• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang baik, optimal, transparan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang baik, optimal, transparan dan"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang baik , optimal, transparan dan efektif merupakan keinginan setiap warga negara dimanapun berada, termasuk masyarakat di Republik Indonesia ini. Pelayanan publik yang optimal tentunya menjadi kebutuhan dasar semua kalangan masyarakat disegala bidang baik itu terkait dengan pendidikan, kesehatan, keamanan dan pelayanan publik lainnya demi terpenuhinya hak masyarakat sehingga salah satu unsur kesejahteraan masyarakat dapat dipenuhi oleh negara. Namun sangat disayangkan sekali, hingga sampai saat ini banyak masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya seperti yang diharapkan oleh masyarakat tersebut. Pelayanan yang optimal tentunya menjadi tuntutan masyarakat yang tidak boleh dikesampingkan oleh aparatur pemerintah, tetapi fakta dilapangan hak-hak sipil mereka kurang memperoleh perhatian dan pengakuan secara layak sehingga sering hak-hak sipil masyarakat tersebut dilanggar oleh oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab.

Banyak oknum pemerintahan kita yang kurang maksimal dalam memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat yang ingin mendapatkan sesuatu yang pada prinsipnya menjadi hak mereka. Salah satu penyebab adanya pejabat publik yang sering melakukan pelanggaran dalam memberikan pelayanan publik bagi masyarakat adalah karena kurangnya ditegakkannya hukum sebagaimana mestinya. Padahal pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik) dan penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari

(2)

upaya menciptakan sistem yang pemerintahan negara yang demokratis yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keadilan, kepastian hukum dan terwujudnya hubungan yang baik antara masyarakat dan aparatur pejabat publik.

Buruknya pelayanan publik di Indonesia ternyata tidak hanya menjadi sorotan di dalam negeri saja. Hasil survey tahun 2012 yang dilakukan oleh bank dunia dan UNDP menempatkan Indonesia menempati rangking 128 dari 185 negara tentang pelayanan publiknya. Hal ini tentunya menjadi gambaran buruk tentang sistem pelayanan publik yang diterapkan di Indonesia. Dari hasil survey ini harus menjadi perhatian pemerintah dan juga masyarakat untuk bisa memperbaiki manajemen pelayanan publik yang ada di Indonesia yang harus segera diselesaikan. Hal ini agar masyarakat Indonesia merasa dipuaskan oleh pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah. Selain kepuasan masyarakat yang menjadi prioritas, tentunya dengan pelayanan publik yang baik akan memberikan keuntungan bagi Indonesia agar bisa menarik minat masyarakat dari negara lain untuk berkunjung ke Indonesia. Dengan adanya pelayanan publik yang baik akan menjadikan warga negara asing merasa nyaman berkunjung ke Indonesia. Masyarakat Indonesia sering dikenal sebagai masyarakat yang ramah, jangan sampai karena pelayanan publik yang tidak baik tersebut akan menjadikan citra Indonesia menjadi buruk di mata negara lain. Pelayanan publik di Indonesia yang masih bermasalah tersebut salah satu faktornya adalah karena sistem birokrasi yang diterapkan di Indonesia saat ini. Banyak pendapat yang mengungkapkan bahwa struktur birokrasi di Indonesia tersebut terlalu gemuk sehingga rawan akan adanya tindakan maladminitrasi yang dilakukan oleh

(3)

aparatur pemerintah tersebut. Beberapa permasalahan yang sering terjadi terkait pelayanan birokrasi oleh aparatur pemerintah di Indonesia antara lain : memperlambat proses penyelesaian perijinan, mencari berbagai alasaan seperti kekurangan kelengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan dan alasan lain sejenisnya, alasan kesibukan melaksanakan tugas lain, sulit dihubungi, senantiasa memperlambat dengan menggunakan kata – kata sedang diproses, adanya tindakan meminta biaya tambahan untuk mempercepat proses dan alasan lain sebagainya.

Penyelenggaraaan pemerintahan yang baik dan upaya meningkatkan pelayanan publik dan penegakkan hukum diperlukan keberadaan lembaga pengawas eksternal yang secara efektif mampu mengontrol tugas penyelenggara negara dan pemerintahan. Hal ini disebabkan pengawasan internal yang dilakukan oleh pemerintah sendiri dalam implementasinya ternyata tidak memenuhi harapan masyarakat, baik dari sisi obyektivitas maupun akuntabilitasnya. Dari kondisi di atas, maka pada tahun 2000, presiden berupaya untuk mewujudkan reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan guna meningkatkan kuailtas pelayanan publik dengan membentuk Lembaga Ombudsman Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000.

