BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyelenggaraan kekuasaan negara mengalami perkembangan mulai dari awal terbentuknya negara yang paling sederhana sampai perubahan paling kompleks di era negara modern. Kekuasaan negara dijalankan oleh organ negara melalui strukturisasi organisasi negara yang meliputi bentuk dan fungsi lembaga - lembaga di dalamnya. Menurut Montesquieu lembaga-lembaga negara diidealkan terdiri atas tiga lembaga utama kekuasaan utama yang ketiganya tidak mencampuri kekuasaan lainnya secara mutlak yaitu yang disebut sebagai trias politica. Menurut doktrin tersebut di setiap negara selalu terdapat tiga cabang kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam struktur pemerintahan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan pembentukan hukum atau undang-undang negara, dan cabang kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan penerapan hukum sipil.1
Dalam pelaksanaan trias politica di negara yang demokratis, setiap lembaga negara masing-masing menjalankan secara sendiri dan mandiri tugas dan kewenangannya. Namun pada kenyataannya, pembagian organ dan fungsi antar kekuasaan yang tegas dirasakan tidak mungkin karena kenyataannya antarcabang kekuasaan tidak hanya bertindak secara ekslusif tanpa bersetuhan dengan cabang kekuasaan lain. Dalam hal pemisahan kekuasaan dirasa perlu adanya checks and balances (pengawasan dan keseimbangan) diantara mereka yaitu setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.2 Trias Politica tidak lagi ditafsirkan sebagai pemisah kekuasaan (separation of powers), tetapi sebagai pembagian kekuasaan (division of powers) yang diartikan bahwa hanya fungsi pokoklah yang berbeda, tetapi untuk selebihnya kerjasama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi.3
1 Jimly Asshidiqqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 35.
2 Abu Bakar Elbyara, Pengantar Ilmu Politik, (Jember: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 189.
3 Sukardja Ahmad, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm.133.
Berbagai macam corak, bentuk, bangunan dan struktur organisasi dari suatu negara tidak terlepas dari politik kekuasaan yang mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat yang bersangkutan. Pada abad ke-19 muncul pandangan baru yang menganjurkan tanggungjawab kesejahteraan masyarakat luas kepada negara.4 Tugas negara yang dulunya bertindak sebagai negara penjaga malam (nachwachatersstaat) berubah menjadi negara kesejahteraan (welvaartsstaat). Intervensi negara untuk menangani perubahan yang ada mengakibatkan perubahan corak organisasi negara. Sampai pertengahan abad ke-20 doktrin welfare state mengakibatkan gejala intervensi negara melalui corak organisasi kekuasaan yang terkonsentrasi.
Bentuk-bentuk organiasi negara yang bersifat intervensionis memunculkan gejolak sehingga tidak lagi dapat dipertahankan dan diperlukan penataan kelembagaan yang baru.5 Cara penyelesaian untuk mengatasi gejala the death of bureaucracy yang terjadi adalah dengan menghadirkan lembaga di luar organisasi pemerintahan pada umumnya. Kebutuhan membagikan kekuasaan dari tempat yang sebelumnya terkonsentrasi berujung pada lahirnya banyak lembaga-lembaga yang bersifat independen. Fungsi organ tersendiri yang bersifat independen merupakan fungsi-fungsi pengalihan dari lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kadang-kadang lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi- fungsi yang bersifat campuran dan masing-masing bersifat independen (independent bodies).6
Pengaruh perkembangan negara modern di dunia secara ilmu ketatanegaraan, pengambilan keputusan secara politik, perubahan masyarakat secara global, maupun gejolak ekonomi dunia, menuntut negara, termasuk Indonesia untuk melakukan pembaharuan birokrasi dan pelayanan publik.7 Di Indonesia dinamika perubahan lembaga negara tampak setelah terjadinya Amendemen UUD 1945 yang mengakibatkan restrukturisasi ketatanegaraan.
