BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) biasanya berada pada usia 15-18 tahun yang di mana usia tersebut telah memasuki masa remaja, Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal duapuluhan tahun (Papalia, 2011). Di masa transisi ini terjadi berbagai macam perubahan seperti perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional. Perubahan biologis mencakup kondisi fisik individu sedangkan kognitif meliputi pikiran dan intelegensi sedangkan sosioemosional meliputi hubungan sosial dengan individu lain serta kepribadian dalam konteks sosial perkembangan (Santrock, 2007).
Hal yang serupa juga didefinisikan oleh World Health Organization (Sarlito,2013) memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual dan dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Secara biologis, remaja merupakan individu yang berkembang dari saat pertama kali ia memperlihatkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai ia mencapai kematangan seksual. Secara psikologis, remaja merupakan individu yang mengalami perkembangan psikologis pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Sedangkan secara sosial ekonomi, terjadinya peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif mandiri.
Tugas perkembangan masa remaja dimaknai sebagai seperangkat aktivitas baik mental maupun fisik yang harus dipelajari dan dituntaskan oleh remaja sehingga mampu menghadapi tantangan di masa depan dengan relatif mudah.
Akibat dari berbagai macam tugas perkembangan tersebut menuntut remaja untuk melakukan perubahan besar pada kehidupannya terlebih pada sikap dan perilaku agar sesuai dengan tugas perkembangannya.
Sikap dan perilaku yang ditunjukan remaja salah satunya seperti secara terbuka remaja mulai menunjukan jati diri, mulai berusaha mengeksplorasi minat bakat yang mereka miliki, mulai mengembangkan harapan dan standar perilaku diri sendiri yang sesuai dengan lingkungan sosialnya, tujuan dari tindakan tersebut salah satunya agar mereka bisa lebih mudah terbuka dalam mengekspresikan emosi serta mengungkapkan pendapatnya karena itu diperlukan sifat asertif dalam diri remaja.
Perilaku asertif adalah perilaku yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran serta perasaan. Perilaku asertif ditandai dengan kesesuaian sosial. Seseorang yang berperilaku asertif mempertimbangkan perasaan ataupun kejahatan orang lain. Adanya keterampilan sosial pada seseorang, menunjukkan adanya kemampuan untuk menyesuaikan diri (Gunarsa, 2007). Lebih lanjut Alberti dan Emmons (dalam Savitri & Efendi, 2011) menyatakan bahwa asertivitas sangat ditekankan pada bagaimana mengekspresikan hak dan kehendak individu dengan cara menyampaikan secara hormat, serta penuh penghargaan pada orang lain.
Perilaku asertif yang dimiliki remaja akan memudahkan mereka dalam bersosialisasi dengan lingkungan serta mengutarakan secara jujur apa yang dirasakan dan diinginkan sehingga terhindar dari munculnya ketegangan dan perasaan tidak nyaman akibat menyimpan sesuatu yang tidak diutarakan.
Dengan memiliki sifat asertif remaja akan dengan mudah menemukan solusi atas permasalahan mereka sehingga terhindar dari hal-hal yang negatif akibat ketidak mampuan mengatasi masalah yang dihadapi. Oleh karena itu remaja seharusnya dituntut memiliki sifat asertif agar dapat membangun hubungan yang baik dengan orang lain. Remaja yang tidak memiliki sifat asertif cenderung tidak mampu mengekspresikan perasaannya serta harapan yang dimiliki karena takut mengenai pendapat orang lain yang membuat mereka cenderung berdiam diri.
Bazlen dalam Azhari (2015) berpendapat bahwa dengan memiliki perilaku asertif memungkinkan dapat meningkatakan kemampuan adaptasi terhadap diri sendiri juga dengan lingkungan sekitar. Kemampuan remaja untuk tetap
menjadi diri sendiri saat proses adaptasi sangat dibutuhkan dengan tujuan agar mereka tidak masuk ke dalam pengembangan diri yang merugikan mereka.