Lembaga Ombudsman Nasonal bertujuan membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi yang kondusif dalam memberantas berbagai praktek maladministrasi serta meningkatkan perlindungan hak masyarakat agar memperoleh pelayanan publik, keadilan, dan kesejahteraan. Hal ini berarti Lembaga Ombudsman Nasional memiliki tugas dan wewenang untuk mengawasi pelaksanaan pelayanan publik guna meningkatkan kualitas pelayanan publik di

(4)

Indonesai. Untuk lebih mengoptimalkan fungsi,tugas, dan wewenang Lembaga Ombudsman Nasional, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional sebagai landasan hukum yang lebih jelas dan kuat. Maka dari itu,akhirnya dibentuk juga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Sejak saat itu Lembaga Ombudsman Nasional berubah namanya menjadi Lembaga Ombudsman Republik Indonesia.

Undang-Undang tentang Lembaga Ombudsman, kewenangan Lembaga Ombudsman juga semakin diperkuat dengan hadirnya Undang-Undang No.25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dimana dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa setiap penyelenggara negara wajib menindaklanjuti setiap rekomendasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Ombudsman. Untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan wewenangnya, jika dipandang perlu, maka Lembaga Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di daerah provinsi atau kabupaten/kota yang mempunyai hubungan hirarkis dengan Lembaga Ombudsman Republik Indonesia dan dipimpin oleh seorang kepala perwakilan. Alasan yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga perwakilan Ombudsman didaerah adalah oleh karena adanya beberapa tugas instansi pusat yang juga dilaksanakan di daerah. Lalu pada tanggal 1 Januari 2008 dibentuklah Lembaga Ombudsman Republik Indonesia perwakilan Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam yang fungsi, tugas, dan wewenangnya sama dengan Lembaga Ombudsman Republik Indonesia. Di Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam sendiri, banyak masyarakat yang tidak puas akan kinerja aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Ketidak puasan masyarakat

(5)

tersebut karena adanya tindakan penyelewengan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh aparatur pemerintah. Tindakan penyelewengan wewenang dalam memberikan Pelayanan publik tersebut atau yang lebih akrab disebut maladministrasi sepertinya menjadi permasalahan hampir disemua provinsi di Indonesia termasuk Sumatera Utara. Yang dimaksud dengan maladministrasi disini adalah tindakan seseorang pemilik kewenangan atau kekuasaan yang tidak wajar atau tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Contoh dari tindakan maladministrasi tersebut yang sering dialami oleh masyarakat kita antara lain adalah mendapatkan perlakuan yang tidak adil, diacuhkan, tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana mestinya sampai misalnya terjadi tindakan korupsi, kolusi, nepotisme sehingga masyarakat menjadi korban oleh tindakan tersebut.

Pelanggaran berupa maladministrasi tersebut dapat berupa perbuatan, sikap, maupun prosedur dan tidak terbatas pada hal-hal administrasi atau tata usaha saja. Apapun jenis perlakuan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah, yang dirasakan merugikan masyarakat sebagai obyek dari pelayanan pubik maka disebut sebagai tindakan yang maladministrasi. Banyaknya tindakan maladministrasi tersebut dibuktikan dengan banyaknya pengaduan masyarakat di media cetak lokal melalui pesan singkat yang mengeluhkan tindakan maladministrasi oleh pejabat – pejabat publik. Masyarakat tersebut hanya bisa mengeluhkan kekecewaan mereka melalui media tersebut karena belum mengetahui kemana mereka harus melaporkan tindakan maladministrasi tersebut. Padahal sebenarnya agar tindakan maladministrasi ini bisa ditindak lanjuti dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku bisa melalui Lembaga Negara yang disebut Ombudsman.

(6)

Berdirinya Lembaga Ombudsman ini menjadi salah angin segar bagi masyarakat Indonesia agar bisa mendorong perbaikan pelayanan publik khususnya Sumatera Utara tentunya. Di Sumatera Utara sendiri banyak kasus yang dialami oleh masyarakat tersebut terkait dengan adanya tindakan maladministrasi pelayanan publik termasuk tentang pemerintahan daerah. Tetapi pada kenyataannya adalah kebanyakan dari masyarakat tersebut tidak melaporkan tindakan maladministrasi tersebut ke pihak yang seharusnya menjadi wadah pengaduan tersebut yaitu Ombudsman. Apakah masyarakat belum tahu tentang peran dan fungsi dari ombudsman itu sendiri, apakah malah tidak tahu sama sekali bahwa sudah ada yang namanya Lembaga Ombudsman ataukah mungkin bingung ataupun malu ingin mengadu. Padahal satu – satunya lembaga independent di negara ini yang secara tugas pokok dan fungsinya memang untuk melayani tentang maladministrasi pelayanan publik adalah Ombudsman. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait bagaimana sesungguhnya implementasi kebijakan UU No. 37 Tahun 2008 dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam menerima laporan keluhan masyarakat serta usahanya dalam menindak lanjuti pengaduan dari masyarakat tersebut. Dan untuk mempermudah penelitian, maka penulis memilih Lembaga Ombudsman perwakilan Provinsi Sumatera Utara sebagai tempat penelitian, karena Lembaga Ombudsman perwakilan Provinsi Sumatera Utara merupakan perpanjangan tangan Lembaga Ombudsman Republik Indonesia dalam menangani berbagai pengaduan tekait pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara di Indonesia serta merupakan bagian tak terpisahkan dari kantor Lembaga Ombudsman Republik Indonesia.

