• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, selanjutnya disingkat UUD NKRI Tahun 1945 mengatur bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap propinsi kabupaten dan kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur dengan undang-undang. Menurut H Siswanto Sunarno bahwa dalam teritorial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturen delanschapen dan volksgemeen schappen, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Pelembang dan sebagainya. Daerah- daerah itu mempunyai susunan asli dan karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat Istimewa1.

Menurut catatan M Yamin dalam sidang Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, selanjutnya disingkat BPUPKI, 29 MEI 1945, yaitu :

Negeri, Desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan sebagai bagian bahwa, antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai

1H siswanto Sunanrno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

(2)

Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Pemerintahan urusan dalam, pamong praja.2

Roeslan Saleh berpendapat terkait pembagian daerah besar dan kecil di Indonesia sebagai berikut:3

Desa dan satuan Pemerintahan asli lainnya semacam desa dan zelfstandinge gemeenteschappen adalah daerah-daerah yang bersifat istimewa. Dalam hal ini Soepomo tidak secara tegas menyatakan zelfstandinge gemeenteschappen itu adalah daerah besar. Meskipun demikian secara konkrit, karena tidak dimasukan sebagai daerah kecil maka dapat disimpulkan bahwa zelfstanding gemeenteschappen adalah daerah besar. Dengan demikian susunan daerah Indonesia hanya akan terdiri dari dua susunan, yaitu Daerah Besar yang dicerminkan oleh zelfstandinge gemeenteschappen dan Daerah Kecil berupa Desa dan satuan lain semacam desa.

Menurut Mashuri Mashcab, apabila membicarakan “desa” di Indonesia, Maka sekurang-sekurangnya akan menimbulkan 3 (tiga) macam penafsiran atau pengertian, yaitu:

Pertama, pengertian secara sosiologis, yang menggambarkan suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang tinggal dan menetap dalam suatu lingkungan, dimana mereka saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif homogen.

2M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Siguntung, Jakarta, 1971, hal 100

3Roeslan Saleh, penjabaran dan UUD 45 Dalam perundang-undangan, Aksara Baru,

(3)

Kedua, pengertian secara ekonomi desa sebagai suatu lingkungan masyarakat yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari apa yang disediakan alam disekitarnya.

Ketiga, pengertian secara politik dimana “desa” sebagai suatu organisasi Pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politik mempunyai wewenang tertentu karena merupakan bagian dari Pemerintahan Negara. Dalam pengertian yang ketiga ini desa dirumuskan sebagai “suatu kesatuan masyarakat hukum yang Berkuasa Menyelenggarakan Pemerintahan sendiri”4

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, selanjutnya disingkat UU No.6/2014 pada pasal 1 ayat (1), mengatur bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perhatian Pemerintah ini pada dasarnya tidak lepas dari kondisi kebutuhan pembangunan dewasa ini dimana aparat sebagai unsur aparatur negara memiliki dedikasi dan kualitas yang tinggi sehingga mampu menghadapi berbagai kesulitan yang akan muncul dalam proses pembangunan. Penyelenggaraan urusan

4Mashuri Mashcab, politik Pemerintahan desa, polGov fisipol UGM, Yogyakarta, hal.1-

(4)

Pemerintahan Desa, dilakukan oleh Pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, inilah yang kemudian menjadi dasar dan tujuan dari Pemerintahan Desa dalam melaksanakan segala kebutuhan masyarakat termasuk melaksanakan pengelolaan keuangan desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, selanjutnya disingkat Permendagri 20/2018 diterbitkan dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan pasal 106 Peraturan Pemerintahan Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, selanjutnya disingkat PP No.43/2014, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, selanjutnya disingkat PP No. 47/2015, perlu membentuk Peraturan Menteri tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Pasal 9 ayat (1) Permendagri No. 20/2018 ini mengatur pada bahwa APB Desa terdiri dari:

a. Pendapatan desa b. Belanja desa dan c. Pembiayaan desa

Pasal 11 ayat (2) PP No.47/2015 mengatur bahwa yang dimaksudkan dengan pendapatan desa ialah pendapatan asli desa, pendapatan transfer dan pendapatan lain- lain. Pasal 12 ayat (1) PP No. 47/2015 menyatakan bahwa pendapatan asli desa antara lain sebagai berikut:

(5)

a. Hasil usaha desa b. Hasil aset

c. Swadaya, partisipasi, gotong royong, dan d. Dan pendapatan asli desa lain-lain.

