BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian, maksud dan tujuan penelitian, ringkasan penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan, serta kebaruan dari penelitian.
A. Latar Belakang
Permasalahan pengelolaan persampahan merupakan persoalan yang belum dapat terselesaikan sepenuhnya hingga saat ini. Persoalan tersebut tidak hanya dalam skala lokal dan regional saja namun sudah menjadi persoalan pada tingkat nasional. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, peningkatan taraf sosial ekonomi masyarakat, perubahan pola konsumsi masyarakat serta berubahnya pola penanganan kemasan produk merupakan faktor-faktor yang mengakibatkan peningkatan jumlah timbulan serta perubahan karakteristik sampah di Indonesia. Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2020), timbulan sampah di Indonesia mencapai 68.297.846,46 juta ton/tahun dan diperkirakan akan semakin meningkat hingga 71 juta ton/tahun pada tahun 2025.
Pertumbuhan jumlah timbulan sampah yang semakin meningkat menuntut sistem pengelolaan yang semakin baik. Perbaikan sistem tersebut mengacu pada tujuan pengelolaan sampah yaitu menghilangkan dampak negatif sampah sekaligus meningkatkan dampak positifnya, melalui pemanfaatan sampah sebagai sumber daya. Perbaikan perlu dilakukan pada semua aspek dalam sistem pengelolaan sampah yang meliputi aspek teknik operasional, peraturan perundangan, kelembagaan, pembiayaan dan peran serta masyarakat. Aspek teknik operasional sendiri terdiri atas sub-sistem pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan dan pemrosesan akhir. Tanpa pengelolaan yang memadai sampah akan
menghasilkan dampak negatif bagi kesehatan manusia dan lingkungan yang berupa munculnya bau, pencemaran yang diakibatkan oleh lindi, vektor penyakit (lalat, tikus), terbentuknya gas karbon dioksida dan metana serta gangguan estetika lingkungan. Dampak negatif tersebut berpotensi muncul pada setiap sub-sistem yang ada dalam sistem teknik operasional pengelolaan sampah (pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan dan pembuangan akhir).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengelola sampah dengan tujuan mengurangi dampak negatif dari sampah. Dimulai dengan upaya untuk melakukan pengurangan sampah dari sumber melalui program 3R (reduce, reuse dan recycle), pengomposan, pembakaran sampah (insinerator) serta pembuangan sampah pada tempat pembuangan akhir sampah (landfilling). Masing-masing pilihan metode tersebut memilki kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya pada sistem pengelolaan sampah. Faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan metode-metode tersebut adalah faktor biaya dan kemudahan penerapan di lapangan. Berdasarkan data Sekretariat Adipura KLHK pada tahun 2015, sebanyak 66,39%
sampah yang dihasillkan oleh masyarakat dibuang di tempat pemrosesan akhir sampah (TPA), sedangkan selebihnya ditimbun, dijadikan kompos, dibuang ke sungai atau dibakar.
Dari semua pilihan metode yang tersedia, metode pembuangan akhir sampah di TPA merupakan metode yang paling dapat diterima dan paling banyak digunakan dalam sistem pengelolaan sampah di Indonesia (gambar 1).
Gambar 1. Metode Pengelolaan Sampah di Indonesia (Sumber, KLHK 2015)
Metode pembuangan akhir yang paling banyak dioperasikan di Indonesia adalah metode pembuangan terbuka atau open dumping, dimana sampah hanya dibuang pada lokasi TPA tanpa pengelolaan lebih lanjut. Penggunaan metode open dumping mengakibatkan dampak negatif sampah yang berupa cairan sampah/lindi yang berpotensi mencemari air tanah dan air permukaan, produksi gas metana (CH4) dan karbondiaksida (CO2) yang merupakan gas rumah kaca, munculnya bau, vektor penyakit (lalat, burung, tikus dll) serta permasalahan sosial yang berupa penolakan dari masyarakat yang berdekatan dengan lokasi TPA. Banyak TPA yang pada awalnya didesain sebagai lahan urug saniter atau sanitary landfill yang dilengkapi dengan sarana pengelolaan lindi dan pengelolaan gas. Namun banyak di antara TPA tersebut yang akhirnya tidak dapat beroperasi sebagaimana yang diharapkan sebagai sebuah lahan
urug saniter (sanitary landfill). Ketersediaan sarana pengolah lindi yang memadai merupakan salah satu syarat yang harus dimilki oleh sebuah lahan urug saniter.
Gambar 2 menunjukkan, dari seluruh TPA yang beroperasi di Indonesia 47% tidak memilIki sarana pengolah lindi dan dari semua TPA yang memiliki sarana pengolah lindi 42% memiliki sarana pengolah lindi yang berfungsi, sedangkan 10% memiliki sarana pengolah lindi namun tidak berfungsi. Dari seluruh sarana pengolah lindi yang berfungsi, 31% merupakan pengolahan dengan metode fisika, 9% pengolahan kimia dan 2% merupakan pengolahan biologi. Tingginya biaya perawatan dan operasional, kurangnya dukungan teknis serta kurangnya sumber daya manusia merupakan faktor-faktor yang menyebabkan tidak berfungsinya sarana pengolah lindi yang terdapat di TPA.
