• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Saat ini pengembangan usaha melalui sistem waralaba ( franchise) mulai banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, dalam kaitannya dengan hal tersebut, Direktorat Jenderl Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Republik Indonesia, menugaskan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) untuk mengadakan suatu penelitian mengenai kebijakan-kebijakan-kebijakan yang perlu diambil untuk membina, mengembangkan, dan melindungi usaha Waralaba di Indonesia.1

Sebagai suatu cara pemasaran dan distribusi, Waralaba merupakan alternatif lain di samping saluran konvensional yang dimiliki perusahaan sendiri. Cara ini memungkinkan untuk mengembangkan saluran eceran yang berhasil tanpa harus membutuhkan investasi besar-besaran dari perusahaan induknya. Bisnis franchising, bagaimanapun bentuknya bertujuan untuk memperpanjang atau memperlebar dunia bisnis dan industri. Hal ini tidak dapat disamakan dengan bisnis penyewaan seragam, ataupun dokter gigi. Singkatanya aktivitas ini dapat digunakan dibanyak kegiatan ekonomis dimana sistemnya terbentuk karena adanya manufacture, proses dan/atau

1 Amores Hendra. Tinjauan Yuridis Perjanjian Franchise Berdasarkan Undang-Undang Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual, Skrripsi, Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, Medan, 2008, hlm. 1

(2)

distribusi barang-barang atau usaha pemberian jasa, inilah sistem dan masalah subjek dari franchising.2

Kehidupan manusia di jaman modern ini begitu cepat berputar setiap hari dipaksa oleh sistem untuk bekerja demi mempertahankan hidup, sehingga mereka yang tidak dapat bertahan dalam persaingan pada akhirnya akan tersisih.

Kehidupan yang serba cepat ini memacu manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara cepat pula. Pemenuhan kebutuhan hidup secara cepat telah membuka peluang bagi pelaku bisnis untuk memikirkan pola pendistribusian barang atau jasa dengan baik dan tepat.3

Pelaku bisnis di Indonesia didominasi oleh pengusaha kecil dan menengah harus sudah mulai memikirkan nasibnya agar dapat bertahan terus. Salah satu cara untuk bertahan adalah adanya pola distribusi barang dan jasa yang baik, sehingga hasil produksi dari pelaku bisnis dapat disalurkan serta diserap oleh konsumen secara optimal,4 kemudian pelaku usaha dituntut untuk memenuhi cara yang dapat dianggap efektif untuk memperluas jaringan usaha. Cara yang dianggap efektif untuk memperluas jaringan usaha pada saat ini melalui pola waralaba. Pola ini dinilai efektif serta menjawab tantangan jaman modern saat sekarang, dan bukan berarti pola

2Ibid

3Suryati, dkk. Akibat Hukum Terhadap Wanprestasi Dalam Perjanjian Waralaba Lapis Legit Spesial Nyidam Sari, Makalah, Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma, Purwokerto, Tanpa Tahun, hlm. 1-2

4 Lindawati P Sewu, Franchise Pola Bisnis Spektakuler (Dalam Perspektif Hukum Dan Ekonomi), Utomo, Bandung, 2004, hlm. 1

(3)

pendistribusian barang atau jasa melalui pola agen, distributor dan lain-lain tidak efektif.5

Di Indonesia, bisnis penjualan secara retail semacam waralaba mulai dikembangkan, banyak sekali bermunculan pebisnis-pebisnis lokal yang melirik penjualan barang atau jasanya secara waralaba, misalnya :

1) Pertamina yang mempelopori penjualan retail bensin melalui lisensi pompa bensin.

2) Ayam Goreng Wong Solo dan Tahu Tek-Tek, yang mempelopori bisnis waralaba di bidang makanan

3) Es Teler 77 yang mempelopori dalam bidang minuman

4) Primagama yang mempelopori waralaba dalam bidang jasa pendidikan

Di Indonesia, sistem bisnis penjualan secara waralaba sangat diminati oleh pebisnis waralaba asing dimana mereka memberikan izin kepada pengusaha lokal untuk mengelola waralaba asing tersebut dan tentunya akan berakibat menimbulkan saingan yang berat bagi pengusaha kecil lokal yang bergerak di bidang usaha sejenis.

