• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Konteks Penelitian

Perkembangan film di dunia memiliki perjalanan yang cukup signifikan. Perkembangan ini meliputi adanya perubahan dalam pengambilan angle, banyaknya peralatan yang digunakan, bahkan beberapa film tidak

membutuhkan lokasi yang sebenarnya dan lebih mengandalkan green screen sebagai pengganti, untuk meminimalisir biaya dan menghasilkan film dengan efek yang luar biasa, serta pengaruh budaya yang bisa diangkat sebagai topik utama dalam unsur pembuatan film.

Media dalam perkembangan budaya berfilm sangat berpengaruh, dilihat dari awal mula film diproduksi pada abad 19 hingga awal abad 20 melalui alat kinetoskop temuan Thomas Alfa Edison, yang pada masa itu digunakan oleh penonton individual. Film yang pada masa awal masih bisu dan tidak berwarna, kemudian beralih dan berkembang menjadi film theater yang lebih bisa dinikmati dengan dukungan layar lebar dan suara yang memadai.

Pemutaran film di bioskop sendiri untuk pertama kalinya dilakukan pada awal abad 20, hingga teciptanya industri film Hollywood yang pertama kali. Hal ini karena adanya pengaruh budaya dimana masyarakat dunia mulai berkembang dan adanya rasa ingin mempelajari dan saling bertukar kebudayaan. Dengan media film, perbedaan budaya menjadi mudah untuk dikenal. Banyak munculnya film-film sederhana seperti film dokumenter dan

(2)

film yang mulai serius diangkat ke layar lebar mengenai kebudayaan di negara yang berbeda menunjukan, adanya perkembangan pola pikir dan pembentukan identitas di dunia film.

Film Eat Pray Love merupakan movie ber-genre drama yang diproduksi di Amerika Serikat pada tanggal 13 Agustus 2010 yang diperankan oleh Julia Roberts, mengangkat perbedaan kebudayaan dalam jalan cerita filmnya berdasarkan novel Eat, Pray, Love karya Elizabeth Gilbert. Syuting film ini sendiri dimulai pada Agustus 2009. Lokasi syuting Eat Pray Love meliputi New York (Amerika Serikat), Napoli (Italia), Pataudi

(India), dan Bali (Indonesia).

Perjalanan Elizabeth Gilbert dalam mengarungi beberapa negara baik itu negara yang berada di benua Eropa dan Asia tentunya memberikan dampak yang berbeda bagi sejarah kehidupannya. Namun Liz, panggilan Elizabeth, berhasil mengambil banyak hikmah serta pelajaran berdasarkan perjalanannya. Perjalanan kali ini tentunya telah ia rencanakan secara matang baik itu secara finansial, persiapan bahasa, serta tempat tinggal yang akan ia tempati dan kemudian ia juga memutuskan untuk mengambil unsur kehidupan yaitu Eat, Pray, Love dalam tema perjalanannya kali ini.

Dalam setiap unsur Eat, Pray, dan Love, Liz mengunjungi negara yang berbeda. Seperti misalnya unsur Eat, dia sengaja memilih tempat Napoli yang berada di Italia. Bahkan Liz sengaja mempersiapkan dirinya dengan kata dan kalimat dasar yang umum dan yang biasa digunakan dalam

(3)

Kemudian ketika bermalam di Napoli pun, Liz memiliki teman baru, Sofi dan pembimbing bahasa Italia yang bernama Luca. Luca mengajarkan Liz bahwa orang Italia memiliki prinsip, kau tak bisa bicara bahasanya hanya dengan mulutmu, bicaralah dengan tanganmu juga dan berteriaklah.

