1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang kemudian dilengkapi dengan peraturan pelaksanaanya yaitu peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975. Peraturan perundang undangan ini bersifat umum yaitu berlaku bagi seluruh rakyat indonesia. Khusus untuk orang Islam, disamping juga itu berpedoman pada Undang Undang Nomor. 9 Tahun 1999 tentang Peradilan Agama yang khusus mengatur permasalahan-permasalahn tertentu bagi umat Islam indonesia, termasuk didalamnya masalah perceraian.maka dengan adanya Undang Undang Peradilan Agama kini umat islam tidak lagi sepenuhnya hanya berpedoman kepada Undang Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaanya tetapi didukung juga dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pengadilan yang mandiri (tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Pengadilan sebagai pilar utama dalam menegakkan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa, tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi persyaratan tegaknya martabat dan integritas negara. Hakim kemudian mengambil peran sebagai actor utama dalam proses peradilan, dengan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani,
memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak.1
Proses peradilan selalu menempatkan Hakim dalam penegakan hukum sebagai yang utama (law enforcement) di pengadilan hakim mempunyai peran lebih apabila dibandingkan dengan jaksa, pengacara, dan kepolisian. Pada saat ditegakkan, hukum mulai memasuki wilayah das sein (yang senyatanya) dan meninggalkan wilayah das sollen (yang seharusnya). Hukum tidak sekedar barisan pasal-pasal mati yang terdapat dalm suatu peraturan perundang-undangan, tetapi sudah “dihidupkan” oleh living interpretator yang bernama hakim.2
Hakim mempunyai posisi istimewa, karena hakim merupakan kongkritisasi hukum dan keadilan yang bersifat abstrak dan digambarkan bahwa hakim sebagai hakim tuhan di bumi untuk menegaskan hukum dan keadilan.
Hakim satu-satunya penegak hukum yang berani mengatas namakan Tuhan pada setiap putusannya. Hakim benar-benar beriorientasi kepada penegakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dari pada sekedar mengejar kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan dan kode etik profesi hakim. Sudah seharusnya hakim menjadi “uswatul hasanah” (model hakim yang benar, adil dan mandiri) seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dengan demikian citra pengadilan dan wibawa hakim dapat diperbaiki, kepastian hukum dapat meningkatlkan
1 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, hlm 1.
2 A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Jakarta: ELSAM.2004, hlm 178
kepercayaan masyarakat dan negara tetap berjalan diatas dasar hukum bukan di atas dasar kekuasaaan.3
Melihat posisi hakim yang krusial dalam proses peradilan sebagi penentu atas satu keputusan pentingkiranya penelitian ini dilakukan guna mengetahui proses pengambilan putusan hakim baik dari pertimbangan – pertimbangan hukum yang ada dan pendekatan yang digunakan, dalam kaitannya dengan proses perceraian. Mengingat bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Mahaesa.4 Membina rumah tangga bukan perkara yang gampang dan bukan persoalan yang mudah, suami istri sebelumya harus memiliki bekal pengetahuan yang cukup tentang nilai, norma dan moral yang benar, harus siap dengan mental yang kuat untuk menghadapi sengala macam rintangan dan tantangan serta hempasan badai rumah tangga.
Cita luhur dari satu perkawinan tidak selalu berjalan mulus dan lurus terkadang dalam satu perkawinin akan berujung pada perceraian. Perceraian sendiri dikenal dalam hukum Islam sebagai sesuatu perbuatan halal yang memiliki prinsip dilarang oleh Allah swt dan merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya.
Berlakunya UU RI Nomor 1 tahun 1974 dan Perkawinan, dimana peraturan itu juga dijadikan sebagai hukum positif di Indonesia, maka terhadap
3 Al Wisnubroto. Hakim Dan peradilan Di Indonesia. (Yogyakarta: Universitas Atmajaya.2007). h.65.
4Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara, 2112), h. 2.
perceraian diberikan pembatasan yang ketat dan tegas baik mengenai syarat-syarat untuk bercerai maupun tata cara mengajukan perceraian, Hal ini dijelaskan dengan ketentuan pasal 39 UU RI No 1 Tahun 1974 yaitu:
1. “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak .”
2. “Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri.”
3. “Tata cara di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan sendiri.”