Struktur organisasi negara kemudian diorganisasikan untuk merespon kepentingan-kepentingan8 yang ada karena merupakan suatu keadaan dan
4. Jimly Asshidiqqie, Perkembangan dan Konsolidasi, hlm. 1-2.
5 Ibid.., hlm 3.
6 Ibid.., hlm.23.
7 Ibid.., hlm ix.
8 Ibid.., hlm 1.
kebutuhan yang tidak terelakkan. Amendemen dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan negara untuk mencapai tujuan negara sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, yakni dengan mengubah tatanan konstitusi yang mengatur struktur organisasi negara.
Amandemen UUD 1945 mengatur rekonstruksi terhadap Lembaga- lembaga did alam konstitusi. Kekuasaan tertinggi yang awalnya terkumpul di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara, ditata kembali menjadi kekuasaan yang terpisah secara horizontal ke dalam fungsi-fungsi lembaga negara yang sederajat.
Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara adalah upaya logis untuk keluar dari perangkat desain ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan check and balances diantara lembaga-lembaga negara. Selama ini, model MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya, telah menjebak Indonesia dalam pemikiran-pemikiran kenegaraan yang berkembang pasca abad pertengahan untuk membenarkan kekuasaan yang absolut.9 Status kelembagaan MPR kemudian berubah menjadi lembaga tinggi negara yang bersifat pokok dan utama bersama dengan enam lembaga lain yakni; Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA).
Reformasi 1998 yang berujung pada amendemen UUD 1945 juga telah mengenalkan apa yang disebut states auxiliary bodies/agencies yang dipadankan dengan lembaga yang melayani, lembaga penunjang, lembaga bantu, dan lembaga negara pendukung.10 Bahkan UUD 1945 hasil amendemen sendiri menyebut lembaga negara independen yaitu Komisi Yudisial dan Komisi Pemilihan Umum.
Dari segi keutamaan kedudukan dan fungsinya, selain tujuh lembaga yang telah disebutkan sebelumnya merupakan lembaga-lembaga negara yang sifatnya menunjang belaka.11 Lembaga-lembaga ini hadir karena dianggap lembaga- lembaga utama yang sudah ada tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
9 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Pengkajian Hukum tentang Hubungan Lembaga Negara Pasca Amandmemen UUD 1945, (Jakarta: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2005), hlm. 62.
10 Firmansyah Arifin, et al., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2005), hlm. 24.
11 Jimly Ahhiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi, hlm. 117.
ketatanegaraan. Selain yang disebutkan di dalam konstitusi, semakin banyak lembaga baru dalam ketatanegaraan sebab semakin kompleks kegiatan kenegaraan modern maka semakin banyak alat perlengkapan yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas atau fungsi negara.
Alat perlengkapan negara yang dibentuk melalui konstitusi seringkali tidak mampu lagi menampung tugas-tugas spesifik yang umumnya membutuhkan independensi dan profesionalitas di dalam pelaksanannya sehingga bentukan alat perlengkapan atau organ (lembaga) baru merupakan conditie sine qua non bagi pertumbuhan negara pada era millennium ketiga ini.12 Untuk mendukung pertumbuhan tersebut maka dilakukan pembentukan lembaga-lembaga yang tidak termasuk ke dalam tiga kekuasaan utama yaitu eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Lembaga-lembaga tersebut dimasudkan sebagai lembaga-lembaga non- struktural yang di dalam literatur dikenal sebagai lembaga negara independen atau lembaga negara penunjang (State Auxilary State). State Auxilary State juga dipadankan dengan lembaga non-struktural yang disebut disebut sebagai dewan, badan, atau lembaga, ada pula yang disebut komisi-komisi negara. Ada pula yang bersifat adhoc yang disebut dengan istilah satuan tugas atau komite. Di Indonesia sendiri selama ini dikenal dengan istilah Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) yang setelah ditetapkannya Undang-Undang tentang Kementerian Negara yang mengubah istilah departemen menjadi kementerian, maka istilah Lembaga LPND itu harus diubah menjadi LPNK atau Lembaga Pemerintahan Non- Kementerian.13
Indonesia mengenal tiga jenis kelembagaan menurut konstitusi UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yaitu Lembaga Negara, Kementerian, dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK). Lembaga Negara dibentuk dengan UUD 1945 dan Undang-Undang.
