• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penglihatan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan.

Melalui mata manusia dapat menyerap informasi visual yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai kegiatan. Namun, gangguan penglihatan sering terjadi, mulai dari gangguan ringan hingga gangguan berat yang dapat menyebabkan kebutaan.

World Health Organization (WHO) memaparkan estimasi data terkait gangguan penglihatan yang digunakan berdasarkan tajam penglihatan.

Dikatakan low vision, jika penglihatan berkisar <6/18-≥3/60 dan dikatakan buta, jika penglihatan kurang dari 3/60. Estimasi jumlah orang dengan gangguan penglihatan di seluruh dunia pada tahun 2010 adalah 285 juta orang atau 4,24%

populasi, sebesar 0,58% 39 juta orang menderita kebutaan dan 3,65% atau 246 juta orang mengalami low vision. Sekitar 65% orang dengan gangguan penglihatan dan 825 dari penyandang kebutaan berumur 50 tahun atau lebih (World Health Organization, 2012).

Penyandang low vision juga bagian dari masyarakat yang berhak mendapatkan pemenuhan terhadap hak-hak dasarnya dalam bidang kesejahteraan sosial. Layanan rehabilitasi yang dapat diberikan pada penyandang tunanetra atau low vision dapat berupa latihan membaca dan menulis braille,

(2)

2

latihan penggunaan tongkat, latihan fungsional penglihatan, dan orientasi mobilitas (Rafael Lisinus, 2020).

Berbagai penelitian juga menunjukan bahwa gangguan penglihatan dan kebutaan dapat mengakibatkan penurunan pada kualitas hidup yang terlihat dari berkurangnya kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan, mengisi waktu luang, dan melakukan kegiatan sehari-hari (Muhammad Asrorudin, 2014).

Penyandang low vision pun mengalami hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti membaca, menulis, berjalan, menonton televisi, mengemudikan kendaraan bahkan kesulitan mengenali wajah seseorang. Low vision diartikan sebagai kondisi seseorang yang memiliki ketajaman penglihatan (visual acuity) kurang dari 6/60 tetapi tidak lebih dari 6/18. Yang dimaksud dengan low vision adalah bentuk gangguan penglihatan yang membatasi aktivitas sehari-hari dan tidak bisa diperbaiki dengan kacamata, lensa kontak, obat-obatan, atau pembedahan, maka dari itu penyandang low vision membutuhkan bantuan untuk memaksimalkan sisa penglihatan yang dimilikinya.

Sesuai dengan pasal 38 Ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial yang menyatakan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Peran tersebut dapat dilakukan oleh perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, dan lembaga kesejahteran asing (Adi Fahrudin, 2012). Penyelenggaraan sosial

(3)

3

tersebut dapat meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemerdayaan sosial, dan perlindungan sosial (Dinara Oktaviana, 2019).

Gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia mengalami peningkatan dengan prevalensi 1,5% dan tertinggi dibandingkan dengan angka kebutaan di negara-negara regional Asia Tenggara seperti Bangladesh sebesar 1%, India 0,7% dan Thailand 0,3% (Fauzi, Anggorowati, & Heriana, 2016). Menurut Aria Indrawati, ketua Pertuni di Yogyakarta, Indonesia belum memiliki data pasti terkait data penyandang low vision. Alasannya, dikarenakan memang belum ada pendataan untuk penyandang low vision. Meskipun begitu, jika dilihat berdasarkan data kementrian kesehatan jumlah tunanetra mencapai 3,6 juta, maka diperkirakan tiga perempatnya adalah penyandang low vision atau berkisar 2.7 juta orang (Rahma Lillahi Sativa, 2015).

Menurut hasil survey (2007) ditemukan hampir 4,8 % di antara masyarakat Indonesia menderita low vision dan menderita kebutaan sebanyak 0,9 %.

