6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab 2 tinjauan pustaka akan dijelaskan mengenai keterkaitan beberapa referensi terhadap penelitian “Studi Proses Manufaktur Senjata Tradisional Mandau Di Kota Samarinda “
2.1 Senjata Tradisional Kalimantan
Indonesia merupakan negara kepulauan salah satu pulau di Indonesia yaitu pulau Kalimantan, pulau kalimantan terbagi menjadi 4 provinsi yaitu Kalimantan timur, Kalimantan selatan, Kalimantan barat dan Kalimantan tengah pada setiap provinsi memiliki senjata tajam tradisional dengan ciri khas yang berbeda, berikut adalah senjata tajam tradisional dari 4 provinsi di Kalimantan:
1. Kalimantan timur: mandau dan sumpit
2. Kalimantan selatan: mandau, babun, panting, dan keris 3. Kalimantan tengah: mandau, sumpit, tombak, dan dohak 4. Kalimantan barat: mandau dan dohak
Di setiap provinsi memiliki senjata tajam yang sama yaitu mandau namun perbedaan terletak pada corak di setiap ukiran mandau tersebut (Rahmat, 2010)
2.1.1 Mandau
Mandau adalah senjata tajam khas suku Dayak di Kalimantan,mandau biasa digunakan pemilik mandau untuk kehormatan dan jati diri pemilik tersebut dan juga mandau biasa digunakan untuk ritual maupun perlengkapan tarian adat dan upacara khas suku Dayak.Mandau sendiri memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan senjata tajam lain yaitu pada bilah yang tidak tajam memiliki ukiran khas Kalimantan dan juga ada mandau yang bilah nya terdapat lubang lubang yang ditutupi dengan kuningan atau tembaga
7
2.2 Perlakuan Panas
Baja paduan adalah logam yang terdiri dari paduan antara besi-karbon dan campuran unsur lainnya yang dapat meningkatkan sifat dari baja paduan. Pada bukunya, William D. Callister mengkategorikan baja menjadi dua, yaitu baja paduan rendah dan baja paduan tinggi seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut.
Pada Gambar 2.1 adalah gambar klasifikasi baja paduan. Pada gambar tersebut terlihat bahwa baja paduan rendah terdiri dari baja karbon rendah, menengah dan tinggi. Sedangkan baja paduan tinggi terdiri dari baja perkakas dan baja tahan karat (Callister dan Rethwisch; 2014).
Menurut Hafni (2016), baja karbon adalah logam yang memiliki campuran utama yaitu, besi dan karbon serta tambahan unsur lainnya seperti sulfur (S), fosfor (P), silicon (Si), dan mangan (Mn). Baja karbon itu sendiri terbadi menjadi tiga
Gambar 2.1 Mandau suku Dayak (Rahmat, 2010)
gambar 2. 2 Klasifikasi Baja Paduan
8 jenis, yaitu baja karbon rendah, sedang, dan tinggi. Menurut William D. Callister (2014), low carbon steel (baja karbon rendah) adalah baja yang relatif memiliki unsur karbon paling sedikit, yang biasanya unsur karbon yang terkandung pada baja jenis ini berada dibawah 0,25%. Baja karbon ini memiliki fasa ferrite dan pearlite.
Biasanya baja jenis ini memiliki sifat yang lunak, namun memiliki toughness (ketangguhan) dan ductility (keuletan) yang relatif tinggi. Baja karbon jenis ini biasanya digunakan pada jembatan, struktur bangunan, pipa, dan terkadang digunakan pada pembuatan kapal. Karena sifatnya yang tidak responsif dalam pembentukan fasa martensite ketika dilakukannya proses pengerasan menggunakan perlakuan panas, akibat rendahnya kadar karbon pada baja jenis ini pengerasan biasanya dilakukan dengan cara melakukan proses cold work seperti, cold roll. Baja jenis ini biasanya dapat ditemukan sebagai baja AISI 1010, AISI 1020, ASTM A36, dan ASTM A516 grade 70.