Kemudian dalam unsur Pray, Liz mengunjungi Pataudi India. Liz mencoba melakukan meditasi, namun meditasi pertamanya gagal karena ia tertidur saat melakukan meditasi rutin di pagi hari. Namun seiring berjalannya waktu, Liz berhasil melakukan meditasi sehingga dirinya tenang bahkan Liz dapat menyelesaikan masalah perceraian yang dihadapinya hingga akhirnya ia ikhlas melepas perceraian tersebut dan memaafkan mantan suaminya sendiri. Dalam meditasi yang ia lakukan, Liz mendapatkan banyak pelajaran. Selain bermeditasi, Liz juga mendapat pelajaran di Pataudi bahwa diam adalah latihan spritual yang bagus.

Sedangkan untuk unsur Love, Elizabeth Gilbert tanpa sengaja mendapatkan unsur ini di pulau dewata Bali, Indonesia. Liz memilih Bali, karena percaya terhadap suatu ramalan. Hal ini dimulai dengan prolog pada film Eat Pray Love. Elizabeth Gilbert hanya berniat untuk mendatangi seorang tabib, namun semua orang yang ia kenal merekomendasikannya pada seorang tabib generasi ke sembilan bernama Ketut Liyer. Ia bahkan tidak tahu, apa yang akan ia tanyakan pada tabib tersebut, namun akhirnya ia memutuskan untuk bertanya mengenai hubungan percintaannya. Ketut Liyer kemudian membaca garis tangan Liz, dan dia menyatakan bahwa Liz merupakan seorang penjelajah dunia yang akan berumur panjang yang

(4)

mempunyai banyak teman dan banyak pengalaman. Namun dia akan menikah dua kali, pernikahan yang singkat dan pernikahan yang langgeng. Kemudian Liz juga akan kehilangan semua uangnya dalam waktu 6-10 bulan ke depan, namun Ketut Liyer memintanya untuk tidak khawatir karena uang itu akan kembali dan yang terakhir Ketut Liyer menyatakan bahwa Liz akan kembali lagi ke Bali selama 3-4 bulan untuk mengajarinya Bahasa Inggris.

Prolog pertemuan Liz dengan Ketut Liyer tersebut merupakan ramalan yang tepat dalam kehidupan Liz. Karena Liz memang mengalami apa yang dikatakan oleh Ketut Liyer, setelah mengalami perceraian Liz melakukan perjalanan keliling dunia dan hampir kehilangan semua uang yang ia miliki.

Namun setelah mengalami unsur Eat dan Pray, Liz memutuskan kembali ke Bali untuk bertemu dengan Ketut Liyer. Kemudian Elizabeth Gilbert tanpa sengaja mendapatkan unsur Love di pulau dewata Bali, Indonesia. Karena ketika Liz membantu Ketut Liyer menyalin perkamen kuno, Liz tiba-tiba bertemu seorang pria dan menjalin cinta dengan pria tersebut.

Beberapa unsur yang menarik dalam film ini adalah ditunjukannya keindahan alam Bali yang ditampilkan sebagai scene pembuka dalam film ini seperti sebuah hamparan sawah beserta ombak yang menerjang karang.

Kemudian dilanjutkan dengan scene ketika Elizabeth Gilbert (penulis novel yang kemudian novelnya difilmkan) sedang diramal oleh Ketut Liyer.

(5)

Menurut sejarahnya, 1Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti “Kekuatan”, dan “Bali” berarti “Pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali sendiri mempunyai dua pahlawan nasional yang sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik.

Sehingga jika dikaitkan dengan penelitian yang peneliti lakukan, beragamnya kebudayaan Indonesia yang bisa dilihat dalam film Eat Pray Love muncul dari bermacam-macam aspek, seperti aspek geologis, aspek komunikasi, aspek perbedaan budaya, dan lainnya. Hal tersebut menunjukan bahwa pertukaran budaya tersebut memiliki landasan.

Menurut Sulasman & Gumilar (2013:87 dalam bukunya Teori-teori Kebudayaan), “teori kebudayaan” dapat dimaknai secara ringkas sebagai “teori-teori yang terkait dan lahir dari tradisi kajian dalam bidang kebudayaan”. Dengan demikian, teori budaya merupakan alat/cara pandang untuk memahami hasil buah budi/karya manusia.