Begitu menarik dan menguntungkannya bisnis waralaba ini, maka pemerintah berkepentingan pula untuk mengembangkan bisnis di Indonesia guna terciptanya iklim kemitraan usaha melalui pemanfaatan lisensi sistem bisnis waralaba. Dengan bantuan International Labour Organization (ILO) dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, kemudian didirikan Asosiasi Waralaba Indonesia pada tanggal 22

5Suryati, dkk, Op. Cit. hlm 2

(4)

Nopember 1991. Pada Tahun 1995 berdiri pula Asosiasi Restoran Waralaba Indonesia (ARWI) yang mengkhususkan diri di bidang usaha restoran. Asosiasi ini bertujuan untuk mengembangkn sumber daya manusia bekualitas di bidang usaha restoran waralaba, mengembangkan informasi dan inovasi teknologi di bidang usaha restoran terutama mengenai teknologi makanan, peralatan masak, kemasan, kesehatan dan gizi, pengawetan dan manajemen pelayanan.6

Melalui sistem bisnis waralaba ini, kegiatan usaha para pengusaha kecil di Indonesia dapat berkembang secara wajar dengan menggunakan resep, teknologi, kemasan, manajemen pelayanan, merek dagang / jasa pihak lain dengan membayar sejumlah royalti berdasarkan lisensi waralaba. Di samping itu pengembangan sumber daya manusia berkualitas menjadi penting melalui pelatihan keterampilan menjalankan usaha waralaba yang diselenggarakan oleh pihak pemberi lisensi waralaba. Para pengusaha kecil tidak perlu bersusah payah menciptakan sendiri sistem bisnis, sudah cukup dengan menyediakan modal kemitraan usaha, membayar royalti, dengan memanfaatkan sistem bisnis waralaba asing melalui lisensi bisnis.

Menurut Douglas J Queen, konsep bisnis waralaba yang sudah teruji kemungkinan besar mengimbangi biaya awal dan royalti selanjutnya dari waralaba

6Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm. 335

(5)

tersebut. Besarnya biaya tersebut memberikan hak pada pemilik waralaba berupa penyediaan pelayanan utama berikut ini :7

1) Pemilihan dan pengkajian lokasi 2) Spesifikasi peralatan dan tempat 3) Pelatihan manajemen dan staf 4) Dukungan promosi dan iklan 5) Manfaat pembelian dan volume 6) Merek dagang yang terkenal

Berdasarkan penyediaan pelayanan tersebut oleh pemilik waralaba, maka pembeli waralaba mempertimbangkan kemungkinan memperoleh keuntungan bila membeli / meneriman izin perolehan waralaba, dengan kata lain, pemberi waralaba melisensikan waralaba disertai penyediaan utama yang dapat menguntungkan penerima waralaba.

Para pihak yang ingin menyelenggarakan usaha waralaba harus berdasarkan sebuah perjanjian yang dikenal dengan nama perjanjian waralaba. Pasal 1319 KUH Perdata menentukan dua kelompok perjanjian, yaitu:8

1) Perjanjian bernama atau nominaat contracten, disebut demikian karena merupakan perjanjian yang diberi nama dan pengaturan secara khusus dalam undang-undang, seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.

2) Perjanjian tak bernama atau innominaat contracten, disebut demikian karena merupakan perjanjian yang belum mempunyai nama tertentu dan belum diatur secara khusus dalam undang-undang, seperti perjanjian sewa beli, perjanjian kerjasama dan lain sebagainya.

7Ibid. hlm. 337

8Salim HS. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 1. Dalam Suryati, dkk, Ibid. hlm. 2

(6)

Salah satu perjanjian tak bernama ialah perjajian waralaba Lapis Legit Spesial Nyidam Sari. Perjanjian ini merupakan perjanjian jenis baru, yang tumbuh dan berkembang di dalam praktek sehari-hari, sehingga belum dikenal secara khusus dalam KUH Perdata, melainkan waralaba sendiri diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Waralaba menurut Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007, bahwa:

“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa waralaba ialah perikatan antara dua pihak dimana para pihak tersebut adalah pemberi dan penerima waralaba. Pemberi waralabaadalah “orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba”9, sedangkan penerima waralaba adalah

“Orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba”.10

Para pihak yang akan menyelenggarakan usaha waralaba harus berdasarkan perjanjian tertulis yang dibuat antara para pihak sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007, yang menentukan bahwa

9Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007

10Pasal 1 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007

(7)

“Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia”.

