• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Bab I"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

JAMINAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN AKTA KUASA MENJUAL YANG

DIBUAT NOTARIS ATAS TANAH ABSENTEE

1. Latar Belakang

Setiap warga Negara indonesia yang dapat memiliki hak untuk memperoleh hak atas tanah berdasarkan Undang – Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” setiap Individu yang lahir dan telah menjadi warga Negara Indonesia berhak menikmati segala sesuatu yang berada di kawasan wilayah Republik Indonesia, dalam hal ini tanah sebagai Hak memiliki atas tanah dalam Undang-Undang pokok Agraria (UUPA) pasal 4 dinyatakan bahwa “dasar atas hak menguasi dari Negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang” dasar pemilikan hak atas tanah yang diberikan Negara kepada setiap warga negaranya memiliki batasan-batasan antara lain tanah-tanah pemukiman dan tanah-tanah pertanian.

Tanah-tanah pemukiman yang diberikan oleh Negara bagi setiap warganya dapat diperoleh melalui Jual Beli, Hibah dan Waris serta Akta

(2)

2

Pembagian Hak Bersama yang dapat mudah dimiliki oleh setiap orang berbeda dengan tanah-tanah pertanian, yang memang dikhususkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, Kepemilikan tanah pertanian diluar daerah tempat tinggal pemiliknya disebut dengan tanah Absentee atau dalam bahasa sunda disebut tanah Guntai, tanah Absentee tidak dapat diperjual belikan, dalam pasal 3d Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1964 ditegaskan bahwa “semua bentuk pengalihaan hak atas tanah pertanian yang mengakibatkan penerimaan hak memiliki tanah secara Absentee dilarang, pelarangan atas kepemilikan tanah secara Abentee

yang tidak sesuai dengan asas-asas UUPA.

Pelaranggan terhadap kepemilikan tanah secara Absentee sesuai dengan asas fungsional dalam pasal 6 UUPA hak atas tanah pertanian apapun yang ada pada sesorang tidaklah dibenarkan untuk kepentingan pribadi yang dapat merusak lingkungan pertanian sekitar.1

Namun seiring dengan berkembangnya jaman tanah pertanian yang merupakan kawasan pertanian sebagai peyangga pangan untuk warganya, oleh sebagian warganya telah di jual secara perorangan kepada perorangan secara pribadi yang bertempat tinggal berbeda wilayah dengan letak obyeknya untuk kepentingan pribadi yang merugikan kelangsungan tanah – tanah pertanian disekitarnya.

Menurut BOEDI HARSONO mengatakan bahwa “hak atas tanah yang diberikan Negara tidak diperbolehkan apabila tanah tersebut semata-

1 Urip Santoso,SH.,MH Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Persada Jakarta hal 60

(3)

3

mata untuk kepentingan pribadi yang dapat merugikan pihak lain atau masyarakat di sekitar tempat obyek tanah tersebut2

Pengalihan tanah secara Absentee oleh seorang Notaris dalam prakteknya banyak dilakukan tanpa mengindahkan aturan Undang- Undang dengan pembuatan Akta Otentik berupa akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual yang dibuat dihadapan dan disahkan oleh seorang Notaris terhadap Jual Beli atas tanah Absentee.

Notaris adalah Pejabat umum yang memiliki kewenang untuk membuat akta otentik dan kewenagan lainnya sebagai dimaksud dalam ketentuan umum pasal 1 huruf 1 Nomo r 30 Undang-Undang Jabatan Notaris dalam menjalankan sebagian kewenangan Negara dalam hokum public untuk melayani masyarakat atas pemberian alat bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah dan berdasarkan undang-undang, hal ini sejalan dengan cita - cita bangsa Indonesia pasal 28 huruf d ayat 1 dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Akta Otentik sebagai Suatu akta yang dibuat berdasarkan ketentuan undang-undang oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), di tempat akta itu dibuat. Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, dan Pasal 165 Herziene Indonesisch Reglemen, akta otentik juga di artikan sebagai suatu alat bukti sah yang di akui oleh Undang- Undang tanpa perlu adanya alat bukti yang lain sebagai pendukung.

