7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penyusunan tugas akhir, pada bagian ini secara garis besar memberikan penjelasan mengenai beberapa teori dan definisi. Selain itu, terdapat pula tinjauan dari penelitian-penelitian terdahulu yang menjadi acuan dari pemikiran dalam penelitian tugas akhir ini. Di akhir pembahasan terdapat pula penjelasan mengenai posisi penelitian ini terhadap penelitian terdahulu.
2.1 Definisi dan Terminologi
Pada subbab ini berisikan mengenai uraian serta penjelasan tentang definisi dan terminologi yang berkaitan dalam penelitian ini. Penjelasan ini diberikan agar diperoleh persepsi yang sama antara penulis dan pembaca. Berikut ini adalah pendeskripsian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan makna yang disampaikan oleh penulis.
2.1.1 Perawatan Bangunan
Perawatan bangunan adalah usaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi agar bangunan dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya (Permen PU Nomor 22/PRT/M/2018).
2.1.2 Kerusakan Bangunan
Kerusakan bangunan ialah kondisi dimana tidak berfungsinya suatu bangunan atau komponen bangunan yang disebabkan oleh terjadinya penyusutan atau berakhirnya umur pada suatu bangunan, kelalaian manusia atau terjadinya bencana alam (Permen PU Nomor Nomor 22/PRT/M/2018).
2.1.3 Sistem Pendukung Keputusan
Sistem pendukung keputusan merupakan sistem dengan berbasis model yang terdiri atas prosedur-prosedur dalam memproses data dan pertimbangannya untuk digunakan dalam mengambil keputusan (Limbong dkk, 2020).
8 2.1.4Profile Matching
Metode pencocokan profil atau profile matchingmerupakan suatu mekanisme yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan mengasumsikan bahwa terdapat tingkat variabel prediktor yang ideal dan harus dipenuhi oleh subyek yang diteliti, bukan tingkat minimal yang harus dipenuhi atau dilewati oleh subyek yang diteliti (Kusrini, 2007).
2.1.5 Estimasi
Estimasi dapat diartikan sebagai penilian, pendapat atau perkiraan. Dimana penjelasan untuk kata perkiraan ialah pertimbangan atau perhitungan (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008).
2.1.6 Inflasi
Inflasi dapat diartikan sebagai kecenderungan naiknya harga suatu barang dan jasa yang pada umumnya berlangsung secara terus menerus sehingga dapat berdampak pada menurunnya daya beli di masyarakat (Badan Pusat Statistik, 2021).
2.2 Literature Review
Pada subbab ini, peneliti akan melakukan kajian literatur tentang konsep dasar maintenance, umur siklus hidup proyek, kerusakan bangunan, sistem pendukung keputusan, metode profile matching, biaya pemeliharaan bangunan, dan prediksi biaya pemeliharaan bangunan.
2.2.1 Konsep Dasar Maintenance
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/M/2018, dalam upaya untuk menjaga umur, kerusakan dan penyusutan yang terjadi dari suatu bangunan maka diperlukan maintenance bangunan secara terus menerus.
Maintenance yang dimaksudkan dapat berupa pemeliharaan dan perawatan bangunan. Berdasarkan penjelasan dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.24/PRT/M/2008, pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan bangunan meliputi jenis pembersihan, perapihan, pemeriksaan, pengujian, perbaikan, dan/atau penggantian
9 bahan atau perlengkapan bangunan gedung, ataupun kegiatan sejenis lainnya yang sesuai berdasarkan pedoman pengoperasian dan pemeliharaan bangunan gedung.
Sedangkan untuk pekerjaan perawatan terdiri atas kegiatan perbaikan dan/atau penggantian untuk bagian bangunan, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana berdasarkan atas pertimbangan dokumen pelaksanaan konstruksi.
2.2.1.1 Perawatan Bangunan Gedung
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.24/PRT/M/2008, kegiatan perawatan bangunan gedung sendiri meliputi kegiatan dalam memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung terutama pada komponen bangunan, bahan bangunan, dan/atau sarana dan prasarana agar bangunan gedung tersebut tetap layak fungsi (currative maintenance). Adapun macam-macam perawatan yang dilakukan pada bangunan gedung antara lain:
a. Rehabilitasi.
Kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan perbaikan bangunan yang telah rusak sebagian namun fungsi pada bangunan masih tetap, baik dari segi arsitektur maupun struktur bangunan gedung masih tetap dipertahankan seperti semula, sedangkan utilitas dapat berubah.
b. Renovasi.
Kegiatan yang dilakukan meliputi perbaikan bangunan yang telah rusak berat sebagian dengan fungsi tertentu dapat tetap atau berubah, baik arsitektur, struktur maupun utilitas.
c. Restorasi
Kegiatan yang dilakukan meliputi perbaikan bangunan yang telah rusak berat dengan fungsi tertentu dapat tetap atau berubah dengan tetap mempertahankan arsitektur bangunannya sedangkan untuk struktur dan utilitas bangunannya dapat berubah.
2.2.2 Umur Bangunan
Menurut Ashworth (1994), ada 2 jenis usia pada umur siklus hidup yaitu usia komponen dan usia bangunan. Pertama yaitu usia komponen bangunan, komponen yang menyusun pada suatu bangunan harus diperhitungkan usianya secara cermat.