47%
42%
10%
31%
9%
2%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
50%
Tidak Ada Ada (Berfungsi) Ada (Tidak Berfungsi)
Ada (Berfungsi)-Pengolahan Fisika Ada (Berfungsi - Pengolahan Kimia Ada (Berfungsi) - Pengolahan Biologi
Gambar 2. Fasilitas Pengumpul Lindi pada TPA di Indonesia Sumber : Statistik persampahan Indonesia (KLH, 2008)
Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam undang-undang tersebut istilah Tempat Pembuangan Akhir sampah dirubah menjadi Tempat Pemrosesan Akhir sampah yang didefinisikan sebagai tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan. Definisi tersebut membawa konsekuensi berupa keharusan perubahan metode operasional TPA dari metode pembuangan terbuka (open dumping) menjadi lahan urug saniter (sanitary landfill). Lahan urug saniter adalah sebuah TPA yang dirancang untuk mencegah dampak negatif yang muncul akibat cemaran lindi dan gas yang dihasilkan oleh timbunan sampah dalam TPA. Prinsip desain yang diharuskan dalam lahan urug saniter adalah sistem pewadahan/penampungan sampah dengan mencegah keluarnya lindi dari TPA dengan menggunakan lapisan kedap air/liner (natural/sintetis), fasilitas pengumpul dan pengolah lindi, pengelolaan gas, sistem drainase (sementara/permanen), penutup harian, hingga rencana penutupan akhir TPA.
Lindi merupakan materi utama yang dihasilkan oleh sebuah TPA selain produksi gas, yang merupakan hasil perkolasi air dalam timbunan sampah (Rendra, 2007). Air yang masuk ke dalam tumpukan sampah yang kemudian melarutkan material yang ada di dalamnya menghasilkan lindi. Kualitas lindi yang dihasilkan sangat tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam timbunan sampah termasuk kandungan air awal dari sampah (Al-Yousfi, 1992). Lindi banyak mengandung materi-materi organik dan anorganik, serta zat-zat pencemar lain yang terkandung dalam timbunan sampah sehingga lindi yang dihasilkan oleh sebuah TPA harus diolah terlebih dahulu sebelum masuk ke badan lingkungan. Metode pengelolaan lindi yang lazim dilakukan pada TPA di Indonesia adalah metode pengelolaan secara off-site atau lindi dikumpulkan terlebih dahulu kemudian disalurkan menuju instalasi
pengolah lindi untuk diolah baik secara fisika, kimia, biologi maupun gabungan ketiganya.
Pengelolaan lindi secara off-site memiliki konsekuensi tingginya biaya yang harus dikeluarkan pada proses pengolahannya, yang ditimbulkan oleh biaya operasi dan perawatan seperti biaya sumber daya manusia, bahan habis pakai, peralatan, sumber energi dan lain-lain.
Alternatif metode pengelolaan lindi yang lain adalah metode pengelolaan secara on-site atau in-situ yang merupakan pengolahan lindi dengan cara mengalirkan kembali lindi yang dihasilkan ke dalam tumpukan sampah. Metode ini memungkinkan tumpukan sampah sekaligus berfungsi sebagai bioreaktor. TPA bioreaktor didefinisikan sebagai sistem penampungan sampah yang dibangun dalam skala yang sama dengan sebuah TPA pada umumnya, yang dilengkapi dengan sistem percepatan dekomposisi sampah secara biologis melalui pengontrolan terhadap kadar air sampah dalam TPA (Miller et al. 1994). Penelitian mengenai TPA yang berfungsi sebagai bioreaktor telah dilakukan selama lebih dari 20 tahun.
Penelitian ini telah dilakukan pada reaktor berskala laboratorium (laboratory-scale reactors), berskala percontohan (pilot-scale lysimeters), hingga berskala penuh pada TPA (full-scale demonstration). Hasil studi menunjukkan bahwa pengoperasian bioreaktor mampu mengendalikan proses dekomposisi sampah dalam TPA serta meminimalkan resiko jangka panjang terhadap manusia dan lingkungan (Reinhart dan Townsend, 1998). Selain itu berdasar berbagai penelitian sebelumnya, pengoperasian resirkulasi lindi ke dalam timbunan sampah dapat memberikan berbagai keuntungan seperti meningkatkan kelembaban dalam sampah, mempercepat biodegradasi, mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk proses stabilisasi, mengurangi total volume dan konsentrasi lindi yang harus diolah setelah TPA ditutup, meningkatkan laju dan total produksi gas, mempercepat pertumbuhan populasi mikroba, meningkatkan distribusi nutrien dan enzim, pengontrolan pH, pengenceran material
yang menjadi penghambat laju dekomposisi (inhibitors), daur ulang dan distribusi bakteri metanaogens, penyimpanan lindi serta meningkatkan peluang terjadinya penguapan lindi (Pohland & Yousfi, 1994; Miller et al., 1994; Reinhart dan Townsend, 1998; Warith, 1999;
Rendra, 2007). Hal yang sama juga ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Demir et al. dalam Chen & Cheng (2005) yang meneliti pengaruh resirkulasi lindi terhadap laju produksi metana pada lahan urug. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan laju dekomposisi sampah dalam reaktor dengan perlakuan resirkulasi lindi meningkat 79% dibandingkan pada reaktor tanpa resirkulasi lindi.