Proporsi penderita low vision dilihat dari gender menunjukkan bahwa wanita lebih tinggi dibandingkan pria (5,4 % : 4,1 %) dan kebutaan (1,3 % : 0,9 %) (Rif’ati, Lutfah dkk, 2007). Bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara ternyata Indonesia penderita low vision tertinggi di antara negara yang lain. Sebagian besar yang mengalami penurunan penglihatan disebabkan efek dari Age Related Macular Degeneration (AMD) dan katarak. Seorang penyandang low vision masih memiliki kemampuan untuk melihat walaupun dengan jarak pandang yang terbatas seperti yang dikemukakan oleh Corn (1983, 374) (N Yulyta kodrat P, N Hartiningsih, 2015).

(4)

4

Kualitas hidup menurut World Health Organization (WHO) adalah persepsi seseorang dalam konteks budaya dan norma sesuai dengan tempat hidup orang tersebut berkaitan dengan tujuan, harapan, standar, dan kepedulian selama hidupnya (Putri ST, Fitriana LA, Ningrum A, 2015). Pusat data dan informasi kementrian Kesehatan RI menyatakan indera penglihatan merupakan syarat penting dalam meningkatkan kualitas hidup manusia karena berbagai visual diserap oleh mata (Kalangi W, Rares L, Sumual V, 2016). Berbagai penelitian menunjukan bahwa gangguan penglihatan dan kebutaan dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup (quality of life), yang terlihat dari berkurangnya kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan, mengisi waktu luang atau melakukan aktivitas harian (activities of daily living). Dampak lain yang timbul adalah pasien akan terisolasi secara sosial, depresi, ketergantungan, tingginya resiko terjatuh, fraktur femur, kesalahan pengobatan, penurunan status gizi pada orang tua, shock dan denial (Muhammad A, 2014).

Penilaian kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan beberapa tahun terakhir telah diterima sebagai cara untuk menilai hasil rehabilitasi. Gagal atau berhasilnya rehabilitasi pada pasien low vision pada umumnya telah dinilai dengan menggunakan pengukuran kemampuan fungsional yang lebih khusus, seperti kecepatan membaca (reading speed) (Muhammad A, 2014).

Seberapa baik seseorang dengan low vision dapat melihat tidak sepenuhnya ditentukan oleh tingkat kehilangan penglihatan. Beberapa faktor yang independen terhadap fisiologi mata mempengaruhi kualitas penglihatan. Hal ini sesuai dengan konsep WHO tentang definisi sehat yang menggunakan istilah

(5)

5

biopsikososial untuk menjelaskan keterkaitan faktor fisik, psikologis, dan social untuk menggambarkan bagaimana low vision berdampak pada fungsional sehari- hari.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, dapat diidentifikasi permasalahan dalam karya tulis ini yaitu “Bagaimana Gambaran kualitas hidup pada penderita gangguan low vision ?”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Melakukan kajian literatur untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pada penderita gangguan low vision.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui perbandingan kualitas hidup pasien dan hasil rehabilitasi low vision.

b. Dampak kualitas hidup setelah dilakukan rehabilitasi pada penderita low vision.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari kajian literatur ini diharapkan memberikan gambaran mengenai kualitas hidup pada penderita gangguan low vision.

(6)

6 2. Manfaat Bagi Penulis

Diharapkan dapat meningkatkan manfaat ilmu pengetahuan dan menambah wawasan khususnya tentang low vision.

3. Bagi Mahasiswa

Dapat bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai low vision khususnya kepada mahasiswa/i D3 Optometri.

4. Bagi Institusi

Dapat memberikan manfaat bagi dunia keilmuan dan menjadi salah satu referensi penelitian dan kepustakaan.

E. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Masalah

Materi yang di bahas dalam kajian literatur ini adalah mengenai gambaran kualitas hidup penderita gangguan low vision serta perbandingan dengan hasil rehabilitasi low vision.

2. Ruang Lingkup Keilmuan

Dalam kajian literatur review ini menggunakan keilmuan low vision.

3. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan metode literature review matrix yaitu dengan menggabungkan berbagai jurnal baik jurnal nasional maupun jurnal internasional.

Referensi

Dokumen terkait

Teaching and learning 21st century skills: Lessons from the learning sciences.. Sydney:

5  Waste minimisation, reuse and recycling all reduce the social and environmental costs ‘externalities’ associated with landfill disposal such as health hazards, odours, visual