• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hexacopter

Hexacopter adalah wahana udara multirotor yang memiliki sebuah sistem 6 derajat kebebasan, dinamika yang tidak stabil dan sangat membutuhkan kendali. 6 derajat kebebasan multirotor mewakili dari gerak translasi dan rotasi pada sumbu x, y dan z yang dimana gerak translasi dibuat dengan mengbah arah dan besarnya dorongan baling baling dan gerak rotasi dicapai dengan dengan memiringkan vektor dorong yang didapatkan dengan mengubah kecepatan propeller secara individual untuk membuat torsi disekitar pusat rotasi (Fogelberg,2013).

UAV memiliki beberapa kemampuan saat bermanuver seperti Vertical Take Off and Landing (VTOL), hover, level flight, dan melakukan transisi saat hover menuju level flight (Ferit,2016). Hexacopter memiliki keunggulan tersendiri bila dibandingkan dengan quadcopter, yang dimana hexacopter dapat memuat berat yang lebih banyak (Lighart,2017).

2.2 Koordinat Sistem

Dalam mendeskripsikan sebuah gerakan hexacopter digunakan dua koordinat sistem yaitu earth fixe frame (referensi koordinat bumi) dan body fixed frame (referensi koordinat wahana). Berikut gambar 2.1 ilustrasi koordinat sistem.

Gambar 2. 1 Dua Koordinat Sistem Untuk Mendeskripsikan Gerakan Hexacopter (Lindblo,2015)

(2)

Earth fixe frame dilambangkan dengan notasi E pada gambar 2.1 dan merupakan sistem yang menggunakan koordinat NED (North, East, Down). Titik origin earth fixe Frame dilambangkan dengan ๐‘‚๐ธ dengan sumbu arah yang dilambangkan dengan ๐‘‹๐ธ, ๐‘Œ๐ธ dan ๐‘๐ธ yang terlihat pada gambar 2.1. Adapun arah dan rotasi vektor vehicle terhadap frame bumi dengan x, y dan z sebagai arah sumbu vektor vehicle dan ๐œ“, ๐œƒ, d๐‘Ž๐‘› ๐œ‘ sebagai sudut rotasi vektor vehicle yang dapat didenisikan sebagai berikut:

ฮพ = [ ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง ]๐‘‡ (2.1)

ฮท = [ ๐œ“, ๐œƒ, ๐œ‘ ]๐‘‡ (2.2)

(Suiรงmez,2014)

body fixed frame dilambangkan dengan notasi B dan titik pusat wahana dilambangan dengan notasi ๐‘‚๐ต yang ditunjukkan pada gambar 2.1. Body fixed frame bergerak relatif terhadap frame bumi saat hexacopter bergerak, dengan arah gerak kedepan pada sumbu ๐‘‹๐ต kemudian arah gerak kesamping pada sumbu ๐‘Œ๐ต dan sumbu ๐‘๐ต mengacu pada arah gerak keatas atau kebawah. Adapun kecepatan rotasi dan kecepatan translasi vehicle terhadap frame bodi dengan ๐‘, ๐‘ž, dan ๐‘Ÿ sebagai kecepatan rotasi vehicle dan ๐‘ข, ๐‘ฃ, ๐‘‘๐‘Ž๐‘› ๐‘ค sebagai kecepatan translasi vehicle yang dapat didefinisikan sebagai berikut:

๐œ” = [ ๐‘, ๐‘ž, ๐‘Ÿ ]๐‘‡ (2.3)

๐‘‰๐ต = [ ๐‘ข, ๐‘ฃ, ๐‘ค ]๐‘‡ (2.4)

(Lindblo,2015) (Suiรงmez,2014)

2.3 Matrik Rotasi

Sudut euler sering digunakan dalam mentransformasi antara koordinat sistem. Transformasi ini diproleh dengan menggunakan matrik rotasi yang terdiri dari sudut euler. Penggandaan dari matriks rotasi dan vektor dalam satu sistem koordinat mengubah vektor tersebut ke sistem koordinat lain yang dilakukan antara dua koordinat sistem E dan B (Fogelberg,2013). Matrik rotasi dapat ditemukan

(3)

berdasarkan rotasi terhadap sumbu x, y dan z, dengan notasi s sebagai sin, c sebagai cos dan t sebagai tan sehingga matrik rotasi didapatkan sebagai berikut:

Rotasi sumbu x ๐‘…๐ต๐ธ(๐œ‘) = [

1 0 0

0 ๐‘(๐œ‘) โˆ’๐‘ (๐œ‘) 0 ๐‘ (๐œ‘) ๐‘(๐œ‘)

] (2.5)

Rotasi sumbu y ๐‘…๐ต๐ธ(๐œƒ) = [

๐‘(๐œƒ) 0 ๐‘ (๐œƒ)

0 1 0

โˆ’๐‘ (๐œƒ) 0 ๐‘(๐œƒ)

] (2.6)

Rotasi sumbu z ๐‘…๐ต๐ธ(๐œ“) = [

๐‘(๐œ“) โˆ’๐‘ (๐œ“) 0 ๐‘ (๐œ“) ๐‘(๐œ“) 0

0 0 1

] (2.7)

dari ketiga rotasi diatas maka didapatkan transformasi matrik rotasi dari frame bodi terhadap frame bumi ๐‘…๐ต๐ธ sebagai berikut:

๐‘…๐‘ง๐‘ฆ๐‘ฅ(๐œ“, ๐œƒ, ๐œ‘) = ๐‘…๐‘ง(๐œ“) โˆ™ ๐‘…๐‘ฆ(๐œƒ) โˆ™ ๐‘…๐‘ฅ(๐œ‘) [

๐‘(๐œƒ)๐‘(๐œ“) ๐‘ (๐œ‘)๐‘ (๐œƒ)๐‘(๐œ“) โˆ’ ๐‘(๐œ‘)๐‘ (๐œ“) ๐‘(๐œ‘)๐‘ (๐œƒ)๐‘(๐œ“) + ๐‘ (๐œ‘)๐‘ (๐œ“) ๐‘(๐œƒ)๐‘ (๐œ“) ๐‘ (๐œ‘)๐‘ (๐œƒ)๐‘ (๐œ“) + ๐‘(๐œ‘)๐‘(๐œ“) ๐‘(๐œ‘)๐‘ (๐œƒ)๐‘ (๐œ“) โˆ’ ๐‘ (๐œ‘)๐‘(๐œ“)

โˆ’๐‘ (๐œƒ) ๐‘ (๐œ‘)๐‘(๐œƒ) ๐‘(๐œ‘)๐‘(๐œƒ)