10 Dimana sebagian komponen yang digunakan secara tepat dan dirawat secara cermat maka akan membuat usia bangunan menjadi hampir tak terbatas. Sebagian komponen diganti dikarenakan sudah usang, namun sebagian lagi diganti karena ada kerusakan. Usia komponen umumnya tidak memiliki angka yang pasti karena dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain pemilihan komponen, manufaktur, instalasi, pemeliharaan dan perbaikan, serta adanya penggunaan yang tepat.
Kedua usia bangunan, usia pakai pada suatu bangunan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti halnya metode konstruksi yang diterapkan pada desain bangunan dan metode pemeliharaan selama usia bangunan. Menurut Ashworth (1994) juga disebukan bahwa ada 3 macam cara pandang melihat usia suatu bangunan yaitu sebagai berikut:
a. Usia fisik, yaitu dipengaruhi oleh material dan bahan yang digunakan pada konstruksi sebuah bangunan. Penggunaan material bangunan dapat menyebabkan usia pakai bangunan menjadi bisa lebih lama dalam penggunaannya ataupun sebaliknya. Sehingga terkadang sebagian bangunan dengan material tertentu membutuhkan perbaikan dan pembaruan setiap beberapa tahun secara berkala.
b. Usia fungsional adalah usia dimana sebuah bangunan dapat menjalankan fungsinya secara semestinya.
c. Usia ekonomis suatu bangunan didapat dengan cara membandingkan biaya pemeliharan dengan biaya penggantian. Pembiayaan pada suatu bangunan mempertimbangkan mengenai usia ekonomi bangunan dan evaluasi perbandingan yang paling ekonomis.
Berikut beberapa contoh usia ekonomis bangunan yang disajikan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Usia Ekonomis Bangunan
No Jenis Bangunan Usia Ekonomis
1 Rumah Tinggal Sangat Sederhana 10 tahun
2 Rumah Tinggal Sederhana 20 tahun
3 Rumah Tinggal Menengah 30 tahun
4 Rumah Tinggal Menengah-Mewah 40 tahun
5 Rumah Tinggal Mewah 50 tahun
6 Rumah Susun 4 lantai 40 tahun
7 Rumah Susun ≥ 5 lantai 50 tahun
8 Toko/Kios Individu 20 tahun
9 Ruko/Rukan 30 tahun
10 Pasar Tradisional 30 tahun
11
11 Mall 40 tahun
12 Kantor ≤ 4 lantai 40 tahun
13 Kantor ≥ 5 lantai 50 tahun
14 Kantor Pemerintah, Sekolah, Pertemuan, Rumah Sakit 50 tahun 15 Peribadatan & Pusat Kebudayaan ≥ 60 tahun
16 Villa Tidak Bertingkat 30 tahun
17 Villa/Hotel/Motel Bertingkat ≤ 4 lantai 40 tahun
18 Hotel/Motel Bertingkat ≥ 5 lantai 50 tahun
19 Gudang/Industri Kelas Konstruksi Ringan 30 tahun 20 Gudang/Industri Kelas Konstruksi Menengah & Berat 50 tahun
*)mappi.or.id (2020)
2.2.3 Kerusakan Bangunan
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.24/PRT/M/2008, kerusakan bangunan dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) tingkatan, antara lain:
a. Kerusakan ringan
Merupakan kerusakan bangunan yang terjadi utamanya pada komponen non- struktural seperti halnya pada elemen penutup atap, langit-langit, penutup lantai, dan dinding pengisi.
b. Kerusakan sedang
Merupakan kerusakan bangunan yang terjadi utamanya pada sebagian komponen non-struktural seperti pada elemen struktur atap, lantai, dan lain- lain sebagainya.
c. Kerusakan berat
Merupakan kerusakan bangunan yang terjadi utamanya pada sebagian besar komponen bangunan, baik pada komponen struktural maupun non-struktural yang apabila setelah mendapatkan perbaikan maka akan dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.
Adapun batasan yang digunakan dalam menentukan klasifikasi tingkat kerusakan akan dijabarkan pada tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2 Kriteria Klasifikasi Tingkat Kerusakan Bangunan
No Kategori Kerusakan Keterangan Sumber
1 Ringan - Kerusakan yang terjadi tidak mengurangi fungsi komponen bangunan
- Terjadi retak kecil dengan lebar celah 0,075 cm hingga 0,6 cm untuk elemen balok, kolom, dan dinding
Kristianto Usman dan Restita Winandi (2009);
Rian Trikomara Iriana dan Ade Riana (2012);
12
No Kategori Kerusakan Keterangan Sumber
- Tidak mengganggu fungsi estetika bangunan
- Tidak menimbulkan bahaya kepada penghuni atau pengguna bangunan
- Umumnya terjadi pada
komponen non-struktural seperti elemen penutup atap, langit- langit, penutup lantai, dan dinding pengisi.
Permen PU No.
24/PRT/M/2008
2 Sedang - Kerusakan yang terjadi dapat mengurangi fungsi komponen bangunan namun masih dalam kondisi aman
- Terjadi retak kecil dengan lebar celah lebih dari 0,6 cm untuk elemen balok, kolom, dan dinding
- Dapat mengganggu fungsi estetika bangunan
- Dapat menimbulkan bahaya dan mengurangi rasa kenyamanan bagi penghuni atau pengguna bangunan
- Umumnya terjadi pada
komponen non-struktural seperti struktur atap, lantai, dan lain sebagainya.