2 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2005), hal : 296

(4)

4

Kewenangan Notaris Menurut 6.7.S. Lumban Tobing dalam bukunya tentang Peraturan Jabatan Notaris, kewenangan utama notaris yakni sebagai pembuat akta otentik. Oteentisitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tentang Peraturan Jabatan Notaris dimana Notaris dijadikan sebagai “pejabat umum” sehingga akta yang dibuat oleh notaris karena kedudukannya tersebut memperoleh sifat sebagai akta otentik.3

Pelarangan dalam kepemilikan tanah Absentee oleh warga yang bertempat tinggal tidak sama dengan letak obyeknya sesuai dengan asas- asas dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA yang dikuatkan dengan PP 224 yang mewajibkan pelarangan kepemilkan tanah pertanian diluar wilayah obyeknya, dan Peraturan pemerintah pasal 4 ayat 1 nomor 18 tahun 2016 tentang pembatasan penguasan terhadap tanah pertanian.

Pelanggaran Jabatan Notaris yang banyak berkembang di masyarakat, akibat pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual oleh Notaris dengan para pihak yang membuat perjanjian jual beli atas sebidang tanah pertanian tanpa mengidahkan Perundang- Undangan atau Peraturan-Peraturan lain yang sejalan dengan pelaksanaan jabatan seorang Notaris yang dalam menjalankan Jabatannya

3G.H.S. Lumban Tobing. Peraturan jabatan Notari, Jakarta, Erlangga 1983, Cetakan ke 4, hal 49

(5)

5

Pelanggaran terhadap salah satu persyaratan atau lebih tersebut membawa dua akibat hokum terhadap akta yang dibuatnya yaitu:

1. Aktanya tidak Otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat dibawah tangan apabila akta ini di tanda-tangani oleh para penghadap.

2. Aktanya tidak sah, jika oleh Undang-Undang perbuatan hokum tersebut diharuskan dengan suatu akta otentik 4

Notaris dalam menjalankan jabatannya yang kenyataanya masih banyak melakukan pelanggaran yang dilakukan, karena kurangnya pengawasan oleh Majelis Pengawas yang memiliki tugas sebagai pengawas akan kinerja Notaris dalam menjalankan jabatannya dan kurangnya ketegasan akan peraturan jabatan notaris dalam menindak seorang Notaris yang membuat akta diluar wilayah jabatannya dalam membuat akta otentik yang merupakan tugas dan kewenangan seorang pejabat umum dalam hal ini Notaris.

Dalam UUJN tidak disebutkan secara pasti apa dan bagaimana pertangung jawaban seorang Notaris terhadap akta yang di buatnya atas pelanggaran pembuatan tanah Absentee yang dibuat dalam akta Notaris dalam hal ini PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) dan KJL (kuasa Menjual) pelanggaran yang atas akta Otentik yang dibuat seorang Notaris maka akta tersebut mengandung unsur-unsur pemalsuan atas

4 G.H.S. Lumban Tobing. Ap.cit hal 37 dalam Dr. Rusdianto Sesung, Hukum &

Politik Hukum Jabatan Notaris , hal 74

(6)

6

kesengajaan atas akta yang dibuatnya, sanksi yang dijatuhkan sanksi administrative terhadap akta yang dibuat di Notaris tersebut.

Oleh sebab itu maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul JAMINAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA MENJAUL YANG DIBUAT NOTARIS TERHADAP TANAH ABSENTEE.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan Uraian latar belakang permasalahan yang diuraikan diatas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Kepastian hukum bagi pembeli atas tanah absentee yang di buat berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli dan kuasa menjual?

2. Tanggung gugat notaris atas akta perjanjian pengikatan jual beli dan akta kuasa menjual?

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 3.1 Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis jaminan kepastian hokum terhadap akta PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) yang dibuat notaris terhadap Tanah Absentee untuk pembelajaran para calon Notaris dalam jabatannya membuat akta Notariil dan Untuk mengalisis tentang Otensitas akta dan Tangung Jawab Notaris terhadap Produk akta yang dibuatnya.

3.2. Manfaat Penelitian

(7)

7 Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu kenotariatan tentang jaminan hokum terhadap akta PPJB (Perjanjian Pengiakatan Jual Beli) yang dibuat notaris dan tanggung gugat notaris terdapat akta yang dibuat atas Obyek Jual Beli terhadap Tanah Absentee atau Tanah Guntai, menurut Muhamad Sadi Is hokum sebagai norma yang memiliki kekhususan yaitu hendak mengatur, melindungi dan memberi keseimbangan dalam menjaga kepentingan umum5

Manfaat Praktis

Bagi Notaris untuk menjadi pedoman dalam menjalankan dalam pelaksanaan Jabatannya, Notaris memiliki tangung jawab terhadap setiap akta yang di buatnya baik secara Perdata maupun Pidana sehingga Notaris tidak boleh membuat sebuah produk akta yang didalam Peraturan Undang-Undang Lain mengatur atas Pelarangan Jual Beli Obyek Tanah Absentee atau tanah Guntai.

