• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu pelayanan yang sentral di rumah sakit adalah pelayanan Intensive Care Unit (ICU) dan Instalasi Gawat Darurat (IGD). ICU dan IGD merupakan bagian rumah sakit yang membutuhkan perawat yang terampil dan terdidik dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien. Salah satu kasus kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa jika tidak mendapatkan penanganan yang baik dari petugas kesehatan adalah cardiac arrest atau henti jantung (Ferianto & Ahsan, 2016).

Cardiac arrest atau henti jantung merupakan suatu kondisi dimana sirkulasi darah normal tiba-tiba berhenti memompa darah ke seluruh tubuh sebagai akibat dari kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif, ketika jantung berhenti memompa darah, otak akan kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan berhenti napas (British Heart Foundation, 2015). Tindakan yang tepat untuk menangani kasus henti jantung atau cardiac arrest adalah resusitasi jantung paru (RJP) (Potter & Perry, 2005).

Resusitasi Jantung Paru adalah prosedur menyelamatkan nyawa yang dilakukan saat jantung berhenti berdetak. RJP dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien dua atau tiga kali lipat jika di lakukan dengan segera (AHA, 2015). Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu cara untuk memfungsikan kembali jantung dan paru

(2)

dengan tujuan adalah mempertahankan agar jantung dan otak tetap mendapatkan aliran darah (Pratondo, 2010).

Menurut American Heart Association (AHA, 2017), hanya 10.8% dari pasien dewasa dengan serangan jantung nontraumatic yang telah menerima upaya resusitasi dari layanan medis darurat (EMS) bertahan hidup sampai rumah sakit. (Menurut Aaron et al, 2015), dari 200.602 pasien IGD, 16.782 (8%) menerima tindakan RJP, 16.245 pada dewasa dan 537 pada anak-anak. Dari 362.074 pasien ICU, 6518 (1.8%) menerima RJP dan 15,7% dapat bertahan hidup hingga keluar dari rumah sakit (Geshengorn, Li, Kramer, Wunsch, 2012). Hasil studi yang dilakukan di Airport Chicago dan Las Vegas didapatkan angka keberhasilan tindakan RJP dan defibrilasi (tindakan mekanis listrik dengan alat defibrilator, sehingga ritme jantung kembali normal) pada penderita yang mengalami cardiac arrest dengan segera mencapai 50 sampai 74% (Ferianto & Ahsan, 2016). Insiden henti jantung (Cardiac Arrest) merupakan kasus yang paling sering menerima RJP, dari 1000 pasien ICU, 25 pasien mengalami henti jantung, dan 69.6%

pasien yang menerima RJP di ICU meninggal dibandingkan dengan 10,5% dari mereka yang tidak (Cook & Thomas, 2017). Di Afrika, dari 302 pasien serangan jantung yang menerima RJP, 59 (24.4%) diantaranya mencapai kembalinya sirkulasi spontan.

Tingkat keberhasilan RJP bervariasi dari 3.1% sampai 16.5% (Tobi & Amadasun, 2015). Menurut penelitian Ferianto, & Ahsan (2016) yang di lakukan di RSUD Dr.

R. Koesman dari 154 kasus dengan henti jantung hampir 98% meninggal meskipun sudah mendapatkan RJP.

Kegagalan resusitasi yang menyebabkan kematian seseorang setelah upaya resusitasi menghasilkan emosi dan perasaan yang kuat, apapun bentuk resusitasi dapat

(3)

berpotensi menjadi stres emosional bagi perawat. Pengalaman dalam melakukan resusitasi dapat menimbulkan rasa frustasi yang mendasar, marah, perasaan bersalah, putus asa, dan perasaan tidak profesional (Colle et al, 2011). Ketidakberhasilan suatu tindakan resusitasi yang menyebabkan kematian melibatkan kondisi yang kompleks dan memberikan dampak secara psikologis yang merupakan stressor tersendiri bagi perawat (Mekka, Ratnawati & Rachmawati, 2016).

Stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stressor psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respon fisiologis, perilaku dan subjektif terhadap stres (WHO, 2013). Stres yang dialami perawat IGD dan ICU dapat memberikan dampak yang negatif terhadap kesehatan dan pada akhirnya dapat mempengaruhi kinerja dan mutu asuhan keperawatan (Handoko, 2008). Perawat harus memenuhi semua kebutuhan pasien yang memiliki tingkat ketergantungan total sehingga perawat ICU dan IGD dikatakan mengalami psychological distres (Kusbiantoro, 2008). Oleh karena itu penanganan dan manajemen yang tepat terhadap stres kerja perawat ICU sangat dibutuhkan terlebih lagi jika mengalami kegagalan dalam melakukan RJP (Handoko, 2008).

Menurut penelitian di Amerika, 24% perawat ICU mengalami post traumatic stres disorder (PTSD) di banding perawat umum yang mengalami PTSD (14%) (Mealer 2012). Di Indonesia, menurut survei dari PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) tahun 2006, sekitar 50.9% perawat yang bekerja di empat provinsi di Indonesia mengalami stres kerja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilmi (2005) di RSUD Ulin Banjarmasin menunjukkan bahwa tingkat stres kerja perawat memiliki

(4)

kategori tinggi yaitu sebesar 15%. Sejalan dengan hasil survei dari PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) tahun 2006, sekitar 50.9% perawat yang bekerja di empat provinsi di Indonesia mengalami stres kerja. Stres kerja yang meningkat didapatkan dari banyaknya jumlah pasien dan jam kerja perawat. Selain itu, profesi sebagai perawat memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap kejadian stres kerja berdasarkan jenis pekerjaan yakni sebesar 6.2% (Mallyya, Fidi & Rita, 2016). Berdasarkan jenis pekerjaan, perawat IGD menderita stres tinggi sebanyak 57.1% dan pada perawat ICU menderita stres sebanyak 35.0% (Ayu, Fidi & Rita, 2016).