Medium carbon steel (baja karbon sedang), adalah baja yang memiliki kadar karbon antara 0,25% - 0,6%. Baja jenis ini memiliki sifat yang dapat ditingkatkan dengan cara diberikan perlakuan panas seperti, autenizing, quenching, dan tempering. Baja jenis ini memiliki sifat kemampukerasan yang lebih tinggi dari pada baja karbon rendah, hal tersebut dikarenakan oleh baja jenis ini yang lebih responsif dalam pembentukan fasa martensite ketika diberikan perlakuan panas.
Dengan semakin responsifnya baja jenis ini dalam pembetukan fasa martensite ketika diberikan perlakuan panas, maka baja jenis ini sangat sering dikeraskan menggunakan perlakuan panas. Namun ketika baja jenis ini dikeraskan menggunakan proses perlakuan panas, baja ini akan mengalami penurunan sifat toughness (ketangguhan) dan ductility (keuletan) yang signifikan dan berbanding terbalik dengan sifat kekerasan yang berhasil diperoleh. Baja jenis ini biasanya digunakan pada gear, crankshaft, dan bagian mesin lainnya. Contoh dari baja ini yang seing digunakan adalah AISI 1060 (Callister dan Rethwisch; 2014).
High carbon steel (baja karbon tinggi) adalah baja yang memiliki kadar karbon sebesar 0,60% - 1,4%. Baja jenis ini dikatakan sebagai baja yang memiliki sifat hardness (kekerasan), strength (kekuatan) dan waer resistance (ketahanan aus) yang paling tinggi jika dibandingkan dengan baja karbon rendah dan sedang. Baja jenis ini adalah baja yang memiliki kemampu kerasan yang paling tinggi, hal
9 tersebut dikarenakan sifatnya yang sangat responsif terhadap pembentukan fasa martensite pada proses perlakuan panas akibat banyak kandungan karbon yang ada pada baja jenis ini. Sehingga, hampir semua penggunaan baja ini biasanya adalah yang telah dikeraskan menggunakan proses perlakuan panas. Baja jenis ini biasanya digunakan sebagai cutting tool (alat pemotong) seperti mata pahat, pisau, silet, hacksaw blade, dan kawat kekuatan tinggi (Callister dan Rethwisch; 2014).
2.3 Perlakuan Panas
Heat Treatment (perlakuan panas) adalah salah satu proses untuk mengubah struktur logam dengan jalan memanaskan spesimen pada elektrik furnace (tungku) pada temperatur rekristalisasi selama periode waktu tertentu kemudian didinginkan pada media pendingin seperti udara, air, air garam, oli dan solar yang masing- masing mempunyai kerapatan pendinginan yang berbeda-beda. Sifat-sifat logam yang terutama sifat mekanik sangat dipengaruhi oleh struktur mikro logam disamping posisi kimianya, contohnya suatu logam atau paduan akan mempunyai sifat mekanis yang berbeda-beda jika struktur mikronya diubah (Schomentz and Gruber, 1994).
Dengan adanya pemanasan atau pendinginan dengan kecepatan tertentu maka bahan-bahan logam dan paduan akan terjadi perubahan pada struktur material tersebut. Perlakuan panas adalah proses kombinasi antara proses pemanasan atau pendinginan dari suatu logam atau paduannya dalam keadaan padat untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu. Untuk mendapatkan hal ini maka kecepatan pendinginan dan batas temperatur sangat menentukan (Schomentz and Gruber, 1994). Dalam prakteknya terdapat banyak macam proses heat treatment. Secara garis besar proses heat treatment dibedakan menurut tingginya temperatur pemanasan, lamanya keberadaan pada temperatur tersebut dan pendinginan. Proses laku panas atau heat treatment dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Proses laku panas yang menghasilkan struktur yang equilibrium, contohnya:
annealing dan normalizing
2. Proses laku panas yang menghasilkan struktur yang non-equilibrium, contohnya: hardening
2.2.1 Full Annealing
Full Annealing adalah proses heat treatment yang dilakukan dengan
10 memanaskan baja sampai temperatur pada daerah austenit lalu mendinginkannya secara perlahan-lahan di dalam tungku. Adapun caranya adalah dengan memanaskan baja sedikit di atas temperatur kritis A3 atau A1 (tergantung jenis baja karbonnya), dibiarkan sampai suhu homogen dan disusul dengan pendinginan secara perlahan- lahan di dalam tungku dijaga agar suhu di bagian luar dan dalam kira-kira sama.