] (2.8)

untuk mendapatan matriks rotasi frame bumi terhadap frame bodi dapat mentranspose matriks ๐‘…๐ต๐ธ sehingga transformasi matriks dari frame bumi terhadap frame bodi dilakukan sesuai dengan berikut:

(๐‘…๐ต๐ธ)โˆ’1 = (๐‘…๐ต๐ธ)๐‘‡ = ๐‘…๐ธ๐ต (2.9)

(Fogelberg,2013) (Nugraha ,2017)

2.4 Kinematika Hexacopter

Setelah didapatkan matrik transformasi maka dapat ditemukan persamaan

(4)

๐‘‰๐ธ = ๐‘…๐ต๐ธ ๐‘‰๐ต (2.10)

๐‘‰๐ธ = ๐œ‰ ฬ‡ = [๐‘ฅฬ‡ ๐‘ฆฬ‡ ๐‘งฬ‡]๐‘‡ (2.11)

๐œ‰ ฬ‡ = ๐‘…๐ต๐ธ ๐‘‰๐ต (2.12)

sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut:

๐‘ฅฬ‡ = ๐‘ค[๐‘ (๐œ‘)๐‘ (๐œ“) + ๐‘(๐œ‘)๐‘ (๐œƒ)๐‘(๐œ“)] โˆ’ ๐‘ฃ[ ๐‘(๐œ‘)๐‘ (๐œ“) โˆ’ ๐‘ (๐œ‘)๐‘ (๐œƒ)๐‘(๐œ“)] + ๐‘ข[๐‘(๐œƒ)๐‘(๐œ“)]

๐‘ฆฬ‡ = ๐‘ฃ[๐‘(๐œ‘)๐‘(๐œ“) + ๐‘ (๐œ‘)๐‘ (๐œƒ)๐‘ (๐œ“)] โˆ’ ๐‘ค[๐‘ (๐œ‘)๐‘(๐œ“) โˆ’ ๐‘(๐œ‘)๐‘ (๐œƒ)๐‘ (๐œ“)] + (2.13) ๐‘ข[๐‘(๐œƒ)๐‘ (๐œ“)]

๐‘งฬ‡ = ๐‘ค[๐‘(๐œ‘)๐‘(๐œƒ)] + ๐‘ฃ[๐‘ (๐œ‘)๐‘(๐œƒ)] โˆ’ ๐‘ข[๐‘ (๐œƒ)]

dengan menggunakan matrik transformasi sudut angular yang didefinisikan ๐ฟโˆ’1๐‘… maka didapatkan:

๐ฟโˆ’1๐‘… = [

1 ๐‘ (๐œ‘)๐‘ก(๐œƒ) ๐‘(๐œ‘)๐‘ก(๐œƒ)

0 ๐‘(๐œ‘) โˆ’๐‘ (๐œ‘)

0 ๐‘ (๐œ‘) ๐‘(๐œƒ)

๐‘(๐œ‘) ๐‘(๐œƒ) ]

(2.14)

sehingga didapatkan persamaan kinematika kecepatan sudut sebagai berikut:

๐œ‚ ฬ‡= ๐ฟโˆ’1๐‘… ๐œ” (2.15)

dimana ๐œ‚ ฬ‡ = [๐œ‘ฬ‡๐œƒฬ‡๐œ“ฬ‡]Tdan ฯ‰ = [ ๐‘, ๐‘ž, ๐‘Ÿ ]T maka didapatkan:

{

๐œ‘ฬ‡ = ๐‘ + ๐‘ž[๐‘ (๐œ‘)๐‘ก(๐œƒ)] + ๐‘Ÿ[๐‘(๐œ‘)๐‘ก(๐œƒ)]

๐œƒฬ‡ = ๐‘ž[๐‘(๐œ‘)] โˆ’ ๐‘Ÿ[๐‘ (๐œ‘)]

๐œ“ฬ‡ = ๐‘ [๐‘ (๐œ‘)

๐‘(๐œƒ)] + ๐‘Ÿ [๐‘(๐œ‘) ๐‘(๐œƒ)]

(2.16)

(5)

2.5 Gaya dan Momen Eksternal

Bagian ini akan membahas gaya gaya yang bekerja pada sistem yang dijelaskan pada sub bab berikut.

2.5.1 Gaya Gravitasi

Gaya gravitasi yang terjadi diasumsikan konstan maka gaya gravitasi dengan notasi m sebagai massa dari hexacopter dan g sebagai nilai gravitasi yaitu 9.81 m/๐‘ 2 dapat ditulis sebagai berikut:

๐น๐‘”๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘ฃ,๐ธ = โˆ’๐‘š [ 0 0 ๐‘”

] (2.17)

dengan menggunakan matriks transformasi ๐‘…๐ธ๐ต diproleh gaya gravitasi yang diekspresikan dalam ๐น๐ต, ๐น๐‘”๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘ฃ,๐ต dapat ditulis sebagai berikut:

๐น๐‘”๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘ฃ,๐ต = โˆ’๐‘…๐ธ๐ต ๐‘š [ 0 0 ๐‘”

] (2.18)

(Suiรงmez,2014)

2.5.2 Gaya Total

Gaya total yang dihasilkan oleh sistem propeller hexacopter dijadikan sebagai input ๐‘ˆ1. Maka gaya total hexacopter dalam ๐น๐ต, ๐น๐‘๐‘Ÿ๐‘œ๐‘,๐ต dapat ditulis sebagai berikut:

๐น๐‘๐‘Ÿ๐‘œ๐‘,๐ต = [ 0 0 ๐‘ˆ1

] (2.19)

2.5.3 Gaya Drag

Efek gaya drag aerodinamika dianggap terjadi hanya pada dinamika translasi. Gaya drag aerodinamika dapat diekspresikan sebagai berikut:

(6)

๐น๐‘Ž๐‘’๐‘Ÿ๐‘œ,๐ต= โˆ’๐พ๐‘ก ๐‘‰๐ต = โˆ’๐พ๐‘ก[ ๐‘ข ๐‘ฃ ๐‘ค

] (2.20)

๐พ๐‘ก adalah suatu nilai konstan dan ๐‘‰๐ต adalah kecepatan translasi.

