• Tidak ada hasil yang ditemukan

bab 2

N/A
N/A
Tanty Berlianna

Academic year: 2023

Membagikan "bab 2"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

4

BAB 2 DASAR TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

Kayu dikenal sebagai bahan konstruksi yang telah lama dikenal di Indonesia.

Kemudahan mendapatkan kayu menjadikannya sebagai salah satu bahan konstruksi yang penting. Dengan perkembangan dan teknologi kayu (Timber Engineering) dewasa ini manusia cenderung membuat bahan-bahan kayu lebih terarah dengan memanfaatkan bahan kayu menjadi kayu lapis yang sangat berguna di dalam berbagai penggunaan kayu umumnya dan kehidupan manusia khususnya.

Potensi kayu bermutu tinggi terus mengalami penurunan, berhubungan dengan hal tersebut teknologi kayu terus dikembangkan. Salah satu produk yang dapat menggantikan kayu berkekuatan tinggi sebagai struktur suatu konstruksi dikenal dengan Laminated Veneer Lumber (LVL).

Laminated Veneer Lumber (LVL) merupakan salah satu anggota panel kayu yang terbuat dari lembaran-lembaran vinir yang direkat dengan arah sejajar satu sama lain dan sekaligus sejajar dengan arah memanjang panel (Bakar, 1996).

Pada umumnya LVL diproduksi dengan ketebalan seragam yang terdiri dari 19 lapis dengan tebal nominal individu venir-venirnya 2,55 mm (Baldwin, 1995).

Selanjutnya (Achmad Basuki, 2012) Dimensi LVL yang sudah umum diproduksi di Indonesia untuk elemen konstruksi rangka mempunyai ukuran tebal 8 – 12 mm, lebar 80 – 100 mm, dan panjang 200-300 cm. Sedangkan untuk elemen balok mempunyai ketebalan sekitar 80-120 mm.

Pembuatan vinir kupas untuk produk LVL dapat menggunakan bahan baku yang berkualitas rendah, karena cacat-cacat alami kayu dapat disebar secara merata diantara lapisan-lapisan vinir, sehingga dapat meminimumkan pengaruhnya terhadap kekuatan. Hasilnya adalah produk serupa kayu gergajian dengan

commit to user commit to user

(2)

5

kekuatan yang lebih tinggi dan lebih seragam dibandingkan kayu utuh dengan kandungan cacat yang sama (Youngquist dan Bryant, 1979).

LVL sebagai produk olahan mempunyai keunggulan dan kelemahan dibandingkan dengan kayu utuh. Pada kayu utuh pengaruh cacat-cacat alami kayu sangat mempengaruhi keteguhan kayu, tetapi pada produk LVL cacat-cacat alami kayu tersebut dapat disebar secara merata di antara lapisan vinir sehingga dapat meminimumkan pengaruh cacat-cacat tersebut terhadap kekuatan LVL. Hasilnya adalah produk serupa kayu gergajian dengan kekuatan yang lebih tinggi dan lebih seragam dibandingkan kayu utuh dengan kandungan cacat yang sama (Youngquist dan Bryant, 1979). Menurut Bakar (1996) dibandingkan kayu utuh atau kayu lapis, papan LVL mempunyai nilai lebih, meliputi ukuran panjang “end-less”, dapat dilengkungkan, keteguhan lebih tinggi, persyaratan kualitas bahan baku rendah, pengawetan rendah dan efisiensi bahan baku tinggi.

Salah satu perbedaan antara LVL dengan kayu lapis adalah adanya sambungan vinir pada arah tegak lurus serat.Sambungan pada arah tegak lurus serat ini tidak mengurangi keteguhan LVL asalkan posisi sambungan masing-masing lapisan tersebar merata dan jarak posisi sambungan vinir suatu lapisan tidak kurang dari 20 kali tebal vinir penyusunnya terhadap posisi sambungan lapisan di sebelahnya (Bakar, 1996).

