• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara mempunyai tanggung jawab utama untuk melindungi warga negaranya, baik yang tinggal dalam yurisdiksi wilayahnya maupun yang tinggal di luar wilayah yurisdiksi negara yang bersangkutan.

Hak dan kewajiban negara terhadap orang, baik warga negara maupun orang asing, ditentukan oleh negara tersebut dan kewarganegaraan dari orang yang bersangkutan. Setiap orang tunduk pada kekuasaan negara dan harus mentaati hukum yang berlaku di wilayah negara tersebut, terkecuali bagi orang asing dengan pembatasan-pembatasan tertentu, seperti dalam hak politik, jabatan dalam pemerintahan. Kewarganegaraan seseorang berhubungan erat dengan negaranya, karena menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal-balik.

Negara wajib melindungi warga negaranya di manapun berada, dan setiap warga negara tetap tunduk atas kekuasaan negaranya serta mentaati hukum yang berlaku di negaranya. Bagi warga negaranya yang berada di luar negeri, berlakunya kekuasaan negara dan aturan hukum baginya, dibatasi oleh kekuasaan dan hukum negara dimana ia berada1 .

Sejalan dengan tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan bagi warga negara, yang dalam hal ini warga negara Indonesia, selanjutnya

1 F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Atma Jaya, Yogyakarta, 1998, hlm. 42

(2)

disingkat WNI, yang tertuang pada Pembukaan Undang-Undang 1945 Alinea IV dan Undang-Undang Hubungan Luar Negeri Nomor 37 Tahun 1999;

perlindungan dan bantuan hukum bagi warga Negara dan Badan Hukum Indonesia, selanjutnya disingkat BHI, di luar negeri; Menteri Luar Negeri, melalui Keputusan Menteri Luar Negeri Nomor 053/0T/W2002/0l tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Luar Negeri Bagian Ke VI pasal 943, telah membentuk Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHl), yang mempunyai tugas untuk mengurus masalah kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perlindungan dan bantuan hukum kepada WNI dan BHI. Dalam memperjuangkan dan mempertahankan kepentingan nasional, termasuk perlindungan kepada warga negara Indonesia di luar negeri, diperlukan upaya yang mencakup kegiatan politik dan hubungan luar negeri yang berlandaskan ketentuan-ketentuan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari falsafah Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 serta Garis-garis Besar Haluan Negara.2

Upaya perlindungan tersebut menjadi rumit apabila warga negara Indonesia (WNI) yang berkedudukan di negara lain terlibat perkara atau kasus di negara lain dalam hal ini kasus terorisme. Namun bila terjadi perkara atau kasus, maka hal ini langsung atau tidak langsung akan melibatkan pihak pemerintah dari kedua negara.

2Dikutip dari mukadimah Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar

Negeri.

(3)

Dalam hal keterlibatannya dengan WNI yang bergabung dalam organisasi teroris di luar negeri, hak seorang warga negara Indonesia masih tetap melekat padanya yang salah satunya yaitu mendapatkan perlindungan hukum, entah melakukan aksi teroris ataupun tidak. Dasar hukum perlindungan WNI secara nasional tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, selain terdapat pada Pembukaan UUD 1945, Alinea IV dan Undang-undang Hubungan Luar Negeri Nomor 37 Tahun 1999 Pasal 19 huruf (b) bahwa: “Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban inter-alia memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.3

Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan yang di dalamnya menganut asas perlindungan maksimum di mana penjelasan dari asas ini adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri.

Mengenai hak dan kewajiban dari warga negara maupun dari orang asing pada tiap-tiap negara didasari oleh Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dimana setiap orang ataupun orang asing umumnya diperlakukan sama hak dan kewajibannya, hanya dalam hal-hal tertentu saja hak dan kewajiban dari orang asing tersebut dibatasi. Dalam UDHR Pasal 6 menjelaskan: “Setiap orang

3 Dikutip Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri

(4)

berhak diakui sebagai manusia di mata hukum di manapun dia berada.”

