8 A. Kajian Pustaka.
1. Masyarakat
Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal dari kata bahasa Arab syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi). Secara sederhana, masyarakat dapat dipahami sebagai sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi.
Definisi lain menyatakan masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki ciri Interaksi yang intens antar warga-warganya, Adat istiadat, Kontinuitas waktu, dan rasa identitas kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009:
115-118).
Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama, hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu tatanan pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan hubungan, Mac lver dan Page (Soekanto, 2009: 22), memaparkan bahwa
masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok, penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan manusia.
Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat, menurut Linton (Soekanto, 2009: 22) masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas sedangkan masyarakat menurut Soemardjan (Soekanto, 2009: 22) adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.
Menurut Emile Durkheim (Muhni, 1994: 29-31) keseluruhan ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus didasari pada prinsip-prinsip fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan sosial. Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala kekuatan sosial didalam bermasyarakat.
Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antar manusia. Hukum adat memandang masyarakat sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia memandang sesamanya manusia sebagai tujuan bersama.
Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya (Soekanto, 2009: 22). Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan masyarakat memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society. Bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.
2. Bus Rapid Transit (BRT)
Bus Rapid Transit (BRT) adalah satu bentuk angkutan berorientasi pelanggan dan mengkombinasikan stasiun, kendaraan, perencanaan dan elemen-elemen sistem transportasi pintar ke dalam sebuah sistem yang terpadu dan memiliki satu identitas unik. Ciri-ciri Bus Rapid Transit termasuk koridor busway pada jalur terpisah – sejajar atau dipisahkan secara bertingkat - dan teknologi bus yang dimodernisasi. Meskipun demikian, terlepas dari pemilahan busway, sistem BRT secara umum meliputi: menaikkan dan menurunkan penumpang dengan cepat, penarikan ongkos yang efisien, halte dan stasiun yang nyaman, teknologi bus bersih, integrasi moda, identitas pemasaran modern dan layanan pelanggan yang sangat baik. Bus Rapid Transit merupakan lebih dari sekadar operasional sederhana di atas jalur eksklusif bus atau busway. Menurut studi terkini tentang busway sejajar (Shen et. al., 1998), hanya setengah dari kota-kota
yang memiliki busway telah mengembangkannya sebagai bagian dari paket tindakan sistematis dan komprehensif dari jaringan angkutan massal kota yang diidentifikasi sebagai sistem BRT (Wright & Fjellstrom, 2002: 2).
Pengembangan BRT secara khusus merupakan arahan dari Direktur Jenderal Perhubungan Darat melalui kajian Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan (2011). Pada tahun 2011 baru tiga belas kota yang menerapkan BRT, dan Kota Makassar sebagai kota metropolitan dengan kepadatan penduduk 8000 jiwa/km2 dianggap sudah seharusnya menerapkan moda transportasi BRT. Di Kota Jakarta, BRT-nya dinamakan TransJakarta Busway, dari 15 koridor yang telah direncanakan, sampai dengan tahun 2011 telah melayani 11 koridor. Beberapa bentuk BRT di kota lain, seperti Bogor (Transpakuam), Yogyakarta (Transyogya), Ambon (Trans Amboina) dan lainnya (Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan, 2011).
Upaya peniruan konsep angkutan kota BRT juga merupakan sebuah peniruan dari tranportasi massal yang ada negara-negara lain dan dianggap berhasil penerapannya. Hal ini berlandaskan pada kajian yang dilakukan oleh Wright (Institut for Transportation and Development Policy) dan Fjellstrom (GTZ) pada tahun 2002 mengenai opsi angkutan massal, panduan bagi pembuat kebijakan di kota-kota berkembang.
Beberapa penerapan sistem BRT di negara berkembang yang menjadi tiruan bagi Negara-negara berkembang yang lain termasuk Indonesia, antara Kota Kuritiba di Brazilia dan Kota Bogota di Kolombia.
Kuritiba adalah salah satu contoh terbaik dari integrasi transportasi dan perencanaan perkotaan. Kota ini memiliki populasi sebanyak 1,5 juta jiwa dan 655.000 kendaraan bermotor. Transportasi umum dikelola oleh sebuah perusahaan umum, URBS, dan dioperasikan oleh 10 perusahaan swasta dalam kontrak kerja konsesi. Sistem transportasi umum di sini menjalankan 1.677 bus - kebanyakan dari jenis bus-bus gandeng untuk 270 penumpang- yang membawa rata-rata 976.000 penumpang per hari. 65 km busway sepanjang lima rute utama di“teruskan”oleh 340 rute feeder (rute terusan yang melayani jumlah penumpang relatif lebih sedikit) yang berkonsentrasi pada desakan penumpang akan terminal-terminal interchange berlokasi strategis. Terminal-terminal ini terhubung berturut-turut sejauh 185 km dengan rute yang mengelilingi antar distrik. Yang berperan dalam menunjang jaringan ini adalah rute “bus cepat” 250 km yang umumnya hanya berhenti di stasiun- stasiun tabung tertentu dengan jarak diatur setiap 3 km (Wright & Fjellstrom, 2002: 6).