Sedangkan Kementerian dibentuk dengan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sebagai amanat Pasal 17 UUD tahun 1945. Adapun LPNK yang semula dikenal dengan nama LPND (Lembaga Pemerintah Non
12 Hedra Nurthanjo, “Lembaga, Badan, dan Komisi Negara Independen (State Auxilary Agencies) di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara)”, Jurnal Hukum dan Pembangunan 3 (Juli- September 2005), hlm. 279.
13 Isharyanto, Hukum Kelembagaan Negara, (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2012), hlm.200.
Departemen) dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 103 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Perpres Nomor 145 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedelapan atas Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja LPNK.14
Namun seiring dengan perkembangannya, lahirlah kelembagaan baru selain lembaga-lembaga tersebut, yaitu lembaga non struktural (LNS).
Keberadaan LNS dibentuk dengan berbagai jenis peraturan perundang-undangan, ada yang dibentuk dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Keputusan Presiden. Dari sisi tugas, keberadaan LNS ada yang dimaksudkan untuk mengawasi tugas pemerintah, ada yang membantu tugas penyelenggaraan pemerintah, dan ada LNS yang bersifat independen/mandiri.
Sampai saat ini belum ada standarisasi dalam pembentukan LNS, sehingga pengaturan LNS memiliki variasi yang beragam.15
Berdasarkan Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009, Lembaga pemerintah nonkementerian berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang mengoordinasikan.
Kedudukan ini sejalan dengan filosofi pembentukan LPNK untuk melaksanakan tugas spesifik tertentu yang tidak ditangani oleh kementerian tetapi peranannya diperlukan dalam rangka mendukung pelaksana tugas kementerian negara.16 Hal ini terlihat jelas dalam pengertian LPNK yang dulu disebut sebagai LPND dalam Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan Non Departemen. Pasal 1 angka 1 mengamanatkan bahwa pengertian LPND adalah lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk melaksanakn tugas pemerintahan tertentu dari Presiden.
Muladi mendefinisikan Lembaga Non-Struktural (LNS) sebagai suatu lembaga negara independen (nationa commission) yang bertujuan untuk
14 Kementrian Sekretaris Negara Republik Indonesia, “Klasifikasi dan PUU LNS”
https://setneg.go.id/baca/index/klasifikasi_dan_puu_lns, (diakses 14 Maret 2020).
15 Ibid.
16 Lembaga Administrasi Negara, Laporan Akhir Kajian Desain Kelembagaan Pemerintah Pusat (Arsitek Kelembagaan Tahun 2014-2019 (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2019), hlm.78.
mengakomodasi kepentingan negara melalui pengaturan dan pelayanan kepada masyarakat untuk mewujudkan tujuan nasional.17 LNS memiliki tugas dan fungsi untuk melaksanakan urusan pemerintahan tertentu secara teknis dan urgen untuk dibentuk. Pada umumnya LNS merupakan lembaga yang bersifat mandiri atau independen dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta berada diluar Kementrian negara, LPNK, maupun lembaga pemerintah lainnya. Dalam kedudukannya terdapat LNS yang berada dibawah Presiden, Kementerian, ataupun LPNK.18
Menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terdapat 92 Lembaga Non Struktural di Indonesia (KEMENPANRB)19 dan 27 Lembaga Pemerintah Non Kementerian.20 Jumlah ini hanyalah sebagian dari jumlah lemabaga yang ada karena berdasarkan Laporan Akhir Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan Deputi Bidang Kelembgaan dan Sumberdaya Aparatur LAN pada tahun 2013 saja terdapat 28 LPNK21 dan terdapat 135 LNS yang berhasil diidentifikasi.22 Dalam kata lain masih banyak lembaga yang tidak teridentifikasi namun jika dikaji secara ketatanegaraan merupakan bagian dari LNS maupun LPNK. Tentunya perkembagan lembaga-lembaga ini sesuai dengan kebutuhan dalam menjalankan kekuasaan negara.