Pasal 12 ayat (3) dan (4) Permendagri No.20/2018 ini dengan tegas mengatur bahwa hasil aset adalah tanah kas desa, tambatan perahu, pasar desa, tempat permandian umum, jaringan irigasi, dan hasil aset lainya berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Serta swadaya, partisipasi dan gotong royong adalah penerimaan desa berasal dari sumbangan masyarakat desa. Pengelolaan Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa, selanjutnya disingkat Permendagri No.113/2014 dan Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pembangunan Desa, selanjutnya disingkat Permendagri No.114/2014 yang mengatur bahwa “semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa”.

Kepala Desa menurut UU No.6/2014 bagian kedua tentang Kepala Desa pasal 26 angka (1) mengatur bahwa Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintah Desa, melaksanakan Pembagunan Desa, Pembinaan kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan masyarakat Desa. Sedangkan, Pasal 26 ayat (2) dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang:

(6)

a. Memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa;

b. Mengagkat dan memberhentikan perangkat Desa;

c. Memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan Aset Desa;

d. Menetapkan Peraturan Desa;

e. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;

f. Membina kehidupan masyarakat Desa;

g. Membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;

h. Membina dan meningkatkan perekonomia Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar-sebarnya bagi kemakmuran masyarakat Desa;

i. Mengembangkan sumber pendapatan Desa;

j. Mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagai kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;

k. Mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa;

l. Memanfaatkan teknologi tepat guna;

m. Mengkoordinasikan pembangunan Desa secara partisipatif;

n. Mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakiliNya sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan;

o. Melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7)

(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak:

a. Mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;

b. Mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;

c. Menerima menghasilkan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan;

d. Mendapatkan perlindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan;

dan

e. Memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainya kepada perangkat Desa.

(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban:

a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal ika;

b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;

c. Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;

d. Menaati dan menegakkan Peraturan perundang undangan;

e. Malaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;

(8)

f. Melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;

g. Menjalani kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;

h. Menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik;

i. Mengelola keuangan dan aset Desa;

j. Melaksanakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;

k. Menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa;

l. Mengembangkan perekonomian masyarakat Desa;

m. Membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;

n. Memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;

o. Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan

Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka dapatlah dijelaskan hal yang Menyimpang yang terjadi pada Desa Luang Timur kecamatan Mdona Hyera Kabupaten Maluku Barat Daya bahwa Aparatur Pemerintah Desa tidak tanggap terhadap kebutuhan fundamental masyarakat dalam peningkatan Pendapatan Asli Desa melalui Pemungutan Desa. Terjadi Pengambilan Keputusan Tentang Pemungutan Desa oleh Kepala Desa hanya Berdasarkan Hasil Putusan Rapat Perangkat Desa saja.

(9)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan untuk dikaji adalah sebagai berikut:

1. Apakah Kepala Desa Berwenang melakukan Pemungutan Desa hanya Berdasarkan Hasil Putusan Rapat Perangkat Desa saja?

2. Apa Akibat Hukum jika Pemungutan Desa dilakukan hanya Berdasarkan Hasil Putusan Rapat Perangkat Desa saja?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian pada penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisa dan mengetahui kewenangan Kepala Desa dalam melakukan Pemungutan Desa

2. Untuk menganalisa dan mengetahui Akibat Hukum jika Kepala Desa melakukan Pemungutan Desa hanya berdasarkan hasil putusan Rapat Perangkat Desa saja.

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat disimpulkan menjadi dua, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis, dengan penjelasan sebagai berikut;

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan berkontribusi bagi perkembangan Ilmu Hukum khususnya di bidang Hukum Tata Negara / Hukum

(10)

Administrasi Negara terkait kewenangan Kepala Desa Dalam Pemungutan Desa.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara prakstis bagi Pemerintah, pihak-pihak terkait termasuk masyarakat tentang Kewenangan Kepala Desa dalam melakukan Pemungutan Desa.

E. Kerangka Konseptual 1. Negara Hukum

Plato memberikan perhatian dan arti yang lebih tinggi pada hukum dalam bukunya Nomoi. Menurutnya penyelenggaraan Pemerintahan yang baik ialah yang diatur oleh hukum.5 Aristoteles kemudian melanjutkan cita-cita Plato tersebut dengan berpendapat bahwa Suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konsitusi dan berkedaulatan hukum.6

Menurut Frans Magnis Suseno, bahwa dari segi politik ada empat alasan utama untuk menuntutkan agar negara diselenggarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum: 1) kepastian hukum, 2) tuntutan perlakuan yang sama, 3) legitimasi demokratis, 4) tuntutan akal budi.7A.v.Dicey mengemukakan 3 arti dari the rule of law sebagai berikut.8

5Ni Matul Huda, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hal . 91.

6Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,1983,hal.109

7 Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Keagaman Moderen, Granmedia Persada Utama, Jakarta, 1999,hal.295-298.

(11)

1. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbirary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau discretionary power yang luar dari Pemerintah;

2. Persamaan dihadapan hukum atau kedudukan yang sama dari semua golongan kepala ordinary of law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court: ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, tidak ada peradilan administrasi negara.

3. Konsitusi adalah hasil dari ordinary of law of the land bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.

Menurut Wirjono Protjodikoro negara hukum berarti suatu negara yang di dalam wilayahnya adalah9:

1. Semua alat perlengkapan dari negara, kususnya alat-alat perlengkapan dari Pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang wenang melainkan harus memperhatikan Peraturan-Peraturan hukum yang berlaku.

2. Semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan tunduk pada Peraturan-Peraturan hukum yang berlaku.

9Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Eresco, Bandung, 1971, hal. 38

(12)

Selain itu, J.B.J.M. ten Berge menyebutkan prinsip-prinsip negara hukum adalah sebagai berikut:

1. Asas legalitas

2. Perlingdungan hak asasi

3. Pemerintahan terikat pada hukum

4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakkan hukum 5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka.10

Hal tersebut diatas tidak jauh berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh H.D.van Wijk/ willem konijnenbelt menyebutkan prinsip-prinsip rechtstaat sebagai berikut:

a. Pemerintahan berdasarkan undang-undang b. Hak-hak asasi

c. Pembagian kekuasaan

d. Pengawasan lembaga kehakiman.11

R. Djokosutomo mengatakan12, bahwa Negara Hukum menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah berdasarkan pada Kedaulatan Hukum. Menurut Aristoteles suatu negara yang baik adalah negara yang di perintahkan oleh konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada 3 unsur Pemerintahan berkonstitusi, yaitu:13

10Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal 9.

11Ibid. hal 10.

12R. Djokosutomo, Hukum Tata Usaha Negara, Pradjaya Paramitha, Jakarta, 2000, hal 23.

(13)

a. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum,

b. Pemerintahan yang dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum bukan hukum yang dibuat secara sewenang wenang yang menyampaikan konvensi konstitusi:

c. Pemerintahan berkonstitusi berarti Pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berarti paksaan tekanan yang dilaksanakan despotik.

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia Negara Hukum’’

Negara Hukum dimaksud adalah negara yang menegahkan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggung jawabkan.

2. Kewenangan

Philipus M. Hardjon berpendapat bahwa istilah Wewenang atau Kewenangan di sejajarkan dengan bevoeghied, tetapi mempunyai perbedaan karakter. Bevoeghied digunakan dalam hukum publik dan hukum privat, sedangkan wewenang selalu digunakan dalam hukum Publik Henc van Maarseven yang menyatakan bahwa: dalam hukum tata negara, wewenang (bevoeghied) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtmachat).

(14)

Jemmy Jefry Pietersz14dalam Disertasinya yang berjudul Pengujian Dalam Penggunaan Kewenangan Pemerintahan menegaskan bahwa Filosofi pengujian kewenangan Pemerintah merupakan konsekuensi dari adanya prinsip Negara hukum yang menjadi dasar tumpuan penyelenggaraan Pemerintahan, memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan pembatasan dalam Penggunaan Kewenangan Pemerintahan.

Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang terdiri atas sekurang- kurangnya 3 komponen yaitu:

a. pengaruh b. dasar hukum

c. konformitas hukum.15

Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan konformitas. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. komponen ini dimaksudkan agar pejabat negara tidak menggunakan wewenangnya di luar tujuan yang ditentukan oleh Peraturan perundang-undangan.16

14 Jemmy jefry pietersz dalam disertasinya yang berjudul pengujian dalam penggunaan kewenangan Pemerintahan (2017)

15Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang. Petang Hukum Administrasi, Tahun 1997/1998.

Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya, 1998, hal.2

(15)

Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjukan dasar hukumnya. Komponen ini bertujuan bahwa setiap tindak Pemerintah atau Pejabat Negara harus selalu mempunyai dasar hukum dalam bertindak. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).17

Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari Peraturan perundang- undangan ini diperoleh melalui 3 cara, yaitu:

a. Atribusi b. Delegasi c. Mandat18

Atribusi dalam istilah hukum diterjemahkan sebagai pembagian (kekuasaan): dalam kata atributie van rechtmacht, pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (kompentensi mutlak), sebagai lawan dari distributie van rechtmacht.19 salah satu kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang kepada Pemerintah atau atribusi mengenai pengertian atribusi, Indoharto20mengemukakan bahwa yang di maksud dengan atribusi adalah pemberian wewenang Pemerintah

17Ibid

18Ibid

19 H. Jurnarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dsn Kebijakan Layanan Publik, Nuansa Cendekia, Bandung, 2019, hal. 138-139.

20 Indroharto, Usaha Memahmi Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar

(16)

yang baru oleh suatu ketentuan dalam perundang- undangan baik yang dilakukan oleh original legislator atau pun delegated legislator.21

HD van Wijk mendefinisikan Delegasi adalah penyerahan wewenang Pemerintah dari suatu badan atau pejabat Pemerintahan kepada badan atau pejabat Pemerintahan lain22. lebih lanjut van wijk menjelaskan bahwa wewenang yang didapat dari delegasi dapat didelegasikan lagi kepada subdelegetaris.23

Mandat adalah wewenang yang di dapat melalui atribusi dan delegasi biasa dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan jika pejabat yang memperoleh wewenang itu tidak sanggup untuk melakukan sendri24 HD van Wijk berpendapat menjelaskan arti mandat adalah suatu organ Pemerintahan mengijinkan kewengannya dijalankan oleh organ Pemerintahan lain atas namanya.25

Berdasarkan pasal 1 ayat (5) undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi Pemerintahan (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 nomor 292, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5601), selanjutnya disingkat UU. No 30/2014 mendefinisikan wewenang adalah hak yang dimiliki oleh badan dan/atau pejabat Pemerintahan atau penyelengara negara lainya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelengaran Pemerintahan. Selanjutnya, pasal angka (6) UU. No. 30/2014 mendefenisikan kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut kewenangan adalah kekuasan

21N.E. Agra, dkk, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, hal. 36.

22H Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudjarat, Op. Cit. Hal 138.

23Ibid.

24Ibid., hal. 139.

(17)

badan dan/atau pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainya untuk bertindak dalam rana hukum publik.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam mengkaji permasalahan ini adalah jenis penelitian hukum normatif.

2. Pendekatan Masalah

Menurut Peter Mahmud Marzuki, permasalahan dapat didekati berdasarkan Peraturan perundang-undangan (statuta Approach), sejarah hukum (historical Approach), pandangan atau doktrin para pakar di bidang ilmu hukum (conceptual Approach).

Berdasarkan Peter Mahmud Marzuki, maka penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statuta Approach) dan pendekatan konsep (conceptual Approach).

3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang gunanya dalam penelitian ini berupa:

a. Bahan hukum primer

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Dan Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa;

(18)

- Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa;

- Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

- Peraturan Mentri Dalam Negeri nomor 20 tahun 2018 tentang pengelolahan dana desa;

b. Bahan hukum sekunder

Sebagai bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk srikpsi hukum dan jurnal-jurnal hukum.

c. Bahan hukum Tersier

Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum ini prosedur yang dilakukan adalah mengumpulkan bahan hukum primer berupa aturan hukum yang terkait dengan permasalahan terlebih dahulu lalu dikaitkan dengan bahan hukum sekunder melalui buku-buku, koran, artikel, jurnal atau karya tulis para pakar hukum, kemudian dihubungkan dengan fakta hukum peristiwa hukum, dan akibat hukum 5. Analisis Bahan Hukum

(19)

Bahan hukum yang di peroleh dari bahan hukum primer dan bahan sekunder akan diolah dan dianalisa berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas dan konkrit terhadap objek yang di bahas secara kualitatif dan selanjutnya bahan hukum tersebut disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitanya dengan penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menguraikan secara jelas seluruh isi penelitian proposal, ini maka penulis membagi penulisan proposal ini menjadi beberapa bagian. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab 1 yang merupakan pendahuluan yang menguraikan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II yang merupakan hasil dan pembahasan untuk menjawab rumusan permasalahan pertama.

Bab III yang merupakan hasil dan pembahasan untuk menjawab rumusan masalah kedua.

Bab IV yang merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

UNDANG-UNDANG : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan Secara