(Suiรงmez,2014)

2.5.4 Aktuator Hexacopter

Dalam menciptakan torsi disekitar sumbu x, y, z dilakukan pengaturan kecepatan pada keenam motor vehicle dan dengan demikian menciptakan rotasi roll, pitch, dan yaw. Torsi adalah gaya yang diikalikan dengan jarak motor ke sumbu putar. Gaya total dorong pada sumbu z bergantung pada jumlah kecepatan baling baling yang mempengaruhi gaya dorong ke atas. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diberikan persamaan gaya total ke atas pada sumbu z dan torsi pada ketiga sumbu rotasi sebagai berikut:

๐น๐‘กโ„Ž๐‘Ÿ๐‘ข๐‘ ๐‘ก = ๐‘“1+ ๐‘“2+ ๐‘“3+ ๐‘“4+ ๐‘“5+ ๐‘“6 ๐œ๐‘๐‘–๐‘ก๐‘โ„Ž = ๐‘๐‘™โˆš3

2 ( โˆ’ ฮฉ12+ ฮฉ32+ ฮฉ42 โˆ’ ฮฉ62) ๐œ๐‘Ÿ๐‘œ๐‘™๐‘™ = ๐‘๐‘™(1

2 (โˆ’ ฮฉ12 โˆ’ ฮฉ32+ ฮฉ42 โˆ’ ฮฉ62) โˆ’ ฮฉ22 โˆ’ ฮฉ52) ๐œ๐‘ฆ๐‘Ž๐‘ค = ๐‘‘ (โˆ’ ฮฉ12 + ฮฉ22 โˆ’ ฮฉ32 + ฮฉ42โˆ’ ฮฉ52 + ฮฉ62)

(2.21)

dimana ๐‘™ adalah panjang jarak antara setiap motor terhadap titik sumbu rotasi, ๐‘‘ adalah drag factor, ๐‘“๐‘ก adalah total gaya keatas, ๐œ๐‘ฅ๐‘ฆ๐‘ง adalah torsi untuk gerak terhadap sumbu x, y dan z dan ฮฉ adalah kecepatan putar. Adapun perkalian konstanta ๐‘ dengan ฮฉ๐‘–2 menghasilkan thrust (Fogelberg,2013).

2.6 Model Dinamika Nonlinear

Bagian ini model dinamika nonlinear akan diproleh dengan menggunakan hukum newton untuk gerak translasi dan rotasi yang dapat diperoleh masing- masing sebagai berikut:

(7)

โˆ‘ ๐น๐‘’๐‘˜๐‘  = ๐‘š๐‘‰ฬ‡๐ต+ ๐œ”๐ต ร— ๐‘š๐‘‰๐ต (2.22)

โˆ‘ ๐‘€๐‘’๐‘˜๐‘  = ๐ฝ๐œ”๐ตฬ‡ + ๐œ”๐ต ร— (๐ฝ๐œ”) (2.23)

dimana ๐‘€๐‘’๐‘˜๐‘  = [๐œ๐‘ฅ ๐œ๐‘ฆ ๐œ๐‘ง]๐‘‡ฯต 3 adalah total torsi dan ๐œ”๐ต = [ ๐‘, ๐‘ž, ๐‘Ÿ ]๐‘‡ adalah kecepatan sudut dan ร— adalah perkalian cross dan V๐ต = [ ๐‘ข, ๐‘ฃ, ๐‘ค ]๐‘‡ adalah kecepatan translasi dan ๐ฝ merupakan matriks inersia diagonal seperti berikut:

๐ฝ = [

๐ผ๐‘ฅ 0 0 0 ๐ผ๐‘ฆ 0 0 0 ๐ผ๐‘ง

] ๐œ– 3 (2.24)

โˆ‘ ๐น๐‘’๐‘˜๐‘  dan ๐‘€๐‘’๐‘˜๐‘  adalah gaya dan torsi yang bekerja pada bodi hexacopter yang dimana โˆ‘ ๐น๐‘’๐‘˜๐‘  dan โˆ‘ ๐‘€๐‘’๐‘˜๐‘  dapat diekspresikan sebagai berikut:

โˆ‘ ๐น๐‘’๐‘˜๐‘ = ๐น๐‘”๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘ฃ,๐ต+ ๐น๐‘๐‘Ÿ๐‘œ๐‘,๐ต+ ๐น๐‘Ž๐‘’๐‘Ÿ๐‘œ,๐ต

โˆ‘ ๐‘€๐‘’๐‘˜๐‘  = [๐œ๐‘ฅ ๐œ๐‘ฆ ๐œ๐‘ง]๐‘‡ฯต 3 (2.25)

sehingga dengan menggunakan persamaan (2.25) maka didapatkan:

{

๐‘š๐‘”[๐‘ (๐œƒ)]โˆ’๐พ๐‘ก๐‘ข = ๐‘š(๐‘ขฬ‡ + ๐‘ž๐‘ค โˆ’ ๐‘Ÿ๐‘ฃ)

โˆ’๐‘š๐‘”[๐‘(๐œƒ)๐‘ (๐œ‘)]โˆ’๐พ๐‘ก๐‘ฃ = ๐‘š(๐‘ฃฬ‡ โˆ’ ๐‘๐‘ค + ๐‘Ÿ๐‘ข)

โˆ’๐‘š๐‘”[๐‘(๐œƒ)๐‘(๐œ‘)]โˆ’๐พ๐‘ก๐‘ค + ๐‘ˆ1 = ๐‘š(๐‘คฬ‡ + ๐‘๐‘ฃ โˆ’ ๐‘ž๐‘ข) ๐œ๐‘ฅ= ๐‘ฬ‡๐ผ๐‘ฅโˆ’ ๐‘ž๐‘Ÿ๐ผ๐‘ฆ + ๐‘ž๐‘Ÿ๐ผ๐‘ง

๐œ๐‘ฆ = ๐‘žฬ‡๐ผ๐‘ฆ + ๐‘๐‘Ÿ๐ผ๐‘ฅโˆ’ ๐‘๐‘Ÿ๐ผ๐‘ง ๐œ๐‘ง= ๐‘Ÿฬ‡๐ผ๐‘งโˆ’ ๐‘๐‘ž๐ผ๐‘ฅ+ ๐‘๐‘ž๐ผ๐‘ฆ

(2.26)

vektor state dapat diwakili pada persamaan berikut:

๐’™ = [๐œ‘ ๐œƒ ๐œ“ ๐‘ ๐‘ž ๐‘Ÿ ๐‘ข ๐‘ฃ ๐‘ค ๐‘ฅ ๐‘ฆ ๐‘ง]๐‘‡ ๐œ– 12 (2.27)

fungsi state-space didapatkanlah sebagai berikut:

(8)