Kristianto Usman dan Restita Winandi (2009);
Rian Trikomara Iriana dan Ade Riana (2012);
Permen PU No.
24/PRT/M/2008
3 Berat - Kerusakan yang terjadi dapat mengurangi kapasitas layan struktur sebagian atau keseluruhan bangunan dalam kondisi tidak aman
- Dapat mengganggu fungsi estetika bangunan
- Dapat menimbulkan bahaya kepada penghuni atau pengguna bangunan
- Dapat mengakibatkan timbulnya rasa tidak nyaman bagi pengguna atau penghuni bangunan
Kristianto Usman dan Restita Winandi (2009);
Rian Trikomara Iriana dan Ade Riana (2012);
Permen PU No.
24/PRT/M/2008
*)Olahan Peneliti (2021)
Secara umum kerusakan yang terjadi pada suatu bangunan terbagi menjadi kerusakan pada komponen arsitektural, komponen struktur, dan komponen mekanikal elektrikal. Jenis kerusakan yang biasa terjadi pada bangunan sangat dipengaruhi oleh penyebabnya. Adapun indikator-indikator penyebab kerusakan bangunan akan diuraikan pada tabel 2.3 berikut ini.
13 Tabel 2.3 Indikator Kerusakan Elemen Bangunan
No Elemen Bangunan Indikator Kerusakan Sumber A. Pekerjaan Lantai
1 Lantai Homogeneus Tile Uk. 60x60 (Toilet) 1. Keramik retak 2. Keramik lepas 3. Lantai amblas
4. Terdapat lumut akibat lantai lembab
Engkus Kusnadi (2011); Dawam Adhiguna (2017);
Mulyandari Hestin dan Saputra R.A. (2010);
Permen PU No.
24/PRT/M/2008;
Sjafei Amri (2005) 2 Lantai Homogeneus Tile Uk. 60x60 (Tangga)
3 Lantai Homogeneus Tile Uk. 60x60 4 Plint Homogeneus Tile Uk. 10x60 B. Pekerjaan Plafond
1 Gypsum 1. Terkena rembesan
2. Terjadi kerusakan air 3. Terdapat noda
Engkus Kusnadi (2011); Dawam Adhiguna (2017);
Mulyandari Hestin dan Saputra R.A. (2010);
Permen PU No.
24/PRT/M/2008;
Sjafei Amri (2005) 2 Calsiboard
3 Plafond Accoustic (Rangka Plafond)
C. Pekerjaan Pasangan Dinding
1 Plesteran Dinding 1. Terjadi rembesan air
2. Terjadi keretakan Engkus Kusnadi (2011); Dawam Adhiguna (2017);
Mulyandari Hestin dan Saputra R.A. (2010);
Permen PU No.
24/PRT/M/2008;
Sjafei Amri (2005) 2 Acian Beton Kolom
3 Benangan Sudut
4 Benangan Opening Kusen Pintu & Jendela D. Pekerjaan Sanitair
1 Closet Duduk 1. Kondisi rusak 2. Komponen terlepas 3. Tidak dapat
berfungsi dengan 4. Komponen hilangbaik 5. Patah
Engkus Kusnadi (2011); Dawam Adhiguna (2017);
Mulyandari Hestin dan Saputra R.A. (2010);
Permen PU No.
24/PRT/M/2008;
Sjafei Amri (2005) 2 Wastafel
3 Jet Spray 4 Tissue Holder 5 Wall Hung Urinal 6 Urinal Partition 7 Cubical Toilet 8 Floor Drain
9 Top Table Granit Alam E. Pekerjaan Pengecatan
1 Pengecetan Dinding
1. Terjadi
penggelembungan 2. Terjadi keretakan
Engkus Kusnadi (2011); Dawam Adhiguna (2017);
Mulyandari Hestin dan Saputra R.A. (2010);
Permen PU No.
24/PRT/M/2008;
Sjafei Amri (2005) 2 Pengecetan Plafond
F. Pekerjaan Pintu dan Jendela
1 Kunci Pintu 1. Kondisi rusak Engkus Kusnadi (2011); Dawam
14 No Elemen Bangunan Indikator Kerusakan Sumber
2 Door Closer 2. Komponen terlepas 3. Tidak dapat
berfungsi dengan baik
Adhiguna (2017);
Mulyandari Hestin dan Saputra R.A. (2010);
Permen PU No.
24/PRT/M/2008;
Sjafei Amri (2005) 3 Kunci Jendela
4 Kusen Jendela
*)Olahan Peneliti (2021)
2.2.4 Sistem Pendukung Keputusan
Sistem Pendukung Keputusan (SPK) atau yang disebut juga sebagaiDecision Support System(DSS), merupakan sistem yang digunakan untuk membantu dalam pengambilan keputusan baik untuk situasi yang semi terstruktur dan situasi yang tidak terstruktur (Limbong dkk, 2020).