Sehingga jika dikaitkan dengan teori, masuknya Bali dalam film Eat Pray Love dikarenakan pembuat film ingin melakukan pertukaran budaya

dengan cara memahami hasil buah budi/karya manusia yang berada di Bali.

Dalam beberapa scene ditunjukkan bahwa, Elizabeth Gilbert melakukan perjalanan, untuk mencari keseimbangan hidupnya setelah melalui Napoli dan India. Hingga akhirnya Liz, diceritakan mendapatkan petuah dari Ketut Liyer yang merupakan seorang dukun penyembuh yang berada di Bali yang juga mampu membaca garis tangan. Hal ini berdasarkan basic pertukaran budaya

1 http://widyfahmi.blogspot.com/2013/04/kebudayaan-bali.html (diakses 09 Maret 2015 pukul 10:16)

(6)

dimana orang luar negeri senang untuk mempelajari kebudayaan yang berbeda dan unik dari budaya asalnya sendiri. Berdasarkan setting pengambilan gambar tersebut, penulis melihat beberapa aspek yang dikaitkan dengan fokus dalam penelitian ini, menyangkut dengan keindahan alam Bali serta warisan budaya Bali yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Bali.

“Teori kebudayaan dapat digunakan untuk keperluan praktis, memperlancar pembangunan masyarakat, sedangkan pengetahuan teoretis tentang kebudayaan dapat mengembangkan sikap bijaksana dalam menghadapi serta menilai kebudayaan-kebudayaan lain dan pola perilaku yang bersumber pada kebudayaan sendiri.” Sulasman &

Gumilar (2003:87)

Walaupun banyaknya aspek kebudayaan yang masuk, penelitian ini berfokus kepada teori yang peneliti gunakan yaitu semiotika Roland Barthes yang akan menjabarkan makna yang terkandung dalam film. Tujuan tersebut adalah guna memperjelas alur penelitian dan mendapatkan benang merah antara objek dan subjek yang diteliti dengan penjabaran hasil penelitian.

Makna tersebut adalah makna konotasi, makna denotasi dan mitos yang akan direpresentasikan dalam film Eat Pray Love.

1.2 Fokus Penelitian dan Pertanyaan Penelitian 1.2.1 Fokus Penelitian

Berdasarkan konteks penelitian yang penulis jabarkan di atas, maka penulis mengangkat penelitian dengan judul “Representasi Warisan Budaya Indonesia Dalam Film Eat Pray Love.

(7)

1.2.2 Pertanyaan Penelitian

Berkaitan dengan masalah yang diangkat oleh penulis, maka penulis merumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana tanda denotasi budaya Bali direpresentasikan dalam film Eat Pray Love?

2. Bagaimana tanda konotasi budaya Bali direpresentasikan dalam film Eat Pray Love?

3. Bagaimana mitos budaya Bali direpresentasikan dalam film Eat Pray Love?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah, untuk :

1. Mengetahui makna denotatif yang terkandung pada, representasi warisan budaya Indonesia khususnya budaya Bali dalam film Eat Pray Love.

2. Mengetahui makna konotatif yang terkandung pada, representasi warisan budaya Indonesia khususnya budaya Bali dalam film Eat Pray Love.

3. Mengetahui mitos yang terkandung pada, representasi warisan budaya Indonesia khususnya budaya Bali dalam film Eat Pray Love.

(8)

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Secara Teoritis

Dengan adanya penelitian terhadap film ini diharapkan pembaca dapat memperdalam kajian konsep komunikasi budaya, media massa dan film yang menunjukkan tanda warisan budaya Indonesia dalam aplikasinya.

1.4.2. Secara Praktis

1. Dengan adanya penelitian terhadap film ini diharapkan dapat membantu kalangan para calon sineas Indonesia, untuk membuat film yang bertujuan untuk lebih mengeksplorasi keindahan alam serta warisan budaya Indonesia. Karena keindahan alam serta budaya Indonesia tentunya tidak kalah menarik dengan budaya milik negara lain.