{

๐œ‘ฬ‡ = ๐‘ + ๐‘ž[๐‘ (๐œ‘)๐‘ก(๐œƒ)] + ๐‘Ÿ[๐‘(๐œ‘)๐‘ก(๐œƒ)]

๐œƒฬ‡ = ๐‘ž[๐‘(๐œ‘)] โˆ’ ๐‘Ÿ[๐‘ (๐œ‘)]

๐œ“ฬ‡ = ๐‘ [๐‘ (๐œ‘)

๐‘(๐œƒ)] + ๐‘Ÿ [๐‘(๐œ‘) ๐‘(๐œƒ)] ๐‘ฬ‡ =๐œ๐‘ฅ

๐ผ๐‘ฅ+ ๐‘ž๐‘Ÿ๐ผ๐‘ฆโˆ’ ๐ผ๐‘ง ๐ผ๐‘ฅ ๐‘žฬ‡ =๐œ๐‘ฆ

๐ผ๐‘ฆ + ๐‘๐‘Ÿ๐ผ๐‘งโˆ’ ๐ผ๐‘ฅ

๐ผ๐‘ฆ (2.28)

๐‘Ÿฬ‡ = ๐œ๐‘ง

๐ผ๐‘ง + ๐‘๐‘ž๐ผ๐‘ฅโˆ’ ๐ผ๐‘ฆ ๐ผ๐‘ง

๐‘ขฬ‡ = ๐‘Ÿ๐‘ฃ โˆ’ ๐‘ž๐‘ค + ๐‘”[๐‘ (๐œƒ)] โˆ’๐พ๐‘ก๐‘ข ๐‘š ๐‘ฃฬ‡ = ๐‘๐‘ค โˆ’ ๐‘Ÿ๐‘ข โˆ’ ๐‘”[๐‘(๐œƒ)๐‘ (๐œ‘)] โˆ’๐พ๐‘ก๐‘ข

๐‘š ๐‘ค = ๐‘ž๐‘ข โˆ’ ๐‘๐‘ฃ โˆ’ ๐‘”[๐‘(๐œƒ)๐‘(๐œ‘)] +๐‘“๐‘กโˆ’ ๐พ๐‘ก๐‘ข

๐‘š

๐‘ฅฬ‡ = ๐‘ค[๐‘ (๐œ‘)๐‘ (๐œ“) + ๐‘(๐œ‘)๐‘ (๐œƒ)๐‘(๐œ“)] โˆ’ ๐‘ฃ[ ๐‘(๐œ‘)๐‘ (๐œ“) โˆ’ ๐‘ (๐œ‘)๐‘ (๐œƒ)๐‘(๐œ“)] + ๐‘ข[๐‘(๐œƒ)๐‘(๐œ“)]

๐‘ฆฬ‡ = ๐‘ฃ[๐‘(๐œ‘)๐‘(๐œ“) + ๐‘ (๐œ‘)๐‘ (๐œƒ)๐‘ (๐œ“)] โˆ’ ๐‘ค[๐‘ (๐œ‘)๐‘(๐œ“) โˆ’ ๐‘(๐œ‘)๐‘ (๐œƒ)๐‘ (๐œ“)] + ๐‘ข[๐‘(๐œƒ)๐‘ (๐œ“)]

๐‘งฬ‡ = ๐‘ค[๐‘(๐œ‘)๐‘(๐œƒ)] + ๐‘ฃ[๐‘ (๐œ‘)๐‘(๐œƒ)] โˆ’ ๐‘ข[๐‘ (๐œƒ)]

(Suiรงmez,2014)

model dinamis hexacopter terhadap frame bumi dengan beberapa asumsi yang dimana frame hexacopter memiliki body rigid dan simetris maka didapatkan dinamika gerak translasi berdasarkan hukum Newton II yaitu:

โˆ‘ ๐น = ๐‘š๐œ‰ ฬˆ (2.29)

๐‘…๐ต๐ธ๐‘ˆ๐‘‡ + ๐น๐‘”๐‘๐‘” = ๐‘š๐œ‰ฬˆ (2.30)

m adalah massa dari hexacopter, ๐‘ˆ๐‘‡ adalah vector gaya translasi yang dinyatakan sebagaimana persamaan (2.31) dengan ๐‘ˆ1 = ๐‘“๐‘ก adalah gaya dorong total dan ๐น๐‘” adalah gaya gravitasi yang dinyatakan sebagai persamaan (2.32) berikut:

๐‘ˆ๐‘‡ = [ 0 0 ๐‘ˆ1

] (2.31)

๐น๐‘” = โˆ’๐‘š๐‘” (2.32)

(9)

๐‘๐‘” = [ 0 0 1

] (2.33)

dengan mensubtitusi persamaan (2.31 โ€“ 2.33) ke dalam persamaan (2.30) diperoleh persamaan dinamika gerak translasi sebagai berikut:

{

๐‘ฅฬˆ = โˆ’๐‘“๐‘ก

๐‘š[๐‘ (๐œ‘)๐‘ (๐œ“) + ๐‘(๐œ‘)๐‘(๐œ“)๐‘ (๐œƒ)]

๐‘ฆฬˆ = โˆ’๐‘“๐‘ก

๐‘š[๐‘(๐œ‘)๐‘ (๐œ“)๐‘ (๐œƒ) โˆ’ ๐‘ (๐œ‘)๐‘(๐œ“)]

๐‘งฬˆ = โˆ’๐‘” +๐‘“๐‘ก

๐‘š[๐‘(๐œ‘)๐‘(๐œƒ)]

(2.34)

(Hamdani, 2017)

penyederhanaan model dinamika rotasi dapat dilakukan dengan membuat [๐œ‘ฬ‡ ๐œƒฬ‡ ๐œ“ฬ‡]๐‘‡ = [๐‘ ๐‘ž ๐‘Ÿ]๐‘‡. Dengan asumsi gangguan untuk sudut pergerakan kecil dan gangguan dari kondisi hover kecil. Sehingga model dinamika rotasi dapat dihubungkan sebagai berikut:

{

๐‘ฅฬˆ = โˆ’๐‘“๐‘ก

๐‘š[๐‘ (๐œ‘)๐‘ (๐œ“) + ๐‘(๐œ‘)๐‘(๐œ“)๐‘ (๐œƒ)]

๐‘ฆฬˆ = โˆ’๐‘“๐‘ก

๐‘š[๐‘(๐œ‘)๐‘ (๐œ“)๐‘ (๐œƒ) โˆ’ ๐‘ (๐œ‘)๐‘(๐œ“)]