Salah satu kebutuhan yang diangap penting oleh pengambil keputusan yakni perlu dilakukan pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh penyelenggara negara yang berujung pembentukan Unit Kerja Presiden tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Kebutuhan tersebut secara eksplisit terdapat di dalam konsideran menimbang poin a Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Kedudukan Unit Kerja Presiden Pembinaan
17 Muladi, “Penataan Lembaga Non-Struktural (LNS) Dalam Kerangka Reformasi Birokrasi serta Upaya Formulasi Kebijakan Strategis Kelembagaan Negara”, Jurnal Negarawan Sekretariat Negara RI (November 2010), hlm. 24.
18 Lembaga Administrasi Negara, Laporan Akhir Kajian Desain, hlm. 75-78.
19 KEMENPANRB, “Lembaga Non Struktural”
https://www.menpan.go.id/site/kelembagaan/lembaga-non-struktural-2, diakses 14 Maret 2020).
20 KEMENPANRB, “Lembaga Pemerintah Non Kementerian”,
https://www.menpan.go.id/site/kelembagaan/lembaga-pemerintah-non-kementerian-2, diakses 14 Maret 2020).
21 Lembaga Administrasi Negara, Laporan Akhir Kajian Desain, hlm.72.
22 Ibid.., hlm.76.
Ideologi Pancasila (UKP-IP) ditegaskan di Pasal 2 ayat (2) sebagai lembaga non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. UKP-IP dirasa perlu penyempuranaan dan revitalisasi organisasi, tugas, dan fungsi untuk dapat efektif menjalankan tugas dan fungsinya23 maka melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 dibentuklah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Di dalam Perpres a quo lembaga yang lahir pada 28 Februari tahun 2018 ini tidak diidentifikasi sebagai LNS maupun LPNK. Namun Pasal 1 angka 1 Perpes tersebut mendefinisikan BPIP adalah lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, yang mana kedudukan ini sama seperti pengaturan UKP-IP dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2017. BPIP mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/ lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.24
Jika pada umumnya fungsi Auxilary States Organ dibenturkan dengan tumpang tindih kewenangan antara sesama lembaga negara penunjang karena jumlahnya, penulis melihat bahwa BPIP menjadi perhatian karena tugasnya yang bersinggungan dengan lembaga negara utama (Primary Constitutional Organ) yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Mahkamah Konstitusi. Tugas yang penulis maksudkan adalah memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi social politik, dan komponen masyarakat lainnya. Tugas ini menimbulkan kerancuan karena seakan-akan memberikan kewenangan terhadap BPIP untuk menafsirkan Pancasila.
23 Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2018 Nomor 17, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor …, Konsideran Menimbang poin C.
24 Ibid., Pasal 3.
Jika dilihat dari kedukannya menjadi aneh jika lembaga yang berada berada di bawah lembaga negara utama yaitu Lembaga Ekekutif memiliki tugas untuk menafsirkan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm. Secara regulasi pun menjadi pertanyaan apakah tepat atau tidak jika Presiden dapat mengatribusikan tugas tersebut melalui Peraturan Presiden? Menjadi pertanyaan juga bagaimana kemudian eksekusi kewenangan tersebut dan hubungannya dengan Lembaga Negara lain dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
Oleh karena itu, hal-hal di atas yang melatarbelakangi penulis untuk mengkaji kedudukan dan kewenangan BPIP sebagai objek dari penelitian ini, kemudian dikembangkan dengan dampak pendirian BPIP terhadap Lembaga Pemerintah lainnya terkait adanya potensi tumpang sengketa kewenangan sehingga dalam penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi kedudukan kewenangan BPIP sebagai lembaga negara penunjang. Atas alasan di atas penulis membuat penelitian yang berjudul Analisis Kedudukan Dan Kewenangan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Ditinjau Dari Perspektif Hukum Tata Negara.
