindikasikan bahwa potensi amblesan di daerah Semarang bagian barat relatif lebih kecil daripada Semarang bagian Timur.
2 Pramatasari dan Khumaedi, 2015
Metode: Metode geolistrik resistivitas konfigurasi Schlumberger
Hasil: Data resistivitas penelitian yang didapatkan di daerah penelitian tersusun dari dua lapisan batuan.
22
No Nama dan
Tahun Publikasi Hasil
Lapisan pertama merupakan lempung pasir pada kedalaman 0-8 m dengan nilai resistivitas 0-100 Ωm, sedangkan lapisan kedua merupakan lapisan batuan breksi vulkanik pada kedalaman 8-15,9 m dengan kisaran nilai resistivitas 101-316 Ωm. Dugaan akan terjadinya amblesan berada pada perpotongan antara lapisan pertama dan lapisan kedua.
3 Rizqi, 2019 Metode: Metode geolistrik resistivitas konfigurasi Schlumberger dan Wenner.
Pada konfigurasi Schlumberger, litologi batupasir dan pasir dijumpai pada Sounding 1 dan 2. Pada Sounding 3 didominasi litologi batugamping. Berdasarkan hasil pemrosesan data sounding, potensi amblesan diinterpretasikan dari nilai resistivitas rendah (sangat rendah), berkisar antara 0.18 – 1.43 Ωm. Keberadaan amblesan ada pada setiap lokasi pengambilan data dengan kedalaman yang berbeda. Keterdapatan potensi amblesan paling dangkal dijumpai pada kedalaman 13 meter dan yang paling dalam dijumpai pada kedalaman 120 meter.
Pada konfigurasi Wenner, potensi zona potensi amblesan berdimensi lebar 3 - 10 meter dan di kedalaman 2 - 4 meter.