Dari berbagai temuan di atas dapat dirangkum bahwa TPA yang dioperasikan dengan metode resirkulasi lindi mempunyai kelebihan sebagai berikut :
1. Mempercepat proses dekomposisi sampah sehingga mempercepat waktu stabilisasi sampah;
2. Mempercepat pembongkaran sel/zona dalam sebuah lahan TPA untuk digunakan kembali sebagai sel sampah baru (reusable landfill);
3. Dengan perencanaan yang tetap metode reusable landfill akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kebutuhan akan lahan TPA baru;
Penelitian yang terkait dengan resirkulasi lindi dalam timbunan sampah telah banyak dilakukan baik dalam skala laboratorium, skala percontohan maupun dalam skala lapangan.
Penelitian-penelitian tersebut banyak dilakukan di negara-negara Amerika dan Eropa, yang karakteristik sampahnya memiliki kadar air yang relatif rendah. Beberapa penelitian tersebut adalah sebagai berikut: Rendra (2007) melakukan penelitian dalam skala laboratorium yang bertujuan untuk membandingkan laju dekomposisi sampah dalam bioreaktor aoerobik dan
anaerobik. Kadar air dari sampah yang diteliti sebesar 20,2 %. Warith (1999) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh resirkulasi lindi terhadap proses dekomposisi sampah. Sampel sampah yang digunakan memiliki kadar air 9,8 %. Al-Yousfi (1992) membuat permodelan komposisi lindi dan gas yang dihasilkan dalam sebuah TPA dengan menggunakan sampel sampah yang memiliki kadar air 25,2%. Doedens dalam Reinhart dan Townsend (1998) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh resirkulasi lindi terhadap emisi pencemar organik dan anorganik dengan menggunakan sampah dengan kadar air 24-31%.
Penyebab terjadinya variasi kadar air dalam timbunan sampah dalam sebuah TPA adalah musim, kelembaban udara serta karakteristik sampah. Kadar air sampah yang lebih tinggi akan terjadi pada musim penghujan dibandingkan yang terjadi pada musim kemarau.
Kelembaban udara tinggi, yang banyak terjadi pada negara-negara tropis, juga akan mempengaruhi kadar air yang terkandung dalam sampah.
Sampah di Indonesia memiliki kadar air yang tinggi (rata-rata 60%) (Darmasetiawan, 2004). Berdasarkan uji pendahluan terhadap sampah yang dihasilkan di Kota Semarang, kadar air yang terkandung pada tempat pembuangan sementara (TPS) dan di TPA sebesar 75% dan 55%. Dengan kadar air yang tinggi tersebut, dalam kondisi tertentu kadar air dalam sampah dapat mencapai field capacity sampah. Field capacity merupakan kemampuan timbunan sampah dalam menampung air. Qasim dan Chiang (1994) mendefinisikan field capacity sebagai kelembaban maksimum yang bisa dipertahankan tanpa adanya perkolasi terus- menerus ke bawah oleh gravitasi. Indikator terlampauinya field capacity sampah di Indonesia dapat dilihat pada perlindian yang sudah terbentuk sejak pada sistem pewadahan, pemindahan dan pangangkutan.
Kadar air merupakan variabel kritis dalam proses dekomposisi sampah. Menurut Palmisano dan Barlaz (1996), kelembaban air yang mencapai 50% dalam sampah yang dicacah akan meningkatkan kandungan asam yang akan memicu produksi gas metana, sebaliknya kadar air yang berada dibawah 35% tidak akan menghasilkan gas metana.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Kjeldsen & Chistensen (2002) yang mengatakan bahwa kadar air yang kurang dari 50%, akan menghalangi atau menghambat produksi gas metana (metanogenesis).
Karakteristik sampah sangat dipengaruhi oleh jenis buangan dan kebiasaan masyarakat setempat. Karakteristik sampah di Indonesia cenderung memiliki kadar air yang tinggi, karena komposisi sampah di Indonesia didominasi oleh sampah makanan yang memiliki sifat relatif basah. Kebiasaaan masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi makanan berkuah dan berserat megakibatkan tingginya kadar air dalam sampah. Pada Tabel 1 dapat dilihat perbedaan kompisisi sampah di Amerika yang memiliki kandungan materi organik yang mudah didegradasi secara biologis (easily biodegradable) yang jauh lebih sedikit (food scrap 12,7%) dibandingkan dengan yang terdapat pada sampah di Indonesia, yang diwakili oleh sampah di Kota Semarang, yang berupa bahan kompos yang merupakan bahan easily biodegradable sebesar 77,89%.