Sementara penerapan BRT di Bogota, Kolombia juga dianggap telah berhasil. BRT di Bogota dinamakan TransMilenio Bogotá. Hasil di tahun-tahun pertama operasi TransMilenio memenuhi harapan pengembangnya, antara lain sistem ini setiap hari membawa 700.000 penumpang (Sept. 2002), sebagian besar pengguna TransMilenio menghemat lebih dari 300 jam per tahun untuk diri mereka sendiri, 11%
pengguna TransMilenio dulu pengemudi mobil pribadi, kecepatan rata- rata lebih dari 25 km per jam, dengan 72% dari jumlah keseluruhan bus,
sistem ini mengangkut sekitar 60.000 penumpang saat jam-jam padat, polusi suara dan udara telah berkurang 30% di lintasan TransMilenio, 344 bus operasional, tarif US$ 0.40, jarak operasi sejauh 35.5 km dan 56 stasiun operasi dan 6 masih dalam konstruksi (Wright & Fjellstrom, 2002:
6-7).
Jadi, upaya peniruan sistem transportasi yang berkelanjutan dengan sistem BRT dimulai dari beberapa contoh kota-kota berkembang seperti Kota Koritiba di Brazilia dan Kota Bogota di Kolombia. Indonesia memulai menerapkan sistem BRT di Kota Jakarta setidaknya perencanaannya dimulai pada tahun 2002 dengan melakukan peniruan terhadap kota-kota di negara berkembang yang dianggap berhasil penerapan sistem BRT-nya. Sejak Jakarta berhasil menerapkan sistem BRT, beberapa kota lain di Indonesia juga menirunya dan akhirnya Kota Makassar pun juga menirunya.
3. Teori yang Relevan
Pengambilan sebuah teori sedapat mungkin berkaitan dan menjelaskan sebuah fenomena dalam penelitian. Pembahasan yang sesuai dengan tema perspektif penerimaan masyarakat terhadap sosialisasi Bus Rapid Transit (BRT) di Kota Makassar adalah dengan menggunakan teori interaksinisme simbolik, teori sosialisasi dan teori konflik.
a. Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik ini merupakan teori yang memberikan pemahaman tetang perspektif masyarakat Kota Makassar
terhadap sosialisai Bus Rapid Transit (BRT). Masyarakat juga dapat membaca dan memfilter makna yang terkandung di dalam simbol yang dimunculkan melalui proses sosialisasi BRT oleh berbagai aktor yang kemudian masuk dalam fikiran individu sehingga sampai pada keputusan menerima atau menolak hadirnya BRT.
Mead (Ritzer & Goodman, 2010: 275-277) memandang bahwa orang bergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikan pada orang , benda, dan peristiwa. Makna-makna ini diciptakan dalam bahasa yang digunakan orang, baik untuk berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri, atau pikiran pribadinya. Bahasa memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai diri dan untuk berinteraksi dengan orang lainnya dalam sebuah komunitas.
Di bawah ini prinsip-prinsip dasar dalam teori interaksionisme simbolik ini yang meliputi (Ritzer, 1992: 209), yaitu:
1) Tak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berfikir.
2) Kemampuan berfikir dibentuk oleh interaksi sosial.
3) Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berfikir mereka yang khusus itu.
4) Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi.
5) Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi.
6) Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih satu di antara serangkaian peluang tindakan itu.
7) Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat.
Prinsip-prinsip dasar dalam teori interaksionisme simbolik ini merupakan gambaran yang dimunculkan dalam teori, hanya untuk memberika gambaran yang kongkrit dan sistematis, bahwa manusia mempunyai pola fikir yang mampu menganilisis dan memilih yang baik dan buruk, manusia juga dapat meng-interpretasikan apa yang didapatkan dalam peristiwa atau yang didengar dan dilihatnya sebagaian bentuk pengamatan simbol dari keberadaan BRT sebagai salah satu angkutan kota di Kota Makassar. Dengan prinsip itu, maka sangat jelas bahwa manusia dibedakan dengan hewan karena mempunyai pola fikir yang akan membawa dirinya hal yang positif atau bahkan pada hal yang negatif, tergantung dari sudut pandang individu yang menyerapnya.