Selanjutnya, Pasal 9 yang berbunyi “Tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang”.4 Oleh karenanya, WNI yang berada di wilayah negara lain wajib mendapatkan perlindungan secara internasional berdasarkan ketentuan dalam UDHR di atas.

Salah satu bentuk perlindungan WNI oleh negara melalui Kementerian Luar Negeri dalam hal ini Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan bantuan hukum kepada warga negara yang terlibat terorisme.

Perlindungan yang diberikan oleh Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi Konsuler yang ada pada Perwakilan RI, yang mana pelaksanaannya telah diatur secara mapan, baik dalam hukum nasional Indonesia maupun hukum internasional.

Dasar pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme, terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana terorisme dapat diterapkan terhadap seseorang yang berada di luar wilayah Indonesia. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 4 ayat (1) Perppu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang berbunyi: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan: (a) terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia”.5 Kandungan pasal tersebut merupakan

4 Dikutip Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

5 Dikutip Perppu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

(5)

penerapan dari asas nasional aktif/asas personalitas. Asas ini terdapat dalam KUHP Pasal 5 ayat (1), yang menjelaskan: “Ketentuan pidana dalam Undang- Undang Indonesia, berlaku atas warga negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia”. Prinsip ini kemudian diadopsi oleh ketentuan pidana dalam undang- undang yang didalamnya mengandung tindak pidana yang bersifat transnasional, salah satunya dalam Undang-undang Terorisme.

Bertolak belakang dari undang-undang serta konvensi-konvensi yang dibuat dengan tujuan melindungi seluruh warga negara secara hukum nasional maupun internasional baik juga untuk warga negara di dalam maupun di luar negeri, dalam hal ini juga warga negara yang terlibat kasus terorisme.

Kasus yang menjadi acuan penulisan ini adalah seorang pria warga negara Indonesia dijatuhi hukuman penjara selama 9 bulan oleh Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur, Malaysia. Dia didakwa memiliki bahan penerbitan yang terkait dengan kelompok teroris Al Qaeda. Hakim Datuk Nordin Hassan menjatuhkan hukuman itu bagi Hadi Yahya Assegaf (40) setelah ia mengaku bersalah. Hakim memerintahkan Hani Yahya menjalani hukuman itu mulai, 11 Januari 2016. Hadi didakwa memiliki beberapa penerbitan berkaitan kelompok teroris, yaitu Al-Qaeda In the Arabian Peninsula atau yang selanjutnya disingkat AQAP. Pada 24 September 2015, polisi memeriksa Hani sebelum menggerebek rumahnya di Bukit Bintang. Dari pemeriksaan tersebut ditemukan bukti berupa 7 buah telepon seluler, 7 keping simcard, dan 2 buku berjudul US Army Special Forces Handbook , US Army Map Reading and Land Navigation Handbook.

(6)

Setelah dianalisis, semua barang itu memiliki kandungan gambar-gambar berkaitan dengan Al-Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP). Hadi Yahya Assegaf adalah seorang pengusaha minyak Indonesia berdarah Arab. Saat dia akan bertolak ke Yaman pada 24 September 2015, dia harus berurusan dengan pemerintah Malaysia.

Ia terkena dugaan terlibat terorisme lantaran dianggap akan menyerang Kedutaan Besar Amerika Serikat, tempat wisata, dan area makan di Jalan Alor, Kuala Lumpur. Kabar itu didapat dari laporan masyarakat di sana. Sebelumnya, Deputi Inspektur Jenderal Polisi Malaysia Noor Rashid Ibrahim mengatakan Assegaf ditahan lantaran berencana untuk menyerang aset nasional yang penting serta aset milik negara Barat dan lokasi publik.6

Oleh karena itu berdasarkan uraian dari latar belakang masalah yang diuraikan, maka penulis mengangkat hal tersebut sebagai bahan penulisan hukum dengan judul: TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM PERLINDUNGAN WARGA NEGARA YANG TERLIBAT TERORISME DI NEGARA LAIN, PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian dan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

6 https://www.liputan6.com/news/read/2409797/diduga-terkait-al-qaeda-wni-divonis-9-bulan-

penjara-di-malaysia, Diakses pada 13 Maret 2021.