2. Sebaiknya pada saat memproduksi sebuah film, seorang sutradara menuangkan ide-ide kreatif yang lebih positif, karena melakukan komunikasi melalui media film sangat berpengaruh terhadap khalayak yang menonton.

3. Bagi masyarakat yang umumnya banyak yang mencintai industri film, maka dapat menjadi penonton yang baik serta cerdas. Dapat menilai mana bagian-bagian film yang dapat diambil sisi positifnya, dan mana yang menunjukkan sisi negatif yang tidak perlu ditiru oleh penikmat film.

(9)

1.5. Setting Penelitian dan Pengertian Istilah 1.5.1. Setting Penelitian

Untuk mempermudah agar masalah yang hendak penulis teliti mencapai sasarannya, maka penulis akan melakukan penelitian dengan setting sebagai berikut:

1. Penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif dengan pendekatan analisis semiotika (Roland Barthes).

2. Masalah yang terdapat pada penelitian ini untuk mengungkap makna dari masing-masing pesan yang terdapat dalam film. Makna yang di jabarkan nantinya akan berupa makna konotatif, makna denotatif, dan mitos yang terdapat dalam scene yang penulis jabarkan nantinya.

3. Analisis Semiotika dalam konteks penelitian ini adalah ilmu tentang tanda, khususnya dari pandangan Roland Barthes, yang dapat digunakan dalam mengenali dan memahami tanda-tanda serta makna yang ditampilkan dalam film Eat Pray Love.

1.5.2. Pengertian Istilah

Adapun pengertian-pengertian istilah yang penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain:

1.5.2.1. Adat

Ahli sosiologi W. G. Sumner menyebut norma-norma golongan pertama folkways, dan norma-norma yang kedua disebut mores. Istilah folkways dapat kita terjemahkan dengan “tata cara”, sedang mores dapat

(10)

diterjemahkan dengan ‘adat-istiadat dalam arti khusus”.

(Koentjaraningrat, 2011: 78) 1.5.2.2. Adat Istiadat

Menurut Sobur (2014: 10), Inggris: customs; Arab: adatun > adat kebiasaan.

1. Kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat dan sudah berlangsung lama.

2. Suatu tata laku yang kekal dan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai warisan sehingga integrasinya kuat dengan pola-pola perilaku masyarakat. Jika adat istiadat dilanggar, sanksi yang diterima bisa berupa penderitaan panjang bagi pelanggarnya akibat celaan yang langsung dilontarkan kepada si pelaku oleh anggota-anggota masyarakat lainnya. Biasanya, adat istiadat ini bersifat tidak tertulis dan berkembang serta berubah mengikuti perkembangan masyarakatnya.

1.5.2.3. Budaya

Budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budidaya, yang berarti daya dan budi. Karena itu mereka membedakan antara budaya dan kebudayaan. Budaya adalah budi yang berupa cipta, karsa dan rasa; dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut (Joko Tri Prasetya, 2011: 28).

(11)

1.5.2.4. Falsafah

Falsafah ialah satu disiplin ilmiah yang mengusahakan kebenaran yang umum dan asas. Perkataan falsafah dalam bahasa Melayu berasal daripada bahasa Arab (Falsafah) yang juga berasal daripada perkataan yunani Φιλοσοφία philosophia, yang bermaksud "cinta kepada hikmah". (Koentjaraningrat, 2011: 27)

1.5.2.5. Rumah Adat

Rumah adat di Indonesia sangat beranekaragam dengan ciri khas dan keunikan masing-masing, hal tersebut merupakan kekayaan negeri ini yang tak ternilai harganya. Bentuk rumah adat merupakan sesuatu yang unik, bentuk rumahnya tidak lazim seperti pada bangunan- bangunan saat ini, yang tidak bisa dijumpai di kota-kota besar. Namun hanya terdapat di tempat-tempat khusus saja dan fungsinya pun jikalau di kota besar bukan sebagai tempat tinggal.