Sikap asertif akan menumbuhkan rasa jujur di dalam diri remaja dalam hubungan mereka dengan sebaya. Perilaku asertif dalam diri remaja juga diperlukan dalam hubungan relasi antar teman sebaya karena adanya pengaruh yang kuat dalam hubungan pertamanan bahkan pengaruhnya lebih kuat jika dibandingkan dengan norma dan keluarga. Maka dari itu perilaku asertif penting bagi siswa SMA untuk menghindari mereka dari pengaruh yang buruk.
Berdasarkan pemaparan di atas, berikut beberapa alasan lain pentingnya bagi remaja untuk memiliki perilaku asertif, sebagai berikut: pertama, dengan memiliki perilaku asertif dapat mempermudah dalam proses bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan sebaya dan lingkungan luar dengan efektif.
Kedua, dengan memiliki perilaku asertif siswa akan mencari solusi atas permasalahannya sehingga tidak menjadi beban yang berlarut bagi mereka.
Ketiga, dengan memiliki perilaku asertif siswa dapat mengungkapkan secara langsung apa yang mereka inginkan maka mereka dapat terhindar dari perasaan tidak nyaman akibat menyimpan yang ingin diungkapkan. Keempat, dengan memiliki sifat asertif, siswa dapat membantu temannya yang berperilaku kurang tepat untuk memahami kekurangannya sendiri. Kelima dengan bersikap asertif akan meningkatkan pengetahuan siswa, meningkatkan kognitifnya dan meningkatkan rasa ingin tau terhadap suatu hal. Berdasarkan penelitian, perilaku asertif sangatlah perlu dan penting untuk remaja. Semakin tinggi asertivitas maka akan semakin tinggi kemampuan sosialisasi remaja, semakin rendah kemampuan sosialisasinya maka penyesuaian diri siswa akan semakin rendah (Solichun, 2012).
Permasalahannya, bahwa tidak semua siswa dapat berperilaku asertif. Pada masa remaja, Perilaku asertif siswa masih dalam tahap perkembangan, dan ada kemungkinan Perilaku asertif siswa berkembang menuju ke arah positif atau negatif (Hurlock. 2004:215).
Ada saatnya dimana remaja menghadapi berbagai pilihan yang membuat mereka bimbang, bahkan menimbulkan pertentangan batin dan bisa membuat remaja berperilaku buruk. Penelitian yang dilakukan oleh Family and Consumer Science dalam Erlinawati (2009) di Ohio, Amerika Serikat, menunjukkan fakta bahwa remaja kebanyakan memulai merokok karena dipengaruhi oleh temannya, terutama sahabat yang sudah lebih dulu merokok.
Remaja yang bergaul erat dengan sebayanya yang merokok akan lebih mudah untuk ikut-ikutan, terutama jika remaja rentan dengan pengaruh teman sebaya mereka. Dengan kata lain bahwa remaja yang kurang mampu melakukan komunikasi secara asertif, mereka hanya akan menjadi pengikut bagi teman- temannya.
Terdapat berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan berkomunikasi secara asertif akan mengarahkan remaja pada beberapa kualitas terpuji seperti kemampuan menghadapi permasalahan sosial, tingkat agresivitas berkurang, mencegah remaja dalam hal alkohol, dan narkoba (Cecen-Erogul&Zengel dalam Rohyati, 2015). Rohyati, juga menambahkan permasalahan yang akan muncul adalah remaja menjadi kurang mampu berkomunikasi secara asertif. Remaja akan menjadi kurang mandiri, merasa dirinya kurang berharga dan kurang percaya diri. Selain itu, remaja cenderung menganggap bahwa temannya lebih penting dari orang tua (Ginting &
Masykur, 2014).
Remaja memiliki pandangan bahwa, pengakuan dan hubungan dengan teman sebaya merupakan hal penting bagi diri mereka. Dengan terjalinnya hubungan dengan teman sebaya, salah satu hal yang harus dimiliki seorang remaja ialah perilaku asertif, hal tersebut dikarenakan dapat mempermudah remaja dalam menjalankan perannya untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, serta mampu menyelesaikan permasalahan mereka sendiri. Remaja yang tidak mampu bertahan di dalam perbedaan dengan kelompoknya, cenderung akan menghadapi permasalahan dalam mengekspresikan dirinya, mengutarakan haknya, mengkomunikasikan pikiran, perasaan dan kebutuhan mereka yang akhirnya membuat remaja terjerumus ke dalam kesamaan identitas kelompok yang mereka anggap bisa menerima dirinya.