๐‘งฬˆ = โˆ’๐‘” +๐‘“๐‘ก

๐‘š[๐‘(๐œ‘)๐‘(๐œƒ)]

๐œ‘ฬˆ = ๐ผ๐‘ฆโˆ’ ๐ผ๐‘ง

๐ผ๐‘ฅ ๐œƒฬ‡๐œ“ฬ‡ +๐œ๐‘ฅ ๐ผ๐‘ฅ ๐œƒฬˆ =๐ผ๐‘งโˆ’ ๐ผ๐‘ฅ

๐ผ๐‘ฆ ๐œ‘ฬ‡๐œ“ฬ‡ +๐œ๐‘ฆ ๐ผ๐‘ฆ ๐œ“ฬˆ = ๐ผ๐‘ฅ โˆ’ ๐ผ๐‘ฆ

๐ผ๐‘ง ๐œ‘ฬ‡๐œƒฬ‡ +๐œ๐‘ง ๐ผ๐‘ง

(2.35)

(Suiรงmez,2014)

(10)

2.7 Linearisasi

Titik ekuilibrium merupakan titik dimana perubahan state dari sistem bernilai nol. Sistem nonlinear memiliki titik ekuilibrium lebih dari satu, tidak seperti sistem yang linear. Dalam mengatasi sistem yang mempunyai sifat sistem yang nonlinear secara matematis tidaklah mudah, sehingga dilakukannya metode linearisasi pada sistem untuk menyelesaikan permasalahan nonlinearitas dengan melakukan pendekatan kedalam daerah tertentu, dengan linearisasi dilakukan dengan mengasumsikan osilasi atau pergerakan hexacopter yang kecil. Sehingga model sistem diekspresikan pada persamaan berikut:

{

๐œ‘ฬ‡ โ‰ˆ ๐‘ + ๐‘ž๐œ‘๐œƒ + ๐‘Ÿ๐œƒ ๐œƒฬ‡ โ‰ˆ ๐‘ž โˆ’ ๐‘Ÿ๐œ‘

๐œ“ฬ‡ โ‰ˆ ๐‘๐œ‘ + ๐‘Ÿ ๐‘ฬ‡ โ‰ˆ๐œ๐‘ฅ

๐ผ๐‘ฅ + ๐‘ž๐‘Ÿ๐ผ๐‘ฆโˆ’ ๐ผ๐‘ง ๐ผ๐‘ฅ ๐‘žฬ‡ โ‰ˆ๐œ๐‘ฆ

๐ผ๐‘ฆ + ๐‘๐‘Ÿ๐ผ๐‘งโˆ’ ๐ผ๐‘ฅ ๐ผ๐‘ฆ ๐‘Ÿฬ‡ โ‰ˆ ๐œ๐‘ง

๐ผ๐‘ง + ๐‘๐‘ž๐ผ๐‘ฅโˆ’ ๐ผ๐‘ฆ ๐ผ๐‘ง

๐‘ขฬ‡ โ‰ˆ ๐‘Ÿ๐‘ฃ โˆ’ ๐‘ž๐‘ค + ๐‘”[๐‘ (๐œƒ)] โˆ’๐พ๐‘ก๐‘ข ๐‘š ๐‘ฃฬ‡ โ‰ˆ ๐‘๐‘ค โˆ’ ๐‘Ÿ๐‘ข โˆ’ ๐‘”[๐‘(๐œƒ)๐‘ (๐œ‘)] โˆ’๐พ๐‘ก๐‘ข

๐‘š ๐‘ค โ‰ˆ ๐‘ž๐‘ข โˆ’ ๐‘๐‘ฃ โˆ’ ๐‘”[๐‘(๐œƒ)๐‘(๐œ‘)] +๐‘“๐‘กโˆ’ ๐พ๐‘ก๐‘ข

๐‘š ๐‘ฅฬ‡ โ‰ˆ ๐‘ค(๐œ‘ + ๐œƒ) โˆ’ ๐‘ฃ(๐œ“ โˆ’ ๐œ‘๐œ“) + ๐‘ข ๐‘ฆฬ‡ โ‰ˆ ๐‘ฃ(1 + ๐œ‘๐œƒ๐œ“) โˆ’ ๐‘ค(๐œ‘ โˆ’ ๐œƒ๐œ“) + ๐‘ข๐œ“ ๐‘งฬ‡ โ‰ˆ ๐‘ค + ๐‘ฃ๐œ‘ โˆ’ ๐‘ข๐œƒ

(2.36)

atau dapat ditulis dengan:

๐‘ฅฬ‡ = ๐‘“(๐‘ฅ, ๐‘ข) (2.37)

dimana ๐‘ข = [๐‘“๐‘ก ๐œ๐‘ฅ ๐œ๐‘ฆ ๐œ๐‘ง]๐‘‡ ฯต 4 adalah gaya dan torsi input sistem. Dalam melakukan linearisasi titik equilibrium diperlukan dimana titik titik equilibrium sebagai berikut:

(11)

๐’™ฬ… = [0 0 0 0 0 0 0 0 0 xฬ… yฬ… zฬ…]T ๐œ– 12 (2.38)

dengan nilai input konstan sebagai berikut:

๐’–ฬ… = [๐‘š๐‘” 0 0 0 ]๐‘‡ ๐œ– 4 (2.39)

maka didapatkan matriks sistem linear yang ditunjukan seperti berikut:

A =๐œ•๐‘“(x, u)

โˆ‚x |x = xฬ…

u = uฬ…

=

[ 0 0 0 0 0 0 0

โˆ’๐‘” 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 ๐‘” 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0]

(2.40)

๐ต =โˆ‚f(๐‘ฅ, ๐‘ข)

๐œ•๐‘ฅ |๐‘ฅ = ๐‘ฅฬ…

๐‘ข = ๐‘ขฬ…

=

[ 0 0 0 0 0 0 0 1/m

0 0 0 0

0 0 0 1/๐ˆ๐ฑ

0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 1/๐ˆ๐ฒ

0 0 0 0 0 0 0

1 0 0 0 0 1/๐ˆ๐ณ

0 0 0 0 0 0 ]

(2.41)

dengan gangguan dianggap 0 maka:

๐‘‘ = [0 0 0 0 0 0]T (2.42)

(12)

๐ท =โˆ‚f(๐‘ฅ, ๐‘ข)