Tabel 1. Perbandingan Komposisi Sampah di Amerika, Australia, Eropa dan Indonesia
No Jenis Sampah USA1 (%)
INA2 (%)
AUS3 (%)
EB4 (%)
EU4 (%)
ES4 (%)
EB4 (%)
1 Kertas 31 10,18 19 21,8 30,6 17 27,.5
2 Sampah Taman 13,2 - 16 - - - -
3 Sampah Makanan 12,7 60,79 25 30,1 23,8 36,9 24,2
No Jenis Sampah USA1 (%)
INA2 (%)
AUS3 (%)
EB4 (%)
EU4 (%)
ES4 (%)
EB4 (%)
4 Plastik 12 17,2 6 6,2 13 - -
5 Logam 8,4 1,22 3 3,6 7,0 - -
6 Karet, Kulit, Kain 7,9 5,94 2 4,7 2,0 - -
7 Kayu 6,6 - - 7,5 10 10,6 11
8 Kaca/gelas 4,9 1,79 6 10 8 - -
9 Lain-lain 3,3 2,88 20 14,6 - - -
Sumber:
1US EPA (2008)
2Komposisi sampah Kota Semarang (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, 2020)
3 Yuen (1999)
4 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories(2006)
USA = Amerika Serikta; INA = Indonesia; AUS = Australia; EB = Eropa Barat; EU= Eropa Utara; ES = Eropa Selatan; EB = Eropa Barat
Karakteristik lain yang dimiliki timbulan sampah di Indonesia adalah sampah yang tercampur antara sampah biodegradable dan sampah non-biodegradabel. Percampuran sampah ini memungkinkan ditemukannya zat yang bersifat racun dalam sampah. Christensen dan Kjeldsen (1989) menyimpulkan bahwa keberadaan zat racun dalam sampah dapat mengahalangi proses metanaogenik yang berarti akan menghambat laju dekomposisi sampah.
Zat racun yang dapat ditemukan dalam sampah yang berasal dari bahan-bahan selain makanan yang berupa bekas kemasan, plastik yang tercemar, baterai, tinta, kertas bekas dan lain sebagainya.
B. Perumusan Masalah
Pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan, metode resirkulasi lindi banyak diterapkan pada sampah dengan kadar air rendah. Dengan kadar air yang rendah tersebut,
metode resirkulasi lindi cenderung optimal dalam meningkatkan laju dekomposisi sampah, karena lindi yang diresirkulasi dapat menyediakan kebutuhan air dan nutrien yang diperlukan bagi mikroorganisma dalam mendegradasi sampah, sekaligus membantu penyebaran nutrien dan mikroorganisma dalam sampah. Selain perbedaan kadar air, penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada sampah yang memiliki komposisi yang berbeda dengan komposisi sampah di Indonesia. Sampah di Indonesia yang didominasi oleh sampah makanan merupakan sampah yang memiliki biodegradabilitas yang tinggi, banyak mengandung nutrien dan mikroorganisme yang diperlukan bagi proses dekomposisi sampah. Dengan karakteristik tersebut lindi yang dihasilkan akan memiliki konsentrasi BOD dan COD yang cukup tinggi.
Sebagai contoh, karakteristik lindi yang dihasilkan di TPA Jatibarang berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zaman (2015) dan Rezagama (2016) diketahui nilai BOD sebesar 264,04 dan 1.600 mg/l dan COD sebesar 2.200,35 dan 4.000 mg/l.
Perbedaan kadar air, komposisi sampah serta kandungan nutrient dan mikroorganisma tersebut akan mempengaruhi kemampuan sampah untuk terdekomposisi secara biologis atau disebut biodegradabilitas sampah. Biodegradabilitas sampah ditentukan oleh kadar air, jenis materi yang terkandung dalam sampah, jumlah dan jenis mikroorganisma, kadar nutrien, serta kondisi lingkungan dalam sampah. Semakin tinggi biodegradabilitas sampah semakin mudah sampah tersebut mengalami dekomposisi secara biologis. Akan tetapi biodegradabilitas sampah yang terlalu tinggi dapat memicu proses hidrolisis dan fermentasi berlebihan pada awal proses dekompisisi sampah secara anaerob, yang menyebabkan tingginya kadar BOD dan COD serta terjadinya kondisi asam (terdeteksi dalam lindi). Hal tersebut dapat menghalangi proses metanogenesis yang dapat menurunkan bahkan menghentikan laju
dekomposisi sampah. Aplikasi resirkulasi lindi pada sampah dengan biodegradabilitas tinggi seperti karakteristik sampah di Indonesia dapat memicu terjadinya hal tersebut.
Pada penelitian-penelitian terdahulu belum diketahui bagaimana hubungan antara resirkulasi lindi terhadap perubahan biodegradabilitas sampah yang akan mempengaruhi laju dekompisisi sampah, sehingga belum dapat disimpulkan apakah resirkulasi lindi akan selalu optimal dalam meningkatkan biodegradabilitas sampah dan meningkatkan laju dekomposisi sampah.
