5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Durian (Durio zibethinus Murr)
Indonesia merupakan salah satu dari delapan pusat keanekaragaman genetik tanaman di dunia, terutama untuk buah-buahan tropis seperti durian. Produksi durian lokal di Indonesia yang mencapai 600.000 ton per tahun dan kulit duriannya yang mencapai 400.000 ton per tahun. Merupakan limbah padat yang dapat menyebabkan masalah lingkungan. Kulit durian secara proposional mengandung unsur selulosa yang tinggi (50-60%), lignin (5%), serta kandungan pati yang rendah (5%) (Raditya, 2016). Ekstrak kulit durian dikenal memiliki sifat probiotik dan tradisional dihargai sebagai obat terhadap gangguan kolorektal, demam, sakit kuning, dan diterapkan secara eksternal sebagai lotion astringent (larutan pengecil pori-pori kulit) pada pembengkakan, infeksi kulit dan luka, ada penelitian yang relatif terbatas pada pemanfaatan nilai tambah biomassa durian (Hameed, 2012).
Gambar 1. Kulit Durian
(sumber:https://www.kompasiana.com/nataniaamanda/kulit durian- sebagai-aternatif-untuk-mengatasi-logam-pada-air-tanah)
Menurut riset dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017, produksi durian di Indonesia khususnya Riau mampu mencapai 12.370 ton per tahun. Pada umumnya, masyarakat Indonesia hanya mengkonsumsi daging durian dan
beberapa ada juga yang mengolah biji durian menjadi makanan tertentu. Jika kita pikirkan lebih dalam, konsumsi durian sebanyak itu sudah tentu menghasilkan limbah berupa kulit durian yang tidak sedikit pula. Limbah tersebut jika dibiarkan akan menimbulkan bau yang tidak sedap dan jika dibakar akan menimbulkan pencemaran udara (Noer, 2015).
Berdasarkan penelitian dari University of Chulalongkorn Thailand yang menyebutkan bahwa kulit durian memilki kandungan selulosa terbanyak sekitar 50-60% carboxymethylcellulose dan lignin 5%. Penggunaan selulosa ini dapat diaplikasikan karena bahan ini dapat mengikat bahan logam. Selulosa pada kulit durian memiliki tiga gugus hidroksil yang reaktif dan memiliki unit berulang- ulang yang membentuk ikatan hidrogen intramolekul dan antar molekul. Ikatan ini memiliki pengaruh yang besar pada kereaktifan selulosa terhadap gugus-gugus lain. Polimer selulosa terdiri dari monomer D-glukosa yang dapat dimodifikasi oleh gugus fosfat (Soekardjo, 1990). Dari karakteristik tersebut, kulit durian dapat digunakan sebagai bahan baku yang potensial dalam pembuatan karbon aktif (Noer, 2015).
2.2. Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu fenomena permukaan karena akumulasi suatu spesies pada batas permukaan padat-cair. Adsorpsi dapat terjadi karena adanya gaya tarik- menarik. Ada 2 tipe adsorpsi, yaitu:
1. Adsorpsi fisis atau Van der Waals 2. Adsorpsi kimia
Adsorpsi yang terjadi dalam hal ini adalah non-spesifik dan non-selektif penyebab gaya tarik menarik karena adanya ikatan koordinasi hidrogen dan gaya Van der Waals. Apabila adsorbat dan permukaan adsorben terikat dengan gaya Van der Waals saja maka dinamakan adsorpsi fisis atau adsorpsi Van der Waals.
Molekul yang teradsorpsi terikat pada permukaan secara lemah dan panas adsorpsinya rendah. Jika adsorbat dan permukaan adsorben bereaksi secara kimiawi maka disebut chemisorption. Nilai panas adsorpsi setara dengan reaksi kimia karena adanya ikatan kimia yang terbentuk maupun yang terputus selama proses adsorpsi. Untuk membedakan kedua fenomena proses adsorpsi tersebut
Universitas Muhammadiyah Riau
maka digunakan variabel suhu. Adsorpsi fisis ditandai dengan penurunan jumlah yang teradsorpsi dengan peningkatan suhu (Widayatno, 2017).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adsorpsi 1. Macam-macam Adsorben
a. Adsorben Polar: Adsorben polar memunyai daya adsorpsi yang besar terhadap asam karboksilat, alkohol, alumina, keton dan aldehid. Contohnya adalah alumina.
b. Adsorben non Polar: Adsorben non polar mempunyai daya adsorpsi yang besar terhadap amin dan senyawa yang bersifat basa. Contohnya adalah silica.
c. Adsorben Basa: Adsorben basa memunyai daya adsorpsi yang besar terhadap senyawa yang bersifat asam. Contohnya adalah magnesia.