๐œ•๐‘ฅ |๐‘ฅ = ๐‘ฅฬ…

๐‘ข = ๐‘ขฬ…

=

[ 0 0 0 0 0 0 1/m

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 1/m

0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 1/m

0 0 0

0 0 0 1/Ix

0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 1/Iy

0 0 0 0 0 0 0

1 0 0 0 0 1/Iz

0 0 0 0 0 0 ]

(2.43)

dinamika sistem linier dapat direpresentasikan sebagai berikut dengan A adalah matriks sistem dan B adalah matriks input dengan x adalah variabel keadaan sistem dan u adalah variabel input:

๐‘ฅฬ‡ = ๐ด โˆ™ ๐‘ฅ + ๐ต โˆ™ ๐‘ข + ๐ท โˆ™ ๐‘‘ = ๐ด โˆ™ ๐‘ฅ + ๐ต โˆ™ ๐‘ข (2.44)

{ ๐œ‘ฬ‡ = ๐‘ ๐œƒฬ‡ = ๐‘ž ๐œ“ฬ‡ = ๐‘Ÿ ๐‘ฬ‡ =๐œ๐‘ฅ

๐ผ๐‘ฅ ๐‘žฬ‡ =๐œ๐‘ฆ ๐ผ๐‘ฆ ๐‘Ÿฬ‡ = ๐œ๐‘ง

๐ผ๐‘ง

๐‘ขฬ‡ = ๐‘”๐œƒ โˆ’๐พ๐‘ก๐‘ข ๐‘š ๐‘ฃฬ‡ = โˆ’ ๐‘”๐œ‘ โˆ’๐พ๐‘ก๐‘ข

๐‘š ๐‘คฬ‡ =๐‘“๐‘กโˆ’ ๐พ๐‘ก๐‘ข

๐‘š

ฬ‡

๐‘ฅฬ‡ = ๐‘ข ๐‘ฆฬ‡ = ๐‘ฃ ๐‘งฬ‡ = ๐‘ค

(2.45)

(Sabatino, 2015)

2.8 Algorithm of Innovative Gunner (AIG)

Algorithm of Innovative Gunner (AIG) merupakan metode baru

(13)

dalam mengirim tembakan secara presisi ke target. Menggunakan metode metaheuristic untuk kasus balistik dapat diperlakukan sebagai uji keefektifan metode ini. Sebuah penembak dan kemampuan menembak dengan memilih sudut dalam setiap proses iterasi dengan hasil yang terbaik akan diproleh dengan menggunakan dua faktor sudut koreksi dengan fungsi sudut ๐‘”1 dan ๐‘”2 dengan bentuk spesifik yang sama, maka digunakan persamaan dalam memperbarui solusi sebagai berikut:

x1(i+1) = x1i. g(ฮพ1). g(ฮพ2). (2.46)

๐‘ฅ1๐‘– adalah solusi berupa peluru dan variable sudut ๐œ‰1๐‘‘๐‘Ž๐‘› ๐œ‰2 tidak berkaitan dengan teori fisika dari sudut balistik dan penggunaan dua sudut ini lebih memiliki hasil efisiensi komputasi yang tinggi dan bagaimanapun kedua sudut ๐œ‰1 = ๐›ผ dan ๐œ‰2 = ๐›ฝ dipilih secara acak dalam proses pemilihan dalam rentang (- ๐›ผ๐‘š๐‘Ž๐‘ฅ, ๐›ผ๐‘š๐‘Ž๐‘ฅ) dan (- ๐›ฝ๐‘š๐‘Ž๐‘ฅ, ๐›ฝ๐‘š๐‘Ž๐‘ฅ). pemilihan sudut ๐‘”๐›ผ dan ๐‘”๐›ฝ sangatlah penting, maka dengan asumsi yang sama untuk sudut ๐›ฝ dan ๐›ผ maka fungsi sudut dipilih sebagai berikut:

๐‘”(๐›ผ) = ๐‘๐‘ ๐‘(๐›ผ) = ( ๐‘๐‘œ๐‘ (๐›ผ))โˆ’1 ๐‘“๐‘œ๐‘Ÿ ๐›ผ > 0 (2.47)

๐‘”(๐›ผ) = ๐‘๐‘œ๐‘ (๐›ผ) ๐‘“๐‘œ๐‘Ÿ ๐›ผ โ‰ค 0, (2.48)

dan

๐‘”(๐›ฝ) = ๐‘๐‘ ๐‘(๐›ฝ) = ( ๐‘๐‘œ๐‘ (๐›ฝ))โˆ’1 ๐‘“๐‘œ๐‘Ÿ ๐›ฝ > 0 (2.49)

๐‘”(๐›ฝ) = ๐‘๐‘œ๐‘ (๐›ฝ) ๐‘“๐‘œ๐‘Ÿ ๐›ฝ โ‰ค 0, (2.50)

Adapun tabel Pseudocode Algoritma AIG sebagai berikut:

Tabel 2. 1 Pseudocode Algoritma AIG (1) Start

(2) Inisialisasi nilai komponen vektor dimana m sebagai ukuran solusi dan n sebagai jumlah variabel

[๐‘ฅ๐‘š0] = [๐‘ฅ๐‘š10 , ๐‘ฅ๐‘š20 โ€ฆ โ€ฆ ๐‘ฅ๐‘š๐‘›0 ]

(3) Tentukan nilai fungsi objektif untuk vektor awal F๐‘œ๐‘๐‘—(๐‘ฅ๐‘š0), F๐‘œ๐‘๐‘—_๐‘๐‘’๐‘ ๐‘ก = ๐‘š๐‘–๐‘› F๐‘œ๐‘๐‘—(๐‘ฅ๐‘š0)

(14)

(4) Tentukan jumlah iterasi i=1

(5) Tentukan nilai kedua sudut koreksi dengan persamaan (2.46 - 2.49) (6) Hitung vektor keputusan atau solusi dengan nilai sudut koreksi

๐‘ฅ๐‘š,๐‘›(๐‘–+1) = ๐‘ฅ๐‘š,๐‘›(๐‘–) . ๐‘”(๐›ผ ๐‘š๐‘›(๐‘–))๐‘”(๐›ฝ๐‘š๐‘›(๐‘–)) (7) Tentukan nilai fungsi objektif F๐‘œ๐‘๐‘—( ๐‘ฅ๐‘š(๐‘–+1))

F๐‘œ๐‘๐‘—( ๐‘ฅ๐‘ž(๐‘–+1)) = min [F๐‘œ๐‘๐‘—( ๐‘ฅ๐‘š(๐‘–+1))]