C. Orisinalitas
Penelitian resirkulasi lindi pada timbunan sampah yang banyak dilakukan pada negara- negara barat (Amerika dan Eropa), dilakukan pada timbunan sampah yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan karakteristik sampah di Indonesia. Perbedaan karakteristik tersebut meliputi komposisi dan jenis sampah, kadar air, biodegradabilitas sampah, konsentrasi lindi serta kerakteristik lingkungan yang akan mempengaruhi laju dekomposisi sampah. Penelitian resirkulasi lindi pada timbunan sampah dengan berbagai variasi perlakuan yang pernah dilakukan di negara Asia (Thailand, Cina, India dan Indonesia) yang memiliki karakteristik sampah yang relatif sama dengan Indonesia, hanya dilakukan untuk mengetahui pengaruh resirkulasi lindi terhadap laju dekomposisi sampah tanpa mengetahui tingkat biodegradabilitasnya.
Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan belum dapat memberikan informasi mengenai hubungan resirkulasi lindi, biodegradabilitas dan laju dekomposisi sampah sehingga perlu dikembangkan penelitian yang dapat melihat bagaimana resirkulasi lindi dapat mempengaruhi biodegradabilitas sampah sehingga dapat berpengaruh terhadap laju dekomposisi sampah.
Tabel 2. Beberapa Penelitian Resirkulasi Lindi
Peneliti Metodologi Kesimpulan
Pohland, F.G.
Sanitary Landfill Stabilization with Leachate Recycle and Residual Treatment.
US Environmental Protection Agency, Cicinnaty, EPA- 600/2-75-043, 1975
4 kolom, 0,9 m, 3m sampah
Resirkulasi, kontrol pH penambahan sludge
- Resirkulasi dengan kontrol pH
menghasilkan konsentrasi organik yang kecil lebih cepat
- Penambahan sludge tidak berpengaruh Tittlebaum, M.E.
Organic Carbon Content Stabilization Through Landfill Leachate
Recirculation. J. of Water Poll. Cntl. Fed 54: 428, 1982.
4 kolom; 0,9 m;
2,4 m sampah
Resirkulasi,
pencacahan, kontrol pH dan penambahan nutrien
- Resirkulasi dengan kontrol pH
menghasilkan konsentrasi organik yang kecil lebih cepat
- Penambahan nutrien dan pencacahan tidak berpengaruh Doedens, H and K.
Cord-Landwehr.
Leachate
Recirculation. In Sanitary Landfilling.
Process, Technology and Environmental Impact, T.H.
Christensen, R. Cossu, and R Stegmann, Eds, Academic Press, London, 1989.
4 kolom; 1,4 m, 1,35 m sampah
Resirkulasi, kejenuhan awal, variasi penambahan air
- Resirkulasi mengurangi emisi polutan organik dan inorganik
- Tidak ada peningkatan produksi dan kualitas gas
Otieno, F.O.Leachate Recirculation in landfills as a management Technique in Proceeding of Sardinia ’89, second International Landfill Symposium, Calgary,
4 kolom; 0,5 m Resirkulasi, pencacahan, penjenuhan vs free draining, kepadatan sampah
- Pencacahan menambah tingkat degradasi
- Penjenuhan tidak menguntungkan - Kepadatan yang
lebih rendah meningkatkan
Peneliti Metodologi Kesimpulan
Italy, 1989. degradasi sampah
Pohland, F.G., W.H.
Cross, J.P. Gould, and D.R. Reinhart. The Behaviour and Assimilation of Organic priority Pollutants Codisposed with Municipal Refuse. U.S. EPA, EPA Coop.
Agreement CR- 812158, Volume 1, 1992.
10 kolom; 0,9 m;
3 m sampah
Resirkulasi,
penambahan polutan prioritas
- Resirkulasi meningkatkan volume gas, mengurangi konsentrasi lindi - Resirkulasi
memunculkan penguatan polutan organik dan inorganik
Rendra, Septa.
Comparative Study of Biodegradation of Muncipal Solid Waste in Simulated Aerobic and Anaerobic Bioreactor Landfills.
Doctor of Philosophy Thesis. University of Ottawa. Canada. 2007
6 kolom; 15 cm;
55 cm
Resirkulasi,
penambahan sludge, aerobik dan
anaerobik
- Aerobik memiliki tingkat dfegradasi yang lebih cepat - Resirkulasi
berpengaruh lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sludge atau
keduanya.
Warith Mustofa A.
Advantage of Leachate
Recirculation On Municipal Solid Waste Biodegradation : Experimental And Field Results.
Transactions On Ecology and The Environment Vol. 26, 1999.
3 sel dan 1
landfill Resirkulasi lindi, buffer dan
penambahan nutrien,
- Penambahan material suplemen pada resirkulasi meningkatkan degradasi biologis - Penambahan sludge
merupakan
inokulum mikroba yang paling baik
Borglin et al.
Comparison of Aerobic and Anaerobic Biotreatment of
3 tangki, 200 l Resirkulasi, aerobik
vs anaerobik - Resirkulasi meningkatkan kecepatan degradasi.
- Aerobik memiliki
Peneliti Metodologi Kesimpulan Municipal Solid
Waste. Journal of The Air and Waste
Management
Association 54; 815- 822, 2004.
tingkat degradasi yang lebih cepat dibandingkan anaerobik
EMCON, Twelve Month Extention Sonoma County Solid Waste Stabilization Study (final Report) GO6-EC-00351, San Jose, CA, 1976.