2. Macam-macam adsorbat
Jika zat yang diadsorsi merupakan elektrolit maka adsorpsi akan berjalan lebih cepat dan hasil adsorpsi lebih banyak jika dibandingkan dengan larutan non elektrolit. Hal ini disebabkan karena larutan elektrolit terionisasi sehingga didalam larutan terdapat ion-ion dengan muatan berlawanan yang menyebabkan gaya tarik-menarik Van der Waals semakin besar, berarti daya adsorpsi semakin besar.
3. Konsentrasi Masing-Masing Zat
Jika konsentrasi (C) makin besar, maka jumlah solute yang teradsorpsi semakin besar. Hal ini sesuai dengan persamaan Freundlich:
q = k. C1/2 keterangan:
q = konsentrasi maksimum adsorbat (gram) k = konstanta (m/mg.s)
C = konsentrasi zat terlarut (mg/L) (Hadiwidodo, 2018).
4. Luas Permukaan
Makin luas permukaan adsorben (adsorben makin kecil ukurannya), maka adsorpsi yang terjadi makin besar karena kemungkinan zat yang menempel pada permukaan adsorben bertambah. Hal ini menyebabkan bagian yang semula tidak berfungsi sebagai permukaan (bagian dalam) setelah digerus akan berfungsi sebagai permukaan.
5. Tekanan
Jika tekanan diperbesar molekul adsorbat akan lebih cepat teradsorpsi, akibatnya jumlah adsorbat yang terserap bertambah banyak. Jadi tekanan memperbesar jumlah zat yang teradsorpsi
6. Daya Larut terhadap Adsorben
Jika daya larut tinggi maka proses adsorpsi akan terhambat karena gaya untuk melarutkan solute/adsorbat berlawanan dengan gaya tarik adsorben terhadap adsorbat.
7. Koadsorpsi
Suatu adsorben yang telah mengadsorsi suatu zat akan mempunyai daya adsorpsi yang lebih besar terhadap adsorbat tertentu daripada daya adsorpsi awal.
8. Pengadukan
Jika dilakukan pengadukan, semakin cepat pengadukan maka molekul- molekul adsorbat dan adsorben akan saling bertumbukan sehingga akan memercepat proses adsorpsi (Widayatno, 2017).
2.3 Arang Aktif
Arang aktif adalah arang yang diolah lebih lanjut pada suhu tinggi dengan menggunakan gas CO2, uap air atau bahan-bahan kimia, sehingga pori-porinya terbuka dan dapat digunakan sebagai adsorben. Daya adsorpsi arang aktif disebabkan adanya pori-pori mikro yang sangat besar jumlahnya, sehingga menimbulkan gejala kapiler yang mengakibatkan adanya daya adsorpsi (Yustinah, 2011).
Arang aktif disusun oleh atom-atom C yang terikat secara kovalen dalam suatu kisi heksagonal datar dengan satu atom C pada setiap sudutnya yang luas permukaan berkisar antara 300 m2/g hingga 3500 m2/g dan ini berhubungan dengan struktur pori internal sehingga mempunyai sifat sebagai adsorben. Arang aktif fasa cair dihasilkan dari material dengan berat jenis rendah, seperti arang dari serabut kelapa yangmempunyai bentuk butiran (powder), rapuh (mudah hancur), mempunyai kadar abu yang tinggi berupa silika dan biasanya digunakan untuk menghilangkan bau, rasa, warna dan kontaminan organik lainnya. Sedangkan
Universitas Muhammadiyah Riau
arang aktif fasa gas dihasilkan dari material dengan berat jenis tinggi (Ramdja dkk, 2008).
Arang aktif tersedia dalam berbagai bentuk misalnya gravel, pelet (0.8-5 mm) lembaran fiber, bubuk (PAC: Powder Active Carbon, 0.18 mm atau US mesh 80) dan butiran-butiran kecil (GAC: Granular Active Carbon, 0.2-5 mm) dan sebagainya. Serbuk arang aktif PAC lebih mudah digunakan dalam pengolahan air dengan sistem pembuhan yang sederhana. Bahan baku yang berasal dari hewan, tumbuh-tumbuhan, limbah ataupun mineral yang mengandung karbon dapat dibuat menjadi arang aktif, bahan tersebut antara lain: tulang, kayu lunak, sekam, tongkol jagung, tempurung kelapa, sabut kelapa, ampas penggilingan tebu, ampas pembuatan kertas, serbuk gergaji, kayu keras dan batubara. Proses aktivasi merupakan suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi (Hendra, 2007).