Istilah interaksionisme simbolik menunjukkan kepada sifat khas dari interaksi antar manusia. Ke-khasannya itu, adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya, bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain. Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas
“makna” yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interaksi antar individu, diatur oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing. Proses interaksi manusia itu bukan suatu proses saat adanya stimulus secara otomatis dan langsung manimbulkan tanggapan atau respon, tetapi antara stimulus yang diterima dan respon yang terjadi sesudahnya oleh proses interpretasi diantara individu dengan masyarakat. Jelas proses interpretasi ini adalah proses berfikir yang marupakan kemampuan yang dimiliki manusia (Nazsir, 2008:
32).
Proses interpretasi yang menjadi penengah antara stimulus dan respon menempati posisi kunci dalam teori interaksionisme simbolik.
Benar penganut teori ini mempunyai perhatian juga terhadap stimulus dan respon, tetapi perhatian mereka lebih ditekankan kepada proses interpretasi yang diberikan oleh individu terhadap stimulus yang datang itu (Ritzer, 2011: 52).
Dengan kata lain, teori interaksionisme simbolik merupakan tindakan manusia dalam menjalin interakasinya dengan sesama anggota masyarakat. Manusia tidak hidup sendiri di dalam masyarakat dan manusia juga membutuhkan orang, dengan begitu maka, dengan interaksi yang dibangun akan memberikan asumsi yang positif karena saling memberikan makna dan simbol yang dimunculkan dalam kehidupan sehari-harinya. Jadi tidak hanya aktor-aktor tertentu yang mampu memberikan simbol atau makna yang diberikan, tetapi sesama masyarakat juga sama-sama memberikan kontribusi sebagai sesuatu yang sangat penting untuk diinterpretasikan (Sholeh, 2011: 20).
Mead (Narwoko & Suyanto, 2004: 20) memandang bahwa agar interaksi sosial bisa berjalan dengan tertib dan teratur dan agar anggota masyarakat bisa berfungsi secara normal, maka yang diperlukan bukan hanya kemampuan untuk bertindak sesuai dengan konteks sosialnya, tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menilai secara obyektif perilaku kita sendiri dari sudut pandang orang lain.
Blumer (Veeger, 1993: 224-227) mengembangkan lebih lanjut gagasan Mead dengan mengatakan bahwa ada lima konsep dasar dalam interaksionisme simbolik, yaitu:
1) Konsep diri (self), memandang manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak di bawah pengaruh stimulus, baik dari luar maupun dari dalam, melainkan organisme yang sadar akan
dirinya. Manusia mampu memandang diri sebagai objek pikirannya dan bergaul atau berinteraksi dengan diri sendiri.
2) Konsep perbuatan (action), karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dengan gerak makhluk selain manusia. Manusia menghadapi berbagai persoalan kehidupannya dengan beranggapan bahwa ia tidak dikendalikan oleh situasi, melainkan merasa diri di atasnya.
3) Konsep objek (object), memandang manusia hidup di tengah- tengah objek. Objek itu dapat bersifat fisik atau khayalan kebendaan atau abstrak seperti konsep kebebasan, atau agak kabur seperti ajaran filsafat. Inti dari objek itu tidak ditentukan oleh ciri- ciri instrinsiknya, melainkan oleh minat orang dan arti yang dikenakan kepada objek-objek itu.
4) Konsep interaksi sosial (social interaction), interaksi bahwa setiap masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian, manusia mencoba memahami maksud aksi yang dilakukan oleh orang lain sehingga interaksi dan komunikasi dimungkinkan terjadi. Interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerik saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya. Dengan interaksi simbolik, orang mengartikan dan
menafsirkan gerak-gerik orang lain dan bertindak sesuai makna itu.
5) Konsep tindakan bersama (joint action), artinya aksi kolektif yang lahir dari perbuatan masing-masing peserta kemudian dicocokkan dan disesuaikan satu sama lain. Inti dari konsep ini adalah penyerasian dan peleburan banyaknya arti, tujuan, pikiran dan sikap.
Oleh karena itu, interaksi sosial memerlukan banyak waktu untuk mencapai keserasian dan peleburan. Eratnya kaitan antara aktifitas kehidupan manusia dengan simbol-simbol karena memang kehidupan manusia salah satunya berada dalam lingkungan simbolik.