Salah satu usaha yang menggunakan prinsip waralaba di Purwokerto, adalah Lapis Legit Spesial Nyidam Sari. Lapis Legit Spesial Nyidam Sari dalam mengembangkan usahanya menggunakan prinsip waralaba dengan pihak lain yang ingin mengembangkan usaha yang sama di wilayah lain, dengan cara pemberi waralaba Lapis Legit Spesial Nyidam Sari mengadakan perjanjian dengan penerima waralaba yang ingin membuka usaha lapis legit yang sama dengan Lapis Legit Spesial Nyidam Sari di wilayah lain, seperti yang dilakukan oleh M (nama samaran) pemilik dan pemegang merk Lapis Legit Spesial Nyidam Sari Cabang Jakarta sebagai pemberi waralaba yang mengadakan perjanjian waralaba dengan S (nama samaran) sebagai penerima waralaba yang akan membuka usaha di Purwokerto.11

Semakin menjamurnya bisnis waralaba saat ini, pemerintah memandang perlu untuk mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha Pemberi Waralaba baik dari luar negeri dan dalam negeri guna menciptakan transparansi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha nasional dalam memasarkan barang dan/atau jasa dengan Waralaba. Disamping itu, Pemerintah dapat memantau dan menyusun data Waralaba baik jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan.

Untuk itu, Pemberi Waralaba sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba, harus menyampaikan prospektus penawaran Waralaba

11Suryati, dkk. Op. Cit. hlm. 3

(8)

kepada Pemerintah dan calon Penerima Waralaba. Disisi lain, apabila terjadi kesepakatan perjanjian Waralaba, Penerima Waralaba harus menyampaikan perjanjian Waralaba tersebut kepada Pemerintah. Berdasarkan alasan tersebut pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

Kejelian memilih waralaba sebenarnya hanyalah sebagian dari serangkaian kiat sukses di bisnis ini. Selain itu prinsip kehati-hatian juga harus dijaga. Perjanjian yang akan dibuat hendaknya benar-benar dipahami oleh para pihak agar dikemudian hari tidak terjadi sengketa yang berujung pada gugatan wanprestasi salah satu pihak.

Contoh sengketa yang terjadi mengenai tindakan wanprestasi dari pemberi waralaba namun dalam fakta persidangan ternyata yang terbukti penerima waralaba yang melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut :

Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) dikenal sebagai lembaga pendidikan yang menjanjikan lulusannya bisa langsung kerja.

Dengan merek ini, LP3I pun terus berkembang pesat. Cabang-cabang LP3I mulai menjamur di sejumlah daerah di Indonesia melalui skema bisnis waralaba. Namun, hubungan bisnis LP3I dengan para investor pewaralabanya tidak selalu berjalan mulus. Saat ini, LP3I tengah tersangkut gugatan wanprestasi yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan dilayangkan oleh Aziz Sudaryanto penerima waralaba LP3I untuk cabang Surabaya terhadap Presiden Direktur LP3I,

(9)

Rizal Diansyah. Aziz menuding Rizal telah melakukan wanprestasi atas perjanjian waralaba.

Berdasarkan berkas gugatan, hubungan hukum antara Aziz dan Rizal berawal dari perjanjian waralaba yang ditandatangani pada 9 Maret 2005. Perjanjian itu memberikan hak kepada Azis untuk menjalankan usaha dengan menggunakan nama LP3I, dengan disertai hak dan kewajiban. Aziz mengaku tertarik untuk investasi Waralaba LP3I karena keuntungan yang ditawarkan. Sebagaimana tercantum dalam brosur yang dikeluarkan LP3I, investasi type B akan memberikan keuntungan sebesar Rp2.091.241.300 dalam jangka waktu lima tahun. Aziz pun menyepakati perjanjian waralaba dengan Rizal melalui perjanjian No.13/FRC-LP3I/03-05. Berdasarkan perjanjian tersebut, Rizal memiliki kewajiban untuk menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan. Namun, Rizal tidak melaksanakan kewajiban seperti yang ditentukan. Rizal tidak memberikan materi ajaran sepenuhnya. Rizal juga tidak pernah mengundang Aziz dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang merupakan forum untuk membahas evaluasi, rencana, dan strategi pendidikan. Aziz telah menyampaikan masukan, namun tidak pernah mendapat tanggapan. Baru pada 5 Mei 2010, Rizal melalui kuasa hukumnya memberikan tanggapan. Rizal menawarkan kompensasi berupa perpanjangan perjanjian waralaba selama satu periode (lima tahun) tanpa dikenakan biaya waralaba. Namun, tawaran ditampik Aziz. Akibat wanprestasi yang dilakukan Rizal, kualitas pendidikan dan siswa LP3I di tempat Aziz menjadi berkurang. Hal itu jelas menyimpang dari maksud