Seberapa tinggi pemanasannya dan seberapa lambat laju pendinginannya, tergantung pada tujuan dan kondisi awal benda kerja. Tujuan dari full annealing ini adalah melunakkan, juga dapat memperbaiki sifat kelistrikannya dan kemagnetan, serta sifat ketangguhannya (Djaprie, 1995).
Proses annealing dapat dilihat pada pada gambar diagram proses full annealing di bawah ini :
Gambar 2.3 Diagram proses full annealing (Djaprie, 1995)
Gambar 2.3 adalah gambar mengenai proses full annealing dilakukan. Pada bagian A-B proses pemansan awal dilakukan hingga mencapai sedikit diatas temperatur kritis A3 atau A1 tergantung baja karbon yang digunakan. kemudian dari bagian B-C adalah waktu tahan, yaitu baja akan dipanaskan pada temperatur yang konstan selama waktu tertentu. Pada bagian C-D adalah proses pendinginan yang dilakukan dengan sangat lambat, dengan cara didinginkan secara pelahan- lahan di dalam tungku pemanasan (Djaprie, 1995).
2.2.2 Normalizing
Normalizing adalah proses pemanasan pada suhu austenite dan didinginkan di udara terbuka. Adapun caranya adalah memanaskan baja pada suhu 10–40°C di atas daerah kritis atas disusul dengan pendinginan dalam udara. Normalizing biasa diterapkan pada baja karbon rendah dan baja paduan untuk menghilangkan
11 pengaruh pengerjaan bahan sebelumnya, menghilangkan tegangan dalam, dan memperoleh sifat-sifat fisik yang diinginkan (Djaprie, 1995).
Proses normalizing dapat dilihat pada gambar diagram proses normalizing di bawah ini:
Gambar 2.4 Gambar Proses normalizing (Djaprie, 1995)
Gambar 2.4 adalah gambar mengenai proses normalizing dilakukan. Pada bagian A-B proses pemanasan awal dilakukan hingga temperatur berada 10℃
hingga 40℃ daiatas temperatus kritis. Kemudian pada bagian B-C adalah waktu tahan, yaitu baja akan dipanaskan pada temperatur yang konstan selama waktu tertentu. Pada bagian C-D adalah proses pendinginan yang dilakukan relatif cepat dengan cara dibiarkan di udara terbuka (Djaprie, 1995).
2.2.3 Quenching
Quenching adalah proses heat treatment yang dilakukan dengan cara memanaskan baja hingga mencapai temperatur austenitisasi (815-870 ℃) dan kemudian didinginkan secara cepat. Pendinginan cepat yang umumnya dilakukan pada proses quenching adalah dengan mencelupkan kedalam air atau minyak.
Sebagai hasilnya diperoleh produk yang memiliki mikrostruktur yang dikeraskan (as-quenched) dan sifat mekanis seperti kekerasan dan kekuatan yang meningkat.
Keefektifan quenching tergantung pada sifat pendinginan dari media quench dan juga kemampukerasan dari baja (ASM International, 1991).
Direct quenching atau pendinginan langsung merupakan pendinginan langsung dari suhu austenitisasi dan merupakan perlakuan yang paling banyak digunakan. Istilah pendinginan langsung digunakan untuk membedakan jenis siklus ini dari perlakuan yang tidak langsung lainnya, pendinginan ini mungkin
12 melibatkan karburasi, pendinginan lambat, pemanasan ulang, yang diikuti pendinginan cepat (ASM International, 1991).
Proses quenching dapat dilihat pada pada gambar diagram proses quenchingdi bawah ini :
Gambar 2.5 adalah gambar mengenai proses Quenching dilakukan. Pada bagian A-B proses pemanasan awal dilakukan hingga mencapai temperatur austenisasi dari baja, yaiu 815℃ - 875℃, tergantung baja yang akan di quenching.