(7)

1. Bagaimana Pengaturan Tanggung Jawab Negara untuk Melindungi Warga Negaranya dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia?

2. Bagaimana bentuk Tanggung Jawab Negara dalam Memberikan Perlindungan Hukum bagi Warga Negara yang Terlibat Terorisme di Negara Lain?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian adalah:

1. Menganalisis dan mengkaji tentang peraturan tanggung jawab negara dalam melindungi warga negara diatur dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia.

2. Menganalisis bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan bagi warga negara yang terlibat terorisme di negara lain

3. Sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah:

1. Secara Akademis/Teoritis

Diharapkan penulisan ini dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangsih pemikiran dalam membangun dan mengembangkan ilmu hukum dalam bidang Hukum Internasional tentang “Tanggung Jawab Negara Dalam Perlindungan Warga Negara Yang Terlibat Terorisme Di Negara Lain, Perspektif Hukum Internasional”

(8)

2. Secara Praktis

Diharapkan penulisan ini dapat menjadi bahan informasi dan dapat memberikan manfaat, penjelasan dan pengetahuan dalam hal “Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan Warga Negara yang Terlibat Terorisme di Negara lain, Perspektif Hukum Internasional”

E. Kerangka Konseptual

1. Konsep Hukum Internasional

Hukum Internasional (International Law) merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Jeremy Bentham, seorang ahli hukum sekaligus filsuf utilitarianisme Inggris yang jenius. Istilah Hukum Internasional memiliki padanan yang sama dengan istilah hukum bangsa- bangsa (the law of nation, droit des gens), istilah ini digunakan di antaranya oleh James L. Brierly dan Daniel Patrick Moynihan. Kedua istilah tersebut bisa digunakan secara bergantian. Akan tetapi, dalam perkembangannya istilah pertama lebih sering muncul atau digunakan akhir-akhir ini.7

Hukum Internasional lazimnya dimaknai sebagai Hukum Internasional Publik, walaupun pada dasarnya Hukum Internasional dalam arti luas dapat dimaknai atau terbagi menjadi Hukum Internasional Publik dan Hukum Internasional Privat (istilah lainnya dari Hukum Perdata Internasional).8 Bila

7 Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT.

Refika Aditama, Bandung, hlm. 2

8 Melda Kamil Ariadno, 2007, Hukum Internasional Hukum Yang Hidup, Diedit Media, Jakarta, hlm. 176.

(9)

Hukum Internasional Publik mengatur hubungan antar negara dan subjek- subjek hukum lainnya, Hukum Internasional Privat mengatur hubungan antara individu-individu atau badan-badan hukum dari negara-negara yang berbeda.9

Hukum Internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk mentaati dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan- hubungan mereka satu sama lain, dan yang meliputi juga:

1. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu; dan

2. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu- individu dan badan-badan non negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.10

Mochtar Kusumaatmadja mendefenisikan Hukum Internasional sebagai “keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan

9 Mauna, Boer, 2000, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, hlm. 10

10 Tarke, J.G., 2001, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.7

(10)

bersifat perdata. Dalam kesempatan lain, Mochtar menegaskan bahwa Hukum Internasional adalah “keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara negara dengan negara, dan negara dengan subjek hukum lain yang bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain”.11

Rebecca Wallace dalam bukunya “International Law” mendefinisikan Hukum Internasional sebagai “rules and norms which regulate the conduct of states and other entities which at any time are recognized as being endowed with international personality, for example international organizations and individuals, in their relations with each other”.12 Artinya Aturan dan norma yang mengatur perilaku negara dan perwujudan lainnya yang setiap saat diakui sebagai kepribadian internasional, misalnya organisasi dan individu internasional, dalam hubungan mereka satu sama lain.

