BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Program Indonesia Sehat adalah salahsatu agenda yang sedang diupayakan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat setiap orang agar meningkatnya derajat kesehatan setinggi-tingginya dengan pendekatan keluarga. Kesehatan merupakan keadaan sejahtera baik badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi[1]. Dengan demikian kesehatan harus ditinjau dari beberapa faktor, yang diantaranya fisik, mental dan sosial termasuk didalamnya kesehatan jiwa
Program Indonesia Sehat (PIS-PK) merupakan salahsatu sasaran yang ingin dicapai dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2015- 2019[2]. Sasaran pokok RPJMN 2015-2019, diantaranya: 1) Meningkatkan status kesehatan gizi ibu dan anak; 2) Meningkatnya pengendalian penyakit; 3) Meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan; 4) meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal melalui Kartu Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN kesehatan; 5) terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan, vaksin serta; 6) meningkatnya responsivitas sistem kesehatan[3]. Pembangunan kesehatan dipandang sebagai investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sesuai dengan amanat UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan[4].
Terdapat 12 Indikator utama PIS-PK yang telah disepakati untuk penanda status kesehatan sebuah keluarga, salah satunya Program Indonesia Sehat indikator 8 ialah penderita gangguan jiwa mendapat pengobatan dan tidak diterlantarkan, yang artinya jika di dalam keluarga terdapat anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa berat dan penderita tersebut tidak diterlantarkan dan/atau dipasung serta diupayakan kesembuhannya.
Kesehatan mental adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri menerima dirinya dengan segala kekurangan dan kelebihan, memahami dan menilai orang
lain secara subjektif, dan menyadari bahwa dirinya hidup tidak terlepas dari masyarakat atau lingkungan sekitar, sehingga harus mengetahui norma, peraturan, dan adat istiadat[5]. Gangguan jiwa merupakan penyakit yang mempengaruhi pola fikir dan perilaku penderitanya.
Terdapat 450 juta orang orang menderita gangguan jiwa dan perilaku diseluruh dunia. Diperkirakan satu dari empat orang akan menderita gangguan mental selama masa hidup mereka. Menurut WHO regional Asia Pasifik (WHO SEARO) jumlah kasus gangguan depresi terbanyak di India (56.675.969 kasus atau 4,5% dari jumlah populasi), terendah di Madives (12.739 kasus atau 3,7% dari papulasi). Sedangkan di Indonesia sebanyak 9.162.886 kasus atau 3,7% dari populasi[6]. Dari angka penderita gangguan jiwa yang tiap tahun meningkat seharusnya perawatan atau pengobatan yang ditawarkan juga semakin beragam, namun hal ini tidak berlaku di Indonesia, penderita gangguan kesehatan mental dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan penderitanya harus dikucilkan. Dengan berbagai opsi pengobatan penderita gangguan kesehatan mental, masyarakat masih tetep memilih untuk berobat ke dukun atau orang pintar karena beranggapan bahwa sakit mental atau sakit jiwa disebebkan oleh gangguan makhluk halus atau sebahainya[7].
Berdasarkan data Riskesdas 2013 diketahui prevalensi gangguan jiwa berat secara nasional sebesar 1,7‰ (1.728 orang). Kondisi ini menurun dari tahun 2007 yang mencapai sebanyak 4,6‰. Prevalensi psikosis atau skizofernia tertinggi di Yogyakarta (2,7‰), aceh (2,7‰) dan Sulawesi Selatan (2,6‰), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7‰). Selanjutnya, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan terdapat sekitar 6% atau sebesar 37.728 orang.
Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah (11,6%), Sulawesi Selatan (9,3%), Jawa Barat (9,3%), sedangkan prevalensi terendah di Provinsi Lampung sekitar 1,2%.[8]
Gangguan jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi. Gangguan jiwa bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.
Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai gangguan jiwa, ada yang percaya bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya.
Orang dengan keterbelangan mental atau cacat mental berbeda penanganan dengan mereka yang menderita sakit mental. Cacat mental bukanlah suatu penyakit, mereka adalah suatu keadaan yang tidak dapat dicegah. akan tetapi mereka dapat belajar sehingga mampu untuk menjalankan hidup. Orang dengan gangguan jiwa keterbelakangan mental kerap kali mendapatkan perilaku yang sama dan dianggap sebagai sebuah musibah atau bencana. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya pemahaman dari masyarakat menganai gangguan jiwa dan cacat mental.
Pengetahuan mengenai penyakit mental dan keterbelakangan mental harus dipahami, karena apabila mengabaikan informasi dan pengetahuan tentang kesehatan mental para penderita tidak dapat berkembang karena kurangnya motivasi yang akan menghambat perkembangan para penderita dan menimbulkan ketergantungan (tidak mandiri).
Hal tersebut merupakan salah satu tugas tenaga kesehatan sebagai upaya penanggulangan kesehatan mental yang sejauh ini masih belum menjadi prioritas dalam penanganan kesehatan di Indonesia. Tenaga kesehatan dan masyarakat harus paham bagaimana penanganan yang benar terkait gangguan mental yang semakin meningkat.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengevaluasi dan merangkum beberapa jurnal yang berkaitan dengan upaya kesehatan mental di masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Banyak indivdu yang mengalami kasus gangguan jiwa, yang disadari maupun tidak disadari oleh penderitanya dan masih banyak masyarakat menganggap gangguan jiwa adalah aib yang harus ditutupi, menjadikan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) selalu dikucilkan karena malu dan/atau mengganggu lingkungan sekitar, selain itu masih belum ada upaya optimal dari tenaga kesehatan. Maka permasalahan yang dibahas untuk penyusunan dalam penyebab ini adalah bagaimana Upaya Kesehatan Mental di Masyarakat”?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui upaya kesehatan mental di masyarakat
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui Upaya Preventif pada Kesehatan Mental di Masyarakat b) Mengetahui Upaya Promotif pada Kesehatan Mental di Masyarakat c) Mengetahui Upaya Kuratif pada Kesehatan Mental di Masyarakat d) Mengetahui Upaya Rehabilitatif kesehatan Mental di Masyarakat D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang akan dicapai, maka diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Adapun penelitian ini sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a) Menambah wawasan dan pengetahuan tentang kejadian kesehatan mental pada masyarakat.
b) Sebagai referensi untuk penelitian-penelitian lanjutan yang berhubungan dengan kejadian kesehatan mental.
2. Manfaat Praktisi
a) Bagi Institusi Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sebuah masukan dalam penanggulangan kesehatan mental pada masyarakat.
b) Bagi Dinas Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan informasi dalam memperkuat kebijakan dan strategi dalam menanggulangi kesehatan mental pada masyarakat.
c) Bagi STIKes Dharma Husada Bandung
Penelitian ini diharapkan menjadi tambahan informasi bagi penelitian selanjutnya dengan variabel yang lain.
d) Bagi Peneliti
Hasil penelitian diharapkan mendapatkan informasi dan wawasan tentang upaya kesehatan mental pada masyarakat.
E. Ruang Lingkup
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode desain systematic review. Waktu penyusunan skripsi dilaksanakan dari mulai Maret sampai bulan
Juni tahun 2020. Instrumen yang digunakan merupakan beberapa jurnal penelitian mengenai upaya kesehatan mental masyarakat. Sampel pada penelitian ini adalah beberapa jurnal dan dianalisis, tujuan penyusunan skripsi ini adalah mengetahui upaya-upaya kesehatan mental pada masyarakat. Penelitian ini menggunakan 6 jurnal nasional dan 4 jurnal internasional.