Sambungan merupakan suatu yang tidak bisa terelakkan pada saat kita membangun suatu konstruksi, baik konstruksi yang terbuat dari kayu, beton, baja maupun material bangunan yang lain. Sambungan bisa di definisikan adalah proses penyatuan dua atau lebih unsur atau material dalam rangka menambah suatu panjang atau bidang. Perkuatan utama suatu konstruksi terletak dari kekuatan sambungan pada simpul strukturnya selain dari bahan penyusun struktur tersebut. Desain sambungan di dasarkan pada nilai kekuatan pada sebuah alat penyambung yang telah dimodifikasi dengan geometri sambungan dan kondisi penggunaannya (Solitis et al. 1985).

commit to user commit to user

(3)

6 2.2. Landasan Teori

2.2.1. Kayu Sengon

Kayu sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan salah satu jenis kayu khas dari daerah tropis dan merupakan jenis pohon yang memiliki masa pertumbuhan cepat jika dibandingkan dengan pohon tropis lainnya semisal pohon mahoni ataupun jati. Pohon sengon sudah bisa dipanen atau ditebang pada saat usia pohon sudah 5 tahun.

Kayu sengon mempunyai berat jenis sebesar 0,41 g/cm3 dan termasuk dalam kelas kuat IV-V. Nilai MOE dan MOR kayu solidnya masing-masing sebesar 5700 MPa dan 39,33 MPa.

2.2.2. Laminated Veneer Lumber (LVL)

Laminated Veneer Lumber (LVL) adalah kayu olahan yang terdiri dari lapisan tipis atau veneers kayu yang direkatkan menjadi satu.Dimensi LVL yang sudah umum diproduksi di Indonesia untuk elemen konstruksi rangka mempunyai ukuran tebal 8-12 mm, lebar 80-100 mm dan panjang 200-300 cm. Sedangkan untuk elemen balok mempunyai ketebalan sekitar 80-120 mm. Jenis kayu yang digunakan umumnya adalah kayu sengon dan karet, namun pada penelitian inidigunakan kayu LVL yang berasal dari kayu sengon.

LVL mempunyai sifat khas dan keutamaan, antara lain :

a. Ukuran panjang bisa disesuaikan. LVL mempunyai sambungan vinir pada arah tegak lurus serat, dimana sambungan tersebut tidak mengurangi keteguhan LVL asalkan posisi sambungan dari lapisan-lapisan vinir tersebar merata dan jarak posisi sambungan vinir suatu lapisan tidak kurang dari 20 kali tebal vinir penyusunnya dari posisi sambungan vinir lapisan di sebelahnya. Sehingga LVL dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan tujuan pemakaian dengan keteguhan tetap tinggi (Bakar, 1996).

b. Dapat dilengkungkan. LVL dapat dilengkungkan karena bahan pembentuknya adalah vinir. Pelengkungan LVL dapat dilakukan dengan mudah sebelum commit to user commit to user

(4)

7

perekat mengeras dan akan tetap dalam keadaan lengkung apabila pengerasan perekat dilakukan dalam kondisi cetakan lengkung.

c. Keteguhan tetap tinggi. Pengaruh cacat-cacat alami kayu sangat mempengaruhi keteguhan kayu, tetapi pada produk LVL, cacat-cacat alami kayu tersebut dapat disebar secara merata diantara lapisan vinir sehingga dapat meminimumkan pengaruh cacat-cacat tersebut terhadap kekuatan LVL. Hasilnya adalah produk serupa kayu gergajian dengan kekuatan yang lebih tinggi dan lebih seragam dibandingkan kayu utuh dengan kandungan cacat yang sama (Youngquist dan Bryant, 1979).

d. Persyaratan kualitas bahan baku rendah. Dalam pembuatan LVL, cacat alami kayu tidak perlu dikeluarkan karena akan tersebar merata. Oleh karena itu, LVL mampu memanfaatkan kayu berkualitas rendah dengan efisiensi dan pengolahan yang tetap tinggi.

e. Pengawetan lebih mudah. Pengawetan LVL dapat dilakukan terhadap vinir maupun dimasukkan kedalam campuran perekat sehingga penetrasi bahan pengawet akan lebih merata sampai ke bagian terdalam LVL.

f. Efisiensi bahan baku tinggi. Pengupasan vinir untuk pembuatan LVL dapat memberikan outputyang lebih tinggi dibandingkan dengan proses penggergajian. Pembuatan LVL dapat memberikan rendemen hingga 47 % lebih tinggi dibandingkan proses penggergajian. Hal ini dikarenakan limbah yang berasal dari proses mempersegikan kayu bulat dari limbah penggergajian berupa serbuk gergaji dapat dihilangkan (Laufenberg, 1983).