10 Jika F๐‘œ๐‘๐‘—( ๐‘ฅ๐‘ž(๐‘–+1)) < F๐‘œ๐‘๐‘—_๐‘๐‘’๐‘ ๐‘ก maka substitusi F๐‘œ๐‘๐‘—_๐‘๐‘’๐‘ ๐‘ก = F๐‘œ๐‘๐‘—( ๐‘ฅ๐‘ž(๐‘–+1)) ๐‘‘๐‘Ž๐‘› x๐‘๐‘’๐‘ ๐‘ก= ๐‘ฅ๐‘ž(๐‘–+1)

11 Jika kondisi i + 1 = i๐‘š๐‘Ž๐‘ฅ maka keadaan end (step 12), jika tidak kembali ke langkah 5

12 End

*)Pijarski,2019

2.9 Particle Swarm Optimization

Particle Swarm Optimization (PSO) adalah metode meta-heuristik yang terinspirasi dari alam yaitu perilaku dari kelompok seekor burung, dalam mencari solusi optimal secara global. Pada kecepatan dan posisi dari partikel diperbarui berdasarkan dari pengalaman pribadi dan sosial. Posisi partikel ๐‘ฅ๐‘–1 dapat diwakili sebagai berikut:

๐‘ฅ๐‘– = ๐‘ฅ๐‘–1, ๐‘ฅ๐‘–2, ๐‘ฅ๐‘–๐‘› (2.50)

dan kecepatan partikel ๐‘ฃ๐‘– dapat diwakili sebagai berikut:

๐‘ฃ๐‘– = ๐‘ฃ๐‘–1, ๐‘ฃ๐‘–2, ๐‘ฃ๐‘–๐‘› (2.51)

setiap partikel memiliki memori lokal (pBest) yang menjaga posisi terbaiknya dan memori ini akan dibagikan secara global (gBest) untuk menjaga posisi global terbaiknya yang ditemukan. Hasil ini berpengaruh pada kecepatan terbang setiap partikel dimana menggunakan persamaan berikut:

vi= ฯ‰ ร— vi+ ฯ†1ร— rand ร— (p๐ต๐‘’๐‘ ๐‘กiโˆ’ xi) + ฯ†2 ร— rand ร—

(g๐ต๐‘’๐‘ ๐‘กiโˆ’ xi) (2.52)

(15)

dimana rand adalah variabel random antara [0 1], ฯ†1dan ฯ†2 adalah koefisien percepatan dan ฯ‰ adalah berat partikel. Adapun persamaan update posisi sebagai berikut:

๐‘ฅ๐‘– = ๐‘ฃ๐‘–+ ๐‘ฅ๐‘– (2.53)

(Asta, 2012)

dengan v adalah kecepatan partikel dan x adalah posisi solusi dengan ฯ‰ dicari sebagai berikut:

๐œ” =

2

(2โˆ’(๐œ‘)โˆ’โˆš๐œ‘2โˆ’4๐œ‘) (2.54)

dimana ๐œ‘ = ๐œ‘1+ ๐œ‘2 . Adapun pseudocode PSO sebagai berikut.

Tabel 2. 2 Pseudecode Particle Swarm Optimization 1. Start

2. Initialize parameter 3. Initialize random solusi

4. initialize ๐œ‘1, ๐œ‘2, ๐‘Ÿ1, ๐‘Ÿ2, ฯ‰, ๐‘–๐‘ก๐‘’๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘ ๐‘– ๐‘š๐‘Ž๐‘ฅ, and stop condition 5. menghitung nilai fitness partikel

6. memperbarui nilai Pbest fitness

7. menentukan Gbest dari Pbest terbaik semua partikel 8. update kecepatan untuk tiap partikel

9. update posisi untuk tiap partikel

10. kondisi terpenuhi, jika tidak kembali ke Langkah 5 11. End

*)Robandi,2019

2.10 Momen Inersia

Perlu diketahui bahwa nilai dari momen inersia dari suatu benda tertentu memiliki nilai yang berbanding lurus dengan kuadrat jarak sumbu putarnya dan massa benda tersebut serta memon inerisa sangat bergantung pada jarak benda dari sumbu. Adapun persamaan momen inersia pada sebuah batang tegar homogen yang diputar pada sumbu ditengah batang maka momen inersia dapat dihitung

(16)

๐ผ = 1

12๐‘€๐ฟ2 (2.55)

adapun momen inersia sebuah titik atau partikel yang berotasi terhadap sumbu yang berjarak r dari sumbu rotasi dengan m adalah massa benda maka momen inersianya memenuhi persamaan berikut:

๐ผ = ๐‘š๐‘Ÿ2 (2.56)

(Rosyid, 2015) untuk mengetahui nilai rotasi inersia dari suatu benda terhadap sumbu tertentu yang sumbunya parallel terhadap pusat massa benda yang dimana telah diketahui momen inersia ๐ผ๐‘š benda tersebut maka dengan h adalah jarak dari poros putar baru ke pusat massa benda dan M adalah massa benda maka dapat dicari menggunakan persamaan berikut:

๐ผ = ๐ผ๐‘š + ๐‘€โ„Ž2 (2.57)

jika sebuah sistem mengandung sejumlah partikel maka momen inerisa total ๐ผ sistem tersebut adalah jumlah momen inersia masing masing partikel atau dapat ditulis sebagai berikut:

๐ผ = ๐ผ1+ ๐ผ2+. . . . +๐ผ๐‘›

๐ผ = โˆ‘๐‘›๐‘–=1๐ผ๐‘– (2.58)

(Abdullah, 2016)

momen inersia suatu balok dengan memiliki panjang ๐ฟ, lebar W, tinggi H, M adalah massa M dan ๐ท๐ธ adalah tinggi pusat massa ke titik sumbu putar dan diputar pada tiga buah sumbu putar seperti gambar 2.2 berikut.

