BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gedung
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002, bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian ataupun tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus.
Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, sosial, usaha dan budaya, serta fungsi khusus. Bangunan gedung fungsi hunian, meliputi bangunan untuk rumah tinggal, rumahi tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara. Bangunan fungsi keagamaan, meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng. Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya, meliputi bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum. Bangunan gedung fungsi usaha, meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan penyimpanan. Bangunan gedung fungsi khusus, meliputi bangunan gedung untuk reakitor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri. Lebih dari satu fungsi dapat dimiliki oleh satu gedung.
2.2 Gedung Multi Story
Bangunan banyak atau multi story building secara umum dikategorikan dalam tiga kelompok. Bangunan bertingkat rendah (low rise building), adalah bangunan dengan ketinggian 2-4 lantai. Bangunan bertingkat sedang (medium rise bulidng) adalah bangunan dengan ketinggian antara 5–8 lantai. Bangunan bertingkat tinggi (high rise building) adalah bangunan dengan ketinggian lebih dari 8 lantai. Dipengaruhi kekuatan lateral akibat angin atau gempa bumi atau keduanya sehingga mereka memainkan peranan penting dalam desain struktur.
2.3 Material Kayu
Kayu adalah bahan yang kita dapatkan dari tumbuh-tumbuhan (dalam) alam dan termasuk vegetasi hutan. Tumbuhan-tumbuhan yang dimaksud adalah pohon- pohonan (trees). Kayu memiliki empat unsur yang esensial bagu manusia antara lain:
1. Selulosa, unsur ini merupakan komponen terbesar pada kayu, meliputi
±70% berat kayu. Salah satu bahan yang dapat diperoleh dari selulosa adalaha Alpha-selulosa yang merupakan dasar utama pembuatan kertas, tekstil, plastic bahkan bahan peledak.
2. Lignin, merupakan komponen kayu yang melapisi 18%-28% dari berat kayu. Komponen tersebut bertugas sebagai pengikat satuan strukturil kayu dan memberikan sifat keteguhan kepada kayu.
3. Bahan-bahan ekstrasi, komponen pembentuk kayu ini memberikan sifat- sifat tertentu pada kayu seperti: bau, warna, rasa dan keawetan. Selain itu, karena adanya bahan ekstrasi ini, maka dari kayu bisa didapatkan hasil yang lain misalnya: tannin, zat warna, minyak, getah, lemak, malam, dan lain sebagainya.
4. Mineral pembentuk abu, komponen ini tertinggal setelah lignin dan selulosa terbakar habis. Banyaknya komponen ini ±0,2% - 1% dari berat kayu.
Pada umumnya keuntungan dan kerugian dari kayu sebagai bahan konstruksi adalah sebagai berikut:
1. Keuntungan:
a. Relatif mempunyai kekuatan yang tinggi, dan berat sendiri yang rendah;
b. Memiliki daya tahan yang cukup tinggi terhadap pengaruh kimia dan listrik;
c. Mudah dikerjakan;
d. Relatif murah dan mudah didapat (di Indonesia), Mudah diganti dalam waktu singkat
2. Kerugian
a. Kurang homogennya dengan cacat-cacat alam seperti arah serat yang membentuk penampang, spiral dan diagonal, mata kayu dan lain sebagainya. Homogenitas (sifat keserbasamaan) artinya tiap-tiap bagian mempunyai sifat fisik yang sama;
b. Daya muai dan susut yang besar;
c. Kurang awet;
d. Pada pembebanan jangka panjang, lendutan cukup besar.