Sesuai penggunaannya, arang aktif digolongkan ke dalam produk kimia dan bukan bahan energi seperti arang atau briket arang. Teknologi olah lanjut arang menjadi arang aktif akan memberikan nilai tambah yang besar ditinjau dari penggunaan dan nilai ekonomisnya. Pada umumnya karbon aktif dapat di aktivasi dengan 2 cara, yaitu dengan cara aktivasi kimia dengan hidroksida logam alkali, garam-garam karbonat, klorida, sulfat, fosfat dari logam alkali tanah dan khususnya ZnCl2, CaCl2, asam-asam anorganik seperti H2SO4 dan H3PO4 dan aktivasi fisika yang merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan bantuan panas pada suhu 800ºC hingga 900ºC (Hendra, 2007).
2.4 Limbah Laundry
Pemakaian deterjen semakin lama semakin meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk setiap tahun, artinya semakin meningkat pendapatan masyarakat maka konsumsi deterjen juga meningkat. Dampak yang ditimbulkan bila air buangan yang mengandung deterjen berlebihan adalah terjadinya pencemaran dan menggangu ekosistem biota yang terdapat di perairan. Limbah
laundry dominan berasal dari pelembut pakaian dan deterjen. Bahan aktif yang banyak terkandung pada pelembut pakaian dan deterjen adalah ammonium klorida, LAS, sodium dodecyl benzene sulfonate, natrium karbonat, natrium sulfat, alkilbenzena sulfonate. Bahan-bahan tersebut merupakan bahan yang tidak ramah lingkungan (non-biodegraduble) (Astuti, 2015).
Di Indonesia belum banyak upaya khusus untuk menangani masalah pencemaran air yang disebabkan oleh deterjen. Beberapa upaya yang telah dilakukan salah satunya dengan mengganti rantai bercabang dari Alkyl Benzen Sulfonate (ABS) menjadi rantai lurus Linier Alkyl Sulfonate (LAS) yang dapat dibiodegradasi. Deterjen ini bersifat dapat dirusak oleh mikroorganisme.
Penggunaan deterjen yang semakin meningkat ini akan berdampak negatif terhadap akumulasi surfaktan pada bahan-bahan perairan sehingga menimbulkan masalah pendangkalan perairan, terhambatnya transfer oksigen dan lain-lain. Pada kondisi aerob LAS dapat terdegradasi dengan baik, namun jika dalam keadaan anaerob penyisihan LAS masih kurang baik (Astuti, 2015).
Penanganan lain yang telah dilakukan untuk menangani masalah pencemaran yang disebabkan oleh limbah laundry adalah metode Biosand Filter, yang merupakan filter dengan konsep saringan pasir lambat yang khusus didesain untuk skala rumah tangga. Kelebihan biosand filter adalah adanya penumbuhan biofilm dipermukaan media paling atas yang mampu mendegradasi rasa, bau dan warna (Astuti, 2015).
Industri laundry menghasilkan limbah yang berubah secara fisika (intensitas transmisi cahaya, tegangan permukaan, viskositas, dan TDS) dan kimia (pH dan kadar fosfat). Pada limbah cair laundry, fosfat berperan sebagai builder (pembentuk) yang berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air dengan cara mengikat ion kalsium dan magnesium (Rahayu, 2007). Baku mutu fosfat menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 adalah 5 mg/L. Fosfat merupakan senyawa ionik yang dapat mengikat darah dan memungkinkan terjadinya penggumpalan darah pada pembuluh darah apabila asupan air minum atau makanan manusia mengandung fosfat dengan kadar berlebih. Fosfat juga dapat membuat suatu tumbuhan tumbuh dengan sangat cepat dibandingkan dengan
Universitas Muhammadiyah Riau
pertumbuhan normal yang disebabkan pengayaan nurtrien atau unsur hara berupa nitrogen (N) dan fosfor (P) yang merupakan bahan anorganik yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Dengan perkembangan tumbuhan pada perairan yang sangat cepat menyebabkan perairan tertutupi oleh tumbuhan sehingga sinar matahari tidak dapat masuk ke dalam perairan yang pada akhirnya menghambat sistem metabolisme dari organisme yang hidup di dalam air yang memerlukan cahaya matahari (Saputra, 2016).