Sementara itu The American Law Institute mendefinisikan Hukum Internasional sebagai berikut: “The conduct of states and of international organizations, and with their relations inter se, as well as some of their relations with persons, wether natural or personal. Artinya tindakan negara- negara dan tindakan organisasi internasional, serta hubungan-hubungan

11 Thontowi, Jawahir & Iskandar, Pranoto, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT.Refika Aditama, Bandung, hlm. 31

12 Ibid, hlm. 34

(11)

mereka, demikian pula hubungan-hubungan mereka dengan orang-orang maupun badan hukum”.13

2. Konsep Tanggung Jawab Negara

Pengertian tanggung jawab negara jika merujuk pada Dictionary of Law adalah:“Obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply with a legal obligation under international law.14 Dalam rumusan ini, tanggung jawab negara dapat diartikan sebagai Kewajiban suatu negara untuk melakukan perbaikan (reparasi) yang timbul dari kesalahan untuk memenuhi kewajiban hukum menurut Hukum Internasional.

Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary hanya terdapat pengertian tanggung jawab secara sempit yaitu answerability or accountability.15 Sugeng Istanto memberikan pengertian terhadap tanggung jawab negara dengan menggunakan istilah pertanggungjawaban negara. Menurutnya, pertanggungjawaban negara adalah kewajiban negara memberikan jawaban

13 Ibid, hlm. 35

14 ElizabethA.Martin ed., 2002, A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York,

hlm. 477.

15 Bryan A. Garner, 2014, Black’s Law Dictionary Edisi Kesepuluh, Claitors Pub Division,

New York, hlm. 211.

(12)

yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkan.16

Sebagaimana layaknya dalam sistem Hukum Nasional, dalam Hukum Internasional juga dikenal adanya tanggung jawab sebagai akibat dari tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban menurut Hukum Internasional.17 Ada dua pengertian dari pertanggungjawaban negara. Pertama, pertanggungjawaban atas tindakan negara yang melanggar kewajiban internasionalnya. Kemudian yang kedua, pertanggungjawaban yang dimiliki oleh negara atas pelanggaran terhadap orang asing.18

Pertanggungjawaban negara dalam Hukum Internasional pada dasarnya dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa tidak ada negara manapun di dunia ini yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan negara tersebut berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya menurut Hukum Internasional. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang biasa dalam sistem hukum di dunia, dimana pelanggaran terhadap kewajiban yang mengikat secara hukum akan menimbulkan tanggung jawab bagi pelanggarnya.19

16 13 F. Sugeng Istanto, op.cit, h. 105.

17 14 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT.

Refika Aditama, Bandung, h. 193 18 Ibid

19 Sefriani, op.cit.

(13)

Menurut Malcolm N. Shaw, ada 3 (tiga) karakter esensial dari suatu pertanggungjawaban negara, yakni:20

1. The existence of an international legal obligation in force as between two particular states,

2. There has occured an act or omission which violates that obligation and which is imputable to the state responsible; and

3. That loss or damage has resulted from the unlawful act or ommission

Dari ketiga karakter pertanggungjawaban negara menurut Shaw di atas, terdapat 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi suatu negara agar dapat dimintai pertanggungjawabannya. Pertama, harus terdapat kewajiban internasional yang mengikat pada negara yang akan dimintakan pertanggungjawabannya. Kedua, adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang mengakibatkan dilanggarnya suatu kewajiban internasional suatu negara yang kemudian menimbulkan tanggung jawab bagi negara tersebut. Terakhir, ketiga, adanya kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan serta kelalaian yang dilakukan oleh negara tersebut.