2.3.1 Kayu Laminasi (Glulam)
Glulam atau adalah Glued Laminated Timber susunan beberapa lapis kayu direkatkan satu sama lain secara sempurna menjadi satu kesatuan tanpa terjadi diskontinuitas perpindahan tempat (Gurdal et al., 1999) Sulistyawati dalam et al., 2009). Glulam seringkali dipromosikan mempunyai sifat mekanis yang lebih baik daripada kayu solid karena dua alasan yaitu: 1) lamina dapat diatur sehingga yang terlemah digunakan sebagai lapisan inti (core), 2) cacat kayu pada lamina dapat didistribusikan sehingga tidak terkumpul pada satu titik. Untuk tujuan penghematan kayu pada pembuatan glulam dipakai penampang ekonomis berdasarkan konsep tegangan balok terlentur seperti Gambar 2.1. Diagram tersebut menunjukkan serat terluar mengalami tegangan tekan maksimum akibat beban lentur pada balok lamina, sebaliknya pada bagian bawah mengalami tegangan tarik maksimum.
Sedangkan pada bagian tengah (garis netral) tidak terjadi tegangan tekan maupun tarik, jadi semakin mendekati garis netral tegangan semakin kecil. Oleh karena itu pada bagian tersebut dapat menggunakan jenis kayu yang memiliki kerapatan maupun kekuatan yang rendah, dengan kata lain kayu yang bermutu tinggi ditempatkan pada bagian sisi terluar balok lamina (Siddiq, 1989).
Gambar 2.1 Diagram tegangan lentur balok
Di Indonesia, penelitian mengenai kayu lamina skala laboratorium sudah banyak dilakukan di antaranya Karnasudirdja (1989) yang telah meneliti kayu lamina yang terbuat dari kayu kapur, meranti merah dan jati berukuran 5 cm x 5 cm x 90 cm dengan menggunakan perekat phenol formaldehida (PF). Hasilnya menunjukkan bahwa glulam dari ketiga jenis kayu tersebut tidak mengalami penurunan kekuatan dibandingkan dengan kayu utuhnya. Selanjutnya Abdurachman dan Hadjib (2005) telah meneliti kayu lamina campuran dari jenis kayu bipa dan khaya berukuran 5 cm x 5 cm x 70 cm yang disusun berdasarkan nilai (MOE) Modulus of Elastisity papan lamina dan direkat dengan perekat phenol resorsinol formaldehida (PRF). Hasilnya menunjukkan bahwa berdasarkan kelas kekuatan kayu Indonesia dan tegangan kayu yang diperkenankan menurut PKKI 1961, kayu lamina yang diteliti tergolong kayu kelas III – II.
Gambar 2.2 a) Laminasi vertikal dan b) Laminasi horisontal
Terminologi “kayu glulam struktural” mengacu pada rekayasa teknik, produk pemilahan tegangan dari kilang laminasi kayu, meliputi perakitan dari kayu laminasi yang dipilih dan dipersiapkan secara khusus dan digabung menggunakan
b) a)
perekat. Serat seluruh laminasi kira-kira sejajar dalam arah longitudinal. Ketebalan bersih masing-masing lamina tidak melampaui 50 mm dan terdiri dari:
1. Satu lamina.
2. Lamina-lamina yang disatukan ujung-ke-ujung membentuk panjang tertentu.
3. Lamina-lamina diletakkan atau direkatkan tepi-ke-tepi untuk membentuk lebar tertentu.
4. Lamina-lamina dibengkokkan selama proses perekatan untuk mendapatkan bentuk lengkung.
2.3.2 Sifat Fisik Kayu Lamina (Glulam)
Sifat fisik atau makroskopis adalah sifat yang dapat diketahui secara jelas melalui panca indera, baik dengan penglihatan, penciuman, perabaan dan sebagai nya tanpa menggunakan alat bantu. Adapun sifat-sifat Fisik Kayu, yaitu:
1. Kandungan Air
Air yang terdapat pada batang kayu tersimpan dalam dua bentuk, yaitu air bebas yang terletak diantara sel-sel kayu dan air ikat yang terletak pada dinding sel. Ketika batang kayu mulai diolah, kandungan air pada batang berkisar antara 40% hingga 300%. Setelah ditebang dan mulai diolah, kandungan air mulai bergerak keluar. Suatu kondisi dimana air bebas sudah habis sedangkan air iikat masih jenuh dinamakan titik jenuh serat. Kandungan air pada saat titik jenuh serat berkisar antara 25% hingga 30%. Pada lingkungan yang memiliki kelembaban udara yang stabil, maka kandungan air pada kayu juga akan cenderung tetap, kondisi kandungan air pada kayu yang tetap ini dapat disebut sebagai kadar air imbang (equilibrium moisture content).
