• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

9 A. Kajian Teori

1. Hasil Penelitian Relevan

Hasil penelitian oleh Mila Murniati pada tahun 2013. Disetiap daerah memiliki motto atau semboyan daerah masing-masing, dimana kata “Nggahi Rawi Pahu” ini juga merupakan ciri khas orang Dompu yang sudah dijadikan sebagai semboyan daerahnya sejak jaman dulu. Nggahi Rawi Pahu merupakan falsafah daerah yang diciptakan oleh orang-orang Dompu dulu, yang sampai sekarang Kata Nggahi Rawi Pahu dibumikan oleh Masyarakat dan pemerintahan Kabupaten Dompu itu sendiri sebagai ciri khas Daerahnya. Dimana kata tersebut memiliki makna yang sangat dalam bila kita mengkajinya.

Kata Nggahi Rawi Pahu ini merupakan motto dari masyarakat Dompu, dimana kalau kita mengkaji kata tersebut akan menimbulkan makna yang sangat dalam, dari adanya motto tersebut juga diharapkan kepada Masyarakat Dompu mereka diusahakan membicarakan atau melakukan suatu perbuatan dan dimana perbuatan tersebut harus diwujudkan, jadi tidak hanya asal berbicara saja seperti istilah yang sekrang ini.

Khairul Usman pada tahun 2012. Nggahi Rawi Pahu, Nama yang lengkap saya yang diberikan oleh orang tua saya adalah Khairul, nama bapak Usman, sehingga nama lengkapnya "Khairul Usman". Aspirasi Nggahi Rawi Pahu adalah nama pena saya yang di ambil dari kata Aspirasi dan falsafah Daerah Kabupaten

(2)

Dompu - Daerah tempat saya dilahirkan dan dibesarkan oleh Ibu saya Haj. Aisyah Azis. Bapak Usman Agani meninggal ketika umur saya 3 tahun.

Saya selalu sebut Nggahi Pawi Pahu karena kata ini mengandung makna dan arti yang bernilai tinggi di dalam membentuk karakter. Nggahi artinya ungkapan, pernyataan dan bisa juga berarti doa atas apa yang hendak dilakukan (Nggahi) dan diwujudkan (Pahu) dari sebuah impian. Rawi adalah tindakan dari apa yang telah diungkapkan atau telah di doakan. Pahu adalah wujud atau realisasi dari pernyataan dan action/ikhtiar/usahakan. Sehingga Nggahi Rawi Pahu adalah falsafah yang mendorong untuk bekerja sungguh-sungguh kerja keras untuk merealisasikan dari apa yang telah dikatakan dan dilakukan, tidak mengenal berhenti di jalan atau putus asa, memiliki tekad dan semangat sampai mewujudkan impian cita-citanya.

2. Makna Semboyan Nggahi Rawi Pahu

Arti kata Nggahi Rawi Pahu ini yang sebenarnya adalah pertama (Nggahi). Nggahi yang artinya bilang/mengatakansesuatuapa yang dipikirkan dan apa yang dilihat yang keluar dari mulut seseorang. Kedua, Rawi kata yang artinya

perbuatan/sikap” yang hasil dari apa yang mereka katakan terus yang dapat

diaplikasikan langsung melalui sikap dan perbuatan seseorang. Dan yang ketiga, pahu kata pahu yang maknanya “bentuk/wujud” atau bukti nyata dari apa yang

dikatakan/bicarakan dan langsung dilakukan dengan sikap/perbuatan, sehingga tidak sia-sia apa yang mereka katakana dihadapan orang lain. Jadi Masyarakat Dompu harus berpegang teguh sama motto daerahnya tersebut diamanapun mereka berada baik berada didalam daerahnya sendiri maupun diluar daerahnya

(3)

mereka harus menajalankannya. Dalam berbicarapun harus sesuai dengan kenyataanya agar orang lain tidak menggap remeh terhadap apa yang kita bicarakan.

3. Pola Perilaku Konsumtif

a. Pengertian Perilaku Konsumtif

Lubis (Sumartono, 2002) mengatakan perilaku konsumtif adalah perilaku yang tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang sudah tidak rasional lagi. Sedangkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (dalam Sumartono, 2002) mengatakan perilaku konsumtif adalah kencenderungan manusia untuk menggunakan konsumsi tanpa batas dan manusia lebih mementingkan faktor keinginan dari pada kebutuhan.

Sedangkan Anggasari (dalam Sumartono, 2002) mengatakan perilaku konsumtif adalah tindakan membeli barang-barang yang kurang atau tidak diperhitungkan sehingga sifatnya menjadi berlebihan. Lebih lanjut Dahlan (dalam Sumartono, 2002) mengatakan perilaku konsumtif yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala hal yang dianggap paling mahal yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik sebesar-besarnya serta adanya pola hidup manusia yang dikendalikan dan didorong oleh semua keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata.

Kesimpulannya adalah perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku membeli dan menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan memiliki kencenderungan untuk mengkonsumsi sesuatu

(4)

tanpa batas dimana individu lebih mementingkan faktor keinginan dari pada kebutuhan serta ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, pengunaan segala hal yang paling mewah yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik.

b. Pengertian Gaya Hidup

Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) dan Mowen (1995) gaya hidup adalah suatu pola hidup yang menyangkut bagaimana orang menggunakan waktu dan uangnya. Gaya hidup juga dapat didefinisikan sebagai suatu frame of reference atau kerangka acuan yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku, dimana individu tersebut berusaha membuat seluruh aspek kehidupannya berhubungan dalam suatu pola tertentu, dan mengatur strategi begaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang lain.

Gaya hidup terdiri dari kegiatan, minat, dan opini. Kegiatan adalah tindakan nyata seperti menonton suatu media, berbelanja di toko, atau menceritakan kepada orang lain mengenai hal baru (perilaku konsumtif). Minat akan semacam objek, peristiwa, atau topik adalah tingkat kegairahan yang menyertai perhatian khusus maupun terus menerus kepadanya. Opini adalah

“jawaban” lisan atau tertulis yang orang berikan sebagai respon terhadap

situasi stimulus dimana semacam pertanyaan diajukan.

c. Perilaku Konsumtif yang Menjadi Bagian dari Gaya Hidup

Gaya hidup mempengaruhi perilaku seseorang yang akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang. Gaya hidup ikut berkembang sesuai dengan kemajuan zaman dan didukung oleh fasilitas-fasilitas yang ada

(5)

(Wagner, 2009). Dalam artian luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagaigaya hidup yang bermewah-mewah.

Gaya hidup yang lambat laun merambah keseluruh aspek kehidupan dapat menjadi budaya tersendiri. Gaya hidup konsumtif seseorang meluas menjadi budaya konsumtif sekelompok masyarakat. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu di antaranya adalah fenomena konformitas yang sangat wajar terjadi di kalangan remaja dan dewasa muda.

d. Faktor Pembentuk Budaya Konsumtif

Menurut Soekanto (1942), di dalam setiap masyarakat terdapat apa yang dinamakan pola-pola perilaku atau patterns of behavior. Pola-pola perilaku merupakan cara-cara masayarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut. Kecuali terpengaruh oleh tindakan bersama tadi, maka pola-pola perilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakatnya.

Dalam berbagai kepustakaan, ada semacam kesepakatan bahwa sikap tidak lain merupakan produk dari proses sosialisasi dimana sikap seseorang terhadap obyek yang bersangkutan dipengaruhi oleh lingkungan sosial serta kesediaan untuk bereaksi terhadap obyek tersebut (Widaghdo, 1999). Hal ini dapat dihubungkan dengan budaya konsumtif, dimana sikap seseorang terhadap rasa inginnya untuk memiliki sesuatu menjelma menjadi kebutuhan tersier yang wajib dipenuhi dengan segera. Pemenuhan dengan segera

(6)

merupakan langkah yang harus dilakukan akibat orang tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, dan ia bereaksi dengan mengikuti mayoritas orang di sekitarnya yang memiliki perilaku konsumtif.

Budaya konsumtif yang paling sering kita temui di kehidupan sehari-hari di antaranya adalah kebiasaan berbelanja (shopping) yang menggelayuti berbagai kalangan. Di kalangan menengah ke bawah, budaya konsumtif paling sering terlihat di saat momen Hari Raya Lebaran. Bagaimanapun keadaan ekonomi mereka saat itu, kegiatan berbelanja pakaian baru bagi seluruh anggota keluarga nampaknya telah menjadi suatu keharusan. Mereka merasa seperti ada yang kurang bila tidak mengenakan segala sesuatu yang baru di hari raya. Tidak kalah dengan kalangan menengah ke bawah, kalangan menengah ke atas pun memiliki budaya konsumtif dalam bentuk yang berbeda. Kalangan ini lebih senang membelanjakan uangnya pada tempat yang sedang tren.

Sebagai contoh, ketika sebuah perusahaan clothing asal Swedia, H&M, baru-baru ini membuka cabangnya di beberapa kota besar diIndonesia, secara masive para pengunjung pusat-pusat hiburan dimana toko tersebut berada berbelanja dan memanjakan matanya disana. Antrian yang mengular didepan pintu toko tersebut menarik perhatian pengunjung mall yang lewat, meninggalkan kesan bahwa toko tersebut memang berkualitas bagus dan atau berharga murah. Padahal, sebagian besar orang yang mengantre merupakan

‘konsumen dadakan’ yang mungkin bahkan belum menyiapkan dana untuk berbelanja. Hanya didasari oleh fenomena konformitas ditambah dengan

(7)

perilaku konsumtif dari diri masing-masing, sebagian besar pengunjung mall tertarik untuk ikut berbelanja ditoko tersebut.

Fenomena konformitas sesungguhnya bukanlah tantangan yang tidak bisa dihadapi oleh masyarakat madani. Kelemahan terbesar yang membuat sebagian besar masyarakat menjadi pengikut arus adalah ketidakmampuan menyesuaikan diri. Menurut Ogburn (dalam Lauer, 1993), ketidakmampuan menyesuaikan diri berakibat bagi kualitas hidup manusia. Ia menyatakan ada dua jenis penyesuaian sosial. Pertama, penyesuaian antara berbagai bagian kebudayaan. Kedua, penyesuaian antara kebudayaan dan manusia. Pengertian diri tak dapat dilepaskan dari konteks sosial maupun budaya, karena meskipun merupakan kumpula relasi dengan dunia, diri juga memiliki kemampuan untuk memilah-milah pengaruh dari luar dan memilih unsur mana yang akan diintegrasikan dalam konfigurasi diri.

Manajemen terhadap diri sendiri dimungkinkan dan hanya dapat dilakukan dengan pemanfaatan kesadaran dalam beberapa derajat, dari derajat terendah hingga derajat tertinggi yang mungkin dicapai (Takwin, 2008).

Sebetulnya, apabila masyarakat masing-masing dapat menyesuaikan diri terhadap kebudayaan baru yang datang dari luar serta terhadap orang lain yang menjadi role model-nya, budaya konsumtif tidak akan mewabah atau bahkan menjadi salah satu ciri masyarakat Indonesia.

Selain fenomena konformitas, brand awareness juga menjadi faktor berkembangnya budaya konsumtif. Brand awareness merupakan kemampuan pembeli dalam mengenal suatu merek secara cukup detil dalam suatu kategori

(8)

tertentu sehingga memudahkannya membeli (Ismarrahmini & Brotoharsojo, 2005). Dalam konteks budaya konsumtif, brand awareness dapat mencakup loyalitas merek, dimana sesorang dengan perilaku konsumtif dapat membeli suatu barang yang sebetulnya tidak ia butuhkan, namun atas dasar loyalitas terhadap merek yang ia percaya, ia tetap membeli barang tersebut.

Salah satu strategi pemasaran, yaitu strategi perluasan merek ikut membantu perusahaan dalam mendapatkan loyalitas merek dari konsumen.

Strategi perluasan merek berusaha memasukkan produk baru pada pasar yang sudah tercipta. Dengan menggunakan merek yang sudah diterima konsumen, konsumen cenderung dapat mengurangi resiko yang mungkin diterima dari peluncuran produk baru melalui merek yang sama.

Nama merek yang telah dikenal baik dan disukai akan membentuk harapan konsumen berkaitan dengan kemungkinan komposisi dan kinerja sebuah produk baru didasarkan pada apa yang telah mereka ketahui tentang merek itu sendiri dan pada tingkat mana konsumen merasa informasi tersebut relevan dengan produk baru (Keller, dalam Barrett, et al : 1999).

e. Menyikapi Budaya Konsumtif yang Mewabah di Masyarakat

Dari peristiwa-peristiwa tersebut dapat kita lihat bagaimana budaya konsumtif secara perlahan tapi pasti menjelma menjadi salah satu ciri khas masyarakat perkotaan di Indonesia diera globalisasi ini. Terlepas dari karut- marut perekonomian di Indonesia, seperti naiknya harga BBM dan mahalnya harga sembako, masyarakat sepertinya selalu mempunyai dana untuk memenuhi nafsu belanjanya. Disatu sisi mereka menolak kebijakan pemerintah

(9)

yang menaikkan harga BBM, tetapi disisi lain mereka tetap bisa menghabiskan uang mereka untuk membeli barang-barang yang sebetulnya tidak mereka butuhkan.

Budaya konsumtif ini bukan tidak mungkin akan mengakar pada generasi-generasi selanjutnya, yang dikhawatirkan akan memberikan lebih banyak dampak negatif. Sebagai bagian dari generasi penerus, sudah sepatutnya kita lebih selektif dalam menerima budaya yang didapat dari dunia luar. Permasalahan sosial yang terjadi dewasa ini tidak menutup kemungkinan berasal dari suatu hal yang cukup sederhana seperti perilaku konsumtif.

Karena perilaku konsumtif seseorang, maka orang lain yang merasa ingin mengikuti gaya hidupnya (misal karena yang bersangkutan adalah public figure) akan berusaha untuk mengikuti arus dan memilih gaya hidup yang ia

anggap nyaman tersebut, padahal sebetulnya secara ekonomi ia tidak seberuntung orang yang ia jadikan panutan. Tetapi karena perilaku konsumtifnya menular, maka orang ini akan cenderung menghalalkan segala cara untuk tetap mengikuti tren tersebut, sehingga berdampak pada perilaku menyimpang seperti mencuri.

Dengan merasa percaya diri dan menjadi diri sendiri dimanapun kita berada, kita telah berupaya menepis dampak negatif dari budaya konsumtif.

Melatih kesabaran dengan tidak membeli semua hal yang kita inginkan, bukan kita butuhkan, juga dapat menjadi sikap yang baik ditengah maraknya budaya konsumtif. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengurangi frekuensi berkunjung ke pusat perbelanjaan, menyibukkan diri

(10)

dengan kegiatan yang bermanfaat, dan lain sebagainya. Menyikapi fenomena yang terjadi setiap hari di sekitar kita memang bukan suatu hal yang mudah, tetapi alangkah baiknya kita melatih diri untuk bersikap tidak mengikuti arus apabila arus yang dimaksud lebih banyak membawa dampak negatif.

Jadi Perilaku konsumtif yang mewabah diDesa O’O Kabupaten Dompu, baik di kalangan menengah ke bawah maupun kalangan menengah ke atas lambat laun berubah menjadi gaya hidup sebagian besar masyarakat Desa O’O Kabupaten Dompu. Gaya hidup ini kemudian menuntun masyarakat kepada tumbuhnya budaya konsumtif.

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya budaya konsumtif antara lain lingkungan sosial (fenomena konformitas), ketidakmampuan menyesuaikan diri, brand awareness yang mencakup loyalitas mereka, serta strategi perluasan merek yang dilakukan oleh perusahaan atau produsen.

Budaya konsumtif jika terus menerus menggelayuti masyarakat Desa O’O Kabupaten Dompu di berbagai kalangan maka lama-kelamaan akan menjadi salah satu ciri masyarakatDesa O’O Kabupaten Dompu.

4. Budaya dan Masyarakat a. Budaya

1) Pengertian Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,

(11)

bangunan, dan karya seni.Agar suatu budaya itu tidak hilang begitu saja dari suatu masyarakat. Perubahan kebudayaan jauh lebih luas daripada perubahan sosial. Perubahan budaya menyangkut banyak aspek dalam kehidupan seperti kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, aturan-aturan hidup berorganisasi, dan filsafat. perubahan sosial dan prubahan budaya yang terjadi dalam masyarakat saling berkaitan, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat.

Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku yang timbul karena interaksi yang bersikap komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbol dan bukan muncul karena warisan biologis. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan, baik yang berwujud murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Rasa dan Karsa dinamakan kebudayaanrohaniah (spritual dan immaterial culture).

Dalam konteks ini, hasil rasa masyarakat mewujudkan norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan yang sangat perlu untuk mengadakan tata tertip dalam pergaulan kemasyarakatan.Hal ini dimaksudkan untuk melindungi dari kekuatan-kekuatan yang buruk yang tersembunyi dalam masyarakat.Dengan demikian, hakikatnya penciptaan norma-norma dan

(12)

kaidah-kaidah adalah merupakan petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berlaku di dalam pergaulan hidup.

Oleh karena itu, setiap masyarakat terdapat apa dinamakan pola-pola perilaku (pattern of behavior). Pola-pola perilakuan tersebut adalah cara- cara bertindak atau berkelakuan yang sama daripada orang-orang yang hidup bersama dalam masyarakat yang harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut. Pola perilakuan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebudayaannya.

Selo Soemardjandan Soelaeman Somardi dalam Soekanto (1996:55) merumuskan "kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Koentjaraningrat dari asal arti tersebut yaitu "colere"

kemudian "culture" diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Koentjaraningrat dalam Soekanto, 1969: 55).

2) Ciri-Ciri Budaya

Ciri-ciri budaya adalah sebagai berikut:

a) Merupakan budaya sendiri yang berada didaerah tersebut dan dipelajari.

b) Dapat disampaikan kepada setiap orang dan setiap kelompok serta diwariskan dari setiap generasi.

c) Bersifat dinamis, artinya suatu sistem yang berubah sepanjang waktu .

(13)

d) Bersifat Selektif, artinya mencerminkan pola perilaku pengalaman manusia secara terbatas.

e) Memiliki unsur budaya yang saling berkaitan.

f) Etnosentrik artinya menggangap budaya sendiri sebagai budaya yang terbaik atau menganggap budaya yang lain sebagai budaya standar.

3) Unsur Unsur Budaya, antara lain a) Adanya perilaku-perilaku tertentu.

b) Adanya Gaya berpakaian.

c) Adanya kebiasaan-kebiasaan.

d) Adanya adat istiadat.

e) Adanya kepercayaan.

f) Adanya Tradisi.

4) Fungsi Kebudayaan

Yang utama yaitu untuk mempelajari warisan dari nenek moyang kita, apakah baik untuk dipertahankan atau harus diperbarui atau ditinggalkan.Budaya dan unsur-unsur di dalamnya terikat oleh waktu bukan kuantitas yang statis. Budaya tetap berubah, seberapa lambatpun perubahan tersebut. Kelambatan atau kecepatan perubahannya antara lain bergantung pada seberapa jauh kekuatan budaya tersebut dan intensitas interaksinya dengan budaya lain. Suatu budaya yang lemah (sebagai minoritas misalnya atau komunikasi yang "kurang percaya diri" karena pernah terjajah bangsa lain) yang sering berhubungan dengan budaya lain yang kuat, maju dan dominan akan cepat berubah karena pengaruh

(14)

budaya kedua. Ini ditunjukkan oleh Budaya Indonesia yang cepat berubah karena dipengaruhi budaya Barat. Sebaliknya, komunitas budaya yang intensitas komunikasinya sedikit dengan budaya luar akan lambatberubah, seperti ditunjukkan budaya suku Eskimo di Kutub Utara, suku Amish di Amerika, suku Aborigin di Australia dan Budaya suku Badaya dalam di Jawa Barat.

b. Masyarakat

Sejak tahap tertentu pada masa prasejarah manusia telah hidup dalam kelompok, yang kemudian semakin berkembang dan semakin rumit penataannya hingga membentuk masyarakat yang terdiri dari sejumlah golongan dan bahkan strata Edi Sedyawati, (2010: 63). Masyarakat adalah kumpulan dari beberapa individu yang terintegrasi menjadi suatu kesatuan.

Sedangkan masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai kepentingan dan kebudayaan yang berbeba-beda yang melebur membentuk satu kesatuan yang mempunyai tujuan dan cita-cita yang sama.

Dalam menjalankan perannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya sebagai bagian dari masyarakat setiap individu dituntut untuk berperilaku jujur, adil, sopan, peduli, disiplin, tanggung jawab dan mampu untuk bekerjasama dengan baik serta selalu berusaha untuk mengedepankan kepentingan bersama demi terciptanya suatu tatanan kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang sehingga tercipta suatu keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bertanah air.

(15)

Manusia merupakan bagian dari masyarakat yang dituntut untuk selalu melakukan interaksi antara satu sama lainya dalam hal penemuhan kebutuhanya sebagai makhluk sosial. Manusia dalam menjalankan kehidupanya akan membentuk suatu ikatan terkecil yang disebut keluarga.

Keluarga berfungsi dalam hal penemuhan kebutuhan biopsikososia manusia dalam menjalankankehidupan sehari-harinya. Perkembangannya kumpulan dari beberapa keluarga akan membentuk suatu masyarakat, yang akan tumbuh semakin luas menjadi suatu bangsa.

Tata cara kehidupan setiap masyrakat dibentuk berdasarkan perpaduan antara berbagai sikap, cara berpikir, cara bergaul dan cara hidup dari tiap masing-masing individu sesuai dengan kultur yang dipercaya dan diyakini oleh setiap individu. Manusia dalam kehidupannya akan membentuk dan menjadi bagian dalam suatu ikatan sosial yaitu masyarakat. Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk membentuk suatu ikatan yang disebut ”masyarakat”

antara lain: Harus ada kelompok manusia bertempat tinggal dalam daerah tertentu dalam waktu yang relatif lama.

Masyarakat adalah suatu sistem dari cara kerja dan prosedur, otoritas dan saling bantu-membantu yang meliputi kelompok-kelompok dan pembagian- pembagian sosial, sistem pengawasan tingkah laku manusia dan kebebasan.

Sistem yang kompleks dan selalu berubah dari relasi sosial. Jadi, Masyarakat dalam arti luas adalah keseluruhan dari semua hubungan dalam hidup bersama dengan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan lain-lain. Masyarakat dalam arti sempit merupakan sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek

(16)

tertentu. Oleh karena itu dapat disimpulkan. Masyarakat adalah kelompok manusia yang telah lama bertempat tinggal disuatu daerah yang tertentu dan memilki aturan bersama untuk mencapai tujuan bersama yaitu mencapai kesejahteraan.

Masyarakat yang harmonis dapat tercipta apabila masing-masing individu memiliki kesadaran yang tinggi dalam berperilku dan berusaha untuk lebih mengedepankan kepentingan kebersamaan daripada mempermasalahkan perbedaaan-perbadaan. Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, keinginan, manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Pola interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan dalam suatu masyarakat.

Masyarakat ialah kumpulan manusia yang hidup bersama disesuatu tempat dengan aturan dan cara tertentu. Individu, keluarga dan kumpulan- kumpulan kecil merupakan anggota sesebuah masyarakat. Jaringan erat wujud dalam kalangan anggota tersebut, khususnya melalui hubungan bersemuka.

Setiap masyarakat pula mempunyai budayanya yang tersendiri yang terbentuk daripada hubungan rapat sesama anggotanya semenjak masyarakat itu wujud.

M. J. Herkofits (1985:35) mengemukakan bahwa masyarakat merupakan kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti suatu cara hidup tertentu. Karl Marx (1997:53) mengemukakan masyarakat adalah suatu struktur yang mengalami ketegangan organisasi maupun perkembangan karna

(17)

adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terpecah secara ekonomi. Sedangkan.

R. Soekmono (1973: 11) Generasi yang menurunkannya ketika menerima budaya tersebut telah mengubahsuaikannya secocok dengan keadaan persekitaran sosial dan fisikal semasa mereka. Maka masyarakat setiap kali berubah-ubah sifatnya, sesuai dengan kebutuhannya yang tidak selamanya tetap dan sama saja, dengan demikian kebudayaan selalu mengalami perubahan, tambahan dan penyempurnaan. Begitu juga yang dilakukan oleh generasi yang menerima, yaitu anak-anak mereka pun turut mengubah budaya yang mereka terima berasaskan situasi sosial dan fizikal semasa mereka.

Dengan cara inilah, sesuatu budaya terus menerus diperturun, diubah dilestarikan sepanjang zaman.

5. Teori Perilaku Sosial Konsumtif

Istilah konsumtif biasanya digunakan pada masalah yang berkaitan perilaku konsumen dalam kehidupan manusia. Dewasa ini salah satu gaya hidup konsumen yang cenderung terjadi didalam masyarakat adalah gaya hidup yang menganggap materi sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan kepuasan tersendiri, gaya hidup seperti ini dapat menimbulkan adanya gejala konsumtifisme, sedangkan konsumtifisme dapat didefinisikan sebagai pola hidup individu atau masyarakat yang mempunyai keinginan untuk membeli atau menggunakan barang dan jasa yang kurang atau tidak dibutuhkan (Lestari, 2006)

Fromm (1995) mengatakan bahwa keinginan masyarakat dalam era kehidupan yang modern untuk mengkonsumsi sesuatu tampaknya telah

(18)

kehilangan hubungan dengan kebutuhan yang sesungguhnya. Membeli saat ini sering kali dilakukan secara berlebihan sebagai usaha seseorang untuk memperoleh kesenangan atau kebahagiaan, meskipun sebenarnya kebahagiaan yang diperoleh hanya bersifat semu.Lebih jauh Kartodiharjo (1995) menjelaskan bahwa perilaku konsumtif sebagai social ekonomi perkembangannya dipengaruhi oleh faktor kultural, pentingnya peran mode yang mudah menular atau menyebabkan produk-produk tertentu.

Di samping itu sikap seseorang seperti orang tidak mau ketinggalan daritemannya atau penyakit kultural yang disebut “gengsi” sering menjadi

motivasi dalam memperoleh produk. Dijumpai juga gejala sosiopsikologis berupa keinginan meniru sehingga remaja berlomba-lomba yang satu ingin lebih baik dari yang lain. Perilaku konsumtif menciptakan kebiasaan pembelian produk untuk konsumsi tetapi ada motivasi lain. Konsumtifisme jenis ini cukup banyak contohnya, misalnya berbagai produk dengan merk terkenal sangat disukai meskipun mahal, seperti kemeja “Arrow atau tas Gucci”. Produk bukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia, akan tetapi lebih berfungsi sebagai lambang yang disebut “simbol status”.

Pendapat yang lain dikemukakan Setiaji (1995) menyatakan bahwa perilaku konsumtif adalah kecenderungan seseorang berperilaku berlebihan dalam membeli sesuatu atau membeli secara tidak terencana. Sebagai akibatnya mereka kemudian membelanjakan uangnya dengan membabi buta dan tidak rasional, sekedar untuk mendapatkan barang-barang yang menurut anggapan mereka dapat menjadi simbol keistimewaan.

(19)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku individu yang ditujukan untuk konsumsi atau membeli secara berlebihan terhadap barang atau jasa, tidak rasional, secara ekonomis menimbulkan pemborosan, lebih mengutamakan kesenangan daripada kebutuhan dan secara psikologis menimbulkan kecemasan dan rasa tidak aman.

B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan model konseptual tentang bagaiamana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Perubahan sosial telah membuka ruang-ruang baru dalam kehidupan, seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman, banyak dari mereka yang memberikan ruang bagi perubahan dan banyak pula yang menolak, anggap saja dalam suatu lingkungan tentu saja keadaan aman menjadi dambaan semua masyarakat. Adapun data yang akan dianalisis diambil melalui teknik wawancara terhadap para masyarakat yang melakukan prilaku konsumtif yang ada di Desa O’O Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bersifat membangun dan telah berkaitan dengan masalah yang menjadi tujuan utama penilitian ini.

Selain wawancara, teknik yang dilakukan peniliti dalam mengumpulkan data yaitu, observasi awal yang telah dilakukan sebelumnya serta dokumentasi sebagai bukti telah dilakukan penelitian terkait masalah pola masyarakat konsumtif dan pengembangan sosial yang terjadi pada para masyarakat yang terjadi pada para masyarakat Indonesia, khususnya pada masyarakat yang berada di Desa O’O Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Bara ini. selanjutnya akan

(20)

dianalisis bagaimana pengembangan sosialnya dan pola prilaku konsumtif yang terjadi di Desa O’O Kabupaten Dompu, NTB. Maka dapat disimpulkan kerangka pikir dalam penelitian ini sebagai berikut.

Bagan 2.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep Makna Semboyan Nggahi Rawi Pahu (terhadap pola prilaku konsumtifmasyarakat desa O,O Kabupaten Dompu)

Masyarakat Desa O’O

Semboyan Nggahi Rawi Pahu

Budaya dan Masyarakat Prilaku konsumtif

Dampak Perubahan Implemetasi Prilaku

Masyarakat Konsumtif

Analisis Masalah

Hasil

Referensi

Dokumen terkait

5 SAMJ The stroke unit model of care reduces mortality and dependency after stroke in developed countries.1,2 The multidisciplinary stroke unit model of care improves early outcomes in