Limbah laundry yang mengandung fosfat akan menyebabkan masalah lingkungan hidup yaitu eutrofikasi, yaitu suatu keadaan lingkungan perairan dalam keadaan nutrisi yang berlebihan memungkinkan adanya pertumbuhan yang cepat dari alga (blooming) dan menutup masuknya sinar matahari masuk, serta keadaan oksigen yang berkurang pada lingkungan perairan di bawah permukaan air karena dimanfaatkan alga. Hal tersebut menyebabkan keberadaan organisme yang hidup pada dasar lingkungan perairan terganggu aktifitasnya (Majid, 2017).
2.5. Analisis Pengujian
2.5.1 Padatan Total Tersuspensi (TSS)
Berdasarkan SNI 06-6989.3-2004 menjelaskan bahwa metode ini digunakan untuk menentukan residu tersuspensi yang terdapat dalam contoh uji air dan air limbah secara gravimetri. Metode ini tidak termasuk penentuan bahan yang mengapung, padatan mudah menguap dan dekomposisi garam mineral.
Padatan tersuspensi total merupakan jumlah berat dalam mg/L kering lumpur yang ada di dalam air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron. Tingginya pencemaran air dan derajat kekotoran air menunjukkan adanya zat padat TSS sehingga akan meningkatkan kepekatan limbah (Estikarani, 2016). Banyaknya zat padat yang tersuspensi dalam limbah dipengaruhi oleh proses penyerapan unsur hara oleh akar tanaman, pembusukan akar, distribusi debu dari udara ke dalam limbah, bahkan juga distribusi serangga ke dalam limbah yang tidak teramati. Faktor lingkungan mempengaruhi nilai TSS seperti masuknya lalat ke media tanam dan tumbuhan lumut yang berkembang di media itu. Massa tumbuhan lumut dan binatang ini menambah massa zat tersuspensi sehingga nilai TSS nya naik (Padmaningrum, 2014).
Sesuai baku mutu air limbah bisa nilai kandungan TSS melebihi baku mutu dan meningkat cukup signifikan, maka akan berpengaruh terhadap kualitas air karena menyebabkan kekeruhan dan mengurangi cahaya yang dapat masuk ke dalam air sehingga tentu saja mengurangi daya guna air dan organisme yang butuh cahaya akan mati serta mengganggu ekosistem aquatik (Atima, 2016).
Dampak akibat tingginya TSS terhadap kualitas air dapat menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air. TSS menyebabkan kekeruhan dan mengurangi cahaya yang dapat masuk ke dalam air.
Oleh karenanya, manfaat air dapat berkurang, dan organisme yang butuh cahaya akan mati. Kematian organisme ini akan mengganggu ekosistem akuatik. Apabila jumlah materi tersuspensi ini akan mengendap, maka pembentukan lumpur dapat sangat mengganggu aliran dalam saluran, pendangkalan cepat terjadi, artinya pengaruhnya terhadap kesehatan pun menjadi tidak langsung (Soemirat, 2004).
TSS yang tinggi menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air, sehingga akan mengganggu proses fotosintesis menyebabkan turunnya oksigen terlarut yang dilepas ke dalam air oleh tanaman. Jika sinar matahari terhalang untuk mencapai dasar perairan, maka tanaman akan berhenti memproduksi oksigen dan akan mati. Padatan Total Tersuspensi (TSS) juga menyebabkan penurunan kejernihan dalam air (Soemirat, 2004).
2.5.2. Analisa Kadar Amonia
Amonia dapat bersifat racun pada manusia jika jumlah yang masuk tubuh melebihi jumlah yang dapat didetoksifikasi oleh tubuh. Pada manusia, resiko terbesar adalah dari penghirupan uap amonia yang berakibat beberapa efek diantaranya iritasi pada kulit, mata dan saluran pernafasan. Pada tingkat yang sangat tinggi, penghirupan uap amonia sangat bersifat fatal (Azizah, 2015).