5 sel; 15 x 15 x 3 m
Resirkulasi, kadar air tinggi, pengaliran air yang kontinyu, penambahan materi dari septic tank
- Resirkulasi meningkatkan tingkat petumbuhan kelompok mikroba - Resirkulasi
menyediakan pengolahan lindi in- situ
Pohland, F.G.
Leachate Recycle as Landfill Management Option. Journal Of Environmental Engineering.
106(EE6): 1057-1069, 1980.
2 sel; 3 x 3 x 4.3 m
Resirkulasi, sel yang kedap
- Resirkulasi tertutup lebih kondusif untuk proses metanogen dibandingkan dengan resirkulasi terbuka
Pacey, J.G., J.C.
Glaub, and R.E. Van Heuit. Results of The Mountain View controlled Landfill Project. In Proceeding of the GRCDA 10th International landfill Gas Symposium, GRCDA, Silver Spring, MD, 1987.
6 sel; 10.000 m2, kedalaman 14 m
Resirkulasi, penambahan air, buffer, dan
penambahan sludge
- Tidak dapat disimpulkan efek resirkulasi karena kehilangan gas - Analisis
menganjurkan penambahan air untuk mempercepat degradasi
New York Energy Research and Development Authority.
Enhancement of Landfill Gas
Production, Nanticoke
9 sel; 17 x 23 x
6,4 m Resirkulasi,
penambahan sludge - Resirkulasi dan penambahan sludge meningkatkan produksi gas dan kualitas lindi
Peneliti Metodologi Kesimpulan Landfill,
Bringhamton, NY.
NYSERDA Report 87-19, Wehran Engineering, July 1987.
Lechner, P., T.
Lahner, and E. Binner.
Reactor Landfill Experiences gained at the Breitnau Research Landfill in Austria.
Presented at the 16th International Madison Waste Conference, Madison, WI, 1993.
3 sel; 3000-4600 m2, kedalaman 17 m
Resikulasi, pencacahan,
penambahan sludge
- Degradasi anaerobik meningkat
- Perhatian thd ponding dan peningkatan
konsentrasi amonia
Campbell, D.J.V. UK Brogborough test Cell project. In landfill Gas Enhancement Test Cell Data Exchange, Final Report of the Landfill Gas Expert Working Group. P.
Lawson, Ed.,
International Energy Agency, Harwell Laboratory,
Oxfordshire, U.K., 1991.
6 sel; 40x25x 20 m
Konstruksi layer yg tipis, penyuntikan udara, pencampuran sampah,
penambahan sludge
- Gas dengan volume tinggi muncul pada sel dgn penambahan udara dan sludge - Penambahan cairan
dapat
meningkatakan produksi gas
Brundin, H. The SORAB test cell. In landfill Gas
Enhancement Test Cell Data Exchange, Final Report of the Landfill Gas Expert Working Group. P.
Lawson, Ed.,
International Energy Agency, Harwell
95 x 35 x 5,5 m Pemanasan lindi, resirkulasi dan pencacahan
Volume gas lebih banyak dibandingkan TPA konvensional
Peneliti Metodologi Kesimpulan Laboratory,
Oxfordshire, U.K., 1991.
Natale, B.R. and W.C.
Anderson. Evaluation of a landfill with Lecahate Recycle.
Draft Report to U.S EPA Office of Solid Waste, 1985.
52,6 ha;
kedalaman maksimum 21 m
Resirkulasi:
- Penyemprotan - Parit
- Sumur injeksi
- Resirkulasi meningkatkan tingkat degradasi dan produksi metan - Ponding dan
penjenuhan mengakibatkan produksi lindi yang banyak
- Sumur injeksi paling efisien
Barber, C., and P.J.
Maris. Recirculation of Leachate as a landfill management option: Benefits and operational Problems Q.J. Eng. Geol., London, 17:19-29, 1984.
2 sel; masing- masing 1 ha;
kedalamaam 4 m
Resirkulasi : penyemprotan
Mempercepat
penurunan konsentrasi lindi
Watson, R. State of Delaware’s Case History Review: A Full Scale Active Waste Management Apparoach. Presented at the Modern Double Lined Landfill
Management Seminar, Saratoga Springs, NY, 1993.
5 area; 3,6 – 8,9 ha
Resirkulasi : - Spray - Sumur - Infiltrator
horisontal
- Resirkulasi meningkatkan biodegradasi sampah - Resirkulasi
meningkatkan kualitas gas dan lindi pada biaya kapital yang rendah.
Doedens, H and K.
Cord-Landwehr.
Leachate
Recirculation. In Sanitary Landfilling.
Process, Technology
3 sel; 50 m2 x 4 m deep
2 sel; 0,6 ha x kedalaman 2 m
Resirkulasi, pemadatan
Resirkulasi mempercepat stabilisasi hingga setengah waktu
Peneliti Metodologi Kesimpulan and Environmental
Impact, T.H.
Christensen, R. Cossu, and R Stegmann, Eds, Academic Press, London, 1989.