Tahapan-tahapan pembuatan LVL meliputi:

a. Pengupasan Veneer (Veneer Peeling)

Pembuatan vinir dimulai dengan pemotongan kayu menjadi log block kemudian dilakukan pembuangan kulit kayu (debarking). Untuk pembuatan vinir maka log blockdikupas dengan ketebalan tertentu dan seragam. Pada umumnya ketebalan vinir yang digunakan dalam pembuatan LVL adalah 3,20 mm (1/8 in). Baldwin (1995) mengemukakan bahwa LVL dapat terdiri dari 19 lapis dengan tebal nominal individu vinir-vinirnya 2,55 mm (0,10 in).

b. Pengeringan Vinir (Veneer Drying) commit to user commit to user

(5)

8

Pengeringan vinir berguna untuk memperoleh kadar air vinir yang sesuai dengan perekatan dalam rangka memproduksi LVL (Baldwin, 1995). Vinir yang digunakan dalam pembuatan LVL harus dikeringkan hingga kadar air <

5%. Feirer (1984) menambahkan bahwa perbedaan kadar air antar vinir tidak lebih dari 3% sehingga diperoleh ikatan retak yang baik.

c. Penyambungan Vinir (Veneer Scarfing)

Dalam proses penyambungan, ujung lembaran-lembaran vinir terlebih dahulu dipotong sesuai dengan bentuk sambungan yang diinginkan, kemudian dilakukan penyambungan pada arah lebar atau memanjang. Menurut Feirer (1984) bentuk sambungan dalam pembuatan LVL, yaitu sebagai berikut : end joint, butt joint, edge joint, rabbel joint, dado joint, lap joint, miter joint, mortise and tenon joint serta dovetail joint.

d. Pelaburan Perekat (Gluing)

Menurut Baldwin (1995) bahwa proses pelaburan perekat pada vinir dapat dilakukan dengan cara pelaburan pada satu permukaan (single spreader) atau pada kedua permukaan (double spreader). Perekat dapat dilaburkan pada permukaan vinir dengan berbagai alat labur (glue spreader) misalnya : bilah (stick), botol plastik, sikat pembersih (clean brush), roll (roller) dan pelabur mekanik (mechanical spreader).

Menurut Feirer (1984) dalam kegiatan pelaburan perekat perlu diperhatikan waktu antara pelaburan perekat dengan saat pengempaan yang disebut dengan waktu pelaburan (assembly time). Waktu pelaburan ini dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu : waktu pelaburan terbuka (open assembly time) dan waktu pelaburan tertutup (close assembly time). Waktu pelaburan terbuka adalah waktu antara pelaburan perekat hingga kayu berkontak satu sama lain, sedangkan waktu pelaburan tertutup adalah waktu setelah kayu yang sudah diberi perekat saling kontak hingga siap untuk menerima pengempaan.

e. Perakitan (Lay-up)

Dalam rangka pembentukan lapisan LVL penyusunan vinir diawali dengan meletakkan lapisan permukaan bagian bawah pada sebuah meja belt conveyor kemudian diikuti oleh beberapa lapisan inti dan setelah mencapai jumlah

commit to user commit to user

(6)

9

lapisan tertentu, kemudian ditutup dengan lapisan permukaan bagian atas.

Lembaran-lembaran vinir yang telah disusun kemudian dikempa.

f. Pengempaan (Pressing)

Lembaran-lembaran vinir yang telah dirakit kemudian dikempa dingin.

Besarnya tekanan kempa dingin yang digunakan dalam pembuatan LVL berkisar antara 10-15 kg/cm2 selama 24 jam pada suhu 20-25oC selanjutnya dikondisikan (conditioning) selama 24-72 jam (JIS K 6861-1973).