2.2.4.1 Bobot Komponen Bangunan
Dalam menentukan bobot fungsi pada suatu komponen bangunan dilakukan dengan menggunakan bantuan metode Analytical Hierarchy Process(AHP). Pada metode ini digunakan untuk membantu dalam menyusun suatu prioritas dari berbagai alternatif pilihan dengan menggunakan berbagai kriteria (multi kriteria).
Untuk itu, Saaty (1991) menetapkan skala perbandingan yang digunakan untuk menilai tingkat kepentingan suatu elemen dari beberapa tingkat kepentingan seperti berikut:
Tabel 2.4 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan
Skala Definisi Penjelasan
1 Tingkat kepentingan yang sama Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan 3 Tingkat kepentingan cukup penting Elemen yang satu cukup penting
daripada elemen yang lainnya 5 Tingkat kepentingan lebih penting Elemen yang satu lebih penting
daripada elemen yang lainnya 7 Tingkat kepentingan sangat lebih
penting
Elemen yang satu sangat lebih penting daripada elemen yang lainnya
9 Tingkat kepentingan mutlak lebih
penting Elemen yang satu mutlak penting
daripada elemen yang lainnya 2,4,6,8 Nilai-nilai antara Nilai yang diberikan bila ada dua
kompromi diantara dua pilihan Resprokal Jika elemen I mendapat satu angka dibandingkan dengan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai kebalikannya dibandingkan dengan elemen i
*)Saaty dalam Bintarto (2007)
Dalam menghitung bobot komponen dan elemen bangunan ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan seperti berikut ini:
15 a) Menghitung Vektor Prioritas dengan mengalikan tiap nilai matriks
perbandingan berpasangan dengan nilai priority vector yang sesuai untuk mendapatkan matriks normalisasi terbobot.
b) Menghitung Vektor Eigen Maksimum (λmaks) yang didapatkan dari nilai rata- rata pembagian antara matriks normalisasi terbobot dengan nilai priority vector. Adapun persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut,
(2.1) dimana nilai WImerupakan nilai matriks normalisasi terbobot.
c) Menghitung nilai Consistency Index (CI) dengan menggunakan persamaan berikut,
(2.2) dimana nilai nmerupakan dari bentuk matriks yang digunakan.
d) Menghitung nilai Consistency Ratio (CR) dengan menggunakan persamaan berikut,
(2.3) dimana nilai Random Consistency Index (RI) didapatkan dari tabel berikut ini.
Tabel 2.5 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan
n RI
1 0
2 0
3 0,58
4 0,90
5 1,12
6 1,24
7 1,32
8 1,41
9 1,45
10 1,49
*)Suryadi dalam Wijayanti (2015)
Selain itu, terdapat beberapa kriteria yang digunakan sebagai dasar dalam penentuan bobot komponen bangunan gedung. Kriteria pembobotan untuk elemen bangunan gedung lainnya dapat dilihat pada tabel 2.6 berikut ini.
16 Tabel 2.6 Kriteria Pembobotan Elemen Bangunan
Elemen
Bangunan Sub-Elemen Bangunan Kriteria Pembobotan
Lantai
Lantai Homogeneus Tile Uk.
60x60 (Toilet) a. Mendukung kenyamanan aktivitas
b. Mendukung kebersihan dan kesehatan
c. Mendukung keindahan Lantai Homogeneus Tile Uk.
60x60 (Tangga)
Lantai Homogeneus Tile Uk.
60x60
Plint Homogeneus Tile Uk.
10x60 Plafond
Gypsum a. Dudukan instalasi listrik
b. Memperindah ruangan c. Mencegah kotoran dan
meredam panas Calsiboard
Plafond Accoustic (Rangka Plafond)
Pas. Dinding
Plesteran Dinding a. Melindungi bangunan dari cuaca
b. Mendukung estetika dan bentuk bangunan
c. Memberi dudukan untuk kusen
Acian Beton Kolom Benangan Sudut
Benangan Opening Kusen Pintu & Jendela
Sanitair
Closet Duduk a. Mendukung kenyamanan
b. Mendukung kebersihan dan kesehatan
c. Mendukung penyaluran air bersih dan air kotor
Wastafel Jet Spray Tissue Holder Wall Hung Urinal Urinal Partition Cubical Toilet Floor Drain
Top Table Granit Alam
Pengecetan Pengecetan Dinding a. Melindungi bangunan dari cuaca
b. Mendukung estetika dan bentuk bangunan Pengecetan Plafond
Pintu &
Jendela
Kunci Pintu a. Memberi pencahayaan alami b. Memberikan sirkulasi udara c. Memberi keindahan bangunan Door Closer
Kunci Jendela Kusen Jendela
*)Kusnadi (2011) dan Ismanto (2017)
2.2.4.2 Indeks Kondisi Komponen Bangunan
Penilaian kondisi suatu bangunan pada suatu waktu dapat dilakukan dengan cara menetapkan nilai Indeks Kondisi Komponen (IKK) bangunan. Dimana penetapan IKK sendiri terdapat penggabungan antara dua atau lebih nilai kondisi komponen yang dikalikan dengan bobot komponen masing-masing. Menurut pendapat Hudson dalam Putri (2015), indeks kondisi gabungan (Composite Conditions Index) dapat dirumuskan sebagai pada persamaan (2.4)
17 (2.4) Nilai indeks kondisi bangunan sendiri mempunyai skala yang menggambarkan tingkat kondisi bangunan dengan kisaran angka antara 0 (nol) hingga 100 (seratus). Indeks kondisi bangunan yang memiliki nilai 0 (nol) mengartikan bangunan tersebut sudah tidak dapat berfungsi sedangkan jika indeks kondisi bangunan bernilai 100 (seratus) maka hal itu berarti bangunan tersebut masih dalam kondisi yang sangat baik. Nilai skala indeks yang digunakan sebagai dasar dalam penanganan kondisi suatu bangunan dijelaskan melalui tabel 2.7.