Erses, A Suna et al, Comparison Of Aerobic and Anaerobic Degradation Of Municipal Solid Waste In Bioreactor Landfills, 2007
2 reaktor dipoerasikan dalam kondisi aerobik dan anaerobik
Resirkulasi, aerobik dan anaerobik
- Resirkulasi lindi dengan sistem aerobik lebih cepat dalam penyisihan nitrogen, organik, phospor dan alkali metal
- Sistem aerobik memiliki waktu stabilisasi lebih rendah
dibandingkan dengan sistem anaerobik.
Sponza, D.T dan Osman, NA.
Impact of Leachate Recirculation and Recirculation Volume on Stabilization of Municipal Solid Wastes In Simulated Anaerobic
Bioreactors, 2003
3 reaktor yang terdiri 2 reaktor dengan resirkulasi lindi dan 1
sebagai kontrol
Resirkulasi lindi, variasi debit lindi (9 l/hari dan 21 l/hari)
- Reaktor dengan debit resirkulasi 9l/hari memiliki penyisihan COD, VFA, biogas dan nilai PH yang lebih baik dibandingkan dengan reaktor kontrol dan debit resirkulasi 21 l/hari.
- Resirkulasi lindi mengurangi waktu stabilisasi dan meningkatkan produksi gas metan serta meningkatkan kualitas lindi - Resirkulasi lindi
tidak efektif
meyisihkan amonia
Peneliti Metodologi Kesimpulan Wang, Q. et al,
Research on Leachate Recirculation from Different Types of Landfills, 2005
4 reaktor dengan sistem semi- aerobik dan anaerobik
Resikulasi lindi Resirkulasi lindi dapat mengurangi
kandungan organik secara signifikan Sun, Y. et al,
Comparison of semi- aerobic and anaerobic degradation of refuse with recirculation after leachate treatment by aged refuse bioreactor, 2011
4 reaktor semi- aerobik dan anaerobik
Resirkulasi lindi, sampah segar dan sampah lama
- Reaktor semi- aerobik dapat meningkatkan biodegradasi
material organik dan pengurangan
konsentrasi polutan dalam lindi
- Penurunan sampah dalam reaktor semi- aerobik lebih tinggi dibandingkan penurunan pada reaktor anaerobik Shahriari, H. et al.
Effect of leachate recirculation on mesophilic anaerobic digestion of food waste, 2011
4 reaktor Resirkulasi lindi menggunakan lindi yang belum terolah
Resirkulasi lindi dengan jumlah lindi yang tepat akan menstimulasi aktivitas metanogen serta meningkatkan produksi biogas, sebaliknya
penambahan lindi dalam volume berlebihan menyebabkan terhambatnya aktivitas metanogen serta mengurangi laju stabilisasi sampah.
Carniero-forster, T et al. Influence of total solid and inoculum contents on
performance of anaerobic reactors
6 reaktor, 3 dengan perbedaan persentase
sampah (20%, 25% dan 30%) serta perbedaan
Resirkulasi lindi Perfoma paling baik terjadi pada reaktor dengan sampah dengan prosentase 20% dan inokulan
Peneliti Metodologi Kesimpulan treating food waste,
2008
konsentrasi inokulan (20- 30%).
30%
Benbelkacem, H et al.
Effect of leachate injection modes on municipal solid waste degradation in
anaerobic bioreactor, 2010
3 reaktor Resirkulasi lindi, injeksi dalam timbunan sampah
Peningkatan kadar air merupakan parameter kunci untuk
meningkatkan reaksi biologis.
El-Mashad, HM. et al.
Effect of Inoculum Addition Modes and Leachate
Recirculation on Anaerobic Digestion of Solid Cattle Manure in an
Accumulation System
2 reaktor Resirkulasi lindi dan Penambahan
inokulan
Resirkulasi lindi menngkatkan performa dari
dekomposisi sampah dalam reaktor.
Penambahan inokulan secara bertahap di sepanjang penelitian memiliki perfoma yang lebih baik dibandingkan dengan penambahan inokulan dalam jumlah yang sama yang hanya dilakukan pada awal penelitian.
He, Ping-Je. et al.
Leachate pretreatment for enhancing organic matter conversion in landfill bioreactor, 2006.
6 reaktor Resirkulasi lindi dengan pre- treatment menggunakan Upflow filtrtation bioreactor (UFB) dan aerobic sequential batch reactor (SBR)
Pretreatment dengan menggunakan UFB dan SBR dapat mengurangi
konsentrasi COD dan mempercepat proses metanogenesis.
Sandip T, Mali et al.
Enhancement of methane production and bio-stabilisation of municipal solid
5 reaktor Perbedaan perlakuan yang berupa
perbedaan aerasi dengan penambahan mikroorganisme,
Perlakuan bioreaktor dengan variasi perlakuan yang dilakukan
memberikan performa
Peneliti Metodologi Kesimpulan waste in anaerobic
bioreactor landfill, 2011
sludge,
pencampuran gravel, tanah penutup antara variasi laju
resirkulasi lindi.
stabilisasi sampah lebih eficien, meningkatkan produksi metan hingga 25%, waktu degradasi yang lebih cepat 25%.