2. Kepadatan Kayu
Kepadatan kayu dinyatakan sebagai berat per unit volume. Pengukuran kepadatan ditujukkan untuk mengetahui porositas atau persentase rongga pada kayu. Kepadatan dan volume sangat bergantung pada kandungan air.
Cara menghitung kepadatan suatu jenis kayu adalah dengan cara membandingkan antara berat kering kayu dengan volume basah.
3. Berat Jenis Kayu
Berat jenis adalah perbandingan antara kepadatan kayu dengan kepadatan air pada volume yang sama. Kayu terdiri dari bagian padat (sel kayu), air, dan udara. Ketika kayu dimasukkan ke dalam oven atau dikeriingkan, maka volume kayu yang tetap tinggal adalah volume bagian padat dan volume udara saja sedangkan airnya sudah menguap. Berat jenis kayu memiliki korelasi positif dengan kekuatan kayu.
4. Warna
Kayu yang memiliki berbagai macam warna itu disebabkan oleh zat pengisi warna dalam kayu yang berbeda-beda.
5. Tekstur
Tekstur adalah ukuran relatif sel-sel kayu. Berdasarkan terkturnya, kayu digolongkan ke dalam jenis kayu bertekstur halus, kayu bertekstur sedang, dan kayu bertekstur kasar.
6. Arah Serat
Arah serat adalah arah umum sel-sel kayu terhadap sumbu batang pohon.
Arah serat dapat dibedakan menjadi serat lurus, serat perpadu, serat berombak, serta terpilin dan serat diagonal atau serat miring.
7. Kesan Raba
Kesan raba adalah kesan yang diperoleh pada saat meraba permukaan kayu (kasar, halus, licin, dingin, berminyak). Kesan raba untuk setiap jenis kayu berbeda-beda tergantung dari tekstur kayu, kadar air, kadar zat ekstraktif dalam kayu.
8. Cacat Kayu
Cacat atau kerusakan kayu dapat mengurangi kekuatan dan bahkan kayu yang cacat tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai bahan konstruksi. Cacat kayu yang sering terjadi antara lain adalah retak, mata kayu, dan kemiringan serat.
9. Keawetan Kayu
Keawetan kayu adalah lamanya kayu dapat dipakai (umur pemakaian kayu).
Keawetan kayu dipengaruhi oleh karakteristik kayu dan lingkungan.
Berdasarkan keawetannya jenis kayu digolongkan ke dalam kelas-kelas awet.
Di Indonesia diadakan lima kelas awet, yaitu I (sangat baik), II (baik), III (cukup), IV (kurang baik), dan V (tidak baik).
Nilai rata-rata kadar air dan kerapatan glulam disajikan pada Tabel 2.1. Kadar air glulam berkisar antara 13-16,8% dengan rata-rata 14,6%. Pada umumnya glulam yang dibuat memenuhi persyaratan kadar air (<15%), (JAS, 2007) kecuali glulam yang dibuat dari mangium tanpa diawetkan, trembesi diawetkan maupun tanpa diawetkan. Kadar air balok lamina sangat dipengaruhi oleh kadar air kayu penyusunnya. Kadar air kayu jati (JUN) yang masih sangat muda (5 tahun), lebih cepat mengering dibandingkan kayu trembesi dan mangium. Pada kayu yang masih muda, dinding selnya lebih tipis, kemampuan mengikat airnya juga lebih rendah (Haygreen & Bowyer, 1982). Nilai rata-rata kerapatan glulam yang dibuat berkisar antara 0 557-0 821 g/cm dengan rata-rata 0 658 g/cm . terlihat bahwa , Pada Tabel 2.1 hanya glulam dari jati-trembesi (diawetkan dan tanpa diawetkan) dan trembesi- trembesi yang tidak memenuhi standard (JAS, 2007). Jepang Sementara itu sifat glulam sangat ditentukan oleh sifat kayu penyusunnya.
