1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia merupakan negara penyumbang kasus Tuberkulosis (TB) terbanyak ketiga di dunia setelah India dan China. Saat ini, kasus TB di Tanah air diperkirakan mencapai 845 ribu kasus dengan angka kematian yang mencapai 93 ribu kasus. Sebelum pandemi Covid 19, TB dikenal sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit infeksi di dunia, terutama pada komunitas dan masyarakat yang berada di bawah kemiskinan. Dengan situasi pandemi Covid 19 tentunya berpotensi menghapus progresivitas keberhasilan penanganan TB di Indonesia yang telah dicapai selama 20 tahun ke belakang1,2.
Data dari 84 negara di seluruh dunia melaporkan bahwa setidaknya terdapat penurunan hingga 1,4 juta pasien TB pada tahun 2020. Padahal, WHO telah memprediksi bahwa akan ada 10 juta kasus baru TB pada tahun 2020, tetapi hanya 5,8 juta kasus yang tercatat dan dilaporkan. Bahkan jumlah kasus ini menurun sekitar 18% daripada data tahun 2019. Fenomena ini terutama terjadi di negara Asia, termasuk India, Indonesia, Filipina, dan China. WHO juga mencatat terdapat sedikitnya 1,3 juta kematian pada tahun 2020 akibat TB3,5.
Menurut sebuah studi terbaru, dampak dari pandemi virus corona secara substansial kemungkinan bisa meningkatkan jumlah kematian akibat Human
Immunodeficiency Virus (HIV), Tuberkulosis dan Malaria. Covid 19 telah
mengganggu sebanyak 85 persen program HIV, 78 persen proyek tuberkulosis, dan 73 persen program malaria yang dikelola oleh Global Fund.(1) Mengacu pada data UNAIDS Indonesia tahun 2019 ada sekitar 46.000 infeksi baru HIV yang terjadi di Indonesia, dengan jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 38.000 kasus (meningkat 60% sejak tahun 2010 lalu). Sementara, total Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebanyak 640.000 orang 1.
Temuan HIV di Jawa Barat hingga Juni 2021 tercatat mencapai 51.553 kasus. Angka ini sekitar 80 persen dari estimasi tahun 2020 yaitu sebanyak 64.635 kasus. Temuan tersebut tercatat lebih tinggi dari indikator input Rencana Aksi Nasional (RAN) 2020-2024 untuk tahun 2021 sebesar 69 persen.
Data kasus AIDS ditemukan hingga Juni 2021 sebanyak 11.722, meningkat sebanyak 8 persen dari jumlah kasus AIDS di tahun 2019. 2
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan kasus TB terbanyak dan berada di peringkat pertama. Dimana per 19 April 2022 kasus penderita terkonfirmasi TB hingga mencapai 31.848 orang3. Dalam profil kesehatan Kota Bandung tahun 2019 tercatat penderita Semua Kasus TB (semua tipe) sejumlah 11.959 orang, dengan rincian 8.892 penderita berdomisili di Kota Bandung dan 3.067 penderita di luar wilayah Kota bandung. Jumlah terduga tuberkulosis yang mendapatkan pelayanan sesuai standar sebanyak 33.521 orang terdiri dari 26.639 penderita yang berdomisili di Kota Bandung dan 6.882 penderita dari luar wilayah Kota Bandung 3.
Jumlah HIV Positif Baru di Kota Bandung kurun waktu 2015 - 2019 memperlihatkan kecenderungan yang meningkat. Jumlah penderita HIV Positif baru tahun 2019 meningkat 56 orang dari tahun 2018 lalu yang sebesar 301 pendertia. Sedangkan untuk jumlah penderita AIDS pada periode yang sama trennya sempat menurun hingga tahun 2018 dan meningkat kembali di tahun 2019. Jumlah komulatif penderita AIDS di Kota Bandung hingga tahun 2019 sebanyak 2.640 penderita3,4.
Survei UNAIDS Indonesia menunjukkan sekitar 41,1% ODHA mengalami kecemasan sangat berat akan kemungkinan ikut terpapar Covid - 19. Kebanyakan mereka khawatir terhadap kesehatan diri sendiri, khawatir tentang kesehatan anggota keluarga, khawatir akan stigma terkait status HIV, dan khawatir akan kemampuan mendapatkan obat. Di Indonesia, keterbatasan stok obat Anti Retro Viral (ARV) yang membantu pengidap HIV bertahan hidup telah menjadi permasalahan yang tak kunjung usai5,6,7.
Pandemi Covid-19 membawa kerisauan tersendiri bagi pasien TB maupun HIV di Indonesia. Kerisauan ini dinilai turut berdampak pada keengganan pasien TB HIV untuk berobat ke rumah sakit. Dalam masa pandemi, orang akan menghindari berobat karena takut akan wabah penyakit.
Selain itu sistem kesehatan yang kewalahan pada akhirnya tidak mampu menyediakan layanan yang diperlukan. Para ahli memprediksi akan terjadi lonjakan kasus baru TB atau TB RO (Tuberkulosis Resisten Obat) maupun HIV ketika pandemi mereda5,6,7.
Data jumlah kasus TB HIV yang turun pada tahun 2020 diduga bukan karena jumlah penderita yang benar menurun, tetapi karena kurangnya pelaporan atau diagnosis akibat penurunan akses ke perawatan kesehatan.