Phinney (1951) dalam Nugraha (2000) menerangkan bahwa fungsi tekanan dalam perkatan adalah untuk pembentukan ikatan rekat sehingga bahan yang direkat menjadi terikat satu dengan yang lainnya. Tekanan kempa yang berlebihan tidak hanya meningkatkan kecepatan aliran perekat dan penetrasi perekat yang berlebihan tetapi juga akan mengakibatkan terjadinya regangan.

tekanan kempa dingin yang ideal untuk kayu yang mempunyai kerapatan tinggi (>0,56) adalah 14-17 kg/cm2, berkerapatan sedang (0,41-0,55) sebesar 10-14 kg/cm2 dan berkerapatan rendah (<0,41) sebesar 7-10 kg/cm2.

g. Pemotongan Ujung dan Lebar (Cross Cutting and Rip Sawing)

Setelah proses pengempaan dilanjutkan dengan pemotongan ujung dan lebar LVL sesuai dengan dimensi yang dikehendaki. Pada umumnya ukuran LVL disesuaikan dengan permintaan konsumen.

2.2.2.1. Sifat Fisis Laminated Veneer Lumber (LVL) Kayu LVL mempunyai sifat fisis berikut :

a. Kerapatan

Kerapatan kayu adalah rasio antara massa atau berat kayu dengan volumenya sedangkan berat jenis merupakan perbandingan antara kerapatan kayu (atas dasar berat kering tanur dan volume pada kandungan air yang telah ditentukan) dengan kerapatan air pada suhu 40C (Haygreen and Bowyer, 1982).

Menurut Kelly (1977) kerapatan akhir panil dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : jenis kayu (kerapatan kayu), besarnya tekanan kempa, jumlah lapisan penyusun panil, kadar perekat serta bahan tambahan lainnya.

b. Kadar Air

commit to user commit to user

(7)

10

Kadar air kayu adalah jumlah total kandungan air yang terdapat di dalam kayu yang dinyatakan dalam persentase dari berat kering oven kayu. Berat kering oven digunakan sebagai dasar karena memberikan indikasi dari jumlah substansi padat yang terkandung dalam kayu (Panshin and Zeuw, 1980).

Kadar air berpengaruh terhadap perekatan kayu dan sifat fisis mekanis LVL akibat adanya perbedaan pengembangan dan penyusutan vinir. Menurut Anonymous (1989) bahwa kadar air vinir untuk pembuatan LVL diharapkan kurang dari 5%. Kadar air LVL seperti halnya dengan kayu lapis dipengaruhi oleh kadar air vinir yang direkat, perekat dan air yang dihasilkan dari proses perekatan (Vick, 1999).

c. Delaminasi

Delaminasi merupakan proses terlepasnya kembali ikatan perekat antar bidang lamina sehingga kekuatan ikatan perekat merupakan faktor penentu terhadap mudah sukarnya LVL terlepas kembali. Menurut Ekawati (1998) bahwa nilai delaminasi dipengaruhi oleh bidang geser, jenis perekat serta interaksinya.

2.2.2.2. Sifat Mekanis Laminated Veneer Lumber (LVL)

Sifat mekanik kayu adalah sifat yang berhubungan dengan kekuatan dan kekakuan kayu. Sifat kekuatan merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan beban atau gaya luar yang bekerja padanya dan cenderung untuk merubah bentuk dan ukuran kayu tersebut (Kollman et al, 1975). Selanjutnya Haygreen and Bowyer (1982) mengemukakan bahwa ketahanan terhadap perubahan bentuk menetukan banyaknya bahan yang dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkungkan oleh beban yang mengenainya.

Sifat kekakuan suatu panil merupakan kemampuan panil untuk menahan beban atau lenturan yang terjadi akibat adanya pembebanan sampai batas proporsi.Tegangan pada batas proporsi adalah tegangan maksimum untuk menerima sejumlah beban tanpa terjadi perubahan bentuk yang tetap.Sifat inilah yang dinyatakan dalam Modulus of Elasticity (MOE).Sedangkan tegangan patah adalah tegangan yang terjadi pada saat benda menerima beban maksimum.Sifat ini commit to user commit to user

(8)

11

merupakan ukuran kekuatan dan sifat kritis dari bahan yang diuji (Wangaard, 1950).

Menurut Karnasudirdja (1989) bahwa kekuatan balok lamina dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : jenis kayu, tebal lamina, macam sambungan lamina yang direkat, macam perekat dan kadar air kayu sebelum direkat.