Menurut Sprengel Van Eijk mengatakan bahwa Notaris tidak hanya ditugaskan untuk mengkonstatir dalam suatu keterangan- keterangan yang diberikan kepadanya mengenai apa yang terjadi atau yang dikehendaki,6 kewenangan Notaris dalam membuat akta haruslah otensitas yang merupakan suatu alat bukti yang sah yang diakui oleh

5 Muhamad Sadi Is, S.H.I.,M.H, Pengantar Ilmu Hukum, hal 4.

6 Sperenger Van Eijk, G.H.S Lomban Tobing dalam DR. Ghansham Anand, SH.,M.Kn. Kateristik Jabatan Notaris di Indonesia, hal 50

(8)

8

undang-undang karena Notaris adalah Pejabat Umum (Openbaar Ambtenar)

4. Original Penelitian

Peneliti mencari referensi-referensi dari penelitian dalam bentuk tesis dan buku-buku yang membahas tentang kedudukan akta dan pertanggung jawaban atas akta yang di buat Notaris terhadap Obyek Jual Beli terhadap tanah Absentee, dari sekian banyaknya Judul Penelitian dan Refrensi Buku-Buku yang ada sebagai Refrensi organinalitas penelitian dalam kedudukan akta yang dibuat di luar wilayah jabatannya, dengan melakukan pendekatan perundang- undangan (statue approach)

Menurut Estelle Phillips mengenai ukuran oroginalitas penelitian yang meliputi:

1) Saying something nobody has said before;

2) Carrying out empirical work that hasn’t been done made before;

3) Making a synthesis that hasn’t been made before;

4) Using already know material but with a new interpretation;

5) Trying out something in this country that has previously only been done in other countries;

6) Taking a particular technique and applying it in a new area;

7) Bringing new evidence to bear on an old issue;

8) Being cross-diciplinary and using different methodologies;

9) Taking someone else’s ideas and reinterpreting them in a way no one else has;

10) Looking at areas that people in your discipline haven’t looked at before;

11) Adding to knowledge in a way that hasn’t previously been done before;

12) Looking at existing knowledge and testing it;

13) Playing with words. Putting thing together in ways other haven’t.

(9)

9

Pendapat Estelle Phillips tersebut diterjemahkan bebas sebagai berikut:

1) Mengemukakan sesuatu yang belum pernah dikemukakan sebelumnya;

2) Menyelesaikan pekerjaan empiris yang belum terselesaikan sebelumnya;

3) Membuat sintesa yang tidak pernah dibuat sebelumnya;

4) Menggunakan materi yang sama namun dengan pendekatan lain;

5) Mencoba sesuatu di Negara-negaranya terhadap sesuatu yang telah diterapkan di Negara lain;

6) Mengambil teknik tertentu dan menerapkannya di bidang baru;

7) Menggunakan bukti baru untuk menyelesaikan masalah lama;

8) Menjadi ilmu interdisipliner dan menggunakan metodologi yang berbeda dengan metodologi sebelumnya;

9) Mengambil gagasan orang lain dan menafsirkannya kembali dengan cara yang berbeda;

10) Menunjukkan sesuatu yang baru dari disiplin ilmu si peneliti yang belum pernah ditunjukkan oleh peneliti sebelumnya;

11) Menambah pengetahuan yang belum pernah dilakukan sebelumnya;

12) Melihat pengetahuan yang ada saat ini dan mengujinya;

13) Menjelaskan/ menguraikan kata-kata. Kata-kata yang diuraikan tersebut kemudian disusun dengan cara lain yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.7

Berdasarkan pendapat Estelle Phillips dikatakan originalitas penelitian maka penelitian akan menguraikan secara garis besar dari penelitian yang ada mengenai kewenangan Notaris dalam membuat suatu alat bukti yang Otentik (akta Otentik) dalam hal ini PPJB (perjanjian Pengikatan Jual Beli) tanah Absentee atau tanah Guntai.