Tahun 2020 merupakan awal pandemi Covid 19, di mana terjadi pembatasan mobilitas masyarakat sehingga jumlah pasien dan jam layanan fasilitas kesehatan diturunkan. Kondisi ini mempengaruhi diagnosis dini kasus baru dan memperberat penanggulangan TB HIV5,6,7 serta berpengaruh pula pada pelaksanaan evaluasi program pengendalian TB HIV yang dilakukan oleh pemerintah.
Program pengendalian TB HIV yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kedua penyakit tersebut, yaitu program kolaborasi TB HIV.
Tujuan utama program ini yaitu: (1) Meningkatkan jejaring layanan kolaborasi antar program di semua tingkat, serta komitmen politis dan mobilisasi dari sumber daya; (2) Meningkatkan akses tes HIV, pembangunan jejaring pelayanan diagnosis dan pengobatan; (3) Memastikan pasien terdiagnosis dapat secara cepat dirujuk untuk mendapat dukungan dan pemberian pengobatan HIV/AIDS; (4) Memastikan pendekatan pelayanan kepada pasien dengan “One Step Services”; (5) Monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi TB HIV; (6) Ekspansi ke seluruh layanan kesehatan di Indonesia10,11,12.
Salah satu program kolaborasi TB HIV yang paling terdampak selama pandemi Covid – 19 adalah layanan VCT (Voluntary Counseling and Testing) atau biasa disebut Konseling dan Tes Sukarela (KTS) merupakan pintu masuk yang penting bagi pasien untuk mendapatkan pelayanan HIV. Penelitian
menunjukkan bahwa orang dengan HIV berisiko 18 kali lebih besar untuk terinfeksi TB aktif dan lebih dari 25% kematian pada ODHA disebabkan oleh TB9,13 sehingga upaya penemuan kasus HIV dengan VCT menjadi hal yang penting.
VCT merupakan bagian dari program pengendalian TB HIV yang diselenggarakan oleh Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung dalam upaya menurunkan beban HIV pada pasien TB. Tes VCT merupakan landasan awal terhadap layanan pencegahan dan perawatan HIV/AIDS. Tes ini memiliki peran konstruktif dalam menangani berbagai masalah dan komplikasi yang dihadapi oleh orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Dengan berbekal pengetahuan yang baik, VCT tidak hanya mampu mencegah penularan HIV, namun juga mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS termasuk penderita TB HIV
12,20.
Berdasarkan data pelaporan kegiatan VCT di BBKPM Bandung dalam rentang tahun 2019 – 2021 jumlah kunjungan VCT selama pandemi mengalami penurunan. Pada tahun 2019 jumlah kunjungan sebanyak 269 orang dengan kasus terkonfirmasi HIV sebanyak 6 orang, sedangkan pada tahun 2020 sebanyak 214 orang dengan kasus terkonfirmasi HIV sebanyak 4 orang dan pada tahun 2021 sebanyak 89 orang dengan kasus terkonfirmasi HIV sebanyak 3 orang34. Penurunan kunjungan ini akan mengakibatkan angka temuan kasus HIV menurun serta memperlambat diagnosa dan penanganan HIV 12
Infeksi HIV pada awalnya tidak menimbulkan gejala awal HIV yang jelas sehingga seseorang sering tidak menyadari jika sudah terinfeksi dan berisiko menularkannya pada orang lain. Oleh karena itu, diperlukan tes skrining untuk mendeteksi HIV sedini mungkin sehingga dapat mencegah penularan virus dan dapat segera dilakukan pengobatan lebih cepat sehingga infeksi HIV tidak terlambat berkembang menjadi AIDS dan bahkan kematian
28,29.
Berdasarkan uraian diatas, dalam upaya pengendalian TB HIV yang optimal maka penting untuk mengetahui pelaksanaan program pengendalian TB HIV selama masa pandemi Covid – 19.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah “Bagaimana pelaksanaan program pengendalian TB HIV pada masa Pandemi Covid 19 di BBKPM Bandung?”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevaluasi program pengendalian TB HIV di BBKPM Bandung selama masa pandemi Covid 19.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi program pengendalian TB HIV di BBKPM Bandung.
b. Mengetahui pelaksanaan program pengendalian TB HIV di BBKPM Bandung selama pandemi Covid 19
c. Mengidentifikasi capaian program dan permasalahan program pengendalian TB HIV selama masa pandemi Covid 19.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan, wawasan, dan pengalaman mengenai mengevaluasi program pengendalian TB HIV di BBKPM Bandung selama masa pandemi Covid 19 serta sebagai aplikasi ilmu yang telah didapatkan selama perkuliahan peminatan Manajemen Pelayanan Kesehatan di Fakultas Kesehatan Masyarakat.
2. Bagi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Dharma Husada Bandung Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu di STIKes Dharma Husada Bandung serta dapat dijadikan tambahan referensi untuk penelitian lain yang ingin melakukan penelitian berikutnya mengenai evaluasi program pengendalian TB HIV di instansi kesehatan lainnya.
3. Bagi Institusi BBKPM Bandung
Semoga dengan penelitian ini dapat memberikan masukan yang positif bagi pelayanan Kesehatan di BBKPM Bandung dan dapat memberi motivasi kepada semua pihak yang terlibat untuk melakukan langkah- langkah perbaikan dalam program pengendalian TB HIV.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun ruang lingkup yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu:
1. Ruang Lingkup Metode
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data yang digunakan data primer yang terdiri dari wawancara dan data sekunder dengan telaah dokumen.
2. Ruang Lingkup Waktu
Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih dua bulan. Terhitung dari Bulan Juli s/d Agustus Tahun 2022.
3. Ruang Lingkup Tempat
Tempat penelitian ini dilaksanakan di BBKPM Bandung.