Sutigno dan Massano (1986) meneliti tentang pengaruh banyaknya lapisan (2,3,4 dan 5 lapis) terhadap sifat LVL. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sifat mekanis LVL akan semakin menurun dengan meningkatnya jumlah lapisan.

2.2.3. Sambungan Balok Kolom

Tujuan penyambungan kayu adalah untuk memperoleh panjang yang diinginkan atau membentuk suatu konstruksi rangka batang sesuai dengan yang diinginkan.

Sebuah sambungan pada konstruksi kayu merupakan titik terlemah pada konstruksi tersebut (Surya, 1995 dalam Pranata, 2004). Oleh karena itu, dalam penyambungan kayu, agar sambungan kayu awet dan kuat harus diperhatikan halhal sebagai berikut:

a. Kayu yang disambung tidak longgar dan tidak terlalu kencang.

b. Penyambungan kayu tidak boleh merusak kayu tersebut seperti dipukul secara langsung, salah dalam mengebor, ataupun salah dalam menggergaji,.

c. Sambungan diberi bahan pengawet seperti meni/ter agar tidak mudah lapuk karena daerah sambungan biasanya mudah kemasukan air.

d. Sebaiknya sambungan kayu terlihat dari luar agar mudah dikontrol dan diperbaiki bila terdapat kerusakan.

Tular dan Idris (1981) dalam Pranata (2004) mengatakan bahwa sambungan merupakan titik terlemah dari suatu benda, maka dalam membuat sambungan harus dipertimbangkan cara menyambung dan menghubungkan kayu sehingga sambungan dapat menerima dan menyalurkan gaya yang bekerja pada benda tersebut. Sambungan kayu tanpa alat-alat sambungan merupakan cara commit to user commit to user

(9)

12

menyambungan kayu tertua. Semua gaya disalurkan dari kayu yang satu ke kayu yang lain. Penggunaan alat-alat sambung sederhana seperti pengikatan, paku, pasak, kalem, atau besi strip berfungsi sebagai pengaman pada titik letak sambungan tersebut (Frick,2004).

Perancangan sambungan dalam bahasan selanjutnya mengacu pada SNI-5 Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu (2002). Kekuatan/tahanan sambungan dianalisis berdasarkan moda kelelahan sambungan yang mungkin terjadi. Tahanan yang diperoleh kemudian disebut sebagai tahanan ultimit. Untuk mendapatkan tahanan ijin sambungan maka tahanan ultimit harus dikali dengan faktor koreksi yang sesuai berdasarkan jenis pembebanan, masa layan, dan jenis alat sambung itu sendiri. Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya kekuatan sambungan pada konstruksi kayu menurut Awaludin (2005) adalah sebagai berikut:

a. Terjadinya pengurangan luas tampang

Pemasangan alat sambung menyebabkan berkurangnya luas efektif penampang kayu yang disambung sehingga kuat dukung batangnya menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan batang yang berpenampang utuh.

b. Terjadinya penyimpangan arah serat

Gaya yang sejajar serat pada satu batang seringkali terdapat pada buhul, tetapi tidak sejajar dengan batang yang lain. Kekakuaan sambungan harus didasarkan pada kekuatan kayu yang tidak sejajar serat (kekuatan yang terkecil) karena kekuatan kayu yang tidak sejajar serat lebih kecil daripada yang sejajar serat.

c. Terbatasnya luas sambungan

Kayu memiliki kuat geser sejajar serat yang kecil sehingga mudah pecah apabila beberapa alat sambung dipasang berdekatan. Oleh karena itu, dalam penempatan alat sambung diisyaratkan jarak minimal antar alat sambung agar kayu terhindar dari kemungkinan pecah. Adanya ketentuan jarak tersebut menyebabkan luas efektif sambungan (luas yang dapat digunakan untuk penempatan alat sambung) menjadi berkurang dengan sendirinya.

commit to user commit to user

(10)

13

Efektifitas suatu alat sambung dapat diukur berdasarkan kuat dukung yang disumbangkan oleh sambungan dibandingkan dengan kuat ultimit kayu yang disambungnya. Ciri- ciri alat sambung yang baik adalah sebagai berikut:

a. Pengurangan luas kayu yang digunakan untuk menempatkan alat sambung relatif kecil atau bahkan nol.

b. Memiliki nilai banding antara kuat dukung sambungan dengan kuat ultimit batang yang disambung yang tinggi.

c. Menunjukkan perilaku pelelehan sebelum mencapai keruntuhan (daktail).

d. Memiliki angka penyebaran panas (thermal conductivity) yang rendah.

e. Murah dan mudah di dalam pemasangannya.