Tesis Juraida yang berjudul “PELAKSANAAN LARANGAN PEMILIKAN TANAH PERTANIAN SECARA ABSENTEE (studi kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul)” dalam tesisnya

7 Estelle Phillips dalam Rusdianto S, Prinsip Kesatuan Hukum Nasional Dalam Pembentukan Produk Hukum Pemerintah Daerah Otonomi Khusus atau Sementara, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2016

(10)

10

dikatakan bahwa tentang tata cara pelaksanaan larangan pemilikan tanah pertanian dikabupaten bantul .

TABEL PERBANDINGAN ORIGINAL PENELITIAN

No Jenis Penelitian Nama Penelitian

Afiliansi Tahun Penelitian

Rumusan Masalah

Perbedaan

1. Peranan kantor pertanahan dalam mengatasi

kepemilikan tanah

“Absentee/Guntai”

di kabupaten banyumas

Ariska Dewi

Universitas Diponegoro Semarang

2008 1.aktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya

pemilikan tanah secara

absentee/guntai di Kabupaten Banyumas ?

2. Bagaimanakah peran Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas dalam mengatasi atau menyelesaikan masalah tanah- tanah

absentee/guntai ?

1.perlindungan hukum bagi pembeli terhadap tanah absentee yang di buat berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli (ppjb) dan kuasa menjual (kjl)

2. tanggung gugat notaris atas akta ppjb (perjanjian pengikatan jual beli) dan akta kjl (kuasa menjual)

(11)

11 2. penataan

kepemilikan tanah pertanian secara absentee melalui program kartu tanda penduduk eletronik (ktp-el)

Ni Made Asri

Alvionita I Made Arya Utama Putu Tuni

Cakabawa Landra

Universitas Udayana

2018 1.Bagaimana keberadaan larangan kepemilikan tanah pertanian secara absentee sebelum

berlakunya KTPel?

2.Bagaimana fungsi KTP-el dalam mencegah kepemilikan tanah pertanian secara absentee?

1.perlindungan hukum bagi pembeli terhadap tanah absentee yang di buat berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli (ppjb) dan kuasa menjual (kjl) 2. tanggung gugat notaris atas akta ppjb (perjanjian pengikatan jual beli) dan akta kjl (kuasa menjual)

Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang di tulis oleh peneliti perbedaannya terletak pada permasalahan yang diangkat, dimana peneliti melakukan penelitan tentang Kepastian Hukum Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan Kuasa Menjual (KJL) atas Obyek tanah Absentee dan Tanah Guntai berdasarkan Peraturan

(12)

12

Pemerintah (PP) 224 tahun 1961 pasal 3 ayat 2 yakni “Kewajiban tersebut pada ayat 1 pasal ini tidak berlaku bagi pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara effisien, menurut pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II” dan Akta notaris sebagai akta otentik dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Pasal 38 s/d Pasal 65 UUJN.1 Suatu akta menjadi otentik jika memenuhi syarat yang telah ditentukan undang- undang, oleh karena itu seorang notaris dalam melaksanakan tugasnya tersebut wajib: … melaksanakan tugasnya dengan penuh disiplin, professional dan integritas moralnya tidak boleh diragukan. Apa yang tertuang dalam awal dan akhir akta yang menjadi tanggungjawab notaris adalah ungkapan yang mencerminkan keadaan yang sebenar- benarnya pada saat pembuatan akta.8

5. Tinjauan Pustaka

Notaris adalahi Pejabat umum yang di tunjuk oleh Undang- Undang sebagai pelaksana pembuatan suatu alat bukti yang sah , maka seorang Noatris haruslah bersikap Adil, Jujur, Tanggung Jawab dan bertindak sesuai dengan Aturan hokum di Indonesia tentang Tanggung Jawabnya dalam membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) terhadap tanah Absentee ( Tanah Pertanian )

8 Tan Thong Kie, Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), hlm. 166

(13)

13 5.1. Teori Kepastian Hukum Kepastian

Teori Kepastian Hukum Kepastian adalah suatu keadaan yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum haruslah memiliki kepastian dan keadilan. kepastian sebagai dasar pembentukkan kelakukan dan keadilan sebagai dasar kelakuan yang menunjang suatu aturan yang dinilai adil. Hanya karena memiliki sifat keadilan dengan pelaksananan kepastian hukum dapat menjalankan sesuai dengan fungsi dari keadilan.

