Untuk mengantisipasi permasalahan setelah perceraian atau permasalahan dalam perkawinan, seringkali dibuat perjanjian pranikah. Namun perjanjian perkawinan lebih sering dilakukan antar kelompok masyarakat hanya dengan tunduk pada KUHPerdata. Padahal secara sosiologis akan berdampak pada keluarga kedua pasangan yang merasa dicurigai dan merasa dilecehkan karena perjodohan yang telah dibuat.
Perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan tidak secara khusus menyebutkan hal-hal yang boleh disepakati, kecuali jika perjanjian itu melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan, maka perjanjian itu tidak dapat disahkan. Perjanjian tersebut harus didaftarkan untuk memenuhi unsur publisitas dalam perjanjian perkawinan, sehingga pihak ketiga (tidak termasuk suami atau istri) mengetahui dan menaati aturan-aturan dalam perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami istri. Ada contoh kasus perjanjian perkawinan yang terjadi di Pengadilan Negeri Malang pada tahun 2013 pada putusan Nomor: 25/Pdt.
AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DISETUJUI OLEH PEJABAT PENCATATAN PERKAWINAN DENGAN PIHAK KETIGA DITENTUKAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN”. Apa akibat hukum apabila tidak disahkannya perjanjian perkawinan oleh pencatat harta benda. Untuk pemahaman dan/atau pengungkapan mengenai ketentuan dan pengaturan hukum perjodohan di Indonesia, lihat kembali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Untuk mengetahui apa akibat hukum apabila tidak disahkannya suatu perjanjian perkawinan oleh pencatat perkawinan mengenai harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan dengan pihak ketiga dalam pengertian undang-undang no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan alasan tersebut, penulis tertarik untuk membahas perjanjian perkawinan sebagai sarana perlindungan hukum bagi para pihak yang mengadakan perkawinan. Namun ketentuan ini tidak bersifat baku dan wajib, karena masing-masing pihak dapat juga sepakat untuk membagi harta bersama sesuai keinginannya dengan membuat perjanjian antara masing-masing pihak yang disebut dengan Perjanjian Perkawinan. Selain harta perkawinan, perjanjian pranikah juga dapat memuat hal-hal yang dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan dalam perkawinan, atau apabila suatu saat perkawinan itu kandas.
Dengan kata lain, suami istri mempunyai perjanjian bebas namun terbatas untuk menentukan isi perjanjian perkawinan. Undang-undang tersebut mengatur tentang perjanjian perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan. Pasal 147 KUH Perdata tidak lepas dari ketentuan Pasal 149 KUH Perdata yang mengatur bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara apapun setelah perkawinan.
Oleh karena itu, salah satu pihak membuat perjanjian pranikah dan mengajukannya ke pengadilan untuk dimintakan keputusan. UU Perkawinan hanya mengatur bahwa perjanjian pranikah hanya dapat dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 2 UU Perkawinan. Hal ini berbeda dengan ketentuan waktu melangsungkan akad nikah dalam KUHPerdata.
Soetojo Prawirohamidjojo berpendapat bahwa “waktu untuk mengadakan akad nikah dalam Undang-Undang Perkawinan didefinisikan secara lebih luas dengan memberikan dua jenis waktu untuk mengadakan akad nikah, yaitu sebelum perkawinan dilangsungkan dan pada saat perkawinan dilangsungkan”23. Undang-undang Perkawinan tidak memperbolehkan diadakannya suatu akad nikah setelah perkawinan dilangsungkan, apabila tidak ada akad nikah yang dibuat sebelum atau selama perkawinan. Setelah perkawinan dilangsungkan, UU Perkawinan hanya memberikan opsi untuk mengubah akad nikah dengan syarat-syarat tertentu, seperti pada Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan.
Perjanjian pranikah dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua belah pihak atas persetujuan bersama pada saat atau selama perkawinan yang disahkan oleh pencatat perkawinan mengenai kedudukan harta benda dalam perkawinan itu. setelah itu konten tersebut juga berlaku terhadap pihak ketiga selama pihak ketiga tersebut terlibat. Agar pihak ketiga (tidak termasuk suami atau istri) mengetahui dan mentaati aturan-aturan dalam perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan tersebut. Apabila tidak didaftarkan maka perjanjian perkawinan hanya mengikat/berlaku bagi pihak yang membuatnya yaitu suami istri yang bersangkutan 25.
Putusan MK 69/2015 telah memperluas pengertian perjanjian pranikah, sehingga perjanjian pranikah tidak lagi hanya dimaknai sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (perjanjian). Ada beberapa akad nikah yang dibuat secara sah namun tidak didaftarkan atau disahkan oleh pejabat yang berwenang.
Metode Penelitian
Dengan demikian, pelaksanaan perjanjian harus dilaksanakan sesuai dengan norma kesusilaan dan kepatutan. Pelaksanaan perjanjian ini merupakan terpenuhinya hal-hal dan kewajiban-kewajiban yang disepakati para pihak agar perjanjian dapat mencapai tujuannya. Dengan demikian, dalam praktiknya masih terdapat kontrak-kontrak yang sah yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif yaitu memberikan gambaran tentang fakta dan kaitannya dengan permasalahan tidak sahnya akta nikah yaitu merugikan penjual karena pihak ketiga, yaitu pencatat perkawinan, melalui proses analisa. pemanfaatan peraturan hukum dan makna hukum yang dikaji peraturan perundang-undangan dan teori hukum dalam praktek serta penerapan hukum positif sesuai dengan identifikasi permasalahan. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis sehingga dapat diambil kesimpulan dari seluruh hasil penelitian. Penelitian yang bersifat deskriptif analisis bertujuan untuk memberikan informasi seakurat mungkin tentang orang, kondisi atau gejala tertentu.
Tujuannya untuk menguatkan hipotesis, memperkuat teori-teori lama atau dalam rangka pengembangan teori-teori baru. “Metode pendekatan hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian hukum kepustakaan.” Data yang diperoleh kemudian ditelaah dengan peraturan perundang-undangan terkait, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya serta sumber lainnya.
Studi kepustakaan merupakan penelitian yang dilakukan terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan erat dengan proses perkawinan dan pascanikah guna memperoleh landasan teori dan memperoleh informasi berupa undang-undang formal serta data melalui naskah resmi yang ada. Wawancara merupakan salah satu cara untuk memperoleh data primer, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mewawancarai pegawai pencatatan perkawinan, pegawai pengadilan agama, serta mengumpulkan bahan-bahan terkait cara inventarisasi Hukum Positif dengan mempelajari dan menganalisis bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan bahan penelitian. bahan hukum dan bahan hukum sekunder. Wawancara yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mewawancarai pihak-pihak yang mempunyai informasi dalam pengumpulan data pada saat penelitian.
Peraturan perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya sesuai dengan asas hukum yang berlaku. Harus mengacu pada hierarki Peraturan Perundang-undangan, yaitu Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau lebih tinggi. Untuk melengkapi data-data yang diperlukan untuk menulis undang-undang ini, penulis mengambil tempat-tempat penelitian antara lain :.