1.5.2.6. Representasi

Representasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu Representation:

yang artinya gambaran; menggambarkan: memainkan peran;

melambangkan, mewakili; atau menunjukan (Echols, 1996: 75). Selain itu, representasi berarti menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan (Eryanto, 2001: 114).

(12)

1.5.2.7. Sesajen

Sesajen merupakan warisan budaya Hindu dan Budha yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat (pohon, batu, persimpangan) dan lain-lain yang mereka yakini dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan. (Sumber: RRI Voice of Indonesia).

1.6. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran adalah landasan teori yang peneliti gunakan sebagai titik tolak penelitian ini. Karena fungsinya begitu penting maka penulis mengemukakan beberapa hal yang penulis anggap akan menguatkan penelitian ini. Penulis membagi kerangka pemikiran ini menjadi kerangka pemikiran teoritis dan kerangka pemikiran konseptual.

1.6.1. Kerangka Teoritis

Penggunaan kerangka teoritis dalam penelitian ini amenyangkut kepada bagaimana teori semiotika roland barthes bisa diimplementasikan dalam penelitian. Represenatasi yang ingin peneliti munculkan disini adalah makna konotatif dan makna denotatif, serta mitos yang terkandung dalam film.

Menurut Sobur (2013:263) makna konotatif adalah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata mawar itu. Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin connotare, “menjadi tanda” dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi).

(13)

Sehingga makna tersebut akan membuat makna gabungan dari persepsi dengan hal-hal yang bisa diamati dan diimplementasikan dalam sebuah wujud atau gambaran. Sedangkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (yang disebut sebagai makna referensial).

Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Sehingga dalam penelitian ini representasi makna akan berupa perwujudan hal-hal yang dapat diamati secara visual dan audio yang nantinya akan peneliti konversi menjadi sebuah data.

Secara lanjut dijelaskan, denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran (Lyons, dalam Pateda, 2001:98). Sehingga perwujudan makna tersebut bisa secara jelas terlihat dalam percakapan dalam film, atau scene yang menunjukan bahwa hal tersebut bisa diamati dan dipersepsikan.

Tabel 1.1

Pebandingan antara Konotasi dan Denotasi

(Sumber: Arthur Asa Berger. 2000a. Media Analysis Techniques. Edisi Kedua. Penerjemah Setio Budi HH. Yogyakarta: Penerbitan Universitas

Atma Jaya, hlm.15)

KONOTASI DENOTASI

Pemaknaan figur Petanda

Kesimpulan

Memberi kesan tentang makna Dunia mitos

Literatur Penanda Jelas

Menjabarkan

Dunia keberadaan/eksistesi

Dalam tabel diatas, terlihat perbandingan antara kedua makna yang akan peneliti gunakan, dikaitkan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam

(14)

film. Seperti pemaknaan figur, pertanda, dan kesimpulan serta dunia mitos yang akan di dapat di akhir penelitian. Sedangkan makna denotasi yang akan dijabarkan meliputi literatur yang peneliti gunakan, penanda sebagai alat ukur penelitian, jelas dalam artian, sumber data yang diambil bukanlah sumber data bias, serta eksistensi bahwa adanya pembentukan atas makna tersebut.

Selain itu teori komunikasi massa yang peneliti gunakan akan membantu menjabarkan bahwa media memberikan pengaruh untuk melakukan konstruksi makna bagi khalayak yang menyaksikannya. Selain itu media juga memberikan kemudahan kepada setiap individunya untuk dinilai dan dipersepsi.