Kemudian pada bagian B-C adalah waktu tahan, yaitu baja akan dipanaskan pada temperatur yang konstan selama waktu tertentu. Pada bagian C-D adalah proses pendinginan yang dilakukan sangat cepat dengan cara mencelupkan baja yang telah dipanaskan secara langsung ke dalam wadah berisi cairan seperti air, air laut, atau oli (Djaprie, 1995)
Temperatur pemanasan, lama waktu tahan dan laju pendinginan untuk pengerasan banyak tergantung pada komposisi kimia dari baja. Kekerasan yang terjadi pada benda akan tergantung pada temperatur pemanasan, waktu tahan, jenis cairan dan laju pendinginan yang dilakukan pada proses laku panas, selain itu sifat hardenability baja yang dikeraskan juga berpengaruh. Semakin tinggi kadar karbon, semakin tinggi hardenability yang dimiliki baja (Djaprie, 1995). Proses quenching tidak dianjurkan jika dilakukan pada baja karbon rendah menurut callister,2014 Pada baja karbon rendah sangat tidak responsif dalam pembentukan fasa martensit ketika diberi perlakuan panas. sehingga, Surface Hardening atau pengerasan permukaan, merupakan suatu proses teknik yang digunakan untuk meningkatkan
Gambar 2.5 Gambar proses quenching (Djaprie, 1995)
13 sifat kekerasan dan ketahanan aus dari baja karbon rendah atau mild steel yang memiliki kandungan karbon hingga 0.30%C atau grade dari AISI 1005 hingga AISI 1030 yang memiliki sifat yang lunak dan tangguh (ASM International, 1991).
2.4 Forging
Forging atau penempaan merupakan proses pengerjaan dengan cara membentuk material menggunakan beban tekan atau beban impact (Bharti, 2016).
Pada zaman sekarang, penempaan merupakan proses manufaktur yang penting untuk membuat komponen-komponen material yang memiliki kekuatan tinggi untuk pengaplikasian dibidang automotive, penerbangan dan aplikasi lainnya.
Kebanyakan penempaan dilakukan dengan temperatur tinggi untuk membentuk sebuah material karna dapat mengurangi kekuatan dan meningkatkan keuletan saat pengerjaannya. Namun ada beberapa produk yang dikerjakan menggunakan termperatur ruangan (Groover, 2010).
Menurut Groover (2010) terdapat 3 jenis proses penempaan yaitu:
1. Open-die forging: pengerjaan dilakuan dengan menggunakan cetakan yang datar
2. Impression-die forging: pengerjaan dilakukan dengan bentuk permukaan cetakan yang tidak rata atau sesuai bentuk yang diinginkan
3. Flashless forging: pengerjaan dilakukan sepenuhnya dalam cetakan hingga tidak ada flash yang berlebih.
Gambar 2.6 jenis jenis proses penempaan : (a) open-die forging, (b) impression-die forging dan (c) flashless forging (Groover, 2010)
14
2.5 Penempaan Dalam Dunia Industri
Penempaan dalam dunia industri, hot forging adalah proses yang biasa digunakan karena bisa menggunakan berbagai macam baja dan komponen dapat diigunkan dalam metode ini. Sebagian besar baja yang digunakan pada proses hot forging adalah baja karbon menengah atau baja paduan rendah dengan kandungan karbon yang dipilih untuk menghasilkan kombinasi kekuatan, ketangguhan dan kemampuan tempa yang dapat diterima.
Pada awal 1970-an, penggunaan baja paduan mikro karbon menengah untuk tempa panas berpendingin udara dimulai di Eropa, serta Amerika Serikat, untuk menghindari pendinginan dan perlakuan panas temper dan masalah yang bersamaan. Persyaratan kekuatan dipenuhi terutama melalui pengendapan dalam matriks perlit ferit. Namun, struktur mikro ini menyebabkan penurunan ketangguhan dan baja ini memiliki kemampuan las yang buruk; oleh karena itu penggunaan tempa tersebut dibatasi untuk komponen yang kurang kritis.
perkembangan di daerah ini telah terjadi dalam 15 20 tahun terakhir. . Di Jepang misalnya, pengerasan presipitasi melalui tembaga dalam matriks bainitik telah menghasilkan penempaan panas berpendingin udara, dengan kekuatan tinggi dan ketangguhan yang wajar. Di AS, ada paten untuk menunjukkan pengembangan baja karbon menengah paduan mikro yang dapat digunakan dalam tempa tanpa perlakuan panas.