Senyawa sodium lauryl sulfate (SLS) diketahui menyebabkan iritasi pada kulit, memperlambat proses penyembuhan dan penyebab katarak pada mata orang dewasa. Keberadaan busa menutup permukaan air sehingga kontak udara dan air terbatas berakibat menurunkan jumlah oksigen terlarut. Hal ini akan menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu
Universitas Muhammadiyah Riau
pencemaran akibat deterjen mengakibatkan timbulnya bau busuk. Bau busuk ini berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil proses penguraian bahan organik lanjutan oleh bakteri anaerob (Padmaningrum, 2014).
Dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, baku mutu amonia untuk sungai kelas satu adalah sebesar 0,5 mg NH3/liter. Menurut Effendi (2003) kadar amonia dalam perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg NH3/liter. Konsentrasi amonia yang tinggi dalam badan sungai mengindikasikan adanya pencemaran yang salah satunya disebabkan oleh buangan air limbah domestik baik segar (tidak terolah) maupun telah terolah, 49% dari total pencemaran, dimana konsentrasinya berturut-turut berkisar antara 10 –158 mg NH3/liter dan 25–60 mg NH4+/liter (Keraf, 2010).
Penurunan amonia dengan pengolahan secara kimiawi dilakukan dengan cara menambah senyawa kimia ke dalam air limbah. Senyawa kimia yang paling sering digunakan adalah senyawa khlor (kaporit). Seiring dengan konsumsi khlor yang tinggi, biaya operasi pun menjadi tinggi serta dapat menimbulkan masalah baru. Senyawa khlor bersifat sangat reaktif, mudah bereaksi, dengan senyawa lain dan membentuk senyawa-senyawa baru yang bersifat toksik dan dapat menimbulkan efek karsinogen bagi manusia (Hibban, 2016).
2.5.3. Analisa Kadar Fosfat
Detergen umumnya tersusun atas tiga komponen utama yang terdiri dari surfaktan (sebagai bahan dasar detergen) antara 20-30%, bahan builder (senyawa fosfat) antara 70-80% dan bahan aditif (pemutih, pewangi) antara 2-8%.
Kandungan senyawa fosfat dalam detergen cukup besar sehingga limbah dari proses pencucian mempunyai kandungan fosfat yang cukup tinggi. Keberadaan fosfat yang berlebihan di badan air menyebabkan suatu fenomena eutrofikasi.
Kondisi eutrofik sangat memungkinkan alga dan tumbuhan air tumbuh berkembang biak dengan cepat. Keadaan ini menyebabkan kualitas air menjadi menurun, karena rendahnya konsentrasi oksigen terlarut bahkan sampai batas nol, sehingga menyebabkan kematian makhluk hidup air seperti ikan dan spesies lain yang hidup di air (Mashita, 2017).
Limbah cair laundry yang dihasilkan oleh deterjen mengandung fosfat yang tinggi yang berasal dari sodium tripolyphospat (STPP) yang dalam deterjen berfungsi sebagai builder yang merupakan unsur terpenting kedua setelah surfaktan karena kemampuannya menonaktifkan mineral kesadahan dalam air sehingga deterjen dapat bekerja secara optimal. Bila kandungan fosfat dalam air limbah laundry semakin tinggi maka hal ini akan mengganggu lingkungan sekitar badan air. Antara lain yaitu menyebabkan eutrofikasi dimana badan air menjadi kaya akan nutrien terlarut, menurunnya kandungan oksigen terlarut dan kemampuan daya dukung badan air terhadap biota air (Astuti, 2015).
Fosfat terdapat dalam air alam atau air limbah sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat dan fosfat organik. Setiap senyawa fosfat tersebut terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme dalam air. Fosfat terlarut adalah salah satu bahan nutrisi yang menstimulasi pertumbuhan yang sangat luar biasa pada alga dan rumput-rumputan dalam danau, estuaria, dan sungai berair tenang. Batas konsentrasi fosfat terlarut yang diijinkan adalah 10 mg/L (Utomo, 2018).
Fosfat memegang peranan penting dalam produk deterjen, sebagai softener air dan builders. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion kalsium dan magnesium. Berkat aksi softener-nya, efektivitas dari daya cuci deterjen meningkat. Fosfat pada umumnya berbentuk sodium tripolyphosphate (STPP). Fosfat tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk hidup. Oleh karena itu, salah satu cara mengurangi kadar fosfat dalam limbah cair adalah dengan menerapkan biomassa yang menggunakan fosfat sebagai nutrisi dalam pertumbuhannya. Dalam jumlah banyak, fosfat dapat menyebabkan pengayaan unsur hara (eutrophication) di badan air sungai/ danau. Hal ini ditandai oleh ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang secara tidak langsung dapat membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara Eropa, penggunaan fosfat telah dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang lebih ramah lingkungan (Anonim, 2009). Limbah cair industri kecil laundry mengandung fosfat yang sangat tinggi yaitu 253,03 mg/L sebagai P total,sedangkan menurut Perda Jateng No.10 Tahun 2004 tentang baku mutu air limbah, kandungan fosfat
Universitas Muhammadiyah Riau
yang diijinkan adalah 2 mg/L dan 0,2 mg/L sebagai P menurut Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001 untuk air golongan II (Padmaningrum, 2014).