Tabel 2.1 Nilai rata-rata kadar air dan kerapatan glulam
2.3.3 Sifat Mekanik Kayu Lamina (Glulam)
Sifat mekanik kayu adalah sifat yang berhubungan dengan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang membebani kayu. Kayu mempunyai beberapa sifat mekanik, yaitu sebagai berikut:
1. Kekuatan Tarik (𝐹𝑡)
Kekuatan tarik kayu adalah kemampuan kayu untuk menahan beban tarik.
Kekuatan tarik ini dibedakan menjadi kekuatan tarik sejajar serat dan kekuatan tarik tegak lurus serat untuk mendapatkan properti material kuat tarik arah sejajar serat kayu, diperlukan pengujian dengan instrumen UTM (Universal Testing Machine) dan LVDT (Linear Variable Differential Transformer atau Displacement Transduscer). Kuat tarik arah sejajar dan kuat tarik arah tegak lurus serat dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut pada Persamaan 2.1.
(𝐹𝑡) = 𝑃/𝐴
(2.1) Keterangan :
𝑃 = beban uji maksimum [N], 𝐴 = luas benda uji [mm2].
2. Kekuatan Tekan (𝐹𝑐)
Kekuatan tekan kayu adalah kemampuan kayu untuk menahan beban tekan.
Sama halnya dengan uji kekuatan tarik, uji ini pun dibedakan menjadi uji kekuatan tekan sejajar serat dan uji kekuatan tekan tegak lurus serat.
Spesimen yang digunakan dibedakan menjadi batang pendek dan batang panjang. Uji tekan kayu arah sejajar serat, untuk mendapatkan properti kuat tekan kayu dan ratio poisson. Diperlukan minimal empat buah LVDT, yang berfungsi untuk mengukur tiap sisinya. Uji kuat tekan kayu arah tegak lurus serat, untuk mendapatkan properti kuat tekan kayu. Kuat tekan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut pada Persamaan 2.2.
(𝐹𝑐) = 𝑃/𝐴 (2.2)
Keterangan :
𝑃 = beban uji maksimum [N],
𝐴 = luas benda uji [mm2].
3. Kekuatan Lentur (𝐹𝑐)
Sifat mekanis yang penting dalam perencanaan pemanfaatan kayu untuk bahan struktural adalah MOE, MOR dan keteguhan tekan sejajar serat . Nilai rata- rata hasil pengujian sifat mekanis glulam yang dibuat dari kayu jati, mangium dan trembesi dengan perekat isosianat disajikan pada Tabel 2.2.
Nilai rata-rata modulus elastisitas glulam yang diuji berkisar antara 37.016- 120.446 kg/cm2 dengan rata-rata 75.251 kg/cm2 sedangkan keteguhan lentur patahnya (MOR) berkisar antara 145-750 kg/cm2 dengan rata-rata 494 kg/cm2.
Secara umum, glulam yang dibuat dapat memenuhi standard Jepang (JAS, 2007), kecuali glulam jati-trembesi dan trembesi-trembesi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengawetan tidak menyebabkan perbedaan nyata pada MOE, sedangkan posisi pengujian (berdiri dan tidur), menyebabkan perbedaan MOE. MOE glulam pada posisi berdiri lebih tinggi dari pada posisi tidur.
Modulus of Rupture (MOR) merupakan kemampuan benda untuk menahan beban lentur maksimum sampai benda tersebut mengalami kerusakan. Berdasarkan persyaratan MOR dan keteguhan tekan sejajar serat glulam JAS (2007), maka glulam yang dibuat memenuhi standard mutu glulam struktural. Seperti halnya MOE tergolong kelas E 65-F225 E95-F270.