Gambar 2.7 perbandingan proses antara baja tempered konvensional dan baja microalloyed berpendingin udara
langsung
15 Pada dunia industry saat ini proses penempaan yang dilakukan yaitu dengan memanaskan batang baja hingga suhu 1200℃ kedalam tungku induksi, kemudian ditempa pada kisaran suhu (turun ke 1050℃ dalam jangka waktu 15-30 detik tergantung pada ukuran dan keruminatan tempaan), dipangkas untuk menghilangkan flash pada suhu 950℃ dan akhirnya digunakan, baik memalui proses pendinginan dan temper atau melalui berbagai proses pendinginan udara.
Akibatnya, transformasi fase yang terlibat selama pemanasan akan mencakup:
konversi struktur mikro awal (biasanya ferit dan perlit bersama dengan beberapa presipitat, ketika microalloyed) menjadi austenit; mengendapkan pengkasaran dan pembubaran; pengayaan matriks austenit oleh zat terlarut (mikroalloy) dll. Setelah itu, proses penempaan akan dikaitkan dengan rekristalisasi dan pertumbuhan butir austenit. Demikian pula, proses pendinginan setelah penempaan akan menginduksi berbagai transformasi fasa pada austenit induk dan munculnya kembali endapan baik dalam austenit maupun ferit. (Mohanty, 2017).
2.6 Sifat Mekanik Material
Sifat mekanik material adalah kemampuan material untuk menerima beban, gaya dan energy tanpa merusak material tersebut. Beberapa sifat mekanik yang penting antara lain:
a. Kekuatan (Strenght) Merupakan kemampuan suatu material untuk menerima tegangan tanpa menyebabkan material menjadi patah. Berdasarkan jenis beban yang diterima, kekuatan dibagi menjadi beberapa macam yaitu kekuatan tarik, kekuatan geser, kekuatan tekan, kekuatan torsi, dan kekuatan lengkung.
b. Kekakuan (stiffness) Merupakan kemampuan suatu material untuk menerima tegangan atau beban tanpa mengakibatkan terjadinya deformasi atau difleksi.
c. Kelenturan (elasticity) Merupakan kemampuan material untuk kembali ke bentuk dan ukuran semula setelah memerima beban.
d. Plastisitas (plasticity) Merupakan kemampuan material untuk mengalami perubahan bentuk secara permanen (deformasi palstis) tanpa mengalami kerusakan.
e. Keuletan (ductility) Merupakan kemampuan material untuk menahan beban tanpa mengalami kerusakan.
16 f. Ketangguhan (toughness) Merupakan kemampuan material untuk menyerap
energi tanpa terjadinya kerusakan.
g. Kegetasan (brittleness) Merupakan kemampuan sifat bahan yang mempunyai sifat berlawanan dengan keuletan. Kegetasan ini merupakan suatu sifat material yang getas atau rapuh ini juga menjadi sasaran pada beban regang, tanpa memberi keregangan yang terlalu besar. Contoh bahan yang memiliki sifat kerapuhan ini yaitu besi cor.
h. Kekerasan (hardness) Merupakan kemampuan ketahanan material terhadap penekanan atau indentasi atau penetrasi (Irawati. A, 2017).
2.7 Diagram Fe – Fe
3C
Diagram fasa yang banyak digunakan adalah diagram fasa besi – karbida besi atau disebut sebagain diagram Fe – Fe3C. Pada keadaan yang ekuilibrium karbon akan berupa karbon bebas (grafit), sehingga akan diperoleh diagram kesetimbangan besi - grafit. Perubahan – perubahan dalam keadaan ekuilibrium berlangsung terlalu lama. Seharusnya karbida besi akan terjadi pada temperatur kamar (pada temperatur sekitar 700˚C pun perubahan ini akan makan waktu bertahun – tahun). Dalam hal ini karbida besi dikatakan sebagai suatu struktur yang metastabil. Diagram fasa besi – karbida besi dapat dilihat pada gambar di bawah:
Gambar 2.8 Diagram Fasa Fe - Fe3C (Irawati, 2017)
17
2.8 Hardening
Hardening berguna untuk memperbaiki kekerasan suatu material tanpa mengubah komposisi kimia dari material tersebut. Proses ini dilakukan dngan memanaskan material sampai dengan temperature austenisasi dan dilakukan proses pendinginan yang cepat untuk mendapatkan sifat yang diinginkan (Pramono, 2011).