Tabel 2.7 Skala Indeks Kondisi Komponen Bangunan
Zone Indeks Kondisi Uraian Kondisi Tindakan Penanganan I 85 -100
Sangat baik : Tidak terlihat terjadinya kerusakan pada komponen bangunan namun masih terdapat beberapa kekurangan yang mungkin bisa terlihat
Tindakan penanganan masih belum diperlukan
segera 70 - 84 Baik : Hanya terjadi kerusakan kecil
II
55 –69 Sedang : Mulai terjadi kerusakan namun tidak mempengaruhi fungsi struktur pada bangunan secara keseluruhan
Perlu dibuatkannya analisis ekonomi perbaikan alternatif untuk menentapkan tindakan mana yang sesuai/tepat dilakukan 40 - 54 Cukup : Terjadi kerusakan tetapi bangunan masih layak berfungsi
III
25 - 39 Buruk : Terjadi kerusakan yang cukup krusial sehingga dapat menyebabkan
fungsi bangunan menjadi terganggu Perlu adanya evaluasi secara detail dalam menentukan tindakan
repair, rehabilitasi, rekonstruksi, dan
tindakan untuk keamanan 10 - 24 Sangat buruk : Terjadi kerusakan yang
parah sehingga bangunan hampir tidak dapat berfungsi dengan baik
0 - 9 Runtuh : Pada komponen utama bangunan telah terjadi keruntuhan
*)Saaty dalam Bintarto (2007)
Penilaian kondisi dari suatu bangunan juga dilakukan dengan melakukan perhitungan Indeks Kondisi Sub Elemen (IKSE) bangunan. Dimana perhitungan dilakukan untuk menilai kondisi elemen yang berada pada tingkatan paling bawah pada struktur hirarki bangunan. Adapun rumus yang digunakan pada perhitungan ini disajikan pada persamaan 2.5.
(2.5) dengan,
18 : Nilai pengurang
p : Jumlah jenis kerusakan bangunan yang terjadi untuk sub elemen yang ditinjau
m : Jumlah tingkat kerusakan untuk jenis kerusakan yang ditinjau
F(t,d) : Faktor koreksi untuk kerusakan berganda pada bangunan yang berbeda Menurut Sutikno (2009), nilai pengurang pada elemen atau sub elemen berbeda untuk setiap kerusakan tergantung pada besarnya persentase volume kerusakan bangunan tersebut. Volume kerusakan ini kemudian dibagi menjadi 4 (empat) tingkat interval, antara lain:
a. Kerusakan ringan (0% - 15%), dengan NP = 25 (dua puluh lima) b. Kerusakan sedang (15% - 35%), dengan NP = 50 (lima puluh) c. Kerusakan berat (35%-65%), dengan NP = 75 (tujuh puluh lima) d. Kerusakan tidak layak fungsi (>65%), dengan NP = 100 (seratus)
Pada perhitungan ini terdapat faktor koreksi yang didapatkan berdasarkan tingkat bahaya yang terjadi pada tiap jenis kerusakan, dengan jumlah faktor koreksi untuk semua jenis koreksi adalah satu seperti pada tabel 2.8.
Tabel 2.8 Faktor Koreksi untuk Kombinasi Kerusakan No Jumlah Kombinasi
Kerusakan Prioritas Bahaya
Kerusakan Faktor Koreksi F(t,d)
1 2 I 0,8 –0,7 –0,6
II 0,2 –0,3 –0,4
2 3 I 0,5 –0,6
II 0,3 –0,4
III 0,1 –0,2
*)Uzarski dalam Bintarto (2007)
2.2.4.3Profile Matching
Metode pencocokan profil (profile matching)atau metode gap, merupakan suatu mekanisme dalam pengambilan keputusan dengan mengasumsikan bahwa terdapat tingkat variabel prediktor ideal yang harus dimiliki oleh subyek yang ditinjau. Dalam prosesnya¸ secara garis besar akan dilakukannya pembandingan antara nilai data aktual suatu profile yang akan dinilai dengan nilai suatu profile yang diharapkan, sehingga dapat diketahui perbedaan kompetensinya atau yang disebut dengan gap (Akhyar, 2017). Metode profile matching menjadi salah satu metode yang tepat digunakan dalam menentukan prioritas perawatan gedung karena terdapat adanya tingkat ideal variabel prediktor yang harus dipenuhi oleh
19 kompetensi alternative, dalam hal ini adalah hasil penilaian kondisi gedung (Hamka dan Harjono, 2019).