2.6 Spektrofotometer Ultraviolet-Visibel (UV-Vis)
Spektrofotometer UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat pada panjang gelombang (190-380) dan sinar tampak pada panjang gelombang (380-780) dengan memakai instrumen spektrofotometer. Prinsip dari UV-Vis berdasarkan interaksi antara materi dengan cahaya, cahaya yang dimaksud berupa ultraviolet (UV) dan cahaya visibel (Vis), sedangkan materi dapat berupa atom dan molekul yang lebih berperan adalah elektron valensi. Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu metode dalam kimia analisis yang digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif (Mulja, 1995).
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu, sedangkan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang diabsorbsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi yang ditranmisikan adalah fungsi daripanjang gelombang (Khopkar, 2003).
Senyawa fosfat dapat dianalisis secara kualitatif dan kuantatif dengan menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis, hal ini didasarkan pada sampel yang akan diserap oleh radiasi (pemancaran) elektomagnetis, dimana panjang gelombangnya dapat terlihat. Sehingga, senyawa amonia dapat diketahui pada pengukuran absorbansi dan transmitansi dalam spektroskopisnya (Kristianingrum, 2014).
1. Interaksi Cahaya dengan Materi
Cahaya elektromagnetik dapat dipertimbangkan sebagai bentuk energi cahaya sebagai transfer gelombang. Bentuk sederhana dari cahaya elektomagnetik dapat dilihat dalam Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Gerakan Gelombang Cahaya Elektromagnetik (Kristianingrum, 2014).
Panjang gelombang (λ) merupakan jarak antara dua gunung atau lembah yang berdampingan dari gelombang. Hubungan antara panjang gelombang, dengan frekuensi dirumuskan dengan persamaan:
c = λ.v atau λ = c/v Keterangan :
λ : panjang gelombang (cm) v : frekuensi (dt-1 atau hertz, Hz) c : kecepatan cahaya (3 x 1010 cm dt-1).
Hubungan antara energi (E) dan panjang gelombang (λ) dituliskan sebagai, E = h c / λ
Keterangan :
E : energi cahaya (erg)
h : konstanta Planck (6,62 x 10-27 erg det) c : kecepatan cahaya (3 x 1010 cm dt-1) λ : panjang gelombang (cm)
2. Absorpsi Cahaya
Secara kualitatif absorpsi cahaya dapat diperoleh dengan pertimbangan absorpsi cahaya pada daerah tampak, dengan melihat obyek cahaya yang diteruskan atau dipantulkan. Apabila cahaya polikromatis (cahaya putih) yang berisi seluruh spektrum panjang gelombang melewati medium tertentu, dan akan menyerap panjang gelombang lain, sehingga medium akan tampak berwarna.
