• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global, meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDG), Beban ganda akibat peningkatan epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) akan mempengaruhi peningkatan kasus TB di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu kolaborasi antara program pengendalian TB dan pengendalian HIV/AIDS (Kemenkes, 2013).

Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi HIV merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB. Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif. Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena merupakan infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Kemenkes, 2013).

Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic) kecuali Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas.

Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi

(2)

berisiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (penasun), hetero dan homoseksual (WPS, waria) (Kemenkes, 2013).

Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835 kasus (49%) (Kemenkes, 2013).

Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 sebesar 0,4% tidak berbeda dengan kejadian kasus pada tahun 2007. Lima provinsi dengan TB paru tertinggi yaitu Jawa Barat (0,7%), Papua (0,6%), DKI (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%), Papua Barat (0,4%), dan Jawa Tengah (0,4%) (Kemenkes, 2013).

Prevalensi Tuberkulosis Provinsi Jawa Barat tahun 2012 sebesar 138.03 per 100.000 penduduk. Lima Kota/Kabupaten dengan prevalensi Tuberkulosis tertinggi yaitu Kota Sukabumi 311 per 100.000 penduduk, Kota Cirebon 258 per 100.000 penduduk, Kota Bandung 258 per 100.000 penduduk, Kota Cimahi 218 per 100.000 penduduk dan Kabupaten Bogor 161 per 100.000 penduduk (Profil Dinkes Jawa Barat, 2012).

Di wilayah Jawa Barat pada tahun 2012 jumlah kasus baru HIV yang ditemukan sebanyak 1904 orang. Lima Kota/Kabupaten dengan penemuam kasus HIV baru tertinggi yaitu Kota Bekasi sebanyak 384 orang, Kota Bandung sebanyak 379 orang, Kota Bogor sebanyak 295 orang, Kab.

Indramayu sebanyak 276 dan Kab. Bekasi sebanyak 108 orang (Profil Dinkes Jawa Barat, 2012).

(3)

Penderita Tuberkulosis secara klinis dan laboratoris Kota Bandung yang dapat dirunut ke dalam wilayah administrasi pada tahun 2012 sebanyak 2.456 kasus. Bila dibandingkan dengan tahun 2011 lalu, kasus baru Tuberkulosis sebesar 2.482 kasus, berarti terjadi penurunan kasus sebesar 26 kasus (Profil Dinkes Kota Bandung, 2012).

Sedangkan kasus baru HIV/AIDS di kota Bandung pada tahun 2012 sebanyak 227 kasus sehingga terjadi penurunan 215 kasus dari tahun 2011 yang sebanyak 442 kasus. Meski demikian, jumlah penderita HIV/AIDS dari tahun ke tahun tetap memiliki trend meningkat (Profil Dinkes Kota Bandung, 2012).

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung merupakan instansi pemerintah yang memberikan pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan berfokus pada pelayanan kesehatan paru di wilayah kerja Kota Bandung. Pelayanan kesehatan yang diberikan selain adanya fasilitas poliklinik DOTS /TB, BBKPM Bandung memberikan pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS. Dengan adanya program penanggulangan penyakit TB dan program pengendalian HIV/AIDS yang dilaksanakan maka BBKPM Bandung melaksanakan program kolaborasi TB- HIV yang berkesinambungan. Pelaksanaan program kolaborasi TB-HIV memerlukan pencatatan dan pelaporan untuk evaluasi terlaksananya program di BBKPM Bandung.

Tahun 2014 triwulan satu sampai dengan triwulan tiga kasus TB yang tercatat di BBKPM Bandung sebanyak 200 orang dengan jumlah pasien TB

(4)

yang terinfeksi HIV sebanyak 5 orang. Sedangkan untuk kasus HIV sebanyak 94 orang dengan jumlah pasien HIV yang terinfeksi TB sebanyak 9 orang.

Tingkat kejadian kasus TB sering terjadi pada orang dengan HIV AIDS (ODHA), orang dengan HIV mempunyai kemungkinan sekitar 30 kali lebih berisiko untuk sakit TB dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Lebih dari 25 % kematian pada ODHA disebabkan oleh TB.

Pada tahun 2012 di dunia, sekitar 320.000 di dunia orang meninggal karena HIV terkait dengan TB (Global Report 2013 / Kemenkes 2014).

Oleh karena itu Indonesia mengembangkan pedoman untuk pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV. Kegiatan kolaborasi ini dimulai sebagai bagian dari upaya pengendalian TB dan upaya meningkatkan keberhasilan Program AIDS. Indikator terlaksananya kolaborasi TB-HIV yaitu membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV/AIDS, menurunkan beban TB pada ODHA dan menurunkan beban HIV pada pasien TB (Kemenkes, 2011).