1.2 Perumusan Permasalahan
Setelah melihat latar belakang permasalahan di atas, maka terdapat pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana kedudukan BPIP dalam struktur ketatanegaraan pada saat ini?
2. Bagaimana hubungan BPIP dengan lembaga yang menafsirkan Pancasila?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan dan kewenangan BPIP dalam struktur ketatanegaraan pada saat ini serta hubungannya dengan lembaga lainnya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia ditinjau dari Hukum Tata Negara.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui kedudukan BPIP dalam struktur ketatanegaraan pada saat ini
2. Mengetahui hubungan BPIP dengan lembaga lain khususnya lembaga yang menafsirkan Pancasila dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia ditinjau dari Hukum Tata Negara
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat berguna bagi khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam hal:
1. Memberikan penjelasan mengenai kedudukan BPIP dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia
2. Memberikan penjelasan mengenai kewenangan BPIP dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk mengetahui bagaimana efektivitas pembentukan Lembaga penunjang khususnya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Teori Lembaga Negara
Istilah lembaga negara di Indonesia secara baku digunakan istilah lembaga Negara atau organ Negara. Dalam setiap pembahasan mengenai organisasi negara, ada dua unsur utama yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya. Organ adalah status bentuknya (inggris : form, Jerman: vorm), sedangkan functie adalah mobilitas wadah sesuai maksud pembentukannya.25 Jauh sebelum teori trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu, Pemerintahan Perancis pada abad ke-XVI telah mengelompokkan fungsi kekuasaan yang dimilikinya ke dalam lima bagian khusus, (i)fungsi diplomacie; (ii) fungsi defencie; (iii) fungsi nancie; (iv) fungsi justicie; dan (v) fungsi policie. John Locke kemudian mengkaji kembali fungsi tersebut dan mempersempit menjadi tiga fungsi kekuasaan, yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan federatif, dengan menempatkan fungsi peradilan dalam kekuasaan eksekutif.
25 Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi, hlm.84.
Kemudian Montesquieu mengembangkan pendapatnya bahwa fungsi federatif merupakan bagian dari fungsi eksekutif dan fungsi yudisial yang perlu dipisahkan tersendiri. Oleh sebab itu, fungsi kekuasaan negara pada teori trias politica mencakup atas (i) fungsi legislatif; (ii) fungsi eksekutif; dan (iii) fungsi yudisial, yang ketiga fungsi tersebut kemudian dilembagakan dalam tiga organ negara untuk menjalankan fungsi pemerintah, parlemen, dan pengadilan.26
Jimly Asshiddiqie menjabarkan bahwa konsep organ negara dan lembaga negara adalah sangat luas maknanya, sehingga sesuai perkembangan tata negara dewasa ini, lembaga negara dan organ negara tidak dapat dipersempit hanya pada pengertian ketiga cabang kekuasan seperti yang dirintiskan Montesquieu.27 Oleh karenanya, terdapat beberapa pemahaman khusus yaitu:28
1. Organ negara paling luas mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi law-creating dan law-applying;
2. Organ negara dalam arti luas tetapi lebih sempit dari pengertian pertama, yaitu mencakup individu yang menjalankan fungsi law- creating dan law-applying dan juga mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan;
3. Organ negara dalam arti yang lebih sempit, yaitu badan atau organisasi yang menjalankan fungsi law-creating dan law- applying dalam kerangka struktur dan sistem kenegaraan atau pemerintahan. Dalam pengertian ini, lembaga negara mencakup pengertian lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, Peraturan Presiden, ataupun oleh keputusan-keputusan yang tingkatannya lebih rendah, baik di tingkat Pusat ataupun di tingkat daerah;
26 Komisi Informasi Pusat, Kajian Kelembagaan Sekretariat Komisi Informasi, (Jakarta:
Komisi Informasi Pusat RI, 2015), hlm.11.
27 Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi, hlm. 40.