Sambungan dapat dibedakan menjadi sambungan satu irisan (menyambung dua batang kayu), dua irisan (menyambung tiga batang kayu), dan seterusnya seperti pada Gambar 2.2. Menurut sifat gaya yang bekerja pada sambungan, sambungan juga dapat dibedakan menjadi sambungan desak, sambungan tarik, apabila pusat kelompok alat sambung tidak terletak pada garis kerja gaya maka akan terbentuk gaya momen selain gaya aksial.

Gambar 2.1.Sambungan Satu Irisan dan Dua Irisan

Berdasarkan interaksi gaya-gaya yang terjadi pada sambungan, alat sambung mekanik dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok alat sambung yang kekuatan sambungan berasal dari interaksi antara kuat lentur alat sambung dengan kuat desak atau kuat geser kayu. Kelompok yang kedua adalah kelompok alat sambung yang kekuatan sambungannya ditentukan oleh luas bidang daya dukung kayu yang disambungnya. Alat sambung pasak bambu termasuk pada kelompok alat sambung jenis pertama. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam sambungan adalah:

a. Eksentrisitas commit to user commit to user

(11)

14

Pada sambungan dengan beberapa alat sambung, maka titik berat kelompok alat sambung harus terletak pada garis kerja gaya, apabila tidak maka akan timbul gaya momen (secondary moment) yang dapat menurunkan kekuatan sambungan.

b. Sesaran/slip

Sesaran yang terjadi pada sambungan kayu dapat terbagi menjadi dua. Sesaran yang pertama adalah sesaran awal yang terjadi akibat adanya lubang kelonggaran yang dipergunakan untuk mempermudah penempatan alat sambung. Selama sesaran awal, alat sambung belum memberikan perlawanan terhadap gaya sambungan yang bekerja. Pada sambungan dengan beberapa alat sambung, kehadiran sesaran awal yang tidak sama di antara alat sambung dapat menurunkan kekuatan sambungan secara keseluruhan. Setelah sesaran awal terpenuhi, maka sesaran berikutnya akan disertai oleh gaya perlawanan (tahanan lateral) dari alat sambung. Kurva tahanan lateral versus sesaran ini, sering diidealisasikan dengan bentuk elastik-plastik (elastoplastic). Pada umumnya, perilaku sesaran elasto-plastic sesungguhnya akan sangat dipengaruhi oleh perilaku rangkak material kayu. Pengaruh rangkak dapat dicontohkan dengan terjadinya recovery (pengembalian pada kondisi awal) yang tidak seketika manakala proses pembebanan dihilangkan pada fase elastik.

2.2.4. Desain Sambungan

Desain sambungan yang digunakan adalah sambungan kaku (rigid) dengan menggunakan alat sambung baut berdiameter 8mm sebanyak 4 buah dan plat penguat, berikut adalah perhitungan estimasi kekuatan sambungan tersebut : Diameter Baut (D) = 8 mm

Jarak antar Baut = 40 mm Sudut Sambungan = 0 Tebal Kayu Utama = 18 mm Tebal Kayu Samping = 18 mm Tahanan Lentur Baut (Fyb) = 320 N/mm2 Kuat Tumpu Kayu LVL = 30,278 N/mmcommit to user commit to user 2

(12)

15

Re = 1

kθ = 1 + (

= 1

k4 = (-1

) +

= 1,467

Moda Kelelehan Im, Z =

= 3618,8266 N

Is, Z =

= 7237,6531 N

IIIm, Z =

= 4435,6323 N

IV, Z = (

)

= 7565,2148 N

Selanjutnya hasil perhitungan estimasi tahanan lateral secara lengkap disajikan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Hasil Perhitungan Estimasi Tahanan Lateral Moda kelelehan Tahanan lateral acuan (N)