(17)

Gambar 2. 2 Balok (Bresciani,2008)

Momen inersia balok dapat dihitung dengan persamaan berikut:

๐ผ๐‘ฅ = 1

12๐‘€(๐‘Š๐ธ2+ ๐ป๐ธ2) + M๐ท๐ธ2 ๐ผ๐‘ฆ = 1

12๐‘€(๐ฟ๐ธ2+ ๐ป๐ธ2) + M๐ท๐ธ2 ๐ผ๐‘ง = 1

12๐‘€(๐ฟ๐ธ2+ ๐‘Š๐ธ2) + M๐ท๐ธ2

(2.59)

(Bresciani,2008)

adapun momen inersia balok miring dengan poros di sumbu y dengan membentuk sudut seperti gambar berikut.

l

ฮฒ

Y

Gambar 2. 3 Balok Dengan Posisi Serong (Panagopoulos,2015)

(18)

๐‘™ adalah Panjang, ๐›ฝ adalah sudut, ๐‘‘ tinggi dan ๐‘ค adalah lebar maka persamaan momen inersia dapat ditulis sebagai berikut:

๐ผ = 1

12๐‘š(๐‘™2๐‘๐‘œ๐‘ 2๐›ฝ + ๐‘‘2๐‘ ๐‘–๐‘›2๐›ฝ + ๐‘ค2) (2.60) (Panagopoulos,2015)

adapun momen inersia balok segi enam dengan poros dipusat balok sebagai berikut.

d a

y

x

Gambar 2. 4 Balok Segi Enam (zanetti,2018)

h adalah tinggi, d adalah jarak pusat massa ke sisi permukaan, a adalah sisi segi enam, b1, b2 dan b3 adalah sumbu putar di pusat massa maka momen

inersianya dapat dihitung dengan persamaan berikut:

๐ผ๐‘๐‘ฅ = ๐ผ๐‘๐‘ฆ = ๐‘Ž2 6 +๐‘‘2

4 +โ„Ž2

12

(2.61)

๐ผ

๐‘๐‘ฆ

= ๐‘Ž

2

6 + ๐‘‘

2

4

(2.62)

(zanetti,2018)

2.11 Mean Absolute Error

Salah satu metode untuk mengevaluasi selisih antara nilai yang dinginkan dengan nilai yang didapatkan adalah dengan menggunakan perhitungan Mean

(19)

๐‘€๐ด๐ธ = 1

๐‘›โˆ‘|๐‘’๐‘–|

๐‘›

๐‘–=1

(2.63)

๐‘› adalah jumlah sampel data, dan |๐‘’๐‘–| adalah nilai mutlak dari selisih antara nlai yang dinginkan dengan nilai aktual (Chai, 2014).

2.12 Estimasi Posisi

Ada benda yang bergerak cepat untuk berpindah posisi dan ada pula yang bergerak lambat, besaran kecepatan menunjukkan seberapa cepat benda berpindah yang dimana didapatkan dengan perbandingan jarak berpindah dan lama waktu untuk melakukan perpindahan yang dimana dapat didefiniskan sebagai berikut:

๐‘ฃ = โˆ†๐‘Ÿ21

โˆ†๐‘ก21 (2.64)

๐‘Ÿ1 adalah jarak awal benda dan ๐‘Ÿ2 jarak kedua benda dan ๐‘ก12 adalah waktu tempuh awal dan kedua. Dengan menggunakan persamaan (2.64) maka persamaan untuk jarak yang ditempuh atau estimasi posisi didapat sebagai berikut:

๐‘ฅ

๐‘›

= ๐‘ฅ

๐‘›โˆ’1

+ ๐‘ฃ

๐‘ฅ๐‘›

(๐‘ก

๐‘›

โˆ’ ๐‘ก

๐‘›โˆ’1

)

(2.65)

๐‘ฅ๐‘› adalah ๐‘Ÿ1 dan ๐‘ฅ๐‘›โˆ’1 adalah ๐‘Ÿ2 dan ๐‘ก๐‘› โˆ’ ๐‘ก๐‘›โˆ’1 adalah ๐‘ก12 (Abdullah, 2016) (Indrawati, 2015).

(20)

2.13 Posisi Penelitian

Posisi penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini yang dilakukan sebagai gambaran utama dalam tugas akhir yang akan dilakukan dapat ditunjukkan pada tabel 2.3 berikut:

Tabel 2. 3 Posisi Penelitian No Nama Penulis dan

Tahun Publikasi Judul Penelitian Hasil 1.

Chalidia Nurin Hamdani (2017)

Perancangan Autonomous Vtol Pada Quadcopter Dengan

Menggunakan Feedback Linear ization Dan Fuzzy Takagisugeno

Control pada pada gerak vertikal dengan menggunakan controller fuzzy mampu membuat respon VTOL quadcopter mengikuti sinyal

referensi yang diberikan serta error jalur yang kecil.

2. SimonLindblom (2017)

Modelling and Control of a hexarotor UAV

Formulasi MPC untuk mencakup pelacakan referensi, penilaian membuktikan bahwa model tersebut layak tetapi membutuhkan evaluasi yang lebih ketat untuk menjamin kinerja yang baik. Pengontrol MPC menunjukkan kinerja yang

menjanjikan dibandingkan dengan pengontrol lain dengan respon tracking yang lebih baik.

3 Johan Fogelberg (2013)

Navigation and Autonomous Control of a Hexacopter in Indoor Environments

Strategi kontrol untuk gerakan vertikal dan horizontal menggunakan kontroler PID memiliki hasil

Keterlambatan waktu yang besar dalam proses tracking sehingga nilai error tracking cukup besar dan juga menyebabkan menurunkan estimasi posisi yang diinginkan dan kontrol.

4 Emre Can Suicmez (2014)

Trajectory Tracking Of A Quadrotor

Unmanned Aerial Vehicle (Uav) Via Attitude And Position Control

Dari lintasan dicoba untuk diikuti oleh setiap pengontrol dan hasil simulasi pengontrol

dibandingkan satu sama lain didapatkan bahwa pengontrol LQT dapat melacak relatif

lintasan yang kompleks lebih akurat dan efisien dibandingkan dengan backstepping dan

pengontrol LQR.

(21)

No Nama Penulis dan

Tahun Publikasi Judul Penelitian Hasil

5 Dwi Jaka Krisna M. (04161020)

Perancangan Controller Algorithm Of Innovative Gunner

(AIG) Pada Hexacopter Untuk Kontrol Automatic

Landing

Didapatkan hasil pengendali AIG memiliki performa yang lebih baik dari pada pengendali PSO dalam melakukan automatic landing hexacopter disemua ketinggian dengan hasil eror rata-rata yang lebih kecil dari hasil nilai eror rata-rata pengendali PSO.

(22)

Halaman Sengaja Dikosongkan

Referensi

Dokumen terkait

4 | 2020 23 MUSEUM EXHIBITIONS | THEME On 18 September, Claire Browning presented an online seminar on the Boonstra Diorama Digital Reconstruction Project for the Geological Society

Momentum sudut sebuah flywheel mempunyai inersia rotasi 0,140 kg m2 terhadap sumbu pusatnya, berkurang dari 3,00 menjadi 0,800 kg m2/detik dalam 1,5 detik a Berapa magnitudo rata-rata