(7)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas , maka dalam penelitian ini perumusan masalahnya adalah sebagai “Bagaimana Implementasi Kebijakan UU No. 37 Tahun 2008 dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik (Studi Pada Lembaga Ombudsman Perwakilan Provinsi Sumatera Utara)?

I.3. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pada dasarnya memiliki tujuan penelitian dengan maksud untuk memberikan arahan ataupun jakur tertentu terhadap penelitian itu sendiri. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui implementasi kebijakan UU No.37 Tahun 2008 dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di Indonesia khususnya dalam menangani pengaduan dari masyarakat dan cara-cara penyelesaiannya.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Lembaga Ombudsman Republik Indonesia dalam menjalankan perannya.

I.4. Manfaat Penelitian

Dari kegiatan penelitian tentunya akan diperoleh hasil yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti maupun pihak lain yang memerlukannya. Adapun manfaat penelitian ini adalah :

(8)

1. Sebagai sumber informasi bagi siapa saja terkait fungsi serta peran yang ditawarkan Lembaga Ombudsman dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik.

2. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan study di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Ilmu Administrasi Negara, Universitas Sumatera Utara.

I.5. Kerangka Teori

Menurut Kerlinger (Singarimbun, 2008: 37), teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Untuk memudahkan penulis dalam menyusun penelitian ini, maka dibutuhkan teori-teori sebagai pedoman kerangka berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilih. Pedoman tersebut disebut kerangka teori. Kerangka teori merupakan bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, subvariabel atau masalah pokok yang ada dalam penelitian (Arikunto, 2002: 92). Adapun yang menjadi kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

I.5.1.Kebijakan Publik

I.5.1.1.Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Parsons (dalam Wayne Parsons, 2005:3) kata “publik” berisi kegiatan aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur dan diintervensi

(9)

oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama. Publik itu dipandang sebagai suatu ruang atau domain dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum. Sedangkan kata “kebijakan” menurut Heclo (dalam Wayne Parsons, 2005:14) adalah istilah yang banyak disepakati bersama. Dalam penggunaan yang umum, istilah kebijakan dianggap berlaku untuk sesuatu yang “lebih besar” ketimbang keputusan tertentu, tetapi “lebih kecil” ketimbang gerakan sosial. Jadi, kebijakan (policy) adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Heclo mengatakan bahwa ada perbedaan pendapat mengenai apakah kebijakan itu merupakan tindakan yang diniatkan (intended) atau tidak. Sebuah kebijakan mungkin saja merupakan sesuatu yang tidak disengaja, tetapi ia tetap dilaksanakan dalam implementasi atau praktik

administrasi. Pengertian konsep

publik dan kebijakan diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah tindakan maupun keputusan yang pemerintah lakukan atau tidak dengan tujuan untuk mengatur masyarakat di suatu wilayah. Ini sama seperti pendapat Thomas R. Dye (dalam Indiahono, 2009:17), yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Maknanya adalah Dye hendak menyatakan bahwa apapun kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit merupakan kebijakan. Interpretasi dari kebijakan menurut Dye harus dimaknai dengan dua hal penting, yaitu: pertama, kebijakan haruslah dilakukan oleh badan pemerintah, dan kedua, kebijakan tersebut mengandung pilihan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.

(10)

suatu arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Kebijakan publik dalam kerangka substantif adalah segala aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan masalah publik yang dihadapi. Kebijakan publik haruslah diarahkan untuk memecahkan masalah publik untuk memenuhi kepentingan dan penyelenggaraan urusan-urusan publik.

Menurut Charles O. Jones (dalam Tangkilisan, 2003:3) kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut:

1. Goals atau tujuan yang diinginkan,

2. Plans atau rancangan yang spesifik untuk mencapai tujuan, 3. Program yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,

4. Decision atau keputusan yaitu tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program, dan

5. Efect yaitu dampak dari program baik disengaja maupun tidak dan primer maupun sekunder.

I.5.1.2.Bentuk dan Macam Kebijakan

Keputusan yang dihasilkan oleh aktor kebijakan tersebut diturunkan dalam berbagai bentuk variasi. Adapun bentuk-bentuk kebijakan tersebut adalah sebagai berikut :

Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan pembuatnya:

1. Pusat: dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan yang berkedudukan di pusat dan digunakan untuk mengatur seluruh warga negara dan wilayah Indonesia.

(11)

2. Daerah: dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan yang berkedudukan di daerah dan digunakan untuk mengatur daerahnya masing-masing.

Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan tujuannya:

1. Law Order adalah Kebijakan mengenai hukum dan tatanan hukum. Adapun bentuk kebijakan ini umumnya berupa undang-undang atau peraturan-peraturan yang diumumkan oleh pemerintah.

2. Distributive Order adalah kebijakan yang bersifat mengarahkan penguasa dalam mendistribusikan sumber daya yang dimilikinya dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan oleh negara. Misalnya perijinan usaha, kekuasaan kepada kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain.

3. Re-Distributive Order adalah kebijakan yang bersifat mengarahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi terhadap pelaksanaan tata pemerintahan dalam rangka pencapaian tujuan negara secara umum. Bentuk kebijakan ini umumnya berupa kewajiban pembayaran pajak bagi warga negara.

Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan wujud nyata nya:

1. Gerakan (contohnya): Gerakan Orang Tua Asuh (GNOTA), Gerakan Penghijauan.

2. Peraturan perundangan: Peraturan Walikota No 23 Tahun 2011 Tentang Perizinan Usaha Warung Internet.

3. Pidato atau pernyataan pejabat publik: Pidato Presiden 4. Program: Program KB

(12)

I.5.1.3.Proses Kebijakan Publik

Dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kebijakan publik, Dunn (Tangkilisan, 2003:7) mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan, yaitu:

1. Agenda setting: adalah proses pengumpulan isu-isu dan masalah publik yang mencuat ke permukaan melalui proses problem structuring. Menurut Dunn problem structuring memiliki empat fase yaitu: pencarian masalah, pendefenisian masalah, spesifikasi masalah, dan pengenalan masalah. Woll mengatakan bahwa suatu isu kebijakan dapat berkembang menjadi agenda kebijakan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

a) Memiliki efek yang besar terhadap kepentingan masyarakat,

b) Membuat analog dengan cara memancing dengan kebijakan publik yang pernah dilakukan,

c) Isu tersebut mampu dikaitkan dengan simbol-simbol nasional atau politik yang ada,

d) Terjadinya kegagalan pasar, dan

e) Tersedianya teknologi atau dana untuk menyelesaikan masalah publik.

2. Policy formulation: adalah mekanisme proses untuk menyelesaikan masalah publik, dimana pada tahap ini para analis mulai menerapkan beberapa teknik untuk menentukan sebuah pilihan yang terbaik yang akan dijadikan kebijakan. Dalam menentukan kebijakan tersebut, aktor kebijakan dapat menggunakan analisis biaya dan manfaat dan analisis keputusan, dimana keputusan yang harus diambil tidak ditentukan dengan

(13)

informasi yang serba terbatas. Para aktor kebijakan tersebut harus mengidentifikasi kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui psoses peramalan (forecasting)untuk memecahkan masalah yang didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih.

3. Policy adoption: adalah penetapan keputusan yang sudah ditetapkan untuk menjadi solusi dari masalah publik tersebut. Tahap ini dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi melalui langkah-langkah sebagai berikut:

a) Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan merupakan langkah terbaik dalam mencapai tujuan tertentu bagi kemajuan masyarakat luas.

b) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan dipilih untuk menilai alternatif yang akan direkomendasikan.

c) Mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan kriteria yang relevan agar efek posisi alernatif lebih besar dari efek yang terjadi.

4. Policy implementation: adalah proses pelaksanaan kebijakan yang sudah ditetapkan tersebut oleh unit-unit eksekutor tertentu dengan memobilisasi sumber dana dan sumber daya lainnya dan pada tahap ini proses monitoring sudah dapat dilakukan. Tahapan implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu kebijakan ditetapkan dengan menghasilkan output yang jelas dan dapat diukur.

(14)

5. Policy assessment atau penilaian kebijakan: pada tahap ini semua proses implementasi dinilai apakah sudah sesuai dengan rencana dalam program kebijakan dengan ukuran kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Proses penilaian tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu monitoring dan evaluasi. Monitoring dilakukan sewaktu proses pelaksanaan kebijakan masih berjalan dan bertujuan untuk melihat bagaimana program tersebut berjalan, biasanya dalam bentuk penelitian/ riset dan rekomendasi. dan evaluasi dilakukan setelah kebijakan tersebut telah selesai dilakukan. Evaluasi dilakukan terhadap program yang sudah selesai dan bertujuan untuk mengetahui bagaimana hasil dari program tersebut apakah mencapai sasaran.

I.5.2.Implementasi Kebijakan

I.5.2.1.Pengertian Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang krusial dalam proses kebijakan publik. Jika suatu kebijakan telah ditetapkan, kebijakan tersebut tidak akan berhasil dan terwujud bilamana tidak diimplementasikan. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dalam arti luas dapat diartikan sebagai alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Sementara itu, Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno, 2002: 102) menyebutkan implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok)

(15)

pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan yang besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Jadi implementasi merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program pada tujuan kebijakan yang diinginkan.