Im 3618,83

Is commit to user commit to user 7237,65

(13)

16

IIIs 4435,63

IV 7565,21

Menghitung nilai koreksi

 Faktor Aksi Kelompok (Cg)

ɣ = 0,246 (8)1,5 = 5,566 kN/mm = 5566,34 N/mm u = 1 +

ɣ

= 1 +

5566,34

= 1,0058

m = u - = 1,0058- = 0,8979

REA =

= = 0,5

Menghitung nilai ai

ai =

Untuk jumlah baut 4,

i = 1 (baris baut ke-1), maka n = 2 dan a1= 1,9962 i = 2 (baris baut ke-2), maka n = 2 dan a1= 1,9962

Cg = = 0,998

 Faktor Koreksi Geometri (CΔ) a. Jarak Ujung

Jarak ujung pada gambar (a) = 40 mm

Jarak ujung optimum (aopt) = 4D = 40 mm Karena aaopt , maka CΔ = 1,00

b. Spasi dalam baris alat pengencang ( s ) S pada gambar (a) = 40 mm

Sopt = 4D = 40 mm

Karena S Sopt , maka Ccommit to user commit to user Δ = 1,00

(14)

17

Setelah didapat tahanan lateral dan nilai koreksi, maka dapat dihitung tahanan lateral sambungna teoritis seperti berikut :

Zu ≤ Cg x CΔ x nf x Z

≤ 0,998 x 1,00 x 4 x 3618,83

= 14732,39 N ≈ 1473,239 kg

Kemudian dihitung beban maksimal sesuai dengan lendutan ijin balok kayu sesuai SNI (L/300)

Diketahui data : b (lebar balok) = 18 mm h (tinggi balok) = 116 mm Ls (jarak tumpu) = 500 mm q (berat sendiri) = 0,02952 N/mm Ew (elastisitas lentur) = 5700 Mpa a) Menentukan Sumbu Netral

80

18 18

116

18 1

5

2 3 4

18

commit to user commit to user

(15)

18 y = 58 mm

b) Menentukan Momen Inersia

I1 = 1/12 . b . h13 + A1 . (y – (1/2 . h1)2

= 1/12 x 80 x 183 + ((80 x 18) x ((58– 9)2))

= 3496320 mm4

I2 = 1/12 . b . h23 + A2 . (y – (1/2 . H)2

= 1/12 x 18 x 803 + ((18 x 80) x ((58 – 58)2))

= 768000 mm4

I3 = 1/12 . b . h33 + A3 . (y – (1/2 . H)2

= 1/12 x 18 x 803 + ((18 x 80) x ((58 – 58)2))

= 768000 mm4

I4 = 1/12 . b . h43 + A4 . (y – (1/2 . H)2

= 1/12 x 18 x 803 + ((18 x 80) x ((58 – 58)2))

= 768000 mm4

I5 = 1/12 . b . h53 + A5 . (y – (1/2 . h3)2

= 1/12 x 80 x 183 + ((80 x 18) x ((58– 9)2))

= 3496320 mm4 IT = I1 + I2 + I3+ I4 + I5

= 3496320 + 768000 + 768000+ 768000 + 3496320 = 9296640 mm4

N P

P P

I E

L q I E

L B P

2119

10 352 , 4 10

78 , 0 67 , 1

9296640 5700

8

500 02952 , 0 9296640 5700

3 67 500 , 1

8 3

3 4

4 3

4 3

 

 

 

 

commit to user commit to user

(16)

19

Sambungan balok kolom menggunakan plat penguat seperti pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Desain Plat Sambungan Balok Kolom

/ 2

5949 , 0

9296640 58 45 2119

mm N I

y M

 

 

commit to user commit to user

Referensi

Dokumen terkait

Second: there were no judges from him, and the judges only spread the doctrine they followed, so Abu Yusuf and, after him, Muhammad ibn al-Hasan, may God have mercy on them,

3.Mean + SE concentrations of a faecal oestrogen ∆ and b progestin • for 19 ovarian cycles in scimitar-horned oryx where the periovulatory oestrogen peak corresponded with the progestin