28 Ibid.
4. Organ atau lembaga negara yang lebih sempit lagi adalah hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU atau oleh peraturan yang lebih rendah dan lebih mencakup pula pada lembaga negara tingkat pusat dan lembaga negara tingkat daerah;
5. Untuk memberikan kekhususan kepada lembaga-lembaga negara yang berada di tingkat pusat yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh UUD 1945, maka lembaga-lembaga seperti MPR, DPR, MA, MK dan BPK dapat pula disebut sebagai lembaga negara yang tersendiri, yaitu lembaga negara dalam arti sempit.
Zoelva kemudian menjelaskan pula jenis-jenis organ negara dalam UUD 1945. Zoelva menerangkan bahwa UUD 1945 menyebutkan paling tidak 8 (delapan) organ negara yang menerima kewenangan konstitusional langsung dari UUD,29 yaitu DPR, DPD, MPR, BPK, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Selain itu, terdapat banyak institusi atau organ baik sebelum atau setelah perubahan UUD 1945 yang menjalankan fungsi negara tetapi tidak disebutkan dalam UUD 1945 baik secara ekspresif verbis maupun tidak.
Institusi atau organ ini lahir atau dibentuk baik berdasarkan undang- undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan presiden. Hans Kelsen menggunakan istilah organ negara (state organ) yang mengandung makna siapa saja yang menjalankan fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu organ. Bahkan setiap organ yang memegang jabatan dapat disebut organ negara sepanjang menciptakan atau menjalankan norma.30
Dasar pembentukan lembaga negara dalam konteks negara Indonesia ada berbagai macam, yaitu karena dasar diberi kekuasaan oleh UUD, ada yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan
29 Hamdan Zoelva, “Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia”, Jurnal Negarawan Sekretariat Negara RI (November 2010), hlm.65.
30 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1961), hlm. 192
ada juga yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan atau Keputusan Presiden. Organ konstitusi adalah lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD. Lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang - undang merupakan organ Undang - undang, sedangkan lembaga negara yang dibentuk atas dasar peraturan Presiden memiliki tingkatan dan derajat perlakuan hukum yang lebih rendah lagi terhadap pejabat yang berwenang di dalamnya. Sehingga, derajat pengaturan perundang-undangan dibentuknya suatu lembaga mempengaruhi hierarki fungsi lembaga tersebut.31
1.5.2 Teori Lembaga Negara Penunjang (State Auxilary Body) Konsep negara kesejahteraan (Welfare State) adalah tujuan bagi hampir semua negara modern untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyatnya. Seiring tuntutan visi tersebut, memaksa negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experiment-tation) khususnya di negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi. Kompleksitas sosial dan ekonomi di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme mengakibatkan semakin berkembangnya jenis lembaga dan institusi-institusi kenegaraan dari segi struktur maupun fungsi yang bervariasi.32
Oleh karena itu banyak jumlah dan variasi lembaga-lembaga ini biasa dibedakan oleh para sarjana dengan sebutan agencies, institutions, atau establishment, dan quango’s. Menurut Yves Meny dan Andrew Knapp, dari segi tipe dan fungsi administrasinya, terdapat 3 tipe utama lembaga lembaga pemerintahan yang bersifat khusus tersebut (three main types of specialized administration, yaitu: (i)regulatory and monitoring bodies (badan-badan yang melakukan fungsi regulasi dan pemantauan) (ii) those responsible for the management of public service (badan-badan yang bertanggung jawab melakukan pengelolaan pelayanan umum) (iii)those
31 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 91
32 Teuku Saiful Bahri Johan, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dalam Tataran Reformasi Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta,: Deepublish,2018), hlm. 67-68 mengutip Yves Meny dan Andrew Knapp, Government and Politic in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, 3rd edition, (oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 280.
engaged in productive activities (badan- badan yang telibat dalam kegiatan-kegiatan produksi).33
Dalam perkembangannya, lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu bukan yang berfungsi utama, disebut State Auxilary Bodies, Auxiliary States institutions, atau Auxiliary States Organ. Menurut John Alder, beberapa lembaga disebut sebagai non-departement bodies, public agencies, commissions, board and authorities.34 Oleh karena itu lembaga-lembaga tersebut pada umumya berfungsi sebagai a quasi governmental world of appointed bodies dan bersifat non departmental agencies, single purpose authorities, dan mixed public-private institutions.