Menurut Jones (Tangkilisan, 2003:17) terdapat tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi, yaitu:

1. Penafsiran: yaitu kegiatan yang menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.

2. Organisasi: merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam tujuan kebijakan.

3. Penerapan: berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lainnya.

I.5.2.2.Model-Model Implementasi Kebijakan

Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model, yaitu:

(16)

A. Model Van Meter dan Van Horn (1975)

Teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan kinerja kebijakan. Mereka menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah:

a. Hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi.

b. Seberapa jauhkah tingkat efektifitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiapjenjang struktur, masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah dalam organisasi yang bersangkutan.

c. Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam organisasi (masalah kepatuhan).

Dari pandangan tersebut maka Van Meter dan Van Horn membuat tipologi kebijakan menurut:

a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan terjadi.

b. Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi.

Alasan dikemukakannya hal ini adalah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian

(17)

bahwa implementasi akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari para implementor dolapangan relatif tinggi. Hal lain yang dikemukakan mereka bahwa yang menghubungkan kebijakan dan kinerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas yang saling berkaitan. Variabel bebas itu adalah:

1. Standar dan Sasaran Kebijakan

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara agen implementasi.

2. Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia seperti dana yang digunakan untuk mendukung implementasi kebijakan.

3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas

Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain agar tujuan kebijakan dapat tercapai.

4. Karakteristik Agen Pelaksana

Karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi implementasi suatu program.

5. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana

(18)

kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karaktersitik para partisipan yakni menolak atau mendukung, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

6. Disposisi Implementor

Ini mencakup tiga hal, yakni: (a) respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) kognisi, pemahaman para agen pelaksana terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut:

Bagan 1: model implementasi van meter dan van horn

B. Model Merilee S. Grindle (1980)

Merilee menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Keunikan model

(19)

Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin akan terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan selama proses implementasi. Secara konsep dijelaskan bahwa model implementasi kebijakan yang dikemukakan Grindle menuturkan bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya.

Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:

1. Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected). 2. Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit).

3. Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned). 4. Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making).

5. Para pelaksana program (program emplementation). 6. Sumber daya yang dikerahkan (resources commited).

Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud meliputi:

1. Kekuasaan (power).

2. Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved).

3. Karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime characteristics).

(20)

C. Model Mazmanian dan Sabatier (1983)

Model ini disebut sebagai model kerangka analisis implementasi. Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel, yaitu:

1. Karakteristik dari masalah (tractability of the problems) sering disebut dengan variabel independen. Indikatornya adalah:

a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran.

c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan.

2. Karakteristik kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure implementation) sering disebut dengan istilah variabel intervening, indikatornya adalah:

a. Kejelasan isi kebijakan.

b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis. c. Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut. d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai

institusi pelaksana.

e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana. f. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.

g. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan.

3. Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation) sering disebut dengan istilah dependen. Indikatornya adalah:

(21)

a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi.

b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan. c. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups).

d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor.

D. Model George C. Edward III (1980)

George Edward III (dalam Winarno, 2002: 126) melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap implementasi kebijakan. Menurut George Edward III, dalam pendekatan studi implementasi harus dimulai dengan suatu pernyataan abstrak seperti yang dikemukakan sebagai berikut:

a. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi kebijakan?

Guna menjawab pertanyaan tersebut, George Edward III mengajukan empat faktor yang berperan penting dalam keberhasilan implementasi, yaitu:

1. Komunikasi (communication).

Implementasi kebijakan akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana.

(22)

Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga pelaku kebijakan mengetahui secara tepat apa yang menjadi isi, tujuan, kelompok sasaran kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat menyiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan secara efektif dan sesuai dengan tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan. Komunikasi implementasi mencakup beberapa hal yaitu: (a) transformasi informasi, (b) kejelasan informasi, dan (c) konsistensi informasi.

2. Sumber Daya (resource)

Bukan hanya isi sebuah kebijakan saja yang dikomunikasi secara jelas, sumber daya juga harus tetap dipersiapkan untuk dapat melaksanakan implementasi kebijakan. Ketersediaan sumber daya dalam implementasi kebijakan

(23)

memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana saumber-sumber pendukungnya tidak memadai. Komponen sumber daya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan sebagaimana yang diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana. Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan. Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenai bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki

(24)

konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada. Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.

3. Disposisi (sikap)

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.

Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan

(25)

secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.

4. Struktur Birokrasi (bereaucratic structure)

Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan.