Proses hardening dilakukan diatas suhu kritis, temperature pemanasan dipengaruhi oleh banyaknya kadar karbon, oleh karena itu unsur karbon pada material sangat mempengaruhi pada proses pemanasan, sehingga untuk mengetahui fasa yang dihasilkan bias dapat ditarik garis pada grafik FE-C. Pada proses hardening material yang sudah dipanaskan akan didinginkan secara cepat atau quenching. Quenching adalah perlakuan panas dengan proses pendinginan cepat,kecepatan pendinginan tergantung median pendingin yang digunakan (suharno & harjanto, 2013).
Gambar 2.9 diagram FE-C (Sumaraw , 2010)
2.9 Laju Pendinginan
Untuk dapat memperoleh struktur yang sepenuhnya martensit maka laju pendinginan harus dapat mencapai laju pendinginan kritis (critical cooling rate).
Dengan laju pendinginan yang kurang dari laju pendinginan kritis akan
18 mengakibatkan adanya sebagian austenit yang tidak bertransformasi menjadi martensit tetapi menjadi struktur lain, sehingga kekerasan maksimum tentu tidak akan tercapai. Laju pendinginan yang terjadi pada suatu benda kerja tergantung pada beberapa faktor, terutama: Jenis media pendinginnya, temperatur media pendingin dan kuatnya sirkulasi pada media pendingin (Surdia dan Shinroku, 1999).
2.10 Media Pendingin
Setelah proses pemanasan dan waktu penahanan, untuk mendapatkan struktur martensit maka austenit yang terjadi hanya didinginkan dengan cepat. Setidaknya dapat mencapai laju pendinginan kritis. Ada beberapa media pendingin yang sering digunakan dalam proses pengerasan, antara lain campuran air, minyak, udara dan air garam (Surdia dan Shinroku, 1999).
Proses quenching dilakukan pendinginan secara cepat dengan menggunakan media udara, air sumur, oli dan larutan garam. Kemampuan suatu jenis media dalam mendinginkan spesimen bisa berbeda-beda, perbedaan kemampuan media pendingin di sebabkan oleh temperatur, kekentalan, kadar larutan dan bahan dasar media pendingin. Semakin cepat logam didinginkan maka akan semakin keras sifat logam itu. Karbon yang dihasilkan dari pendinginan cepat lebih banyak dari pendinginan lambat. Hal ini disebabkan karena atom karbon tidak sempat berdifusi keluar, terjebak dalam struktur kristal dan membentuk struktur tetragonal yang ruang kosong antar atomnya kecil, sehingga kekerasannya meningkat (Mu'afax, Harjanto, & Suharno, 2017)
2.11 Pengujian Bending
Pengujian bending adalah pengujian yang cocok digunakan untuk suatu material sejak lama, karena batang uji nya sederhana. Pengujian bending dapat menentukan kemampuan material untuk berdeformasi untuk ukuran, radius bengkok, sudut bengkok tertentu, dengan diberi deformasi tertentu. Uji bending sering dilakukan untuk menentukan mampu bentuk dari plat tipis.
Pengujian bending adalah cara terbaik untuk menentukan kekuatan dan kegetasan karena beberapa hal berikut:
1. Bentuk batang uji sederhana
2. Sukar terjadi cacat yang berupa retakan akibt perlakuan panas atau lain nya
19 3. Pada pengujian bending dapat diharapkan terjadi patahan yang idial dri
bahan yang keras dan getas
4. Pada material yang memeiliki kekerasan Brinell lebih dari 600 tidak dapat diuji dengan uji Tarik.
Pengujian bending juga berguna untuk menentukan keuletan dan kegetasan material getas. Pada pengujian kekuatan material getas harus memperhatikan bahwa terjadi fluktuasi tegangan patah yang besar dengan adanya cacat permukaan yang kecil atau adanya inklusi. (Surdia & Saito, 1999).