Goffman yang juga merupakan salah satu penganut pendekatan interaksionisme simbolik juga menyatakan bahwa teknik-teknik yang dipakai seseorang untuk mengendalikan kesan-kesan di mata orang lain disebut “seni pengaturan kesan”. Perilaku “asli” yang ekspresif, spontan dan kurang dapat dikendalikan, seharusnya tidak diumbar begitu saja oleh seseorang. Hal ini merujuk pada pernyataan Goffman bahwa masalah utama yang dihadapi setiap individu dalam berbagai hubungan sosial adalah bagaimana mengontrol kesan-kesan yang diberikan kepada orang lain. Oleh karena itu, Goffman mengajukan konsepnya yang terkenal, yaitu dramaturgi. Goffman membedakan dua macam pernyataan (Narwoko & Suyanto, 2004: 21), antara lain:
1) Pernyataan yang diberikan (expression given), yaitu sarana-sarana tanda yang dengan sengaja dipergunakan untuk menyampaikan informasi tertentu kepada orang lain.
2) Pernyataan lepas (expression given off), yaitu informasi yang disampaikan tanpa sengaja.
Ketika berinteraksi dengan orang, yang berarti seseorang tampil di panggung depan (frontstage), maka yang bakal ditampilkan adalah pernyataan yang diberikan sesuai dengan identitas macam apa yang ingin dikesankan si pembicara. Sedangkan, bila seseorang berada di panggung belakang (backstage), pernyataan dan perilaku apa pun yang ditampilkan si pembicara tidaklah menjadi persoalan (Narwoko
& Suyanto, 2004: 21).
Seseorang atau kelompok yang telah mampu berempati dan menilai diri sendiri sesuai dengan pandangan orang lain disebut Mead sebagai “diri” (the self). “Diri” dibentuk dan diubah melalui interaksi dengan orang lain; seseorang tidak dilahirkan dengan identitas dan karakteristik “diri” yang telah menjadi, melainkan dibentuk oleh lingkungannya melalui simbol-simbol dan sosialisasi. Mead menyebut kemampuan untuk menyesuaikan perilaku seseorang sebagai tanggapan terhadap situasi-situasi sosial tertentu sebagai “pengambilan peranan” atauroll-talking (Narwoko & Suyanto, 2004: 21-22).
Sunarto (Narwoko & Suyanto, 2004: 22), para penganut pendekatan interaksionisme simbolik memandang tindakan
“pengambilan peranan” pada dasarnya harus memperhatikan dua faktor. Pertama, dugaan orang sebelumnya terhadap tanggapan yang akan diberikan oleh orang lain kepada mereka. Kedua, pemikiran atau pandangan orang mengenai perilaku mereka sendiri dengan mengingat tafsiran mereka terhadap tanggapan orang lain.
Mead lebih lanjut menyatakan bahwa dalam “diri” terdapat dua komponen, yakni I dan me. Perilaku yang diperbuat dengan memperhitungkan kemungkinan reaksi atau sikap-sikap orang lain mencerminkan apa yang oleh Mead dinamakan me. Sedangkan I adalah perwujudan dari identitas pribadi orang per orang yang khas (Narwoko & Suyanto, 2004: 22).
b. Teori Sosialisasi
Proses sosialisasi merupakan suatu proses yang amat besar signifikansinya bagi kelangsungan keadaan tata tertib masyarakat.
artinya, hanya lewat proses sosialisasi itu sajalah norma-norma sosial dapat diwariskan dan diteruskan dari generasi ke generasi (dengan ataupun tanpa perubahan). Itulah sebabnya masyarakat tidak dapat/tidak harus segera dan secara terus menerus melaksanakan proses sosialisasi terhadapindividu-individu warganya (Narwoko dan Suyanto, 2004: 75-76).
Sosialisasi tidak bersifat sekaligus/total, dalam arti merupakan proses yang terus berlangsung, bergerak dari masa kanak-kanak sampai usia tua. Misalnya beberapa norma, seperti peraturan-peraturan
dasar mengenai makanan dan makan,disampaikan kepada individu sewaktu ia masih kanak-kanak; beberapa norma lainnya seperti norma pacaran ditangguhkan sampai usia berikutnya (ketika memasuki usia awal remaja). Beberapa lagi yang lain melibatkan pengajaran yang terus-menerus dan dilakukan sepanjang kehidupan manusia.
Proses sosialisasi itu merupakan suatu proses yang amat besar sigifikansinya bagi kelangsungan keadaan tertib masyarakat. Artinya, hanya lewat proses-proses sosialisasi itu sajalah norma-norma sosial itu dapat diwariskan dan diteruskan dari generasi ke generasi (Narwoko dan Suyanto, 2004: 75). Bagi Berger dan Luckmann (Hardiani, 2015: 82) menjelaskan bahwa sosialisasi primer dialami individu dalam dunia kanak-kanak.