Ketentuan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yaitu : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”5
Dengan demikian dalam pengertian cerai talak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam dan diajukan oleh pihak suami, Cerai Talak merupakan istilah yang khusus digunakan di lingkungan Peradilan Agama untuk membedakan para pihak yang mengajukan permohonan cerai. Perbedaan yanga dimaksudkan adalah jika suatu perceraian diajukan oleh pihak suamai hal itu akan disebut sebagai cerai talak, bahwa yang mengajukan adalah suami sedangkan cerai gugat pihak yang mengajukan adalah istri. Sebagaimana disebutkan diataur di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 114 sebagai berikut:
5 TIM Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam. Bandung, Fokusmedia, 2005, hal.
38
“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak ataupun berdasarkan gugatan perceraian.’’6
Hal ini kembali ditegaskan dalam pasal 12 KHI yang berbunyi :
Seorang Suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Cerai talak yaitu cerai yang dijatuhkan suami di depan Pengadilan sesuai dengan hukum Islam. Di dalam pengadilan Agama selain cerai talak ada juga istilah cerai gugat. Pengenalan atas pengistilaan cerai talak dan cereai guguat dalam lingkup pengadilan kemudian diatur pada Pasal 117 KHI bahwa ikrar suami dihadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.7 Dari situ bahwa cerai talak adalah terputusnya tali perkawinan (akad nikah) antara suami dan istri dengan talak yang diucapkan suami di depan sidang pengadilan Agama. Kendati demikian tetapi Al-Qur’an menyeru bahwa laki-laki dan perempuan tidak dibeda-bedakan, laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan tanggung jawab dan balasan amal, ada keseimbangan (timbal balik) antara hak dan kewajiban suami dan istri.8
Permasalahnya kemudian muncul jika menimbang uraian pasal di atas dan para ahli-Fiqh yang berpemahaman dan dalam beberapa pendapatnya mengutarakan bahwa kata talak atau semisalnya yang diucapkan oleh suami kepada istrinya dalam keadaan sadar dan leluasa. Bila kata talak itu telah terucap,
6 TIM Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam , hal. 38
7 Kompilasi hukum islam pasal 117
8 Amir Syaifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Perpustakaan Nasional KDT, 1999), hlm. 235.
sedang kata-katanya dalam kategori syar’i, maka pada saat itu pula talak telah jatuh, bahkan meski dengan maksud bercanda sekalipun. Sementara menurut peraturan perundang-undangan hukum di Indonesia yang menganut asas kepastian hukum, bahwa ucapan talak hanya akan berdampak hukum apabila diikrarkan di depan sidang Pengadilan Agama.
Dari sini peran Hakim dalam membentuk sebuah hukum dianggap penting.
Mengingat proses perceraian bagai seorang warga negara Indonesia yang menganut agama Islam/muslim harus bersikap di antara dua ketentuan hukum yang secara tekstual terkesan paradoks. Ini mendesak untuk dijawab karena, di satu sisi, sebagai muslim dia harus konsisten dengan fiqh sebagai yurisprudensi agama yang dianutnya, sementara, di sisi lain, sebagai warga negara yang baik sejatinya dia juga menaruh komitmen terhadap kelestarian hukum yang berlaku di negaranya.
Hal ini jelas menunut para Hakim dalam merumuskan dan menyusun serta memutuskan suatu kasus dengan pertimbangan hukum atau Legal reasoning harus dengan cermat, sistematik dan dengan bahasa Indonesia yang benar dan baik.
Pertimbangan disusun dengan cermat artinya pertimbangan hukum tersebut harus lengkap berisi fakta peristiwa, fakta hukum, perumusan fakta hukum penerapan norma hukum baik dalam hukum positif, hukum kebiasaan, yurisprudensi serta teori-teori hukum dan lain-lain, mendasarkan pada aspek dan metode penafsiran hukum yang sesuai dalam menyusun argumentasi (alasan) atau dasar hukum dalam putusan Hakim tersebut, sehingga masyarakat tidak menyepelehkan hukum bahkan yurispurdensi hasil dari putusan persidangan
Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan meneliti Legal Reasoning Hakim dalam Memutuskan Perkara Cerai Talak di pengadilan Agama Ambon kelas 1A (Studi Kasus Nomor 284/Pdt.G/2020/PA.Ab. dan 52/Pdt.G/2021/PA.Ab.)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraiakan, maka yang menjadi Rumusan Masalah dipenelitian ini adalah :
1. Bagaimana legal reasoning hakim dalam memutuskan perkara talak dipengadilan agama ambon kelas 1A ?
2. Bagaimana Penetapan Hukum Fiqih Dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai Perkara Cerai Talak Dipengadilan Agama Ambon Kelas IA ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam tesis ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui bagaiamana Legal Reasoning Hakim dalam memutuskan perkara Talak dipengadilan agama ambon kelas I A
b. Untuk mengetahui Penetapan Hukum Fiqih Dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai Perkara Cerai Talak Dipengadilan Agama Ambon Kelas IA
D. Manfaat Penelitian
Adapun Mamfaat penelitian dalam tesis ini adalah sebagai berikut :
a. Secara teoritis
Penulisan tesis ini diharapkan dapat menambah referensi bagi pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang legal Reasoning Hakim dalam memutuskan perkara Talak
b. Secara Praktis
Memberikan jawaban terhadap pokok permasalahan yang diteliti, sekaligus diharapkan dapat menjadi penambahan wawasan dalam proses Legal Reasoning Hakim dalam memutus satu perkara Talak.