Sifatnya quasi atau semi pemerintahan, dan diberi fungsi tunggal ataupun kadang-kadang fungsi campuran seperti di satu pihak sebagai pengatur, tetapi juga menghukum seperti yudikatif yang dicampur dengan legislatif.
Oleh karena itu, lembaga-lembaga tersebut selain disebut auxiliary states organ juga disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function).
1.6 Kerangka Konsep/Definisi Operasional 1.6.1 Lembaga Negara
Istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Non pemerintahan yang dalam bahasa Inggris disebutNon-Government OrganizationatauNon- GovernmentalOrganization (NGO’s). Lembaga Negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.35
Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia halitu identik
33 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 399.
34 John Alder, Constitutions and Administrative Law, (London: The Macmillan Press LTD, 1989), hlm. 232.
35 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi, hlm. 27.
dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut denganorgan negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , kata “lembaga” diartikan sebagai : (i) asalmula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan;(iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukansuatu usaha; dan (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri atas interaksi sosial yang berstruktur.36
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah Lembaga pemerintahan, Lembaga pemerintahan non-departemen, atau Lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada yang mendapat dari UU, bahkan berdasarkan Peraturan Presiden, Hierarki tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan.37
1.6.2 Lembaga Negara Penunjang (State Auxilary Body)
Lembaga ini umumnya berfungsi untuk mendukung lembaga negara utama. State Auxiliary Bodies dapat dibentuk dari fungsi lembaga negara utama yang secara teoritis menjalankan tiga fungsi, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembentukan organisasi pendukung ini dalam rangka efektivitas pelaksanaan kekuasaan yang menjadi tanggung jawabnya. Di antara lembaga-lembaga itu ada yang menjalankan fungsi campuran, antara fungsi-fungsi regulatif, administratif dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh Lembaga tersebut
1.6.3 Lembaga Pemerintahan Non Kementrian
LPNK merupakan lembaga pemerintah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu yang spesifik yang tidak ditangani oleh kementerian dan peranan yang dimainkan juga sangat diperlukan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas kementerian negara, berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikannya.
36 Jimly Asshiddiqie, Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:Konstitusi Press, 2004), hlm. 60-61.
37 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian, hlm. 91.
1.6.4 Pancasila
Secara etimologi dalam bahasa Sansekerta (Bahasa Brahmana India). Pancasila berasal dari kata ‘Panca’ dan ‘Sila’.Pancaartinya lima, sila atau syila yang berarti batu sendi atau dasar. Kata sila bisa juga berasal dari kata susila,yang berarti tingkah laku yang baik.Jadi secara kebahasaan dapat disimpulkan bahwa Pancasila dapat berarti limabatu sendi atau dasar. Atau dapat juga berarti lima tingka laku yang baik..Secara terminologi, Pancasila digunakan oleh Bung Karno sejak sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 untuk memberi nama pada lima prinsip dasar negara.38
Pancasila dituangkan ke dalam piagam Jakarta yang disahkan pada 22 Juni 1945. Adapun rumusanna adalah sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan piagam Jakarta tersebut kemudian mengalami perubahan, dan perubahan ini yang kemudian dianggap sah secara konstitusional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu:
1. Ketuhanan yang Mahaesa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
38 Kumawi Basyir, et.al, Pancasila Dan Kewarganegaraan, (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2013), hlm.10.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila adalah (grundnorm) dasar negara atau (Staatsfundamentalnorm). Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro.39 Pancasila disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky40. Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:41
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm):
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz):
3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Pemikiran utama dari kelsen tersebut berangkat pada keyakinan yang terbebas dari unsur tentang tata hukum sebagai suatu sistem norma42 manapun. Suatu norma yang validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih tinggi. kita sebut sebagai "norma dasar" (grundnorm).
Semua norma yang validitasnya dapat ditelusuri kepada suatu norma dasar yang sama bentuk suatu sistem norma, atau suatu tata normati Normaf.
dasar yang menjadi sumber utama ini merupakan pengikat di antara semua norma yang berbeda-beda yang membentuk suatu tata normatif.43
39Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945(Pokok-Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cet.4 (Jakarta:
Pantjuran Tudjuh, s.a.) dalam Jimly Asshiddiqie, Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi, (Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia), hlm.11
40 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2009), hlm. 10.
41 A. Hamid A. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan-Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I - Pelita IV,” (Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990) hlm., 287.
42 Hans Kelsen, General Theory Law, hlm 112.
43 Ibid., hlm 113.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.
Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.44 Bahan pustaka atau data sekunder tersebut akan digunakan untuk menjustifikasi kedudukan BPIP sebagaimana mestinya dalam ketatanegaraan dan merancang hubungan BPIP dengan lembaga yang menafsirkan Pancasila.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis kedudukan BPIP sebagaimana mestinya dalam ketatanegaraan dan merancang hubungan BPIP dengan lembaga yang menafsirkan Pancasila. Hal ini dilakukan dengan melihat sejarah hukum dan perbandingannya dengan negara lain.
Dilihat dari tipologinya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian analitis deskriptif dengan sifat penelitiannya adalah kepustakaan. Penelitian analitis deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau menentukan frekuensi suatu gejala45. Penelitian kepustakaan sendiri dalam hal ini dilakukan dengan cara mendapatkan data dan bahan penelitian dari bahan bacaan seperti buku-buku, jurnal ilmiah, dan makalah atau artikel lain yang terkait. Dengan demikian data yang digunakan dalam penelitan ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan.46
Bahan hukum penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan- bahan hukum yang mengikat dan salah satunya terdiri dari peraturan perundang- undangan47, yang dalam hal ini adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara;
44 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, cet. 15 (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), hlm. 13-14.
45 Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.
46 Ibid. hlm. 6.
47 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm.52.
3. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila(UK-PIP);
4. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila;
5. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Organisasi Kementerian Negara;
6. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Sedangkan bahan hukum sekundernya adalah buku, jurnal ilmiah, maupun bahan makalah atau artikel lain yang dapat mendukung penelitian. Bahan hukum primer dan sekunder ini digunakan untuk menjelaskan kedudukan BPIP sebagaimana mestinya dalam ketatanegaraan dan merancang hubungan BPIP dengan lembaga yang menafsirkan Pancasila.
1.8 Sistematika Penulisan
Pada dasarnya penelitian ini akan diawali dengan penyampaian teori hukum mengenai topik yang dibahas kemudian dilanjutkan dengan analisis kelembagaan BPIP saat ini. Adapun sistematika penulisan akan disampaikan sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, kerangka konsep, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II: Bab ini menjelaskan Lembaga Non Struktural, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, dan permasalahan penataan Lembaga Non Struktural dan Lembaga Pemerintah Non Kementrian.
Bab III: Bab ini menjelaskan perkembangan pembinaan ideologi Pancasila sebagai ideologi negara yang dibagi menjadi penjelasan Pancasila sebagai ideologi Negara di Indonesia, lembaga-lembaga pembinaan Pancasila di Indonesia, pengaturan model pembinaan ideology di beberapa konstitusi negara lain, dan perbandingannya dengan Indonesia.
Comment [GS1]: Disesuaikan dengan outline ya
Bab IV: Analisis yang menjelaskan kedudukan dan kewenangan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Bab V: Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Sub Bab Kesimpulan merupakan rangkuman dan ulasan dari pembahasan pada tulisan ini sedangkan saran merupakan masukan penulis yang bertujuan memberikan pandangan untuk perbaikan pada lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ke depannya.