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.9

Kepastian hukum normatif merupakan suatu peraturan yang dibuat dan yang di undangkan secara pasti dan nyata dengan aturan yang jelas dan logis. Jelas memiliki artian tidak menyebabkan keraguan (multi-tafsir) dan logis memiliki artian bahwa Norma yang suatu dengan norma yang lain tidak saling berbenturan yang dapat menyebabkan konflik hokum. Konflik norma yang diakibatkan dari ketidak-pastian aturan dapat membentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma

Menurut pendapat Kelsen, hukum adalah sebuah aturan norma.

Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyebabkan timbulnya beberapa peraturan

9 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010, hal.59

(14)

14

tentang apa yang harus dilakukan. Norma - norma adalah sebuah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisikan aturan - aturan atau peraturan yang bersifat umum yang merupakan pedoman bagi individu bertindak dalam bermasyarakat, baik antara sesama individu maupun dengan masyarakat umum.

Aturan-aturan itu menjadikan pembatasan bagi masyarakat umum melakukan tindakan antara individu satu dengan individu lainnya, adanya aturan-aturan hokum tersebut dalam pelaksanaannya aturan- aturan hukom tersebut mengakibatkan kepastian hukum.10

Kepastian hokum tidak dapat dipisahkan dengan aturan-aturan hokum tersebut, terutama norma hokum tertulis. Hukum tanpa adanya nilai kepastian hokum mengakibatkan hilangnya makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai dasar pedoman perilaku atau tindakan bagi masyarakat. Kepastian hokum merupakan tujuan dari hukum.

secara historis, kepastian hukum merupakan perbincangan yang telah muncul sejak adanya gagasan pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.11

Kepastian Hukum menurut Lon Fuller Kepastian hukum memiliki 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut

10 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hal.158.

11 Sudikno Mertokusumo 2007,Teori Hukum, Cetakan ke 1, hal 160

(15)

15

sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum.

Kedelapan asas tersebut adalah yaitu:

1) Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak

berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;

2) Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;

3) Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;

4) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

5) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

6) Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;

7) Tidak boleh sering diubah-ubah;

8) Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.12

5.2. Teori kewenangan

Teori kewenangan dalam penelitian ini adalah bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang menjalankan sebagaian dari kewengan Negara dalam membuat suatu alat bukti yang otentik, menurut Prof. Subekti menyebutkan bahwa akta otentik adalah suatu akta yang pembuatannya telah ditentukan oleh undang-undang yang

12 Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law (1971 : 54-58) dalam Sudikno Mertokusumo 2007,Teori Hukum, Cetakan ke 1,

(16)

16

dibuat dihadapan seseorang pejabat umum yang memiliki kewenang untuk membuatnya di tempat akta itu dibuat13

Notaris merupakan pejabat umum yang berarti kepada notaris diberikan dan dilengkapi akan adanya kewenangan atau kekuasaan umum yang menyangkut publik openbaar gezag14

5.3. Teori Tanggung Gugat

Menurut pakar hukum Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman J. Satrio berpendapat bahwa istilah tanggung gugat tidak dikenal dalam hukum. Jika yang dimaksud dengan tanggung gugat adalah vjijwaring maka itu berarti jaminan, akan tetapi istilah vjijwaring tidak ditemui padan katanya dalam bahasa Indonesia

Tanggung Gugat Notaris adalah pertanggungan Noatris dalam pembuatan akta Otentik , akta Otentik merupakan suatu akta yang pembentukkannya telah ditentukan Undang-Undang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang memiliki kewenang di tempat dimana akta dibuatnya “15yang menjadi tugas dan kewenagannya dalam menjalankan Jabatannya untuk pembuatan alat bukti yang Otentik sesuai dengan Undang-Undang

Tanggung Jawab atau Tanggung Gugat Notaris dalam melaksanakan Jabatannya, Notaris merupakan pembuat akta Otentik,

13 Prof Subekti, Hukum pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2010, hal.26

14 R. Soegondo Notodisoerjo. Hukum Notariat di Indonesia suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 44

15 Nico, S.H.,M.Kn., Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, hal 35

(17)

17

baik yang dibuat dihadapan (partij akten) maupun oleh Notaris (relaas akten), apabila orang mengatakan akta otentik, maka yang dimaksudkan tersebut adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris16

Kekuatan pembuktian dalam pembuatan akta Otentik yang dibuat Undang-Undang yaitu:

1. Kekuatan pembuktian yang lahiriah (Uitwendige Bewijskracht) Pembuktian lahiriah adalah pembuktian yang sesuai dengan akta itu dibuat sehingga dapat dibuktikan sebagai akta Otentik

2. Kekuatan Pembuktian Formal (Formale Bewijskracht)

Pembuktian Formal merupakan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta benar-benar dilakukan oleh notaris atau diterangkan sesuai dengan keinginan dan maksud dari penghadap 3. Kekuatan Pembuktian Material (Materiele Bewejiskracht)

Pembuktian Material merupakan kekuatan yang memiliki pembuktian yang bersumber pada kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (Tegenbewijs)17

16 Ibid, hal 42

17Ibid , hal 53

(18)

18

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan penuh sebagai pembuktian yang sempurnah yang memiliki maksud bahwa kebenaran yang dinyatakan dalam akta notaris tersebut dan memerlukan pembuktian yang lain, Undang-undang memberikan kekuatan pembuktian demikian karena akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah.

“ Akta yang dibuat haruslah didasarkan kepada kenyataan yang benar dan berdasarkan kebenaran yang nyata artinya apa yang menjadi isi dari akta itu tidak hanya kenyataan secara Maujud, bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi isi dari akta itu juga dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang yang menyuruh atau meminta untuk dibuatkan akta itu harus mempunyai kekuatan pembuktian yang material, kekuatan pembuktian material ini terdapat dalam pasal 1875 KUHPerdata”18

Mengenai tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum memiliki hubungan dengan kebenaran materil dibedakan menjadi 4 (empat) jenis yaitu:

1. Tanggung jawab notaris secara perdata harus memiliki Kebenaran secara materil akan akta yang dibuatnya.

2. Tanggung jawab notaris secara pidana akan kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya.

18 Wawan Setiawan, Kedudukan Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis dan Otentik Menurut Hukum Positif di Indonesia, (1995:14)

(19)

19

3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya.

4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas dan jabatanya berdasarkan kode etik notaris19

Tanggung Gugat Notaris atas akta dapat dikenakan sanksi karena adanya kerugian yang di timbulkan akibat pembuatan akta yang tidak memiliki kebenaran.

Menurut Philiphus M. Hadjon sanksi merupakan alat kekuasaanyang bersifat hokum politik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hokum, Unsur-Unsur sanksi yaitu:

1. Sebagai alat kekuasaan 2. Bersifat hokum politik, 3. Digunakan oleh penguasa

4. Sebagai reaksi dari ketidakpatuhan20

Akta Notaris yang memiliki pembuktian sebagai akta dibawah-tangan jika tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dalam KUHPerdata dalam pasal 1898 yaitu

1. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan dalam membuat akta Otentik

19 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009, hal 34 dan 35

20 Ibid, hal 245

(20)

20 2. Tidak mampunya pejabat umum 3. Cacat dalam bentuknya21

6. Metode Penelitian 6.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian pada penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip - prinsip hukum, maupun doktrin - doktrin hukum guna menjawab isu - isu hukum yang dihadapi22. Peneliti menggunakan tipe penelitian normatif karena penelitian ini guna menemukan koherensi, adalah apakah aturan hukum memiliki kesesuaian dengan norma hukum dan apakah norma yang berupa perintah atau larangan itu memiliki kesesuaian dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang memiliki kesesuaian dengan norma hukum atau prinsip hukum23.

6.2. Pendekatan Masalah

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan dua metode pendekatan masalah yaitu, diantaranya pendekatan perundang - undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus.

1. Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach) Pendekatan perundang - undangan dilakukan dengan menelaah semua

21 Ibid, Hal 203

22 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011. (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II) Hal 35

23 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenada Media Group, 2014 (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki III), hlm. 47.

(21)

21

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani24.

Pendekatan Konseptual (conseptual approach) Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin - doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

6. Sumber Bahan Hukum Pada penelitian 6.1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang - undangan, catatan - catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang - undangan dan putusan - putusan hakim.25

Bahan hokum yang akan digunakan dalam penelitian ini diantaranya:

a Hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini diantaranya:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris;

24 Ibid, hlm. 133

25 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011 (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II),181

(22)

22

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris;

4) Peraturan Pemerintah No 224 Tahun 1961 5) Perkaban No. 24 tahun 1999.