Nilai rata-rata keteguhan geser blok glulam yang diteliti berkisar antara 22,0- 64,2 kg/cm2 dengan rata-rata 38,4 kg/cm2 . Berdasarkan Tabel 2.2, terlihat bahwa semua glulam baik yang dibuat sejenis maupun dari campuran jenis jati, mangium dan trembesi memenuhi standard JAS (2007). Akan tetapi berdasarkan kemudahannya untuk direkat, kayu mangium, jati dan trembesi yang diawetkan menunjukkan kelas baik (good), sedangkan yang tidak diawetkan good kurang baik Tabel 2.3.
Keteguhan geser blok yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai nilai rata-rata yang lebih tinggi dari pada hasil penelitian Putra et al., (2007), dimana keteguhan geser blok kayu lamina kamper yang direkat dengan epoxy, yaitu sebesar 32,5 kg/cm2. Sementara hasil penelitian keteguhan rekat kayu dari limbah
pembalakan dengan perekat tanin resorsinol formaldehida sebesar 15 kg/cm2 (Malik dan Santoso, 2005). Menurut Abdurachman et al. (2007), keteguhan rekat kayu karet dan gmelina dengan perekat PRF, masingmasing sebesar 15-39 dan 20- 31 kg/cm2, sedangkan menurut Sulistyawati et al. (2007) keteguhan rekat glulam mangium yang direkat dengan polyurethane hasilnya antara 100-113,6 kg/cm2.
Tabel 2.2 Nilai rata-rata hasil pengujian sifat mekanis glulam
Nilai rasio kekuatan kayu terhadap berat (strength to weight ratio) suatu bahan, dapat strength to weight ratio digunakan sebagai bahan pertimbangan pemanfaatannya untuk konstruksi. Nilai rasio kekuatan glulam yang dibuat terhadap beratnya dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Berdasarkan kelas kuat dan rasio S/W glulam yang dibuat, dapat dikatakan bahwa semua glulam yang dibuat dapat dimanfaatkan untuk konstruksi kecuali glulam jati-trembesi (diawet maupun tidak) dan trembesi. Ke tiga jenis glulam tersebut dapat dimanfaatkan untuk konstruksi yang tidak mensyaratkan kekuatan.
Tabel 2.3 Keteguhan geser blok balok lamina
Tabel 2.4 Rasio kekuatan terhadap berat glulam yang diteliti
2.3.4 Dimensi Standar
Standar normal lebar bersih komponen glulam stuktural diunjukkan pada Tabel 2.5. Spesifikasi ini tidak dimaksudkan untuk melarang lebar bersih lainnya bila diperlukan untuk memenuhi persyaratan desain atau khusus lainnya. Panjang dan dimensi neto dari seluruh komponen struktur harus ditentukan. Tambahan dimensi yang diperlukan untuk komponen non-prismatik harus ditentukan.
Tabel 2.5 Lebar Akhir Neto Kayu Struktural, mm
(Sumber: SNI 7973:2013)
2.3.5 Kondisi Layan
Nilai desain acuan untuk kondisi layan kering berlaku apabila kadar air dalam masa layan kurang dari 16%, seperti umumnya pada struktur terlindung. Nilai desain acuan untuk kayu glulam harus dikalikan dengan faktor layan basah, CM, seperti yang ditentukan pada Tabel 2.6 dan Tabel 2.7 apabila kadar air pada masa layan adalah lebih besar dari 16%, seperti yang mungkin terjadi pada konstruksi eksterior atau terendam, atau lingkungan yang lembab.
2.3.6 Kondisi Layan
Nilai desain acuan untuk glulam struktural dari kayu berdaun jarum dan kayu berdaun lebar dapat ditentukan pada Tabel 2.6 dan Tabel 2.7. Nilai desain acuan pada tabel tersebut merupakan kompilasi nilai desain acuan yang diperlukan pada acuan Spesifikasi pada catatan kaki tabel.