Dengan memiliki perilaku asertif maka seseorang dapat lebih efektif dalam menyelesaikan masalah mereka yang berhubungan dengan interpersonal. Komunikasi secara langsung dan terbuka juga merupakan bagian dari perilaku asertif yang memungkinkan seseorang untuk menerima pesan tanpa gangguan. Hal tersebut sangat penting untuk dilakukan agar terjaganya hubungan interpersonal dalam lingkup lingkungan sosial.
Fenomena sosial yang ada menunjukkan bahwa emosi selalu memiliki peran ketika seseorang melakukan suatu perilaku termasuk dalam perilaku asertif (Widyaningrum, 2013). Pendapat tersebut didukung oleh penelitian yang menjelaskan bahwa salah satu hal yang berkontribusi pada perilaku asertif adalah kematangan emosi (Akbari&Lengkong, 2012).
Dapat dikatakan di dalam hal ini, kurangnya perilaku asertif dapat dikaitkan dengan kematangan emosi siswa yang belum sempurna.
Kematangan emosi adalah suatu kemampuan individu untuk mengendalikan emosinya secara tepat agar dapat diterima oleh diri sendiri dan orang lain di dalam situasi sosial. Kematangan emosi diperlukan bagi setiap individu dikarenakan setiap individu memiliki pandangan yang berbeda yang bisa memungkinkan timbulnya sebuah konflik (Gunawan & Sukarna, 2016).
Dalam hal ini Konflik yang timbul tersebut salah satunya dapat berupa kurangnya perilaku asertif pada diri individu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kurang asertif bisa menjadi dampak akibat emosional yang belum matang.
Kematangan emosi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku asertif pada individu. Kematangan emosi yang baik salah satunya ditandai dengan kemampuan bersikap asertif, toleran dan merasa nyaman, luwes dalam bergaul, interdependensi dan mempunya harga diri, mampu mengontrol diri sendri, perasaan mau menerima diri dan orang lain, serta mampu menyatakan emosi secara konstruktif dan kreatif (Jahja, 2011).
Sebelumnya terdapat penelitian yang dilakukan oleh Ainiyah, Priyatama, dan Setyanto (2017) yaitu tentang pengaruh pelatihan asertif untuk meningkatkan kematangan emosi remaja kelas X Pondok Pesantren Darul
Ulum Jombang. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kematangan emosi dan pemberian pelatihan asertif saling mempengaruhi. Peningkatan skor kematangan emosi yang dialami oleh subjek menunjukkan bahwa subjek memiliki asertif yang baik. Hal ini dibuktikan dari kemampuan subjek dalam memahami perilaku asertif yaitu untuk mengungkapkan perasaan seseorang dan menegaskan hak-hak seseorang tetap menghargai perasaan dan hak orang lain. Subjek juga mampu memberikan pernyataan tentang perasaan, keinginan dan kebutuhan pribadi kemudian menunjukkan kepada orang lain dengan penuh percaya diri.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Silaen (2015) juga diperoleh korelasi yang positif antara regulasi emosi dengan perilaku asertif, sehingga apabila regulasi emosi semakin tinggi akan memiliki perilaku asertif yang semakin tinggi pula. Senada dengan penuturan oleh HealthyPlace (2010) bahwa orang yang tidak tegas secara emosional akan menjadi tidak jujur, tidak langsung, menyangkal diri, dan dihambat.
Selain kematangan emosi, ada faktor yang lain yang mempengaruhi perilaku asertif seseorang yakni harga diri. Perilaku asertif pada siswa muncul karena adanya penghargaan diri yang positif (self esteem) terhadap dirinya yang dapat menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang dilakukan itu sangat berharga dan apa yang diharapkan oleh remaja dapat dipenuhi dengan cara mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya (Rosita, 2007).