(10)

dan tujuan dibuat dan ditandatanganinya perjanjian. Selain itu, wanprestasi yang dilakukan Rizal menyebabkan Aziz tidak dapat melaksanakan program pendidikan sebagaimana paket yang ditawarkan. Aziz juga tidak dapat melaksanakan pembahasan evaluasi, rancana dan strategi pendidikan LP3I ke depan yang seharusnya difasilitasi Rizal setiap tahunnya melalui Rakernas. Dalam gugatannya, Aziz mengklaim telah mengalami kerugian tidak kurang dari Rp 2,5 Miliar. Kerugian itu terdiri dari kerugian riil sebesar Rp1.078.233.665 (Satu Milyar Tujuh Puluh Delapan Juta Dua Ratus Tiga Puluh Tiga Ribu Enam Ratus Enam Puluh Lima Rupiah) kerugian waktu Rp 405.565.354 (Empat Ratus Lima Juta Lima ratus Enam Puluh Lima Tiga Ratus Lima Puluh Empat Rupiah) dan kerugian moral sebesar Rp1,5 Miliar.12

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PIHAK PENERIMA DALAM PERJANJIAN WARALABA

LEMBAGA PENDIDIKAN ATAS WANPRESTASI”

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas maka rumusan masalah yang di kaji yaitu:

“Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak penerima dalam perjanjian waralaba lembaga pendidikan atas wanprestasi”.

12 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ca7c11d45c35/presdir-lp3i-digugat-wanprestasi.

Diakses Tanggal 18 Agustus 2017

(11)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap pihak penerima dalam perjanjian waralaba lembaga pendidikan atas wanprestasi.

2. Sebagai salah satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu sebagai berikut :

1. Diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya untuk menambah wawasan bagi kalangan akademik tentang perlindungan hukum terhadap pihak penerima dalam perjanjian waralaba lembaga pendidikan atas wanprestasi.

2. Diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi dan peneliti dalam bidang Ilmu Hukum khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap pihak penerima dalam perjanjian waralaba lembaga pendidikan atas wanprestas.

E. Kerangka Konseptual

Sehubungan kaitan pembangunan ekonomi, Sunaryati Hartono13 menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi tersebut sangat memerlukan sarana dan prasarana hukum agar benar-benar dapat mencapai tujuan sesuai dengan yang

13 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 30.

(12)

direncanakan. Sangat penting untuk menjaga keseimbangan, keserasian dan keselarasan untuk berbagai kepentingan dalam masyarakat dengan selalu menjaga keseimbangan dan keserasian antara berbagai pihak tersebut, maka dinamika kegiatan ekonomi nasional dapat diarahkan kepada keinginan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Untuk mencapai hal-hal tersebut hukum diharapkan harus berubah lebih dahulu melalui pembangunan hukum yang mencakup: (1) membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, (2) membuat sesuatu yang menjadi lebih baik dan lebih modern, (3) meniadakan sistem yang lama karena tidak diperlukan lagi dan tidak cocok lagi dengan sistem yang baru.

KUHPerdata menyebut perjanjian dengan istilah persetujuan. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, pengertian persetujuan dapat didefinisikan sebagai “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”.

Menurut R. Wirjono Projodikoro, disebutkan bahwa “perjanjian merupakan perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam hal mana satu pihak berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu”.14 Sedangkan menurut R. Subekti, bahwa perjanjian adalah” suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana

14Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Eresco, Bandung, 1981, hlm. 7

(13)

dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu timbulah suatu hubungan hukum antara dua pihak yang dinamakan perikatan”.15

Perjanjian waralaba merupakan perjanjian khusus karena tidak dijumpai dalam KUHPerdata. Perjanjian ini dapat diterima karena didalam KUHPerdata yaitu Pasal 1338 ayat (1) menyebutkan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata semua mengandung arti seluruh perjanjian, ini berarti ada kebebasan berkontrak dalam membuat suatu perjanjian. maksudnya kebebasan berkontrak yaitu kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, bahwa bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas memilih dengan siapa akan membuat perjanjian, bebas menentukan bentuk perjanjian, bebas menentukan isi perjanjian dan bebas menentukan cara membuat perjanjian.