6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Pasal 10 dan penjelasan bab II angka 7

7) Undang-Undang Nomor 56Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

8) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasioanal No. 5 tahun 2015 tentang Izin lokasi 6.2. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder berupa semua publikasi tentang hokum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku – buku, teks, kamus - kamus hukum, jurnal- jurnal hukum, dan komentar - komentar atas putusan pengadilan26. Pada penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi:

buku-buku di bidang hukum, makalah- makalah, artikel-artikel, dan tesis.

Peneliti menggunakan pendekatan kasus, maka peneliti mengumpulkan putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap

26 Ibid hlm.181

(23)

23

mengenai kasus yang menjadi isu hukum penelitian diantaranya putusan, kemudian sumber bahan hukum yang telah terkumpul tersebut diolah dengan cara mengklasifikasikan berdasarkan isu hukum yang digunakan dan kemudian dilakukan analisis.

6.3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Prosedur pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini langkah pertama yang dilakukan adalah mengumpulkan bahan hukum baik primer maupun sekunder yang berkaitan dengan metode penelitian yang digunakan guna menjawab isu hukum. Pengumpulan bahan hukum oleh peneliti dengan membaca buku dan perundang- undangan yang telah dimiliki peneliti atau dengan meminjam buku diperpustakaan kampus dan perpustakaan daerah Kota Surabaya yang berkaitan dengan isu yang akan dibahas.

6.4. Analisis Bahan Hukum

Analisis Bahan Hukum Menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menyatakan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles. Penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.27

7. Sistematika Penulisan

`27Ibid ,hal 14

(24)

24

Sistematika penulisan pada tesis ini, peneliti membagi menjadi empat bagian sebagai berikut:

Bab I, pendahuluan menguraikan latar belakang pemikiran dasar dari peneliti mengenai fakta hukum melahirkan isu hukum yang akan diteliti. Isu hukum yang timbul dari fakta hukum tersebut kemudian dirumuskan ke dalam rumusan masalah. Dari rumusan masalah, timbul tujuan penelitian ini dilakukan dengan manfaat penelitian yang akan dirasakan bagi kepentingan akademis dan kepentingan praktisi. Kemudian diterangkan metode penelitian yang digunakan peneliti untuk menganalisis guna menentukan hasil penelitian. Setelah itu sistematika penulisan yang menjelaskan gambaran umum dari penelitian yang akan ditulis oleh peneliti.

Bab II, Kepastian hukum bagi pembeli atas tanah absentee yang di buat berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli dan kuasa menjual Bab III Tanggung gugat notaris atas akta perjanjian pengikatan jual beli dan akta kuasa menjual

Bab IV, penutup yang terdiri dari simpulan atas pembahasan dari rumusan masalah pertama dan kedua, kemudian disebutkan saran atas pokok permasalahan dari penelitian yang diteliti demi kemajuan akademis dan praktis.

Gambar

TABEL PERBANDINGAN ORIGINAL PENELITIAN

Referensi

Dokumen terkait

Kewajiban konsumen adalah membayar sesuai syarat dan cara pembayaran dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atau Akta Jual Beli (AJB). Jika terlambat maka

contoh perbuatan melawan hukum yang dapat Notaris dan PPAT lakukan antara lain adalah pemalsuan akta otentik, membuat keterangan palsu atau merubah isi dalam perjanjian jual

Kendala-kendala yang dihadapi Notaris dalam menerapkan Pasal- pasal Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada akta jual beli bangunan rumah dalam akta Notaris. Akta Notaris sebagai

Dari penelusuran yang dilakukan, ditemukan bahwa Tanggung jawab Notaris/PPAT terhadap akta jual beli yang dibuatnya adalah sebatas pada bagian awal akta/kepala akta

Memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang melakukan jual beli pakaian impor bekas, serta masyarakat Indonesia pada umumnya mengenai aturan-aturan

Banyak orang yang datang untuk membuat perjanjian perikatan jual beli namun dalam hal ini perjanjian perikatan jual beli (PPJB) diganti dengan Surat Keterangan

Bentuk perlindungan hukum bagi Notaris atas pembuatan akta jual beli aset kripto adalah: - Apabila penjual dan pembeli dapat menghadap Notaris secara bersama- sama dan untuk itu telah

Tesis yang ditulis oleh mahasiswa Program Kenotariatan Universitas Hasanudin ini menganalisis dua hal, yakni: tanggung jawab Notaris atas musnahnya Minuta Akta dan Protokol Notaris yang