Jadi secara implisit Shaw menyatakan bahwa negara yang hendak dimintai pertanggungjawabannya harus memenuhi ketiga unsur di atas dan apabila salah satu dari unsur pertanggungjawaban negara tersebut tidak terpenuhi maka suatu negara tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.21

20 Malcolm N. Shaw, 2008, International Law, 6th Edition, Cambridge University Press, New York, (selanjutnya disingkat Malcolm N. Shaw II), h. 7

21 Ibid.

(14)

3. Konsep Perlindungan Warga Negara

Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) tertuang pada Undang- undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Pasal 18 ayat (1) Pemerintah Republik Indonesia melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum dengan perwakilan negara asing di Indonesia”, ayat (2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan kebiasaan internasional, Pasal 19 ayat (1) “Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memupuk persatuan dan kerukunan antara sesama warga negara Indonesia di luar negeri”, ayat (2) “memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional”.22

Dalam Hukum Internasional dinyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi warga negaranya yang tinggal di luar negeri. Perlindungan suatu negara terhadap warga negaranya yang berada di luar negeri disebut Diplomatic Protection (Perlindungan Diplomatik). Secara konsep, diplomatic protection isaction taken by a state against another state in respect of injury to the person or property of national caused by an internationally wrongful act or omission attributable to the latter state. Artinya, tindakan yang di ambil negara terhadap negara lain dalam hal kerugian terhadap orang atau milik

22 Dikutip Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri

(15)

bangsa yang disebabkan oleh tindakan salah atau kelalaian secara internasional yang disebabkan oleh negara bagian akhir.23

Lebih lanjut tulisan Craig Forcese juga menyebutkan untuk melaksanakan perlindungan diplomatik terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi:

(1) An International wrong, bahwa suatu negara pengirim mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya di luar negeri apabila terjadi pelanggaran Hukum Internasional yang dilakukan oleh warga negara tersebut. Hal ini mengacu pada pasal 3 Konvensi Wina (VCDR) tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang menyatakan, “protecting in the receiving state the interests of the sending state and its nationals, within the limits permitted by international law24 Artinya, melindungi negara penerima, kepentingan negara bagian dan nasional, dalam batas-batas yang diizinkan oleh hukum internasional.

(2) Exhaustion Local Remedies, yaitu perlindungan diplomatik suatu negara (bantuan hukum suatu negara terhadap warga negaranya untuk melakukan tuntutan hukum kepada negara lain) akan dilakukan apabila warga negara tersebut telah menempuh upaya hukum lokal di negara penerima;

23 Forcese, Craig. 2006. “The Capacity to Protect: Diplomatic Protection of Dual Nationals in the War on Terror”. European Journal of International Law, 17 (2): 374-384.

24 United Nations. 2005. “Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 [online].

http://legal.un.org/ilc/texts/instruments/english/ conventions/9_1_1961.pdf

(16)

(3) Link of Nationality, yaitu perlindungan diplomatik yang hanya dapat dilakukan oleh negara yang warga negaranya mengalami tindakan pelanggaran Hhukum Internasional oleh negara lain. Hal ini diatur dalam pasal 3 ayat (1) The International Law Commission Draft Articles on Diplomatic Protection 2006, yang menyatakan bahwa: “The state entitled to exercise diplomatic protection is the State Nationality.” Artinya, arikel mengenai Komisi Hukum Internasional perlindungan diplomatik 2006, yang menyatakan bahwa negara berhak melakukan perlindungan diplomatic kepada yang memiliki kewarganegaraan negara. Pasal selanjutnya menyatakan bahwa, “for the purposes of diplomatic protection of natural persons, a state of nationality means a state whose nationality the individual sought to be protected has acquired, descent, succession of states, naturalization or in any other manner, not inconsistentwith international law.”25 Artinya, kewarganegaraan seseorang dapat diperoleh karena kelahiran, keturunan, suksesi negara, naturalisasi atau cara-cara lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum internasional.

Persyaratan tersebut sesuai dengan prinsip kewarganegaraan pasif yang menetapkan bahwa suatu negara mempunyai yurisdiksi atas orang yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah negara lain, yang akibat hukumnya menimpa warga negaranya. Oleh karena itu, jika negara tempat terjadinya

25 United Nations. 2006. “Draft articles on Diplomatic Protections”

[online].http://legal.un.org/ilc/texts/instruments/english/draft_articles/9_8_2006.pdf

(17)

pelanggaran tidak mampu dan tidak mau menghukum pelaku pelanggaran, maka negara yang warga negaranya dirugikan berwenang untuk menghukum.