Monitoring dan Evaluasi (M&E) program TB-HIV diperlukan dalam manajemen kolaborasi program TB-HIV untuk menilai keberhasilan dan menjamin efektifitas serta efisiensi penggunaan sumber daya sehingga dapat diupayakan perbaikan dan peningkatan kegiatan secara terus menerus. Salah satu komponen penting dari program monitoring dan evaluasi yaitu pencatatan dan pelaporan. Pencatatan dan pelaporan berguna untuk mendapatkan data kegiatan. Kemudian data tersebut diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan. Data yang

(5)

dikumpulkan harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis (Kemenkes, 2011).

Data kolaborasi TB-HIV dapat diperoleh dari pencatatan di semua unit pelayanan kesehatan dengan menggunakan satu sistem yang baku.

Laporan kolaborasi TB-HIV terdiri atas variabel TB dan variabel HIV.

Laporan tersebut harus dilaporkan oleh petugas TB dan petugas HIV tiap 3 bulan mulai dari Fasyankes, Kabupaten/Kota, Provinsi sampai ke tingkat Pusat (Kemenkes, 2013).

Dari studi pendahuluan diperoleh beberapa permasalahan sistem pencatatan dan pelaporan program kolaborasi TB – HIV salah satunya kegiatan pencatatan dan pemasukan data tidak bisa langsung dilakukan yang disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana pendukung seperti sistem komputer yang mendukung terhadap sistem layanan online serta keterbatasan jumlah tenaga dalama pembuatanlaporan sistem pencatatan dan pelaporan kolaborasi TB-HIV, hal ini yang mengakibatkan data yang dibutuhkan untuk program kolaborasi TB-HIV belum lengkap sehingga pembuatan laporan program kolaborasi TB-HIV menjadi tersendat.

Berdasarkan latar belakang tersebut perlu adanya pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan program kolaborasi TB – HIV yang lebih baik dan akurat yang bertujuan untuk mendukung evaluasi program penanggulangan penyakit TB di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung. Sistem pencatatan dan pelaporan ini diharapkan dapat

(6)

meningkatkan kualitas pelayanan dan membantu dalam pengambilan keputusan mengenai program kolaborasi TB-HIV.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan yang akan dibahas mengenai keakuratan dalam evaluasi sistem pencatatan dan pelaporan program kolaborasi TB - HIV di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengevaluasi sistem pencatatan dan pelaporan program kolaborasi TB - HIV di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung pada tahun 2016.

2. Tujuan Khusus

a) Menggambarkan hasil evaluasi sistem pencatatan program kolaborasi TB - HIV di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung

b) Menggambarkan alur sistem pencatatan dan pelaporan program kolaborasi TB - HIV di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung.

(7)

c) Menganalisis hasil evaluasi sistem pencatatan dan pelaporan program kolaborasi TB - HIV di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi instansi dalam upaya meningkatkan kualitas sistem pencatatan dan pelaporan program kolaborasi TB-HIV di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung.

2. Manfaat Teoritis

a. Dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan bagi peneliti dalam suatu sistem pencatatan dan pelaporan.

b. Sebagai bahan referensi untuk menambah pengetahuan bagi mahasiswa khususnya dan masyarakat umumnya maupun bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian sejenis.

(8)

E. Ruang Lingkup Penelitian

1. Lingkup Materi

Penelitian ini menggunakan pendekatan Ilmu Kesehatan Masyarakat bidang Manajemen Pelayanan Kesehatan.

2. Lingkup masalah

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sistem pencatatan dan pelaporan program kolaborasi TB - HIV di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung.

3. Lingkup Sasaran

Sasaran penelitian ini adalah petugas yang terkait program kolaborasi TB- HIV di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung.

4. Lingkup Tempat

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung sub bagian pelayanan klinik TB, klinik HIV dan klinik KTS.

5. Lingkup waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari - April 2016.

6. Lingkup metode penelitian

Metode penelitian ini mengunakan penelitian deskriptif dengan metode penelitian kualitatif.

Referensi

Dokumen terkait

SCHOOL OF ARCHAEOLOGY 3rd Trimester AY 2022-2023 Albert Hall, UP Diliman March 13 – June 5, 2023 Time Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday 8:00-12:00 *Archaeo

IMPROVING STUDENTS’ READING COMPREHENSION THROUGH SKIMMING AND SCANNING TECHNIQUES AT THE NINTH GRADE STUDENTS OF SMP NEGERI 16 TANJUNGPINANG Skripsi Submitted as a Partial