Sosialisasi primer merupakan yang paling penting bagi individu, sebab struktur dasar dari semua sosialisasi sekunder harus mempunyai kemiripan dengan struktur dasar sosialisasi primer. Setiap individu dilahirkan ke dalam suatu struktur sosial yang objektif, dan di sinilah ia menjumpai orang-orang yang berpengaruh dan yang bertugas mensosialisasikannya. Ia dilahirkan tidak hanya ke dalam suatu struktur sosial yang objektif, tetapi juga ke dalam dunia sosial subjektif. Orang-orang yang berpengaruh itu mengantarai dunia dengan diri, memodifikasi dunia atau menyeleksi aspek-aspek dari dunia yang sekiranya sesuai dengan lokasi dan watak khas mereka yang berakar pada biografi masing-masing (Manuaba, 2010: 14).
Aktivitas melaksanakan sosialisasi dikerjakan oleh person- person tertentu yang sadar atau tidak, dalam hal ini bekerja mewakili masyarakat. Person-person tersebut dapat dibedakan menjadi dua (Narwoko dan Suyanto, 2004: 77), yaitu pertama, person-person yang mempunyai wibawa dan kekuasaan atas individu-individu yang disosialisasi. Kedua, person-person yang mempunya kedudukan sederajat (atau kurang lebih sederajat) dengan individu-individu yang tengah disosialisasi. Contoh, kawan sepermainan, teman sekelas, saudara sebaya dan sebagainya.
Berakhirnya sosialisasi primer menandakan individu sudah merupakan anggota masyarakat dan secara subjektif telah memiliki suatu diri dan sebuah dunia. Namun, internalisasi masyarakat, identitas, dan kenyataan, tidak terjadi sekali jadi dan selesai tuntas.
Sosialisasi tidak pernah total dan tidak pernah selesai. Hal ini menghadapkan pada dua masalah lain, yakni: pertama, bagaimana kenyataan yang sudah diinternalisasi dalam sosialisasi primer dipertahankan dalam kesadaran; kedua, bagaimana sosialisasi berikutnya berlangsung. Dalam hal ini, ada kecenderungan dalam masyarakat--yang khasanah pengetahuannya sederhana--tidak akan terjadi sosialisasi lebih lanjut. Namun, perlu diingat juga bahwa semua masyarakat mempunyai pembagian kerja sehingga terjadi tingkat distribusi pengetahuan, dan sosialisasi sekunder terjadi (Berger dan Luckmann, 1990:198).
Berger dan Luckmann (1990: 198-199) menegaskan bahwa sosialisasi sekunder adalah sosialisasi sejumlah “sub-dunia”
kelembagaan, atau yang berlandaskan lembaga. Lingkup jangkauan dan sifat sosialisasi ini, ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya.
Sosialisasi sekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan peranannya (role specific knowledge), dan peranan ditentukan berdasarkan pembagian kerja.
Selain sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut, terdapat juga media sosialisasi yang dapat diartikan sebagai tempat di mana sosialisasi itu terjadi atau disebut juga sebagai agen sosialisasi (agent of socialization) atau sarana sosialisasi. Agen sosialisasi yang dimaksud adalah pihak-pihak yang membantu seorang individu menerima nilai-nilai atau tempat di mana seorang individu belajar terhadap segala sesuatu yang kemudian menjadikannya dewasa. Secara rinci, beberapa media sosialisasi yang utama (Narwoko & Suyanto, 2004: 92-96), antara lain:
1) Keluarga
Segi penting dari proses sosialisasi dalam keluarga ialah bagaimana orang tua dapat memberikan motivasi kepada anak agar mau mempelajari pola perilaku yang diajarkan kepadanya.
Motivasi bisa berupa positif atau partisipatif apabila sosialisasi lebih berdasarkan diri pada penggunaan ganjaran. Sebaliknya
motivasi dapat berupa negatif atau represif apabila sosialisasi lebih mendasarkan diri pada penggunaan hukuman.
2) Kelompok bermain
Kelompok bermain baik yang berasal dari kerabat, tetangga maupun teman sekolah merupakan agen sosialisasi yang pengaruhnya besar dalam membentuk pola-pola perilaku seseorang. Di dalam kelompok bermain, anak mempelajari berbagai kemampuan baru yang acapkali berbeda dengan apa yang mereka pelajari dan keluarganya.
3) Sekolah
Sekolah merupakan media sosialisasi yang lebih luas dari keluarga. Sekolah mempunyai potensi yang pengaruhnya cukup besar dalam pembentukan sikap dan perilaku seorang anak, serta mempersiapkannya untuk penguasaan peranan-peranan baru di kemudian hari, di kala anak atau orang tidak lagi menggantungkan hidupnya pada orang tua atau keluarganya.
4) Lingkungan kerja
Di dalam lingkungan kerja, individu saling berinteraksi dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang berlaku di dalamnya.