Untuk mengatasi stres baik internal maupun ekternal, setiap individu memiliki kemampuan berbeda-beda sesuai dengan sumber-sumber fisik, psikologis perilaku atau kognitif yang dimiliki. Kemampuan tersebut disebut sebagai mekanisme koping (Kurnia, 2010). Koping adalah kombinasi strategi secara sadar dalam kesuksesan pemecahan masalah dimasa lampau dengan mekanisme pertahanan yang tidak di sadari untuk menurunkan tingkat stres yang sedang dialami seseorang (Hudak & Gallo, 2014). Strategi perawat untuk mengatasi kegagalan RJP dengan mekanisme koping yang konstruktif sehingga perawat dapat mengambil hikmah dibalik kegagalan (Mekka, Ratnawati & Rachmawati, 2016).

Rumah sakit Dustira merupakan rumah sakit rujukan tertinggi yang memiliki pelayanan kesehatan kuratif dan rehabilitatif yang terpadu dengan pelaksanaan kegiatan kesehatan promotif dan preventif. Rumah sakit Dustira menjadi studi bagi rumah sakit lainnya terutama bagi rumah sakit di jajaran TNI (Rumah Sakit Dustira, 2018)

(5)

Berdasarkan studi pendahuluan didua rumah sakit pada tanggal 20 maret di ruang ICU RSUD Kota Bandung di dapatkan data bulan Januari-Maret pasien RJP sebanyak 5 pasien, sedangkan di RS dustira di ruang ICU dan IGD data bulan januari-maret pasien RJP sebanyak 134 pasien. Maka peneliti memilih RS Dustira sebagai tempat penelitian.

Untuk mendapatkan data lebih dalam tingkat stres dalam melakukan RJP, maka dilakukan wawancara di Ruangan ICU RS Dustira Cimahi pada tanggal 10 April 2018, dan diperoleh data 4 dari 5 perawat ICU menyatakan bahwa mereka pernah mengalami stres saat gagal RJP. Hal ini berkaitan dengan perasaan khawatir, panik, tegang, jantung berdebar-debar dan takut setelah gagal menyelamatkan nyawa pasien. Ada yang menyatakan bahwa saat tidak berhasil resusitasi ada perasaan frustasi, merasa bersalah, kecewa dan terkadang marah serta merasa tidak cukup kemampuan dalam melakukan tindakan tersebut. Secara umum mereka merasa bahwa ketidakberhasilan suatu tindakan resusitasi memberikan dampak secara psikologis yang merupakan stressor bagi perawat.

Data mengenai tingkat stres dan mekanisme koping perawat penting untuk diketahui agar dapat meminimalisir dampak negatif dari stres kerja perawat. oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahi gambaran tingkat stres dan mekanisme koping perawat setelah ketidakberhasilan melakukan tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP).

(6)

1.2 Rumusan Masalah

“Bagaimana gambaran tingkat stres dan mekanisme koping perawat setelah ketidakberhasilan melakukan tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) di Rumah Sakit Dustira Cimahi ?”

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui bagaimana gambaran tingkat stres dan mekanisme koping perawat setelah ketidakberhasilan melakukan tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) di Rumah Sakit Dustira Cimahi.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran tingkat stres perawat setelah ketidakberhasilan melakukan tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) di Rumah Sakit Dustira Cimahi.

2. Untuk mengetahui bagaimana gambaran mekanisme koping perawat setelah ketidakberhasilan melakukan tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) di Rumah Sakit Dustira Cimahi.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Rumah Sakit Dustira Cimahi sebagai bahan masukan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan

(7)

kesehatan untuk membuat kebijakan dan pengelolaan stres kerja terhadap perawat yang berada di ruangan ICU dan IGD yang memiliki beban kerja yang banyak.

1.4.2 Bagi Perawat

Hasil penelitian ini diharapkan membantu perawat dalam mengelola stres dan mekanisme koping ketika melakukan kegagalan dalam melakukan RJP serta dapat menerapkan asuhan keperawatan sehingga tidak menggangu pekerjaan lain dan dapat mengelola stres dengan baik.

1.4.3 Bagi Institusi Pendiidkan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat stres dan mekanisme koping perawat yang melakukan RJP dan terjadi kegagalan dalam melakukan RJP.

Referensi

Dokumen terkait

9 Resusitasi jantung paru (RJP) adalah atau Cardiopulmonar Resuscitation(CPR)merupakan tindakan yang perlu dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam menangani kasus

Mekanisme Koping terhadap Motivasi Kepatuhan Diet pada Penderita Diabetes Melitus di Puskesmas I Rakit Tahun 2016”.

Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah upaya mengemblikan fungsi napas dan sirkulasi yang berhenti oleh berbagai sebab (Wijaya, 2019). b) Penekanan dada harus dilakukan

Dari hasil penelitian dan teori bahwa pelatihan resusitasi jantung paru (RJP) sangat efektif dilakukan disiswa kelas X TKJ SMKN Widang untuk meningkatkan

Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas atau henti

adalah teknik pertolongan korban tidak sadar dengan tidak ada nadi dan tidak ada nafas, yaitu tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP).Materi pertemuan ketiga adalah

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu: “Adakah hubungan stres dengan mekanisme koping pada pasien hipertensi

703 PERBEDAAN TINGKAT KOGNITIF MAHASISWA KEPERAWATAN UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI MALANG TAHUN ANGKATAN 2017 SEBELUM DAN SESUDAH PEMBELAJARAN RESUSITASI JANTUNG PARU RJP