Tabel 2.6 Nilai Desain Acuan Untuk Glulam Struktural Kayu Berdaun Jarum
Tabel 2.7 Nilai Desain Acuan Untuk Glulam Struktural Kayu Berdaun Lebar
(Sumber: SNI 7973:2013)
2.4 Batang Tekan (Kolom)
Batang tekan adalah salah satu komponen struktur yang berfungsi untuk menyalurkan gaya-gaya dalam (aksial) berupa tekan. Elemen struktur dengan fungsi utama mendukung beban tekan sering dijumpai pada struktur rangka atau frame. Pada struktur frame, elemen struktur ini lebih dikenal dengan kolom.
Perilaku tekuk dipengaruhi oleh nilai kelangsingan kolom, yaitu nilai banding antara panjang efektif kolom dengan jari-jari girasi penampang kolom. Apabila nilai kelangsingan sangat kecil atau kolom pendek, maka serat-serat kayu pada penampang kolom akan gagal tekan (crushing failure). Tetapi bila angka kelangsingan kolom sangat tinggi atau kolom langsing, maka kolom akan mengalami kegagalan tekuk dan serat-serat kayu belum mencapai kuat tekannya atau bahkan masih ada pada kondisi elastik (lateral buckling failure). Kebanyakan kolom memiliki nilai kelangsingan diantara kedua nilai ekstrim tersebut atau dapat disebut intermediate column.
2.4.1 Perencanaan Kolom
Perencanaan kekuatan komponen struktur tekan berdasarkan SNI 7973:2013, menggunakan Persamaan 2.3 sebagai berikut:
𝑃𝑢 < 𝑃′ (2.3) Dengan 𝑃𝑢 adalah gaya dalam (aksial) tekan terfaktor dan 𝑃′ adalah gaya tekan terkoreksi. Gaya aksial tekan terkoreksi dihitung dengan menggunakan Persamaan 2.4 sebagai berikut:
𝑃′ = 𝐹𝑐′× 𝐶𝑝× 𝐴 (2.4)
Dengan 𝐹𝑐′ dihitung menggunakan Persamaan 2.5 sebagai berikut:
𝐹𝑐′ = 𝐹𝑐× 𝜆 × ϕ𝑐 × 𝐾𝐹× 𝐶𝑀× 𝐶𝑖 × 𝐶𝑡× 𝐶𝐹× 𝐶𝑃 (2.5) Keterangan:
𝐹𝑐′ = Kekuatan tekan terkoreksi 𝐴 = Luas penampang batang kayu.
𝐶𝑀 = Faktor layan basah.
𝐶𝑖 = Faktor tusuk untuk kayu dimensi.
𝐶𝑡 = Faktor temperatur.
𝐶𝐹 = Faktor ukuran untuk kayu gergajian.
𝐾𝐹 = Faktor konversi format.
𝜆 = Faktor efek waktu.
ϕ𝑐 = Faktor ketahanan tekan.
𝐹𝑐 = Nilai desain tekan 𝐶𝑃 = Faktor stabilitas kolom.
2.4.2 Panjang Efektif Kolom
Panjang kolom tak terkekang atau panjang bagian kolom tak terkekang (𝐿) harus diambil sebagai jarak pusat antar pusat pengekang lateral. Panjang efektif kolom untuk arah yang ditinjau harus diambil sebagai 𝐾𝑒𝐿, dimana 𝐾𝑒 adalah faktor panjang tekuk untuk komponen struktur tekan. 𝐾𝑒 tergantung pada kondisi ujung kolom dan ada atau tidak adanya goyangan.