Pengujian bending jenis three-point bending dengan standar ASTM D790 menggunakan perhitungan dengan persamaan sebagai berikut
ơ𝑓= 3𝑃𝐿/2𝑏𝑑2 (2.1) Ɛ𝑓 = 6𝐷𝑑/𝐿2 (2.2) dimana 𝜎𝑓 merupakan tegangan flexural (MPa), P merupakan beban (N), L adalah panjang support span (mm), b adalah lebar spesimen (mm), dan d adalah tebal spesimen (mm). Untuk rumus regangan, ∈𝑓 merupakan regangan flexural (ASTM International, 2003).
2.12 X-Ray Fluorescence
Analisa XRF merupakan salah satu analisa yang didasarkan pada perilaku atom yang terkena radiasi. Interaksi atom dengan dengan cahaya yang dipaparkan dapat menyebabkan berbagai fenomena yang dipengaruhi oleh kuatnya intensitas cahaya yang berinteraksi dengan atom tersebut. Ketika material berinteraksi dengan cahaya yang berenergi tinggi seperti sinar-x, maka dapat menyebabkan terpentalnya elektron yang berada pada tingkat energi paling rendah pada suatu atom. Akibatnya atom menjadi tidak stabil sehingga elektron yang berada pada kulit valensi yang lebih tinggi akan mengisi posisi elektron yang terpental tadi. Proses pengisian posisi elektron pada kulit valensi yang lebih rendah dinamakan deeksitasi. Proses deeksitasi akan disertai dengan pemancaran cahaya dengan energi yang lebih kecildaripada energi yang menyebabkan tereksitasinya elektron. Energi yang
Gambar 2.10 pengujian bending
20 dipancarkan tersebut dinamakan radiasi fluoresensi. Radiasi fluoresensi memiliki energi yang karakteristik yang beragam tergantung dari elektron yang tereksitasi pada suatu atom penyusun sebuah material. Perbedaan karakteristik dari radiasi fluoresensi pada setiap unsur tersebut memungkinkan dapat dilakukannya analisa kualitatif untuk mengidentifikasi unsur-unsur berbeda yang terdapat pada suatu material. Dan analisa kuantitatif juga dapat dilakukan untuk menentukan konsentrasi dari unsur yang dianalisa dapat ditentukan berdasarkan intensitas dari radiasi fluoresensi yang dipancarkan (Setiabudi, et al., 2012).
XRF (X-ray fluorescence) merupakan metode karakterisasi yang menganalisa elemen kimia dari suatu spesimen uji dengan mendeteksi karakteristik emisi sinar- x yang berasal dari spesimen uji setelah dipapari sinar-x berenergi tinggi.
Karakteristik sinar-x dapat dianalisa dari panjang gelombang atau energi. Terdapat dua jenis karakterisasi metode XRF yaitu WDS (Wavelength Dispersive Spectroscopy) dan EDS (Energy Dispersive Spectroscopy). Pada gambar 2.3, diilustrasikan skema metode WDS dan juga EDS. Namun, tetap saja instrumen XRF tetap konsisten pada tiga bagian yaitu sumber sinar-x, sistem deteksi, dan pengambilan data serta sistem pemrosesan.
Gambar 2. 11 Komponen utama dan dispersif dari : (a) WDS (b) EDS (Leng, 2013)
Sumber sinar-x menghasilkan sinar-x utama yang akan mengakibatkan eksitasi oleh atom dari spesimen uji.Sumber sinar-x yang biasa digunakan yaitu tabung sinar-x, mirip sepertimetode karakterisasi XRD (X-ray Diffractometer).
Tabung sinar-x dioperasikan dengan daya sebesar 0.5-3 kW dan tegangan tinggi sebesar 30-50 kV (Leng, 2013).
21
2.13 Metalografi
Pengujian struktur mikro menggunakan metode metalografi. Metalografi adalah gambaran mikro pada permukaan logam yang sudah dipreparasi.