Perjanjian yang dibuat secara sah jika memenuhi syarat yang terdapat pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu adanya kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian, para pihak cakap bertindak dalam hukum, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal.16 Menurut Thomas Hobbes dalam buku Johannes Ibrahim menyebutkan bahwa kebebasan berkontrak merupakan bagian dari kebebasan manusia, menurutnya “kebebasan hanya dimungkinkan apabila orang dapat dengan bebas bertindak sesuai dengan hokum”.17

15Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Jakarta, 2004, hlm. 74

16Adrian Sutedi, Hukum Franchise, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 96

17Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas KebebasanBerkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Utomo, Bandung, 2003, hlm. 91

(14)

Menurut Subekti dalam buku Johanes Ibrahim menyebutkan bahwa “asas kebebasan berkontrak berarti para pihak dapat membuat perjanjian apa saja, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan”.18 Sedangkan Menurut Johanes Gunawan dalam buku Djaja S. Meliala menyebutkan

“penggunaan perjanjian baku menyebabkan asas kebebasan berkontrak kurang atau bahkan tidak dapat diwujudkan”.19

KUHPerdata memberikan pembatasan kepada kebebasan berkontrak, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menentukan perjanjian dapat dibatalkan apabila dibuat tanpa adanya sepakat dari para pihak, ketentuan ini memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh asas konsensual, Pasal ini mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya atau dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensual.

Menurut Herlien Budiono yang membatasi/ pembatasan terhadap kebebasan berkontrak yaitu“adanya cacat, dalam tercapainya kata sepakat, seperti adanya unsur paksaan, keliru dan tipuan serta bertentangan dengan kesusilaan, kepatutan dan kepentingan umum”.20 Pada intinya bertentangan dengan hukum, dapat disimpulkan hukum merupakan pembatas perlindungan para pihak didalam perjanjian. Perjanjian

18Ibid

19Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hlm. 97

20Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 11

(15)

yang baik, hak dan kewajiban para pihak seimbang, tidak ada yang dirugikan sehingga terhindar dari masalah.

Asas-asas hukum perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, ada tiga asas yaitu:21

1) Asas konsensualisme, bahwa perjanjian yang dibuat pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensual, artinya perjanjian itu dibuat karena persesuaian kehendak atau konsensual.

2) Asas kekuatan mengikat dari perjanjian, bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah diperjanjikan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang- Undang bagi para pihak yang membuatnya.

3) Asas kebebasan berkontrak, bahwa orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat- syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih undang-undang mana yang akan digunakan dalam perjanjian itu.

Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan- alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

21Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 46

(16)

Adapun ketentuan petunjuk yang pertama-tama dapat di jadikan pedoman untuk menentukan keabsahan suatu perjanjian adalah, ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata bahwa “Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat dalam bab ini dan dan bab yang lalu”.

Perjanjian bernama sebagaimana dimaksud ketentuan tersebut di atas adalah perjanjian-perjanjian yang diberi nama oleh pembentuk Undang-Undang yaitu perjanjian-perjanjian di dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII Buku III KUH Perdata. Sedangkan perjanjian yang tidak terkenal dengan nama tertentu adalah perjanjian-perjanjian di luar Bab-Bab tersebut. Dengan demikian, perjanjian franchise termasuk dalam perjanjian yang tidak terkenal dengan nama tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 1319 KUH Perdata, tetapi tetap tunduk degan ketentuan- ketentuan Bab I dan Bab II Buku III KUH Perdata.

Dalam perjanjian waralaba harus tunduk dan diatur oleh perangkat-perangkat hukum yang sebagai dasar hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian franchise. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba, Peraturan Perdagangan Republik Indonesia No. 31/M-DAG/PER/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, perjanjian franchise doorsmeer Mobil PAC bagi para pihak.