5) Media massa
Media massa merupakan media sosialisasi yang kuat dalam membentuk keyakinan-keyakinan baru atau memperahankan
keyakinan yang ada. Bahkan proses sosialisasi melalui media massa ruang lingkupnya lebih luas dari media sosialisasi lainnya.
Iklan-iklan yang ditayangkan media massa, misalnya, disinyalir telah menyebabkan terjadinya perubahan pola konsumsi, bahkan gaya hidup warga masyarakat.
c. Teori Konflik
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung.
Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial. Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya.
Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga peperangan.
Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakterstik yang beragam.
Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan, serta budaya dan tujuan hidup yang berbeda, perbedaan inilah yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Konflik adalah sebagai perbedaan persepsi mengenai kepentingan terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif.
Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindari dan selalu akan terjadi. yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak (Wirawan, 2010: 1-2).
Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi atau karena alternatif yang bersifat integratif dinilai sulit didapat. Ketika konflik semacam itu terjadi, maka ia akan semakin mendalam bila aspirasi sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan menetap (Pruit dalam Wirawan, 2010: 27). Ketika terjadi suatu konflik dalam suatu masyarakat proses konsiliasi perlu di pertimbangkan jangan sampai terjadi kekerasan yang dapat merugikan salah satu pihak yang berkonflik.
Sejalan dengan teoritis konflik pada umumnya yang berlawanan dengan pendirian teori fungsionalisme struktural.
Dahrendorf memandang masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur- unsurnya. Setiap elemen- elemen yang ada dalam
masyarakat memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial.
Sehingga selalu terdapat konflik dan pertikaian dalam sistem sosial.
Kekuasaan mempunyai peran sentral dalam mempertahankan ketertiban masyarakat. Keteraturan yang ada merupakan paksaan pihak yang berkuasa kepada pihak yang dikuasai.
Menurut Dahrendorf masyarakat mempunyai sisi ganda, konflik dan konsensus yang menjadi persyaratan satu sama lain. Tidak akan ada konflik kecuali ada konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa adanya konsensus sebelumnya. Konsep konsensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan yang dipaksakan, bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori fungsionalisme. Hal ini posisi sekelompok orang dalam struktur sosial menentukan otoritas terhadap kelompok lainnya (otoritas berada di dalam posisi). Kepentingan dikategorikan Dahrendorf menjadi kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata (Susan; 2009: 49).
Dilain pihak, konflik dapat menciptakan konsensus dan integrasi. Oleh sebab itu, proses konflik sosial merupakkan kunci adanya struktur sosial. Dahrendrof berpendapat bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu (Poloma, 2007: 135-136). Kekuasaan memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai, sehingga di dalam
masyarakat terdapat dua pihak yang saling bertentangan karena adanya perbedaan kepentingan.
Konflik banyak jenisnya dan dapat dikelompokkan berdasarkan berbagai kriteria. Sebagai contoh, konflik dapat dikelompokkan berdasarkan latar terjadinya konflik, pihak yang terkait dalam konflik, dan substansi konflik diantaranya adalah konflik personal dan konflik interpersonal, konflik interes (Conflict of interest), konflik realitas dan konflik non realitas, konflik destruktif dan konflik konstruktif, dan konflik menurut bidang kehidupan (Wirawan, 2010: 55). Berbagai macam jenis konflik di atas yang sesuai dengan topik penelitian yang akan diteliti ini adalah konflik menurut bidang kehidupan. Jenis konflik menurut bidang kehidupan ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan konflik sejumlah aspek kehidupan.
Sebagai contoh, konflik sosial sering kali tidak hanya disebabkan oleh perbedaan suku, ras, kelas, atau kelompok sosial, tetapi sering kali disebabkan oleh kecemburuan ekonomi.
Konflik ekonomi terjadi karena perbutan sumber-sumber ekonomi yang terbatas. Konflik ekonomi misalnya terjadi dalam bentuk sengketa tanah pertanian antara anggota masyarakat dan perusahaan perkebunan, antara anggota masyarakat dan lembaga pemerintahan, atau antara anggota masyarakat lainnya. Konflik ekonomi bisa terjadi antara anggota masyarakat di suatu daerah dan
anggota masyarakat di daerah lainnya mengenai hak wilayah ekonomi (Wirawan, 2010:55-69).
Konflik dapat dibedakan berdasarkan posisi pelaku konflik yang berkonflik, yaitu (Wirawan, 2010: 116) konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara elite dan massa (rakyat). Elit yang dimaksud adalah aparat militer, pusat pemerintah ataupun kelompok bisnis. Hal yang menonjol dalam konflik vertikal adalah terjadinya kekerasan yang biasa dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat.
Konflik horizontal adalah konflik terjadi dikalangan massa atau rakyat sendiri, antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relative sama. Artinya, konflik tersebut terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan relatif sederajat, tidak ada yang lebih tinggi dan rendah.