Oleh karena hanya panjang gelombang yang diteruskan yang sampai ke mata maka panjang gelombang inilah yang menentukan warna medium. Warna ini
Universitas Muhammadiyah Riau
disebut warna komplementer terhadap warna yang diabsorpsi. Spektrum tampak dan warna-warna komplementer ditunjukkan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Spektrum Tampak Dan Warna-Warna Komplementer Panjang
Gelombang (nm)
Warna yang Diabsorpsi
Warna Yang dipantulkan (Komplementer)
340-450 Lembayung Kuning-hijau
450-495 biru kuning
495-570 hijau violet
570-590 Kuning Biru Biru
590-620 Jingga Hijau- biru
620-750 Merah Biru-Hijau
Sumber : Kristianingrum (2014)
3. Transisi Elektron pada UV-Vis
Pengukuran absorbansi atau transmitansi dalam spektroskopi UV – Vis digunakan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif spesies kimia. Absorbansi spesies ini berlangsung dalam dua tahap, yang pertama yaitu : M + hυ ↔M*, merupakan eksitasi spesies akibat absorpsi foton (hυ) dengan waktu pada daerah absorpsi UV-Vis (10-8 – 10-9 detik). Tahap kedua adalah relaksasi dengan berubahnya M* menjadi spesies baru dengan reaksi fotokimia. Absorpsi pada daerah UV –Vis menyebabkan eksitasi elektron ikatan. Puncak absorpsi (λ max) dapat dihubungkan dengan jenis ikatan yang ada dalam spesies. Oleh karena itu, spektroskopi absorpsi berguna untuk mengidentifikasikan gugus fungsi dalam suatu molekul dan untuk analisis kuantitatif. Spesies yang mengabsorpsi dapat melakukan transisi yang meliputi (a) elektron π, σ, n (b) elektron d dan f (c) transfer muatan elektron, yaitu:
a. Transisi yang meliputi elektron π , σ, dan n terjadi pada molekul organik dan sebagian kecil anion anorganik. Molekul tersebut mengabsorpsi cahaya elektromagnetik karena adanya elektron valensi, yang akan tereksitansi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Absorpsi terjasi pada daerah UV vakum (<185 nm). Absorpsi sinar UV – Vis, yang panjang gelombangnya lebih besar,
terbatas pada sejumlah gugus fungsi (disebut kromofor) yang mengandung elektron valensi dengan energi esitasi rendah.
Contoh : CH4 mempunyai λ max pada 125 nm karena adanya transisi σ →σ*.
Transisi n→σ* (dari orbital tidak berikatan ke orbital anti ikatan) terjadi pada senyawa jenuh dengan elektron tidak berpasangan. λ max untuk transisi n→σ*
cenderung bergeser ke h yang lebih pendek dalam pelarut polar, seperti etanol dan H2O.
Transisi n→ σ* seperti juga π→π* terjadi pada sebagian besar senyawa organik. Bertambahnya kepolaran pelarut pada transisi π→π*, maka bentuk puncak bergeser ke panjang gelombang yang lebih pendek disebut pergeseran biru atau hipsokromik, sedangkan jika bergeser kepanjang gelombang yang lebih panjang dinamakan pergeseran merah atau batokromik. Pergeseran biru disebabkan bertambahnya solvasi pasangan elektron sehingga berakibat energinya turun. Pergeseran merah terjadi akibat bertambahnya kepolaran pelarut (~ 5 nm), yang disebabkan gaya polarisasi antara pelarut dan spesies, sehingga berakibat menurunnya selisih tingkat energi eksitasi dan tingkat tidak tereksitasi.
b. Transisi yang meliputi elektron d dan f unsur-unsur blok d mengabsorpsi pada daerah UV-Vis. Terjadinya transisis logam golongan f disebabkan karena elektron pada orbital f pada unsur-unsur transisi dalam, dimana memilki puncak yang sempit karena interaksi elektron 4f atau pun 5f (lantanida dan aktanida). Pita yang sempit teramati karena efek screening (pelindung) orbital, untuk transisi 3d dan 4d mempunyai pita yang lebar dan dapat terdeteksi dalam daerah tampak, puncak absorbsi dipengaruhi oleh lingkungan yang mengelilinginya. Besarnya splitting (Δ) oleh ligan dapat disusun dalam suatu deret spektrokimia berikut = I- < Br- < Cl- < F- < OH- < Oksalat- < H2O <
SCN- < NH3 < en < NO2 < CN-. Deret ini berguna untuk meramalkan posisi puncak absorbsi untuk berbagai kompleks dengan ligan diatas.
c. Spektrum absorbsi transfer muatan. Spektrum absorpsi merupakan cara yang peka untuk menentukan spesies absorpsi. Kompleks yang memiliki muatan misalnya : [Fe(SCN)6]3+, [Fe2+Fe3+(CN)6+] mengabsorpsi pada h yang lebih
Universitas Muhammadiyah Riau
panjang, karena bertambahnya transfer elektron memerlukan energi radiasi yang lebih kecil (Kristianingrum, 2014).
4. Hukum Lambert–Beer
Cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi (A) sedangkan cahaya yang hamburkan diukur sebagai transmitansi (T), dinyatakan dengan hukum Lambert- Beer atau Hukum Beer, berbunyi: “Jumlah radiasi cahaya tampak (ultraviolet, inframerah dan sebagainya) yang diserap atau ditransmisikan oleh suatu larutan merupakan suatu fungsi eksponen dari konsentrasi zat dan tebal larutan”.