Syarat sah perjanjian sehingga berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

(17)

1) Syarat subyektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan, yang meliputi :

a) Sepakat mereka mengikatkan dirinya.

b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

2) Syarat Obyektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum, yang meliputi :

a) Suatu hal (objek) tertentu b) Suatu sebab (causa) yang halal

Dalam hukum perjanjian, perjanjian waralaba merupakan perjanjian khusus karena tidak dijumpai dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian ini dapat diterima dalam hukum karena didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditemui satu pasal yang mengatakan adanya kebebasan berkontrak. Pasal itu mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang- Undang bagi mereka yang membuatnya.22

Perjanjian dibuat secara sah artinya bahwa perjanjian itu telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Artinya perjanjian itu tidak bertentangan dengan Agama dan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan undang-undang itu sendiri. Perjanjian waralaba dapat dikatakan suatu perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang-undang, agama ketertiban umum dan kesusilaan, karena itu perjanjian waralaba itu sah, dan oleh

22Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(18)

karena itu perjanjian itu menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dan mengikat kedua belah pihak.

Pada dasarnya waralaba berkenaan dengan pemberian izin oleh seorang pemilik waralaba kepada orang lain atau beberapa orang untuk menggunakan sistem atau cara pengoperasian suatu bisnis. Pemberian izin ini meliputi untuk menggunakan hak-hak pemilik waralaba yang berada dibidang hak milik intelektual (intelectual property rights). Pemberian izin ini kadangkala disebut dengan pemberian izin

lisensi.

Perjanjian lisensi biasa tidak sama dengan pemberian (perjanjian) lisensi waralaba. Kalau pada pemberian (perjanjian) lisensi biasanya hanya meliputi pemberian izin lisensi bagi penggunaan merek tertentu. Sedangkan pada waralaba, pemberian izin lisensi meliputi berbagai macam hak milik intelektual, Keseluruhan hak-hak milik intelektual bahwa alat-alat dibeli atau disewakan darinya. Selain yang disebut diatas perjanjian waralaba, pada saat ini di Indonesia telah ada peraturan yang khusus mengatur mengenai waralaba, yaitu dengan menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Berkaitan dengan hal tersebut, walaupun memiliki peraturan khusus yang mengatur mengenai waralaba setidaknya untuk menjaga agar terciptanya hubungan bisnis yang baik adalah dimulai dengan terdapatnya perjanjian waralaba yang memenuhi syarat sebagai berikut :

(19)

1) Kesepakatan kerjasama sebaiknya tertuang dalam suatu perjanjian waralaba (franchise agreement ) yang disahkan secara hukum (legal document);

2) Kesepakatan ini menjelaskan secara rinci segala hak dan kewajiban dari pemberi waralaba (Franchisor) dan penerima waralaba (Franchisee);

3) Perjanjian kerjasama tersebut memberi kemungkinan pemberi waralaba (Franchisor) tetap mempunyai hak atas nama dagang dan atau merek dagang, format atau pola usaha, dan hal-hal yang khusus yang dikembangkan untuk suksesnya usaha tersebut;

4) Perjanjian kerjasama tersebut memberi kemungkinan pemberi waralaba (Franchisor) mengendalikan system usaha yang dilisensikannya;

5) Perjanjian franchise tersebut harus jujur, jelas dan adil. Hak, kewajiban dan tugas masing-masing pihak dapat diterima oleh penerima waralaba (Franchisee);

6) Adanya kesimbangan antara pemberi waralaba (Franchisor) dan penerima waralaba (Franchisee).

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 31/M- DAG/PER/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Dalam ketentuan Permendag ini ada mengatur tentang prospektus penawaran waralaba yaitu keterangan tertulis dari pemberi waralaba yang sedikitnya menjelaskan tentang identitas, legalitas, sejarah kegiatan, struktur organisasi, keuangan, jumlah tempat usaha, daftar penerima

(20)

waralaba, hak dan kewajiban pemberi dan penerima waralaba. dan tentang ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba adalah bukti pendaftaran prospektus atau pendaftaran perjanjian yang diberikan kepada pemberi waralaba dan/atau penerima waralaba setelah memenuhi persyaratan pendaftaran yang ditentukan dalam peraturan menteri ini.