Berdasarkan sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktuif dan konflik konstruktif. Konflik destruktif merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain.
Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya. Adapun konflik konstruktif merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu
konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi (Lauer, 2001: 98).
Sebagai konstruksi sosial, konflik adalah pengetahuan yang membentuk realitas objektif dan realitas subjektif. Sebagai realitas objektif pengetahuan konflik merupakan faktisitas objektif yang bersifat eksternal dan koersif. Sebagai realitas objektif, pengetahuan konflik meliputi seperangkat doktrin yang sudah terumuskan secara permanen, rumusan-rumusan operasional lainnya, serta praktek implementasi konflik itu sendiri. Sedangkan pengetahuan konflik sebagai realitas subjektif berarti menyangkut makan, interpretasi dan relasi subjektif individu terhadap konflik. Jadi, pengetahuan konflik sebagai realitas objektif dan realitas subjektif terus menerus berhubungan secara dialektis (Narwoko & Suyanto, 2004: 428).
Studi tentang konflik dalam perspektif sosiologi pengetahuan dan khusus teori konstruksi sosial, memiliki keunikan tersendiri. Bila analisis sosiologi konflik struktural menjelaskan soal distribusi kekuasaan dan wewenang, sosiologi pengetahuan tidak berhenti sampai di situ karena masih memerlukan penjelasan pada bagaimana proses sosial kolektivitas memaknai kekuasaan dan proses sosial lainnya (Narwoko & Suyanto, 2004: 436). Dengan demikian, konflik berdasarkan perspektif sosiologi pengetahuan memandang proses kekuasaan hingga ke kehidupan sehari-hari masyarakat.
B. Penelitian Terdahulu
Pertama, penelitian yang berjudul; Jaringan Kebijakan Angkutan Kota (Implementasi Kebijakan Forum Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Di Kota Makassar) oleh Melisa Fitrah (Pascasarjana Universitas Hasanuddin) tahun 2015. Penelitian ini bertujuan mengetahui mekanisme mimetik, normative dan koersif dalam implementasi kebijakan angkutan kota oleh Forum LaluLintas dan Angkutan Jalan Kota Makassar sebagai organisasi berbasis jaringan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Penentuan informan dengan teknik purposive.
Teknik pengumpulan data, yaitu wawancara mendalam, dokumentasi dan observasi. Data dianalisis dengan dengan teknik reduksi data, penyajian data, pengambilan kesimpulan dan verifikasi.
Mekanisme mimetic pada FLLAJ Kota Makassar, yaitu peniruan terhadap sistem BRT (Bus Rapid Trans) yang meniru keberhasilan penerapan BRT di Jakarta dan juga meniru keberhasilan di beberapa Negara berkembang, seperti Kota Koritiba di Braziliadan Kota Bogota di Kolombia.
Sementara program pemilihan angkutan umum teladan merupakan peniruan dari Program Pemilihan Awak Angkutan Umum Teladan (AKUT) yang dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan. Mekanisme normatif, yaitu nilai/norma yang terbentuk bahwa FLLAJ sebagai forum diskusi saja, adapun kebijakan yang dihasilkan diserahkan implementasinya kepada aktor yang berkompeten.Akibatnya, aktor-aktor lain selain Dinas Perhubungan Kota Makassar dan Organda, kurang dilibatkan sehingga
berdampak pada kurangnya koordinasi antar aktor dan kurangnya evaluasi terhadap implementasi kebijakan angkutan kota. Mekanisme koersif ditandai tidak adanya sanksi yang dikenakan untuk actor jika tidak mengikuti prosedur FLLAJ. Kesimpulan yang diperoleh adalah implementasi kebijakan angkutan kota oleh FLLAJ sebagai organisasi berbasis jaringan tidak berhasil dalam menyelesaikan permasalahan angkutan kota di Kota Makassar.
Kedua, penelitian yang berjudul; Analisis Jaringan Implementasi Pelayanan Publik Yang Demokratis oleh Alwi (Dosen Ilmu Administrasi
FISIP Unhas).Penelitian ini diterbitkan oleh International Journal of Administrative Science & Organization pada bulan Mei, 2012. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan pelayanan publik yang demokratis (kota transportasi) antar-organisasi jaringan di Kota Makassar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan strategi dengan cara studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam dan analisis dokumen. Pengolahan data dan teknik analisis deskriptif dengan menggunakan analisis studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan jaringan pelayanan publik (angkutan kota) antar-organisasi tidak efektif. Hal tersebut dapat dilihat dari: 1) Peraturan:
Makassar Kota Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Forum sebagai tempat dengan pemangku kepentingan transportasi publik belum disosialisasikan secara efektif; 2) Komitmen: mereka belum menunjukkan komitmen dari para pelaksana di lapangan; 3) Sumber: para pelaksana tidak menggunakan sumber daya secara bersama-sama; 4) Kerjasama: tidak ada kerjasama dengan
lembaga lain dalam mendukung pelaksanaan program yang telah ditetapkan dalam Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; 5) Koordinasi: pelaksana masing-masing menjalankan program sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari lembaga; 6) Kolaborasi: Tahapan pelaksanaan program di Forum belum berkolaborasi dengan pihak lain; and 7) Partisipasi: semua pemangku kepentingan atau peserta belum terlibat dalam program Forum.