2.2.5 Metode Profile Matching
Dalam menentukan urutan alternatif dengan menggunakan metode profile matching yang dinilai berdasarkan pada tingkat profil alternatif yang paling mendekati dengan profil ideal. Adapun tahapan-tahapan dalam penentuan keputusan menggunakan metode profile matchingialah antara lain.
2.2.5.1 Perhitungan Gap
Perhitungan gap atau disebut juga sebagai gap analysis merupakan salah satu proses yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja. Gap analysis atau analisis kesenjangan ini juga merupakan salah satu langkah yang sangat penting dalam tahapan perencanaan maupun tahap evaluasi kerja. Secara harfiah, kata
“gap” sendiri menjelaskan mengenai adanya suatu perbedaan (disparity) yang terjadi antara satu hal dengan hal lainnya (Kusrini, 2007). Dalam penentuan tingkat profil alternatif pada pemeliharaan dan perbaikan gedung, maka nilai gap didapatkan dari hasil perbedaan kompetensi antara profil alternatif dan profil target.
Hal ini dirumuskan menggunakan persamaan (Hamka dan Harjono, 2019) berikut ini:
Gap = Nilai Profil Alternatif –Nilai Profil Target (2.6)
2.2.5.2 Pembobotan
Perolehan nilai gap untuk semua alternatif terhadap masing-masing profil ideal merupakan masukan untuk proses pembobotan. Pembobotan sendiri merupakan proses pemberian nilai bobot pada nilai gap berdasarkan tabel bobot nilai gap(Hamka dan Harjono, 2019).
Tabel 2.9 Bobot Nilai Gap
No Selisih Bobot Nilai Keterangan
1 0 5 Kompetensi sesuai dengan profile target
2 1 4,5 Profile alternatif melebihi 1 tingkat
3 -1 4 Profile alternatif kekurangan 1 tingkat
4 2 3,5 Profile alternatif melebihi 2 tingkat
5 -2 3 Profile alternatif kekurangan 2 tingkat
6 3 2,5 Profile alternatif melebihi 3 tingkat
7 -3 2 Profile alternatif kekurangan 3 tingkat
20
No Selisih Bobot Nilai Keterangan
8 4 1,5 Profile alternatif melebihi 4 tingkat
9 -4 1 Profile alternatif kekurangan 4 tingkat
*)Hamka dan Harjono (2019)
2.2.5.3 Perhitungan Nilai Core Factor(CF) dan Secondary Factor(SF)
Setiap aspek penilaian kemudian dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu, core factor dan secondary factor. Core factor merupakan aspek atau kompetensi yang paling menonjol atau yang paling dibutuhkan, dalam hal ini ialah elemen bangunan yang paling penting di dalam struktur bangunan. Dimana nilai dari core factordidapatkan dari rumus (Hamka dan Harjono, 2019) berikut ini:
(2.7) dengan,
NCF : Nilai Core Factor
NC : Jumlah total nilai core factor IC : Jumlah variabel core factor
Sedangkan nilai secondary factor merupakan nilai yang didapatkan dari peninjauan aspek-aspek selain aspek yang ada pada core factor atau bisa juga disebut sebagai faktor pendukung pada struktur bangunan. Untuk nilai dari secondary factor sendiri didapatkan dari rumus (Hamka dan Harjono, 2019) berikut ini:
(2.8) dengan,
NSF : Nilai Secondary Factor
NS : Jumlah total nilai secondary factor IS : Jumlah variabel secondary factor
2.2.5.4 Perhitungan Nilai Total
Perhitungan nilai total dilakukan dengan mempertimbangkan tiap-tiap aspek yang diperkirakan berpengaruh pada kinerja tiap-tiap profil melalui nilai
21 presentase dari core factor dan secondary factor. Adapun rumus dalam perhitungan nilai total (Hamka dan Harjono, 2019) ialah pada persamaan (2.9).
(2.9) dimana,
NT : Nilai total dari variabel
NCF(x) : Nilai rata-rata core factor variabel NSF(x) : Nilai rata-rata secondary factor variabel (x)% : Nilai persentase yang diinputkan (total 100%)
2.2.5.5 Penentuan Rangking Alternatif
Hasil akhir dalam proses metode profile matchingialah penentuan urutan rangking komponen bangunan gedung yang akan direkomendasikan untuk dilakukan perbaikan terlebih dahulu. Penentuan rangking dilakukan dengan mempertimbangkan presentase prioritas tiap aspek penilaian. Adapun rumus yang digunakan (Hamka dan Harjono, 2019) adalah sebagai berikut ini:
(2.10) dimana,
: Nilai total variabel 1 : Nilai total variabel 2 : Nilai total variabel ke-n
% : Nilai persentase setiap variabel (total 100%)
2.2.6 Prediksi Biaya Perawatan Bangunan
Biaya uang merupakan hal yang paling bisa diprediksi dan menjadi komponen penting dari analisis ekonomi. Biaya uang ditentukan oleh tingkat suku bunga. Nilai waktu dari uang didefinisikan sebagai nilai waktu yang bergantung pada perubahan yang terjadi dalam daya beli uang (inflasi atau deflasi) dan investasi alternatif dari waktu ke waktu. Untuk memprediksikan jumlah biaya perbaikan pada tahun yang akan datang dapat dilakukan dengan menggunakan hubungan antara nilai uang yang akan datang (future value–FV) terhadap nilai sekarang (present value –PV), adapun rumus yang digunakan (Sudarmo, 2018) adalah sebagai berikut:
(2.12)
22 dimana,
F : Nilai mendatang (future value), nilai ekuivalensi dari satu atau lebih aliran kas yang terdapat pada suatu titik yang didefinisikan sebagai waktu mendatang.