Tanggung jawab dan kewajiban suatu negara untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri diemban oleh fungsi diplomatik dan konsuler suatu negara.

Fungsi Konsuler diatur dalam Pasal 5 Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, menyatakan “Consular functioning consit in: protecting in the receiving State the interests of sending state and of its nationals, both individuals and bodies corporate, within the limits permitted by international law26 artinya fungsi konsuler terdiri dari melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya di negara penerima, baik secara individu maupun badan hukum dalam batas-batas yang diisinkan oleh Hukum Internasional. Maka, berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa sesungguhnya perwakilan konsuler negara pengirim di negara penerima berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dan kepentingan mereka.

4. Konsep Terorisme

Terorisme menurut Webster's New School and Office Dictionary, terrorism is the use of violence, intimidation, to gain to end, especially a system of government ruling by terror. artinya terorisme adalah penggunaan

26 United Nations. 2005. “Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961 [online].

http://legal.un.org/ilc/texts/instruments/english/conventions/9_1_1961.pdf

(18)

kekerasan, intimidasi untuk mendapatkan tujuan, terutama system pemerintahan yang dikendalikan oleh terror). Pelakunya disebut terrorist (teroris). Selanjutnya sebagai kata kerja terrorize is to fill with dread or terror, terrify; to intimidate or coerce by terror or by threats of terror.27 Artinya meneror adalah mengisi dengan tekanan atau ancaman, ketakutan;

untuk mengintimidasi atau memaksa dengan terror atau dengan ancaman terror. Sedangkan pengertian terorisme menurut Ensiklopedia Indonesia tahun 2000, Terorisme adalah kekerasan atau ancaman kekerasan yang diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptakan suasana ketakutan dan bahaya dengan maksud menarik perhatian nasional atau internasional terhadap suatu aksi maupun tuntutan.

Rumusan mengenai definisi terorisme pun telah dirumuskan dalam konvensi PBB tahun 1989 yang menyebutkan bahwa terorisme ialah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian teror ialah rasa takut yang ditimbulkan oleh orang atau sekelompok orang.28 Terorisme berarti suatu kegiatan yang menimbulkan tekanan dan ketakutan.

27 Noah Wilder (1962) “Webster's New School & Office Dictionary”, The world publishing company, New York. hal : 274.

28 Pusat Bahasa Indonesia (1991), “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Balai Pustaka, Jakarta.

Hlm. 654

(19)

Menurut Laqueur disebutkan bahwa terorisme adalah fenomena yang sangat sulit untuk dimengerti. Tidak ada definisi mengenai terorisme yang dapat melingkupi besarnya variasi dari terorisme yang terjadi sepanjang sejarah. Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 mengenai Terorisme mendefinisikan terorisme sebagai segala aksi yang sesuai dengan tindak criminal yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2002 mengenai Aksi Terorisme Kriminal.

Terorisme dikatakan sebagai gerakan atau aksi yang sangat berbahaya, yang dapat mengancam peradaban umat manusia. Untuk menjawab hal ini perlu dicari definisi atau pengertian dari terorisme tersebut. Terorisme berarti menakut-nakuti (to terrify). Kata ini berasal dari Bahasa Latin: “terrere” yang artinya, “menimbulkan rasa gemetar dan cemas”.29 Kata ini secara umum digunakan dalam pengertian politik, sebagai suatu serangan terhadap tatanan sipil, semasa Pemerintahan Teror Revolusi Perancis akhir abad ke-18.30 Oleh karena itu, respon publik terhadap kekerasan, rasa cemas yang disebabkan terorisme, merupakan bagian dari pengertian terma tersebut.