Aspek hukum waralaba terdiri dari perjanjian waralaba, legalitas usaha, hak cipta, paten, merek, ketenagakerjaan dan perpajakan. Salah satu aspek hukum yang penting adalah perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba merupakan perjanjian yang dibuat dalam bentuk perjanjian baku yang dibuat oleh pemberi waralaba dan diberlakukan terhadap semua calon penerima waralaba tanpa terkecuali. Oleh karena itu calon penerima waralaba hanya dapat memilih menerima atau menolak perjanjian tersebut tanpa ikut menentukan isinya.23

Pemberi waralaba mempunyai peluang diuntungkan, di mana pemberi waralaba dapat menentukan syarat-syarat yang cukup memberatkan penerima waralaba, dikarenakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerugian pemberi waralaba, maka kedudukan para pihak di dalam perjanjian tidak seimbang dimana pemberi waralaba mempunyai kedudukan yang kuat dalam menentukan perjanjian yang dibuatnya.

Apabila salah satu para pihak (pemberi dan penerima waralaba ) tidak memenuhi kewajibannya dalam suatu perjanjian, maka ia dikatakan ingkar janji atau

23 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak di luar KUHPerdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 50

(21)

wanprestasi, tidak dipenuhinya kewajiban oleh para pihak disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :24

1) Karena kesalahan, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian.

2) Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, jadi di luar kemampuan.

Mariam Darus menyebutkan wujud dari tidak memenuhi perikatan (wanprestasi) terbagi tiga yaitu :25

1) Sama sekali tidak memenuhi perikatan, 2) Terlambat memenuhi perikatan,

3) Keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.

Sama halnya dengan Mariam Darus, Abdulkadir Muhammad juga menyatakan adanya tiga keadaan wanprestasi, yaitu:

1) tidak memenuhi prestasi sama sekali,

2) memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru.

Dalam hal ini, memenuhi prestasi tetapi keliru jika ia tidak memperbaiki kekeliruannya maka ia dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali.

3) memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.

24Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm. 203.

25Mariam D Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikiitan dengan Penjelasan, Alumi, Bandung. 2005, hlm. 89.

(22)

Para pihak yang dirugikan dalam hubungan kontarktual, dapat menuntut yang telah melakukan wanprestasi, hal-hal sebagai berikut :26

1) dapat meminta pemenuhan prestasi saja;

2) dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi (Pasal 1267 KUH Perdata);

3) dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan;

4) dapat menuntut pembatalan perjanjian;

5) Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi. Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Peter Mahmud mengatakan bahwa penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.27

2. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statuta aproach) yaitu pendekatan terhadap produk-produk hukum dan

26 Salim HS, Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. hlm. 99.

27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum., Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 35

(23)

pendekatan konseptual yakni penelitian terhadap konsep hukum seperti sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum dan sebagainya.28

3. Tipe Penelitian

Adapun tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis. Deskriptif Analitis29, yang dimaksudkan yaitu dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dirumuskan dengan hasil penelitian kepustakaan, dimungkinkan untuk dapat mendeskripsikan berbagai temuan baik melalui penelitian empirik maupun penelitian kepustakaan dan bahan hukum yang diperolah akan dianalisis dan dikaji dalam suatau sistem penulisan yang terstruktur, sehingga dengan hasil didiskrisi tersebut akan ditarik kesimpulan dan dilengkapi dengan saran-saran.

4. Sumber Bahan Hukum

Sumber utama dalam penelitian ilmu hukum normatif adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif. Bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba, serta peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis kaji, sedangkan bahan hukum sekunder yakni buku-buku hukum,

28Baher Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm.

92

29 Ronny Hartidjo, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm. 12

(24)

jurnal ilmu hukum, laporan penelitian ilmu hukum, artikel hukum dan bahan seminar dan sebagainya.30

5. Analisis Bahan Hukum

Pengolahan dan analisis bahan hukum yang digunakan untuk menganalisis bagaimana pemanfaatan bahan hukum yang telah terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dengan demikian bahan hukum atau hasil yang telah terkumpul atau ditemui oleh penulis dalam penelitian ini, selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan “Metode Analisis Kualitatif

“ artinya bahwa bahan hukum yang telah terkumpul atau ditemui harus dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencapai jawaban masalah penelitian.31

30 Baher Johan Nasution, Op Cit, hlm. 86

31 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm. 124.

Referensi

Dokumen terkait

I immediately contacted the Third Respondent’s legal advisor telephonially for instructions and he advised me that they had submitted their proposed amendments regarding the provision

15  Space science : planets, comets, meteors, and asteroids, galaxies and the universe, vol.. 17  Space science : the solar system, the sun, and its energy beyond the solar