Berdasarkan hukum Lambert-Beer, rumus yang digunakan untuk menghitung banyaknya cahaya yang dihamburkan adalah:
T = atau %T =
Absorbansi dinyatakan dengan rumus : A = -log T = -log
Keterangan:
A : absorbansi
I0 : intensitas cahaya datang
It : intensitas cahaya setelah melewati sampel
T: tranmitasi (banyaknya cahaya yang dihamburkan) Rumus yang diturunkan dari Hukum Beer dapat ditulis sebagai:
A= a . b . c atau A = ε . b . c Keterangan:
A : absorbansi
a : tetapan absorptivitas b : tebal kuvet
c : konsentrasi larutan yang diukur ε : tetapan absorptivitas molar
Secara eksperimen hukum Lambert-beer akan terpenuhi apabila peralatan yang digunakan memenuhi kriteria-kriteria berikut :
1. Sinar yang masuk atau sinar yang mengenai sel sampel berupa sinar dengan dengan panjang gelombang tunggal (monokromatis)
2. Penyerapan sinar oleh suatu molekul yang ada didalam larutan tidak dipengaruhi oleh molekul yang lain yang ada bersama dalam satu larutan
3. Penyerapan terjadi didalam volume larutan yang luas penampang (tebal kuvet) yang sama;
4. Penyerapan tidak menghasilkan pemancaran sinar pendafluor. Artinya larutan yang diukur harus benar-benar jernih agar tidak terjadi hamburan cahaya oleh partikel-partikel koloid atau suspensi yang ada didalam larutan
5. Konsentrasi analit rendah, apabila konsentrasi tinggi akan mengganggu kelinearan grafik absorbansi versus konsentrasi.
Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer.
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang diabsorpsi (Kristianingrum,2014).
2.7 Spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FTIR)
Spektrofotometer FTIR merupakan suatu metode spektroskopi infrared.
Spektroskopi infrared (IR) dapat mengidentifikasi kandungan gugus kompleks dalam senyawa tetapi tidak dapat menentukan molekular unsur penyusunnya.
Pada spektroskopi IR, radiasi IR dilewatkan pada sampel. Sebagian dari radiasi IR diserap oleh sampel dan sebagian lainnya diteruskan. Jika frekuensi dari suatu vibrasi spesifik partikel sama dengan frekuensi radiasi IR yang langsung menuju molekul, molekul akan menyerap radiasi tersebut. Spektrum yang dihasilkan menggambarkan absorpsi dan transmisi molekular, membentuk sidik jari molekular suatu sampel. Karena bersifat 23 sidik jari, tidak ada dua struktur molekuler unik yang menghasilkan spektrum IR yang sama (Nugraha, 2008).
Menurut Naufal (2013), spektrofotometer inframerah pada umumnya digunakan untuk: 1) menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik, dan 2) mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya. Pada alat spektrofotometri IR, satuan bilangan gelombang merupakan satuan yang umum digunakan. Bilangan gelombang adalah jumlah
Universitas Muhammadiyah Riau
gelombang per 1 cm, yang merupakan kebalikan dari panjang gelombang. Nilai bilangan gelombang berbanding terbalik terhadap frekuensi atau energinya.
Bilangan gelombang dan panjang gelombang dapat dikonversi satu sama lain (Nugraha, 2008).
Bilangan gelombang dapat didefinisikan sebagai: ⊽= , di mana λ adalah panjang gelombang, kadang-kadang disebut bilangan gelombang spektroskopi Pada spektroskopi inframerah, spektrum inframerah terletak pada daerah dengan panjang gelombang 0,78 sampai 1000 μm atau bilangan gelombang dari 12800 sampai 1 cm-1. Spektrofotometer FTIR termasuk ke dalam kategori radiasi inframerah pertengahan (bilangan gelombang 4000-200 cm-1). Plot antara presentase transmitansi dengan bilangan gelombang akan menghasilkan spektrum inframerah dan setiap tipe ikatan yang berbeda mempunyai frekuensi vibrasi yang sedikit berbeda, maka tidak ada dua molekul yang berbeda strukturnya akan mempunyai bentuk serapan inframerah atau spektrum inframerah yang sama.
Spektrofotometer FTIR memanfaatkan energi vibrasi gugus fungsi penyusun senyawa hidroksiapatit, yaitu gugus PO43-
, gugus CO32-
, serta gugus OH- (Naufal dkk, 2013).