Metalografi merupakan pengujian dan pengamatan terhadap strukutur butir suatu logam. Dalam pengamatan secara metalografi dapat diperoleh gambaran struktur butiran suatu logam. Pengujian metalografi harus menggunakan bantuan dari mikroskop optik. Metalografi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari karakteristik mikrostruktur suatu logam dan paduannya serta hubungannya dengan sifat-sifat logam dan paduannya tersebut. Permukaan sampel harus benar-benar diratakan agar sampel yang telah dipreparasi dapat terlihat dan tergambar bentuk struktur mikro dari mikroskop sehingga cahaya yang berasal dari mikroskop akan memantul ke mata kita. Oleh karena itu, sebelum dilakukan pengamatan mikrostruktur dengan mikroskop maka diperlukan proses-proses persiapan sampel (Devinta, 2010).
Sampel yang akan diuji harus dipreparasi dengan tahap tahap preparasi spesimen yaitu:
1. Sampling position (proses pengambilan sampel) 2. Cutting
3. Mounting
4. Grinding (Pengamplasan) 5. Polishing
6. Etching (Etsa)
7. Observasi mikroskopis / makroskopis (smallman & Bishop, 2000)
2.14 Penelitian Terdahulu
Berikut adalah rangkuman hasil penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan.
22
Tabel 2. 1 Penelitian Terdahulu
No
Nama dan Tahun Publikasi
Hasil
1 Yaso et. al., 2013
Sampel: 2 pedang jepang satu adalah senjata jepang tua yang diproduksi pada era muromachi,s dan 1 senjata jepang modern yang di produksi pada tahun 1945 Metode:
Nondestruktif: XRD,EPMA
Destruktif: SEM,METALOGRAFI Hasil:
Pedang jepang tua dan modern memiliki kandungan kkarbon 0,67-0,71% C diujung pedang
Terbentuk fasa lath martensit dan lenticular martensit Memiliki tepi yang tajam dari kedua pedang yang menunjukakan bahwa memiliki kekerasan tinggi yang sesuai dengan martensit dan tegangan sisa tekan yang besar
Tepi yang tajam memiliki kekuatan lentur yang besar untuk pedang lama dan modern 2552, 4645MPa, masing-masing, yang nilainya berada dalam kisaran baja perkakas berkinerja tinggi.
2 Purnawibawa, 2016
Sampel:
8 bilah keris, 1 bilah pedang, dan 2 bilah tombak koleksi Museum
Tosan Aji, Purworejo, Jawa Tengah Metode:
Nondestruktif: XRF
Destruktif: Mohs hardness test
Hasil: Tidak ada korelasi antara kenampakan (pamor) bilah
senjata dan komposisi bilah, terutama dari sisi trace elements.
Rentang kekerasan bilah adalah 3.7-5 Mohs. Proses penempaan,
terutama pelipatan berbanding lurus dengan kekerasan bilah.
3 Yogi, 2016 Metode:
Observasi lapangan etnoarkeologi di kawasan DAS Sungai
Pawan, Ketapang, Kalimantan Barat Hasil:
23 Penggunaan ububan untuk mengontrol temperature pemanasan,
penempaan bilah diikuti dengan quenching dalam air, dan
finishing permukaan berupa pengamplasan. Bahan baku besi di
masa lampau adalah besi Matan dari daerah Air Hitam dan Jelai,
di muara Sungai Pawan, sekarang bahan baku yang digunaka
adalah logam (baja) bekas otomotif.
4 Paveebunvipak, dkk, 2017
Sampel : 1 buah baja Nam-Phee, 1 buah baja AISI 1055, dan 1 buah baja AISI 1010
Metode : Karakterisasi menggunakan pengujian metalografi, pengujian tarik, three point bending test, dan uji impak23
Hasil : Proses penempaan dengan melibatkan folding membuat baja Nam-Phee memiliki mikrostruktur yang lebih homogen dan halus, lalu meningkatkan tegangan tarik, tegangan flexural, regangan flexural, dan energi impak dari baja Nam-Phee. Pencampuran baja yang ulet sebagai inti dan baja keras sebagai luaran meningkatkan bendability dan energi impak.