Dengan demikian tepat bahwa definisi aksi terorisme tergantung pada kita, para saksi, orang-orang yang merasa terancam atau cemas. Ini yang kita sebut, atau sering juga oleh para agen publik, seperti media berita, bahwa aksi-aksi kekerasanlah yang menciptakan pengertian-pengertian tersebut

29 Juergensmeyer, Mark, 2003 Terror in The Mind of God : The Global Rise of Religious Violence, terjemahan Amien Rozany Pane, Cet. 1, Tarawang Press, Yogyakarta, hlm.23 30 Ibid, hlm 27

(20)

sebagai terorisme. Itulah aksi-aksi pengerusakan publik, dilakukan tanpa tujuan militeristis yang jelas, yang dapat menimbulkan rasa cemas (takut) secara luas31.

Ada beberapa pengertian terorisme yang diberikan oleh beberapa lembaga atau institusi keamanan, antara lain:

a. US Central Inteligence Agency (CIA). Terorisme Internasional sebagai kekerasan yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing.

b. US Federal Bureau of Investigation (FBI). Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak syah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik.

c. US Departments of State and Defense. Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran non kombatan. Biasanya untuk mempengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.

d. Konvensi PBB Tahun 1937. Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.32

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas maka penulisan ini menggunakan penelitian “Yuridis Normatif”, yaitu penelitan tentang

31 Ibid, hlm. 31

32 Wahid, Abdul, Cs, 2004 Kejahatan Terorisme, Perpektif Agama, HAM dan Hukum, PT

Refika Aditama, Jakarta, hlm. 123

(21)

kaidah-kaidah, norma-norma dan asas hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

2. Tipe Penelitian

Dalam tulisan ini tipe penelitian yang digunakan penulis adalah

“Deskriptif Analisis” dengan alasan bahwa hasil yang digunakan dari studi kepustakaan selanjutnya dianalisis dan dibahas menggunakan alur pembahasan secara sistematis didalam beberapa bab dengan demikian hasil analisis dan permasalahan tersebut selanjutnya dideskripsikan untuk memudahkan penarikan beberapa kesimpulan dan pengajuan saran.

3. Pendekatan Masalah

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, penelitian akan mendapatkan informasi dari berbagai aspel mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Macam- macam pendekatan-pendekan yang digunakan di dalam penelitian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki adalah:33

1. Pendekatan Undang-Undang (statute approach);

2. Pendekatan Kasus (case approach);

3. Pendekatan Konseptual (conceptual approach);

33 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Perdana Media Group, Edisi Pertama, Jakarta,

2005 Cetakan Ke Empat, hal 35

(22)

4. Pendekatan Komparatif (comparative approach):

Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

4. Sumber Bahan Hukum

Di dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 macam bahan pustakan yang dipergunakan oleh penulis yakni :

a. Bahan Hukum Primer antara lain:

1. Undang-undang Dasar 1945

2. Deklarasi Universal Of Human Right (UDHR) 3. Konvensi Montevideo Tahun 1933

4. Konvensi Wina Tahun 1963

5. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial Tahun 1965

6. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial Tahun 1965

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

(23)

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

b. Bahan Hukum Sekunder merupakan bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan tentang bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para palar atau ajli uang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana penelitian akan mengarah. Yang dimaksdud dengan bahan sekunder disisni oleh penulis adalah materi- materi yang ada di dalam buku, jurnal huku dan beberapa referensi lainnya

c. Bahan Hukum Tesier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum premier dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini dilakuakn dengan studi kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum terkait untuk memperoleh informasi yang obyektif dan akurat, baik dari buku-buku undang-undang, hasil penelitian maupun internet. Pengumpulan bahan-

(24)

bahan hukum dilakukan dengan menyusun berdasarkan subyek yang diinginkan, selanjutnya dipelajari kemudian klasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Metode analisis yang dipakai untuk menganalisis bahan hukum yang telah terhimpun adalah metode analisis kualitatif, yaitu bahan hukum yang diperoleh kemudian disusun secara sistematik untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif berdasarkan disiplin ilmu hukum untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dalam pasal 1 ayat 1 berbunyi “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum