Menurut Berk (1995, p. 53), Pengendalian Diri adalah kemampuan individu dalam menghambat atau mencegah terjadinya suatu dorongan berupa perilaku yang melanggar atau bertentangan dengan standar moral. Logue mendefinisikan pengendalian diri sebagai memilih tindakan yang akan menghasilkan manfaat lebih besar dengan menunda kepuasan langsung. Pengendalian diri atau self control merupakan keterampilan pribadi yang wajib dimiliki setiap orang.
Pengendalian diri yang berkembang dengan baik pada individu akan membantu individu untuk membatasi perilaku yang bertentangan dengan norma sosial. Individu dengan pengendalian diri yang baik akan mampu mengambil pilihan yang dapat memberikan dampak positif yang lebih besar di masa depan meskipun harus mengesampingkan kesenangan jangka pendek. Berdasarkan penjelasan para ahli dapat disimpulkan bahwa pengendalian diri merupakan kemampuan yang berguna pada individu untuk mencegah, mengatur dan mengelola dorongan-dorongan batin agar tidak melanggar standar moral yang berlaku guna memperoleh manfaat yang lebih besar.
Individu yang memiliki pengendalian diri yang baik akan menunjukkan ciri-ciri tertentu dalam menyikapi apapun yang menghadangnya.
Aspek – Aspek Self Control
Kecenderungan individu untuk mematuhi aturan dan norma yang berlaku mencerminkan kemampuan dirinya dalam mengendalikan diri, padahal sebenarnya individu tersebut ingin melanggar aturan dan norma tersebut. Kontrol perilaku Kontrol perilaku adalah kemampuan individu untuk mengendalikan dirinya dalam situasi yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengendalikan perilaku terbagi menjadi dua komponen, yaitu kemampuan mengatur kinerja (regulated control) dan kemampuan mengubah perilaku (variabilitas rangsangan).
Kemampuan mengendalikan pelaksanaan adalah kemampuan individu dalam menentukan siapa yang akan mengendalikan suatu situasi atau keadaan, baik dirinya sendiri maupun aturan perilakunya dengan menggunakan sumber dari luar. Sedangkan kemampuan memodifikasi perilaku adalah kemampuan mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak diinginkan akan dipenuhi oleh individu. Kontrol Kognitif (Cognitive Control) Kontrol kognitif diartikan sebagai kemampuan individu dalam mengendalikan diri untuk memproses informasi yang tidak diinginkan dengan cara menafsirkan, mengevaluasi atau menghubungkan suatu peristiwa dalam kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis untuk mengurangi stres yang dihadapinya.
Pengendalian Keputusan (Decision Control) Pengendalian keputusan merupakan kemampuan individu dalam mengendalikan dirinya untuk memilih suatu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Disiplin diri Disiplin diri mengacu pada kemampuan individu dalam menjalankan disiplin diri, seperti mengikuti aturan dalam lingkungan sosialnya. Perbuatan atau tindakan non-impulsif (disengaja/non-impulsif) Penilaian terhadap kecenderungan individu untuk melakukan tindakan non-impulsif (respon terhadap rangsangan dengan pemikiran yang matang).
Kebiasaan baik (Healthy Habitat) Kebiasaan baik merupakan kemampuan individu dalam mengatur pola perilaku menjadi satu. Biasanya individu yang memiliki kebiasaan baik akan menolak sesuatu yang mungkin berdampak buruk meskipun hal itu menyenangkan baginya. Etika kerja Etika kerja berkaitan dengan penilaian individu terhadap pengaturan dirinya dalam pelayanan etika kerja.
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Self Control
13 Namun pengendalian diri pada anak dan orang dewasa tidak bisa dibandingkan secara langsung. Cara orang tua menegakkan kedisiplinan, cara orang tua menyikapi kegagalan anak, gaya komunikasi, cara orang tua mengungkapkan kemarahan (penuh emosi atau mampu mengendalikan diri) merupakan awal mula anak belajar tentang pengendalian diri. Hasil penelitian Liau-bei Wu (2004) terhadap 1000 anak sekolah menengah memperkuat peran orang tua dalam pembentukan pengendalian diri dan pengaruh pengendalian diri terhadap berbagai perilaku buruk.
Kesimpulan penelitian antara lain gaya pengasuhan orang tua berpengaruh terhadap perilaku menyimpang dan terdapat hubungan antara pengendalian diri dengan perilaku menyimpang pada remaja. Pengendalian diri sangat diperlukan agar seseorang tidak terlibat dalam pelanggaran norma keluarga, sekolah, dan masyarakat. Berbagai pelanggaran yang muncul akibat rendahnya pengendalian diri juga muncul akibat sikap orang tua yang salah.
Dari situasi yang berbeda-beda, ada orang yang mampu mengendalikan dirinya dengan baik, ada juga orang yang memiliki pengendalian diri yang rendah, setiap perilaku pasti mempunyai dampak tertentu dan anak dapat mengambil pelajaran dari semua itu, termasuk dampak yang ditimbulkan dari perilaku tersebut. Pelanggaran norma yang sering dilakukan oleh remaja merupakan cerminan dari belum berkembangnya pengendalian diri pada remaja. Logue (1995, p. 36) mengemukakan bahwa anak-anak cenderung impulsif, sedangkan remaja relatif lebih mampu mengendalikan diri.
Remaja dengan tingkat pengendalian diri yang tinggi seharusnya mampu mengendalikan rangsangan dari luar yang mungkin mempengaruhi perilakunya. Fox & Calkins (2003) menyatakan bahwa pengendalian diri remaja merupakan kapasitas internal yang dapat digunakan untuk mengendalikan variabel eksternal yang menentukan perilaku. Remaja dikatakan matang secara emosional apabila ia tidak meledakkan perasaannya di hadapan orang lain, namun menunggu waktu dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara yang dapat diterima (Hurlock, 1997, p. 213).
Kelekatan
Definisi Kelekatan
Attachment juga dapat diartikan sebagai hubungan emosional atau afektif antara seorang individu dengan individu lain yang mempunyai arti khusus. Hubungan yang terjalin akan bertahan lama dan memberikan rasa aman pada anak, bahkan hingga masa remaja. Ia juga percaya bahwa ikatan paling awal yang terbentuk antara anak dan pengasuhnya mempengaruhi pembentukan hubungan yang berlanjut sepanjang hidup (Upton, 2012).
Ainsworth mengidentifikasi tiga jenis keterikatan pada bayi: aman (di mana bayi merasa stres ketika ibunya pergi dan akan merasa terhibur atau diyakinkan ketika ibunya kembali), ambivalen cemas (di mana bayi merasa stres ketika ibunya pergi, bahkan ketika mereka kembali. . ), dan penghindar cemas (di mana bayi tidak merasa terganggu dengan kepergian ibunya dan tidak tertarik dengan kehadiran ibunya). Kenyamanan fisik dan pola asuh yang sensitif menjadi kunci pembentukan kepercayaan dasar pada bayi. Kepercayaan pada bayi ini pada akhirnya akan menjadi dasar keterikatan dan dasar harapan berkelanjutan yang menganggap dunia adalah tempat yang aman, baik, dan menyenangkan.
Menurut Megawangi (2014), ketika seorang ibu bekerja penuh waktu padahal anaknya masih dalam usia pengasuhan anak (0-5 tahun), maka akan berdampak pada kesejahteraan sosial dan emosional anaknya. Menurut penelitian, anak usia dibawah 1 tahun hingga 6 tahun yang ibunya bekerja lama di luar rumah dan dirawat oleh TPA (Tempat Penitipan Anak) cenderung sulit mengatur emosinya, anak merasa tidak aman, sulit dinasihati, dan memiliki dampak yang lebih rendah terhadap kognitif (kemampuan berpikir) anak dibandingkan dengan anak yang ibunya tidak bekerja di luar (Megawangi 2014). Ikatan antara ibu dan anak juga akan terganggu. Hasil penelitian yang dilakukan Heydari dkk. 2015) menyatakan bahwa keterikatan pada ibu secara tidak langsung akan mempengaruhi bunuh diri melalui pengendalian diri, hal ini sejalan dengan teori ikatan sosial (Gottfredson dan Hirschi 1990; Hirschi 1969) bahwa keterikatan merupakan langkah penting dalam proses pengembangan pengendalian diri.
Hubungan yang baik antara orang tua dan remaja yang dibina sejak lahir akan menciptakan ikatan atau ikatan hubungan satu sama lain. Ternyata hubungan yang hangat, mendalam dan berkualitas antara orang tua, anak dan remaja dapat membantu anak pra remaja mengatasi perubahan yang terjadi pada dirinya. Hubungan yang berkualitas terlihat dari sejauh mana hubungan tersebut memberikan fungsi dukungan sosial yang penting, seperti bantuan, perhatian, pengakuan dan pendampingan (Taufik 2013).
Dimensi Kelekatan
Berdasarkan pendapat profesional di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa keterikatan adalah ikatan emosional antara dua atau lebih individu/orang yang menimbulkan rasa nyaman dan aman di antara mereka. Permasalahan yang dihadapi remaja dapat membantu remaja memahami dirinya sendiri. Dengan kata lain, rasa percaya individu terhadap sosok attachment berkaitan dengan pengalaman pembentuk kepercayaan yang positif. Hal ini terjadi ketika terdapat jarak antara individu dengan sosok keterikatan, seperti ketika tidak adanya sosok keterikatan membuat keterikatan antara kedua individu menjadi tidak dapat diandalkan.
Pornografi
Pengertian Pornografi
Kata pornografi berasal dari kata pornos yang berarti melanggar kesusilaan atau cabul dan grafis yang berarti tulisan, gambar atau patung, atau benda pada umumnya yang memuat atau menggambarkan sesuatu yang menyinggung perasaan moral orang yang membaca atau melihatnya. Pengertian pornografi selain dipengaruhi oleh kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial masyarakat, juga dipengaruhi oleh kondisi masyarakat dan bangsa yang bersangkutan serta dipengaruhi pula oleh waktu ketika pornografi itu dirumuskan. Sebaran penduduknya berdasarkan masyarakat adat yang ada di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Irian (Papua), masing-masing masyarakat adat mempunyai beragam budaya dan hukum adat yang berbeda satu sama lain.
Menurut Andi Hamzah, jika dilihat dari makna gramatikalnya, pornografi terdiri dari dua kata asli yaitu porn dan grafi.
Kerangka Pikir
Ketika mereka membuka konten pornografi, mereka tidak memikirkan resiko apa yang akan mereka alami di kemudian hari, selama mereka menonton konten pornografi mereka merasa senang dan membuat mereka ingin melakukannya lagi. Untuk memenuhi hal tersebut, remaja justru menonton konten pornografi karena remaja tidak menemukan cara untuk memenuhi kebutuhannya dalam keluarganya sendiri. Namun jika remaja mempunyai pengendalian diri yang baik maka remaja akan mampu terhindar dari perilaku negatif salah satunya menonton konten pornografi.
Hoffman (2012) mengatakan bahwa pengendalian diri adalah kemampuan individu dalam mengendalikan atau mengarahkan dirinya ke arah yang lebih baik ketika dihadapkan pada godaan, dimana godaan tersebut adalah menonton konten pornografi. Menurut Aisnworth (1979), jika remaja tumbuh dengan keterikatan yang baik terhadap orang tuanya, maka ia juga akan memiliki pengendalian diri yang baik. Perkembangan psikologis remaja yang sehat juga dapat dilihat dari seberapa dekat mereka dengan orang tuanya.
Namun tidak demikian halnya dengan remaja yang memiliki hubungan baik dengan keluarganya, seperti remaja yang merasa nyaman mengungkapkan perasaan dan kesulitannya kepada orang tuanya untuk mencari solusi dan pendapat. Namun kenyataannya mereka kurang disiplin dalam berperilaku sehari-hari, selain tidak konsentrasi atau konsentrasi saat belajar, mereka juga tidak bisa menahan diri untuk menonton film porno karena hal tersebut memberikan kesenangan dan membuat mereka ingin. Selain itu, perilaku menonton konten pornografi secara terus menerus akan menyebabkan individu menjadi kecanduan.
Jika remaja sudah memiliki pengendalian diri yang rendah maka remaja tidak akan mampu atau biasanya tidak akan mampu menahan diri untuk melakukan hal-hal lain, terutama berhenti menonton film porno ketika mereka mengabaikan batasan-batasan perilaku yang baik dan apa yang tidak boleh dilakukan. menjadi. dilakukan yang akan menimbulkan perilaku menyimpang atau buruk di kemudian hari, seperti perilaku nakal remaja seperti: merokok, perilaku agresif dan perilaku seksual pranikah. Begitu pula dengan family attachment, remaja yang kurang memiliki keterikatan dengan orang tuanya akan memiliki kemampuan pengendalian diri yang rendah. Penjelasan tersebut menunjukkan adanya pengaruh keterikatan keluarga terhadap pengendalian diri pada remaja yang melihat pornografi.
Bagan Kerangka Pikir
Hipotesis