1.6.2. Kerangka Konseptual

Berawal dari perkembangan film yang terjadi di dunia, film Eat Pray Love merupakan film ber-genre drama yang diangkat dari sebuah Novel populer karya Elizabeth Gilbert yang berlatar belakang hal yang mengangkat kebudayaan di masing-masing negara, namun bertujuan akhir di Bali, Indonesia. Hal yang bisa diangkat lebih dari film Eat Pray Love antara lain adalah adanya pengangkatan tema yang lebih berfokus kepada keindahan budaya Indonesia, dan faktor intensitas kemunculan scene Bali sebagai background jalan cerita yang lebih banyak dibanding dengan negara lain yang

menjadi background pengambilan gambar.

Sehingga disini bisa dilihat bahwa media membantu menyebarkan budaya melalui film, tayangan dokumentasi atau foto. Sedangkan penggunaan teori media massa dalam film ini terdapat dalam potongan-potongan scene

(15)

penulis novel Elizabeth Gilbert yang dialami langsung di tanah dewata, Bali.

Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa Liz, sapaan Elizabeth mencoba berkomunikasi dengan memberikan pesan melalui media cetak, yaitu dengan menggunakan novel hasil pengalamannya. Karena ratting novel tersebut tinggi, maka Liz mencoba peruntungannya untuk menyampaikan pesannya kepada khalayak dengan cakupan yang lebih luas, yaitu dengan cara membuat film berdasarkan kisah nyata dari pengalamannya melalui unsur Eat, Pray dan Love yang tentunya mirip dengan plot yang ada pada novel.

Sedangkan teori kebudayaan yang muncul terdapat dalam beberapa scene yang menunjukkan bahwa beberapa hal muncul dalam film. Hal yang

memuat kebudayaan Indonesia sangat tampak dalam film ini adalah scene Bali sebagai scene pembuka dan sebagai scene penutup serta sebagai unsur

Love” yang terkandung dalam film ini. Sangat terlihat jelas pada film tersebut komunikasi lintas budaya yang terjadi ketika Liz berinteraksi dengan masyarakat sekitar, baik itu di Itali, India dan Indonesia. Sangat jelas terlihat walaupun berbeda budaya, namun Liz menikmati perbedaan budaya yang berada di negara yang sedang dia kunjungi. Sedangkan Bali merupakan tempat yang dipercaya oleh Liz sebagai tempat untuk menenangkan dirinya dan mengetahui masa depannya melalui membaca garis tangan.

Setelah itu penelitian ini disangkut pautkan dengan metode penelitian semiotika Roland Barthes, yang bertujuan untuk merepresentasikan makna yang terdapat dalam film Eat Pray Love. Dengan meneliti bagian per bagian scene yang terdapat dalam film, peneliti dapat melihat scene berdasarkan

makna denotasi serta makna konotasi yang terdapat pada beberapa scene yang peneliti anggap memiliki nilai-nilai yang merepresentasikan Indonesia.

Peneliti menggunakan metode semiotika Roland Barthes karena peneliti ingin

(16)

mengetahui makna konotasi, makna denotasi serta mitos yang terdapat pada scene yang akan peneliti teliti.

Setelah kedua makna tersebut didapat dan dipaparkan secara mendalam, maka akan didapat mitos yang terkandung dalam film Eat Pray Love yang mempresentasikan keadaan budaya Indonesia yang disebarluaskan melalui media film tersebut. Secara gambaran, bagan kerangka pemikiran tersebut maka peneliti uraikan sebagai berikut:

FILM EAT PRAY LOVE

Komunikasi Massa Komunikasi Lintas Budaya

Semiotika Roland Barthes

Representasi Makna

Denotatifff f

Konotatif

Referensi

Dokumen terkait

Pekerjaan pemindahan pupuk kompos dari timbangan ke pengayakan dilakukan oleh 1 orang pekerja dengan cara memegang, mengangkat, membawa dan meletakkan secara manual

Với các nghiên cứu trên có nhược điểm là thiếu tính linh động về khoảng thời gian theo dõi lũ lụt; tập trung phạm vi vào khu vực nhất định tại Việt Nam; tính ứng dụng của nghiên cứu