C. Kerangka Konsep
Bus rapid Transit (BRT) merupakan salah satu angkutan kota selain pete-pete yang semenjak awal 2013 mulai diberlakukan di Kota Makassar. Bus Rapid Trans (BRT) dapat menjadi solusi bagi mobilitas penduduk Kota Makassar yang terbilang tinggi sehingga dengan adanya BRT diharapkan mampu mengatasi kemacetan dan di sisi lain pemerintah dapat lebih hemat dalam penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Tentu dengan adanya angkutan Bus Rapid Transit di Kota Makassar berdampak terhadap partisipatif masyarakat dalam menggunakan jasa transportasi tersebut. Oleh karena itu, sosialisasi memegang peranan penting dalam mengarahkan perhatian masyarakat agar dapat memahami tujuan diterapkannya angkutan BRT.. Dengan sosialisasi inilah, proses mempelajari dan menanamkan suatu nilai dan norma baru itu dipahami oleh masyarakat Kota Makassar.
Kehadiran BRT ini harus diamati juga dari aspek kecenderungan masyarakat dalam memahami nilai dari adanya angkutan kota ini, perspektif masyarakat sangat didasari akan nilai guna bagi kalangan umum yang bisa
saja berbeda-beda. Kalangan masyarakat pengguna angkutan umum akan berbeda cara pandangnya dengan supir angkot yang juga merasa berdampak pada mata pencariaannya.
Perbedaaan pandangan disebabkan interpretasi yang berbeda dalam memahami sosialisasi BRT yang dilakukan oleh berbagai aktor. Namun, perbedaan pandangan ini akan semakin mengecil jika sosialisasi dilakukan secara berkelanjutan sehingga masyarakat pada akhirnya akan semakin memahami pentingnya angkutan BRT bagi kepentingan bersama.
Oleh karena itu, penulis menggunakan teori interaksionisme simbolik dalam mengungkap dan menganalisis persektif masyarakat terhadap sosialisasi Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar. Interaksionisme simbolik berfokus pada cara dimana makna muncul melalaui interaksi. Fokus utamanya adalah untuk menganalisis makna dari kehidupan sehari-hari dapat terbentuk. Melalui kerja pengamatan secara dekat dan akrab, penulis hendak mendeskripsikan proses penerimaan masyarakat terhadap BRT sebagai sebuah simbol dalam rangka mengurangi kemacetan di Kota Makassar.
Selain itu, melalui teori konflik, penulis juga hendak mendeskripsikan implikasi sosial diterapkannya BRT, khususnya bagi angkutan pete-pete yang masih mendominasi saat ini di Kota Makassar. Implikasi sosial ini akan tampak setelah persepsi masyarakat terhadap sosialisasi BRT berhasil dianalisis melalui pihak-pihak yang menerima dan menolak keberadaan angkutan BRT di Kota Makassar.
Agar lebih jelas dalam mengkaji perspektif penerimaan masyarakat terhadapap sosialisasi Bus Rapid Trans (BRT) di Kota Makassar, maka dibuatkan skema kerangka konsep penelitian ini yang bermaksud untuk menerangkan alur penelitian ini berjalan. Adapun skema kerangka konsep seperti bagan 1.1 dibawah ini.
Bagan 1.1 Skema Kerangka Konsep
Dari skema tersebut di atas dapat dilihat bahwa alur dalam menjawab rumusan masalah dengan melihat penerimaan masyarakat Kota Makassar akan keberadaan salah satu angkutan kota, yaitu Bus Rapid Transit (BRT). Menghubungkan dengan kajian teori Interaksionisme Simbolik dan teori sosialisasi hingga merumuskan Impilkasi Sosial, secara umum dan memberikan solusi dalam pemberdayaan serta penataan salah satu angkutan umum di Kota Makassar.
Interaksionisme
Simbolik Konsep Sosialisasi
Penerimaan Masyarakat
Keberadaan Bus Rapid Transit (BRT)
Implikasi Sosial
Bus rapid Transit (BRT) Kota Makassar