(26)

I.5.3. Peran Lembaga Ombudsman Republik Indonesia 1.5.3.1 Pengertian Peran

Peranan merupakan aspek dinamis dari suatu status (kedudukan). Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya, maka ia elah menjalankan peranannya. Peranan adalah tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memiliki kedudukan atau status. Antara kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan. Tidak ada peranan tanpa kedudukan dan sebaliknya kedudukan tidak berfungsi tanpa peranan (Soekanto, 2001: 212)

I.5.3.2. Pengertian Lembaga Ombudsman Republik Indonesia

Lembaga Ombudsman Republik Indonesia adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu, yang dilakukan oleh swasta atau perseorangan tersebut, antara lain pekerjaan yang dilakukan oleh swasta atau perseorangan berdasarkan kontrak yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(27)

I.5.3.3. Sifat, Asas, dan Tujuan

Ombudsman Republik Indonesia merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga Negara dan instansi pemerintah lainnya, serta menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya.

Berdasarkan Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia pasal 3, Lembaga Ombudsman Republik Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berasaskan : a. Kepatuhan; b. Keadilan; c. Non-diskriminasi; d. Tidak memihak; e. Akuntabilitas; f. Keseimbangan; g. Keterbukaan; dan h. Kerahasiaan.

Berdasarkan Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia pasal 4, tujuan pembentukan Lembaga Lembaga Ombudsman Republik Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Mewujudkan Negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera;

b. Mendorong penyelenggaraan Negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;

(28)

c. Meningkatkan mutu pelayanan Negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik;

d. Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek Maladministrasi , diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme;

e. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.

I.5.3.4. Fungsi, Tugas, dan Wewenang

Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga negara yang berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas untuk menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.

Berdasarkan Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia pasal 7, yang menjadi tugas pokok Lembaga Ombudsman Republik Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Menerima laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

(29)

c. Menindaklanjuti laporan yang tecakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;

d. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

e. Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;

f. Membangun jaringan kerja;

g. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

h. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh Undang-Undang.

Berdasarkan Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia pasal 8, dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, Lembaga Ombudsman Republik Indonesia berwenang :

a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada Lembaga Ombudsman;

b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada pelapor ataupun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan;

(30)

c. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi manapun untuk pemeriksaan laporan dari instansi terlapor;

d. Melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan laporan;

e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;

f. Membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, termasuk rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitas kepada pihak yang dirugikan;

g. Demi kepentingan umum, mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.

Selain wewenang tersebut di atas, Lembaga Ombudsman Republik Indonesia juga berwenang :

a. Menyampaikan saran kepada Presiden, Kepala Daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;

b. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau Kepala Daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi.

(31)

Selain hal tersebut di atas, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Lembaga Ombudsman Republik Indonesia dilarang mencampuri kebebasan hakim dalam memberikan keputusan. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya, Lembaga Ombudsman juga tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan.

I.5.3.5. Susunan dan Keanggotaan Lembaga Ombudsman Republik Indonesia

Lembaga Ombudsman Republik Indonesia terdiri atas 1 (satu) orang ketua merangkap anggota, 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota, 7 (orang) anggota. Dalam hal ketua Ombudsman berhalangan, Wakil ketua Ombudsman Republik Indonesia menjalankan tugas dan kewenangan Ketua Ombudsman Republik Indonesia. Dalam melaksakan tugas dan wewenangnya, anggota Lembaga Ombudsman Republik Indonesia dibantu oleh asisten Ombudsman. Asisten Ombudsman diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Ombudsman Republik Indonesia berdasarkan persetujuan rapat anggota Ombudsman Republik Indonesia.

I.5.3.6. Pedoman Dasar dan Etika

Dalam melaksanakan mandatnya Lembaga Ombudsman Republik Indonesia berpedoman pada kode etik yang telah ditetapkan pada tahun 2000. Pedoman Dasar dan Etika (Kode Etik) Lembaga Ombudsman Republik Indonesia adalah sebagai berikut :

(32)

1. Integritas; bersifat mendiri, tidak memihak, adil, tulus dan penuh komitmen, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan budi pekerti, serta melaksanakan kewajiban agama yang baik.

2. Pelayanan Kepada Masyarakat; memberikan pelayanan kepada masyarakat secara cepat dan efektif, agar mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai institusi public yang benar-benar membantu peningkatan penyelenggaraan kepentingan masyarakat sehari-hari.

3. Saling menghargai; kesejajaran penghargaan dalam perlakuan, baik kepada masyarakat maupun antara sesama anggota/staf Lembaga Ombudsman Republik Indonesia.

4. Kepemimpinan; menjadi teladan dan panutan dalam keadilan, persamaan hak, transparasi, inovasi dan konsistensi.

5. Persamaan Hak; memberikan perlakuan yang sama dalam pelayanan kepada masyarakat dengan tidak membedakan umur, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik maupun mental, suku, etnik, agama, bahasa maupun status sosial keluarga.

6. Sosialisasi Tugas Lembaga Ombudsman; menganjurkan dan membantu masyarakat memanfaatkan pelayanan public secara optimal untuk penyelsaian persoalan.