Sang Nhu, Nguyen et al. Effect of Aeration on Stabilization of Organic Solid Waste and Microbial
population Dynamics in Lab-Scale Landfill Bioreactors, 2008
2 reaktor Material yang digunakan sluidge, potongan kayu dan makanan anjing kering.
Perlakuan tanpa resirkulasi lindi dengan aerasi dan resirkulasi lindi tanpa aerasi.
penambahan
Resirkulasi lindi mempercepat proses reaksi biokimia dan pembentukan metan.
Aerasi memperkecil produksi lindi, produksi metan dan meurunkan
kandungan organik dalam limbah padat dan lindi.
Bilgili, S., M. et al Influence of leachate recirculation on aerobic and anaerobic decomposition of solid wastes. 2006
4 reaktor Aerobik dan anaerobik, resirkulasi lindi
Resirkulasi lindi lebih efektif diterapkan pada reaktor anaerobik
dibandingkan dengan reaktor aerobik.
Karthikeyan, O., P., et al. Performance of bioreactor landfill with waste mined from a dumpsite, 2007.
2 reaktor Resirkulasi lindi Resirkulasi lindi meningkatkan degradasi material organik serta menurunkan kadar BOD, COD dan TOC secara signifikan.
Jun, D., et al. Impacts of aeration and active sludge addition on leachate
recirculation bioreactor, 2007.
3 reaktor Aerasi dan
penambahan sludge, resirkulasi lindi
Penyisihan COD, BOD5, NH4+ dan total nitrogen
mencapai 80 % pada reaktor dengan resirkulasi lindi + aerasi. Sedangkan penyisihan NH4+ dan total nitrogen pada
Peneliti Metodologi Kesimpulan reaktor dengan lumpur aktif mencapai 88%.
Aerasi memiliki keuntungan terhadap stabilisasi limbah padat, sedangkan lumpur aktif
menguntungkan untuk penyisihan nitrogen.
He, Ruo., et al.
Biological degradation of MSW in a
methanogenic reactor using treated leachate recirculation, 2005.
3 reaktor Penambahan inokulan (effective microorganism), resirkulasi lindi, pre- treatment lindi.
inokulan meningkatkan biodegradabilitas limbah padat, dan memperpendek produksi metan.
Kombinasi inokulan dan resirkulasi lindi dapat meningkatkan derajat stabilisasi limbah padat dan meningkatkan laju dan kualitas produksi gas.
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan melakukan kajian terhadap tingkat biodegradabilitas zat organik (BOD/COD) yang disebabkan oleh resirkulasi lindi.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Melakukan kajian pengaruh resirkulasi lindi terhadap penurunan konsentrasi BOD yang terkandung dalam lindi sampah domestik.
b. Melakukan kajian pengaruh resirkulasi lindi terhadap penurunan konsentrasi COD yang terkandung dalam lindi sampah domestik.
c. Melakukan kajian pengaruh resirkulasi lindi terhadap tingkat biodegradabilitas sampah domestik;
d. Melakukan kajian pengaruh resirkulasi lindi terhadap perubahan konsentrasi CO2. e. Melakukan kajian pengaruh resirkulasi lindi terhadap perubahan konsentrasi CH4. f. Melakukan kajian pengaruh resirkulasi lindi terhadap laju dekomposisi sampah;
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan alternatif metode terhadap pengelolaan persampahan, terutama pada operasional TPA di Indonesia.
1. Memberikan acuan yang berkaitan dengan bagaimana penerapan metode resirkulasi lindi/bioreaktor akan berpengaruh terhadap biodegradabilitas sampah dan laju dekomposisi sampah;
2. Memberikan acuan tentang tingkat kestabilan sampah pada TPA yang menerapakan resirkulasi lindi, untuk mengetahui sebuah zona timbunan sampah di TPA dapat dibongkar dan dimanfaatkan kembali menjadi zona timbunan baru. Hal ini akan mengurangi kebutuhan akan lahan TPA yang baru.
3. Memberikan acuan tentang laju stabilisasi lindi yang dihasilkan pada sebuah TPA yang menerapkan metode resirkulasi lindi untuk menentukan kebutuhan akan instalasi pengolah lindi.
4. Melalui penerapan resirkulasi lindi pada sebuah TPA diharapkan proses stabilisasi sampah dapat dicapai dalam waktu yang lebih cepat, sehingga dapat diterapkan metode reusbale landfill dimana zona lahan pada TPA dapat digunakan kembali yang menyebabkan TPA memiliki umur yang tidak terbatas, sehingga tidak diperlukan lagi lahan TPA baru.
5. Melalui penerapan resirkulasi lindi pada sebuah TPA diharapkan lindi yang dihasilkan dapat diolah on-site pada timbunan sampah, sehingga tidak diperlukan lagi instalasi pengolah lindi. Dengan tidak adanya instalasi pengolah lindi yang dioperasikan maka tidak ada efluen yang dibuang ke badan lingkungan sehingga akan mencegah terjadinya pencemaran khususnya pada badan air/sungai.