P : Nilai sekarang (present value), nilai ekuivalensi dari satu atau lebih titik aliran kas yang terdapat pada suatu titik yang didefinisikan sebagai waktu saat ini.
i : Tingkat bunga efektif per periode N : Jumlah periode pemajemukkan
2.3 Penelitian Terdahulu
Berikut ini adalah rangkuman hasil penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan.
Tabel 2.10 Penelitian Terdahulu No Nama dan Tahun
Publikasi Hasil
1 Rian Trikomara Iriana
dan Ade Riana, 2012 Judul: Analisa Tingkat Kerusakan dan Estimasi Biaya Perbaikan Bangunan Gedung Sekolah.
Metode: Estimasi biaya (approximate estimate) dan survei lapangan yaitu tiga gedung sekolah di Kota Pekanbaru.
Hasil: Biaya perbaikan dihitung berdasarkan volume kerusakan bangunan yang terdapat di lapangan. Perbedaan biaya perbaikan antar gedung sekolah didapatkan berdasarkan luas gedung, jumlah kelas maupun harga tertinggi per-m2 yang telah ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum.
2 Adriansyah dan Rian
Trikomara, 2013 Judul: Estimasi Biaya Pemeliharaan Bangunan Berdasarkan Pedoman Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung (Permen Nomor : 24/PRT/M/2008)
Metode: Estimasi biaya (approximate estimate) dan survei lapangan di Masjid Islamic Centre Bangkinang, Riau.
Hasil: Biaya perbaikan bangunan dihitung dengan menggunakan pendekatan harga tertinggi bangunan, volume per pekerjaan, dan tingkat kerusakan bangunan. Analisa biaya pemeliharaan dihitung berdasarkan pengaruh inflasi dan persamaan geometri.
3 Aru Riska Wijayanti, SA. Kristiawan dan Syafi’i, 2015
Judul: Skala Prioritas Pemeliharaan Gedung Kantor Balai Pelatihan Konstruksi Wilayah V Jayapura.
Metode: Composite Condition Index dan Analytical Hierarchy Process(AHP).
Hasil: Prioritas penanganan pemeliharan komponen yang rusak secara umum mendahulukan komponen struktur daripada komponen arsitektur dan utilitas. Identifikasi profil alternative menggunakan variabel-variabel volume kerusakan, faktor koreksi, dan nilai pengurangan pada data kerusakan sub elemen dan elemen gedung. Hasil akhir perhitungan Profile Matching dipengaruhi oleh nilai indeks kondisi sub elemen dan nilai indeks kondisi elemen sebagai dasar penentuan gap.
23 No Nama dan Tahun
Publikasi Hasil
4 Muhammad Ihsan,
2015 Judul: Identifikasi Biaya Operasional dan Pemeliharaan Gedung Asrama dan Penerapannya.
Metode: Survey kuesioner dan estimasi biaya operasional dan pemeliharaan pada asrama Madrasah Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi.
Hasil: Kegiatan operasional pemeliharaan terdiri dari biaya ope- rasional non energi, biaya operasional energi, biaya pemeliharaan rutin tahunan dan biaya pergantian. Biaya non energy meliputi biaya kantor pengelolaan, keamanan, dan kebersihan. Biaya energymeliputi biaya air PDAM dan listrik PLN.
5 Ronaldho Malitha dan Rian Trikomara Iriana, 2015
Judul: Perencanaan Biaya Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung Rumah Sakit Universitas Riau Berdasarkan Permen No.24/PRT/M/2008.
Metode: Estimasi biaya (approximate estimate) dan survei lapangan di Rumah Sakit Universitas Riau.
Hasil: Biaya perbaikan bangunan dihitung berdasarkan harga bangunan, harga perbaikan komponen bangunan, harga pembangunan baru komponen bangunan dan persentase tingkat kerusakan. Estimasi biaya dihitung berdasarkan harga pemeliharaan bangunan, harga perbaikan bangunan, biaya program kerja pemeliharaan dan perawatan bangunan serta pengaruh inflasi dalam 10 tahun mendatang.
6 Ismanto, Harimurti
dan Yulvi Zaika, 2017 Judul: Penentuan Prioritas Kegiatan Perawatan Bangunan Gedung Sekolah Negeri di Kota Blitar.
Metode: Analytical Hierarchy Process (AHP).
Hasil: Penentuan skala prioritas penanganan perawatan bangunan gedung berdasarkan analisis Dana Alokasi Khusus masih kurang valid karena penilaian bernilai subjektif dan belum melibatkan ahli teknik bangunan. Analisis AHP dilakukan dengan 3 kriteria penilaian yaitu bobot 36,10% komponen struktur, 33,70% komponen arsitektur, dan 30,20% komponen utilitas.
7 Widi Hartono, Sugiyarto dan Arif Fitria S., 2017
Judul: Prioritas Pemeliharaan Bangunan Gedung-gedung Kantor Dinas di Kabupaten Sukoharjo menggunakan Metode AHP dengan bantuan Software Expert Choice V.11.