7. Pendidikan Yang Berkesinambungan; melaksanakan pelatihan serta pendidikan terus menerus untuk meningkatkan keterampilan.

(33)

8. Kerjasama; melaksanakan kerjasama yang baik dengan semua pihak, emmiliki ketegasan dan saling menghargai dalam bertindak untuk mendapatkan hasil yang efektif dalam menangani keluhan masyarakat.

9. Bekerja Secara Kelompok; penggabungan kemampuan serta pengalaman yang berbeda-beda dari anggota dan Tim yang mempunyai tujuan yang sama serta komitmen demi keberhasilan Lembaga Ombudsman secara keseluruhan.

I.5.4. Pelayanan Publik

I.5.4.1. Pengertian Pelayanan Publik

Produk suatu organisasi dapat berupa pelayanan dan produk fisik. Produk birokrasi publik, sebagai suatu organisasi publik adalah pelayanan publik yang diterima oleh warga pengguna maupun masyarakat secara luas. Kotler dan Anderson (dalam Dwiyanto 2005: 182) menyatakan pada level yang sangat dasar atau pelayanan dasar, sebagian besar pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat lebih mengarah pada pelayanan publik berupa jasa daripada produk yang terlihat secara fisik berupa benda (barang-barang yang diproduksi oleh pemerintah).

Menurut Dwiyanto (2005: 141) mendefenisikan pelayanan publik sebagai rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga penggunaan. Pengguna atau pelanggan yang dimaksudkan disini adalah warga negara yang membutuhkan pelayanan publik.

(34)

Laing (dalam Dwiyanto 2005: 182-183) menyebutkan ada beberapa karakteristik yang dapat dipakai untuk mendefenisikan apa yang dapat dikategorikan sebagai pelayanan publik secara terperinci, yaitu :

1. Dalam kegiatan penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, pelayanan publik dicirikan oleh addanya pertimbangan untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar dibanding dengan upaya untuk mewujudkan tujuan ekonomis. Penyediaan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah tidak didasarkan pada pertimbangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi semata, melainkan lebih banyak didasarkan pada pertimbangan untuk mewujudkan keadilan sosial (social justice) bagi masyarakat.

2. Pelayanan publik juga dicirikan oleh adanya asumsi bahwa pengguna layanan lebih dilihat posisinya sebagai warga negara daripada hanya dilihat sebagai pengguna layanan (customer) semata.

3. Pelayanan publik juga dicirikan oleh karakter pengguna layanan (customer) yang kompleks dan multi dimensional. Multidimensional tersebut tercermin dari level pemanfaat layanan yang bisa bersifat individu, keluarga, maupun komunitas.

Dari berbagai penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan publik adalah produk dari birokrasi pemerintahan berupa jasa publik (pelayanan publik) yang dimaksudkan bagi dan diberikan oleh masyarakat luas dalam hal pemenuhan kebutuhannya.

(35)

I.5.4.2. Sendi-Sendi Penyelenggaraan Publik

Adapun bentuk dan sifat penyelenggaraan pelayanan publik menurut Boediono (2003: 68-70) harus mengandung sendi-sendi; kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, keadilan, dan ketepatan waktu.

1. Keserhanaan

Yang dimaksudkan dengan bersendikan kesederhanaan meliputi mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan 2. Kejelasan dan Kepastian

Arti adanya kejelasan dan kepastian disini adalah hal-hal yang berkaitan dengan :

a. Prosedur atau tatacara pelayanan publik;

b. Persyaratan pelayanan publik, baik teknis maupun adminstratif;

c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan publik;

d. Rincian biaya/tarif pelayanan publik dan tata cara pembayarannya; e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan publik;

f. Hak dan kewajiban, baik bagi pemberi pelayanan maupun penerima pelayanan publik berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan/kelengkapan, sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan publik;

g. Pejabat yang menerima keluhan masyarakat 3. Keamanan

(36)

Artinya bahwa dalam proses dan hasil pelayanan publik dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.

4. Keterbukaan

Dengan memperhatikan prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggng jawab pemberi pelayanan publik, waktu penyelesaiannya dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan publik wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.

5. Efisien

Yang dimaksud dengan efisien disini adalah :

a. Persyaratan pelayanan publik hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan publik yang diberikan;

b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan, persyaratan dalam hal proses pelayanannyamempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait. 6. Ekonomis

Dalam arti pengenaan biaya pelayanan publik harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :

a. Nilai barang dan atau jasa pelayanan publik dan tidak menuntut biaya yang tinggi d luar kewajaran;

b. Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara publik; c. Ketentuan peraturan peundang-undangan yang berlaku

(37)

7. Keadilan

Dimaksud dengan sendi keadilan di sini adalah keadilan merata, dalam arti cakupan/jangkauan publik harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.