Sesuai dengan penuturan Rakos dalam Amalia (2014) bahwa diperoleh beberapa sebab yang mempengaruhi perilaku asertif, yaitu jenis kelamin, harga diri (self-esteem), kebudayaan, tingkat kepribadian dan pendidikan, situasi tertentu tipe di lingkungan sekitar. Harga diri menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku asertif.
Menurut Coopersmith (dalam Wardhani, 2009) harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai dirinya sendiri, dimana evaluasi diri tersebut merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya serta perlakuan orang lain terhadap dirinya. Evaluasi ini ditunjukkan dengan sikap setuju atau tidak setuju, tingkat keyakinan individu terhadap dirinya sendiri
sebagai orang yang mampu, penting, berhasil, serta berharga atau tidak.
Apabila lingkungan memandang individu cukup mempunyai arti, maka akan mendorong terbentuknya harga diri yang baik. Namun apabila individu dipandang tidak berarti oleh lingkungannya, maka akan mendorong terbentuknya harga diri yang rendah.
Selain itu harga diri mempunyai peranan penting dalam kemunculan perilaku asertif, karena remaja yang memiliki tingkat harga diri tinggi cenderung tidak memiliki kekhawatiran yang besar terhadap penilaian orang lain. Sehingga ia mampu untuk lebih bersikap asertif. Harga diri memiliki peran terhadap perilaku asertif, seperti keyakinan serta kepercayaan seseorang pada dirinya bahwa ia adalah seorang yang mampu, seseorang yang berarti, dan seseorang yang bisa meraih apa yang ia inginkan, pada akhirnya melahirkan suatu penilaian terhadap diri sendiri. Penilaian tersebut bisa positif dan bisa pula negatif, yang disebut sebagai harga diri.
Harga diri yang terbentuk pada individu berdasarkan pada kemampuan individu tersebut menentukan sikap terhadap suatu masalah dan keputusan individu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, dengan kata lain yang berarti individu menentukan bagaimana corak perilaku seseorang. Remaja akan mengutarakan perasaan positif dan perasaan negatif dengan jujur serta langsung melalui sikap asertif, dengan demikian mahasiswa diharapkan juga akan mampu menunjukkan harga diri, kepercayaan diri, sekaligus rasa hormat kepada orang lain. Dengan memiliki perilaku asertif, seseorang membebaskan diri dari mayoritas orang yang berperilaku tunduk.
Berdasarkan dari fenemona dan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan kajian ilmiah mengenai hubungan kematangan emosi dan harga diri dengan perilaku asertif siswa kelas X di SMA Kartini 1 Jakarta Pusat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah ada hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku asertif pada siswa kelas X di SMA Kartini 1 Jakarta Pusat?
2. Apakah ada hubungan antara harga diri dengan perilaku asertif pada siswa kelas X di SMA Kartini 1 Jakarta Pusat?
3. Apakah ada hubungan antara kematangan emosi dan harga diri dengan perilaku asertif pada siswa kelas X di SMA Kartini 1 Jakarta Pusat?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku asertif pada siswa kelas X di SMA Kartini 1 Jakarta Pusat?
2. Untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan perilaku asertif pada siswa kelas X di SMA Kartini 1 Jakarta Pusat?
3. Untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dan harga diri dengan perilaku asertif pada siswa kelas X di SMA Kartini 1 Jakarta Pusat?
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu, informasi maupun pengetahuan lebih pada bidang Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan. Serta diharapkan dapat membantu untuk dijadikan referensi di kalangan akademis dalam mengerjakan penelitian selanjutnya mengenai hubungan kematangan emosi dan harga diri dengan perilaku asertif.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa SMA Kartini 1 Jakarta Pusat
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu membantu para remaja khususnya siswa kelas X SMA Kartini 1 Jakarta Pusat untuk dapat
mengetahui pentingnya mengelola kematangan emosi dan harga diri pada perilaku asertif yang mereka lakukan.
b. Bagi Masyarakat dan Peneliti
Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan serta kontribusi positif pada masyarakat dalam mengetahui pentingnya perilaku asertif dan menjadi sumber inspirasi maupun rujukan pada penelitian selanjutnya.