Metode: AHP dengan bantuan Software Expert Choice V.11.
Hasil: Komponen yang dikaji dalam menentukan prioritas perawatan bangunan gedung terdiri dari arsitektur, struktur, utilitas, dan tata lingkungan.
8 Muhammad Hamka
dan Harjono, 2019 Judul: Sistem Pendukung Keputusan Prioritas Perbaikan Gedung Menggunakan Metode Anaytical Hierarchy Process (AHP) dan Profile Matching.
Metode: Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Profile Matching.
Hasil: Identifikasi profil alternatif menggunakan variabel- variabel volume kerusakan, faktor koreksi, dan nilai pengurangan pada data kerusakan sub elemen dan elemen gedung. Hasil akhir perhitungan Profile Matching dipengaruhi oleh nilai indeks kondisi sub elemen dan nilai indeks kondisi elemen sebagai dasar penentuan gap.
9 Prof. Dipali P. Patil, Prof. Prajakta Chavan, Roshan H. Bhagat, Rohan S. Vaidya, Atul D. Tawre, dan Sujit S.
Pawar, 2019
Judul: Approximate Estimate and Planning of Old Tehsil Building Kalyan
Metode: Approximate Estimate.
Hasil: Biaya yang dikeluarkan meliputi biaya bangunan, layanan seperti sanitasi, pasokan air, drainase, pekerjaan listrik dan jalan.
24 No Nama dan Tahun
Publikasi Hasil
10 Wisnu Eka Nanda, Anik Ratnaningsih dan Dwi Nurtanto, 2020
Judul: Evaluasi Tingkat Kerusakan dan Estimasi Biaya Perbaikan Bangunan Guna Sustainability Gedung di Universitas Jember.
Metode: Analytical Hierarchy Process (AHP).
Hasil: Terdapat 20 komponen bangunan gedung yang mengalami kerusakan dengan berbagai tingkatan. Prioritas tertinggi padaperawatanbangunan gedung adalah komponen arsitektur dengan sub komponennya adalah dinding. Biaya untuk perbaikan bangunan dihitung dengan menggunakan RAB.
*) (Iriana dan Riana, 2012), (Adriansyah dan Trikomara, 2013), (Wijayanti dkk., 2015), (Ihsan, 2015), (Malitha dan Iriana, 2015), (Ismanto dkk., 2017), (Hartono dkk., 2017), (Hamka dan Harjono, 2019), (Patil dkk, 2019), (Nanda dkk., 2020)
2.4 Posisi Penelitian
Penelitian ini dibuat berdasarkan hasil studi literatur pada langkah sebelumnya. Dimana pada penelitian sebelumnya dominan membahas mengenai penentuan skala prioritas perawatan bangunan dan tingkat kerusakan bangunan menggunakan metode AHP dengan mengacu pada studi kasus tertentu. Namun masih sukar untuk menemukan pengaplikasian metode Profile Matching dalam penentuan skala prioritas perawatan bangunan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan penentuan skala prioritas perawatan bangunan dengan mengunakan metode Profile Matching. Selain itu, dengan bantuan klasifikasi tingkat kerusakan bangunan dan nilai skala prioritas perawatan bangunan yang telah didapatkan, penelitian ini juga akan melakukan perhitungan estimasi biaya perawatan yang akan dikeluarkan selama proses perawatan bangunan untuk 10 tahun kedepan. Maka secara umum, penjelasan mengenai posisi penelitian ini terhadap penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 2.13 dan tabel 2.14 berikut.
Tabel 2.11 Posisi Penelitian terhadap Penelitian Terdahulu mengenai Estimasi Biaya Perawatan Bangunan
Sumber Kerusakan
Bangunan Skala
Prioritas Estimasi
Biaya Model Penelitian
(Iriana dan Riana, 2012) √ √ Approximate Estimate
(Adriansyah dan Trikomara, 2013) √ √ Approximate Estimate
(Malitha dan Iriana, 2015) √ √ Approximate Estimate
(Ihsan, 2015) √ √ Approximate Estimate
(Patil dkk, 2019) √ √ Approximate Estimate
*)Olahan Peneliti (2020)
Tabel 2.12 Posisi Penelitian terhadap Penelitian Terdahulu mengenai Skala Prioritas Perawatan Bangunan
Sumber Kerusakan
Bangunan Skala
Prioritas Estimasi
Biaya Model Penelitian
(Wijayanti dkk, 2015) √ √ AHP
25
Sumber Kerusakan
Bangunan Skala
Prioritas Estimasi
Biaya Model Penelitian
(Ismanto dkk, 2017) √ √ AHP
(Hartono dkk, 2017) √ √ AHP
(Hamka dan Harjono, 2019) √ √ AHP &Profile Matching
(Nanda dkk, 2020) √ √ AHP
*)Olahan Peneliti (2020)
Penelitian ini kemudian mengambil irisan dari penentuan skala prioritas, kerusakan bangunan, dan estimasi biaya perbaikan bangunan. Posisi penelitian ini terhadap penelitian sebelumnya disajikan pada gambar 2.1 berikut, dengan ditandai simbol huruf X.
Gambar 2.1 Posisi Penelitian