8. Ketepatan Waktu

Yang dimaksud dengan ketepatan waktu disini adalah pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

I.5.4.3. Indikator Kualitas Pelayanan Publik

Dalam pandangan Albrecht dalam Dwiyanto (2005: 145) kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek yaitu sistem pelayanan, sumberdaya manusia pemberi pelayanan, strategi dan pelanggan (customer). Dalam perkembangannya kualitas pelayanan publik yang mampu memberikan kepuasan pada orang yang diberikan pelayanan atau pelanggan (customer)menjadi fokus pada pelayanan publik saat ini.

Untuk mengukur kualitas produk pelayanan publik Lenvine (dalam Dwiyanto 2005: 147) memberikan tiga indikator yang harus dipenuhi dari pelayanan publik tersebut, yaitu :

1. Responsiveness atau responsivitas adalah daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan, keinginan, aspirasi, maupun tuntutan pengguna layanan. 2. Responsibility atau responsibilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan

(38)

prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar dan telah ditetapkan

3. Accountability atau akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholder dan norma-norma yang berkembangdalam masyarakat.

Sementara itu Zeithaml (dalam Dwiyanto 2005: 148) menggunakan ukuran-ukuran sebagai berikut dalam melihat kualitas pelayanan publik :

a. Bukti Langsung (tangable), yaitu meliputi fasilitas fisik, pegawai, perlengkapan dan sarana komunikasi;

b. Daya tanggap (responsiveness), yaitu suatu karakeristik kecocokan dalam pelayanan manusia yaitu keinginan para staff untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggapan;

c. Keadilan (reliability), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang menjanjikan dengan segera dan memuaskan;

d. Jaminan (assurance), yaitu mancakup kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan;

e. Empati (emphaty), yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para pelanggan.

Berdasarkan ulasan mengenai kualitas pelayanan publik di atas maka dapat diketahui bahwa untuk mengukur kualitas pelayanan publik tidak cukup hanya menggunakan indikator tunggal, tetapi harus menggunakan multi-indicator atau

(39)

indikator ganda. Kualitas pelayana publik dapat dilihat dari aspek proses pelayanan dan dari aspek output ataupun hasil pelayanan.

I.6. Definisi Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, kelompok, atau individu yang menjadi perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995:37).

1. Implementasi Kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu. Adapun indikator yang digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan dalam penelitian ini adalah implementasi yang menggunakan model Van Meter dan Van Horn yang didasarkan pada variabel-variabel berikut :

1. Standar dan Sasaran Kebijakan

2. Sumber Daya

3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas

4. Karakteristik Agen Pelaksana

5. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik

(40)

2. Kualitas pelayanan publik, yaitu kesesuaian antara harapan dan keinginan dengan kenyataan dalam pelayanan publik. Pelayanan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan publik yang dipakai Zeithaml (dalam Dwiyanto 2005: 148) dalam melihat indikator kualitas pelayanan publik seperti :

1. Bukti Langsung (tangable)

2. Daya tanggap (responsiveness)

3. Keadilan (reliability)

4. Jaminan (assurance)

5. Empati (emphaty)

1.7 Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan

Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, defenisi konsep, defenisi operasional, dan sistematika penulisan.

Bab II : Metode Penelitian

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian,

populasi, dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.

(41)

Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi penelitian.

Bab IV: Penyajian Data

Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisa, serta memuat pembahasan atau interpretasi dari data-data yang disajikan pada bab sebelumnya.

Bab V : Analisis Data

Bab ini berisi analisa dari hasil dilapangan dan dokumentasi.

Bab VI: Penutup

Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas hasil penelitian yang telah dilakukan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melihat deskripsi hasil penelitian yang memberikan informasi bahwa terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan antara kemampuan penalaran adaptif siswa

 Guru meminta masing-masing siswa dalam kelompok untuk menuliskan pertanyaan dari materi tentang struktur bumi baik yang belum diketahuinya atau bagian yang

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar siswa SMK Muhammadiyah 1 Tempel Sleman memanfaatkan media elektronik untuk

Dalam menangani masalah BOS, Tim Satgas Dapodik SMA harus memahami alur pengambilan data peserta didik dari aplikasi Dapodik, isi Juknis BOS terkait mekanisme penyaluran

į psichoanalizę, į kultūros istoriją, į lite­ ratūros kritiką. Lingvistinis mąstymas, pa­ tekęs nelingvistų žinion, suuniversalėjo, bet kartu ir

Kecenderungan penggunaan Pola Dagang Umum dikarenakan para pengusaha tidak ingin adanya sebuah hubungan yang terikat dalam waktu tertentu. Para pengusaha itu

Tanpa membuang waktu lagi, sebelum sang bangsawan berubah pikiran, Biuqbiuq segera mengeluarkan tunas pohon pisang dari dalam kantong yang diikatkan di pinggangnya.. Tunas

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pada disiplin ilmu Psikologi Konsumen, yang terkait dengan tema perilaku membeli produk di Starbucks Coffee