Untuk kolom tanpa goyangan pada arah yang ditinjau, faktor panjang tekuk (𝐾𝑒) harus diambil sama dengan satu kecuali jika analisis memperlihatkan bahwa kondisi kekangan ujung kolom memungkinkan digunakannya faktor panjang tekuk yang lebih kecil daripada satu. Nilai 𝐾𝑒 untuk beberapa jenis kondisi kekangan
ujung dan untuk keadaan dengan goyangan serta tanpa goyangan dapat ditentukan menggunakan hubungan pada Gambar 2.3 sebagai berikut.
Sumber : Wood Design Structures, 2003
Gambar 2.3 Nilai 𝑲𝒆 untuk Beberapa Jenis Kekangan Ujung
Nilai faktor panjang tekuk (𝐾𝑒) struktur tekan dapat dilihat pada Tabel 2.8 sebagai berikut:
Tabel 2.8 Nilai Faktor Panjang Tekuk (𝑲𝒆) Struktur Tekan
Kolom No : 1 2 3 4 5 6
Teoritis 0,50 0,70 1,00 1,00 2,00 2,00 Disarankan 0,65 0,80 1,00 1,20 2,10 2,40 Sumber : Wood Design Structures, 2003
Rasio kelangsingan batang tekan (kolom) dapat dihitung dengan Persamaan 2.6 sebagai berikut:
Kelangsingan = 𝐾𝑒𝐿
𝐷 (2.6)
Dengan 𝐾𝑒 adalah faktor panjang tekuk kolom, 𝐿 adalah panjang kolom, dan 𝐷 adalah sisi bujur sangkar.
2.5 Batang Lentur (Balok)
Balok atau komponen struktur lentur adalah salah satu komponen struktur yang berfungsi untuk menyalurkan gaya-gaya dalam, khususnya momen lentur dan geser. Balok pada umumnya merupakan komponen struktur utama bangunan yang berfungsi menyalurkan beban-beban dari pelat lantai ke kolom. Umumnya, bentuk penampang persegi, lebar balok lebih pendek daripada tinggi balok. Dalam pemasangannya, dimensi penampang yang lebih besar tersebut diposisikan sebagai
tinggi balok untuk mendapatkan kekuatan balok yang lebih baik, dalam hal ini inersia penampang untuk me mikul beban vertikal akan lebih tinggi.
2.5.1 Perencanaan Balok untuk Kekuatan Lentur
Batang lentur direncanakan untuk dapat mendukung gaya momen lentur seperti pada Persamaan 2.7 berdasarkan SNI 7973:2013 sebagai berikut:
𝑀𝑢 < 𝑀′ (2.7)
Dengan 𝑀𝑢 adalah momen lentur terfaktor dan 𝑀′ adalah momen lentur terkoreksi.
Momen atau tegangan lentur actual dalam hal ini tidak boleh mel’;ebihi nilai desain terkoreksi. Momen lentur terkoreksi dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 2.8 sebagai berikut:
𝑀′ = 𝐹𝑏′× 𝑆 (2.8)
Dengan 𝐹𝑏′ dihitung menggunakan Persamaan 2.9 sebagai berikut:
𝐹𝑏′ = 𝐹𝑏× 𝜆 × ϕ𝑏× 𝐾𝐹× 𝐶𝑀 × 𝐶𝑖 × 𝐶𝑡× 𝐶𝐹× 𝐶𝐿× 𝐶𝑓𝑢 (2.9) Keterangan:
𝐹𝑏′ = Kekuatan lentur terkoreksi
𝑆 = Modulus penampang elastic balok kayu.
𝐶𝑀 = Faktor layan basah.
𝐶𝑖 = Faktor tusuk untuk kayu dimensi.
𝐶𝑡 = Faktor temperatur.
𝐶𝐹 = Faktor ukuran untuk kayu gergajian.
𝐾𝐹 = Faktor konversi format.
𝜆 = Faktor efek waktu.
ϕ𝑏 = Faktor ketahanan lentur.
𝐹𝑏 = Nilai desain lentur.
𝐶𝐿 = Faktor stabilitas balok.
𝐶𝑓𝑢 = Faktor penggunaan rebah.
2.5.2 Perencanaan Balok untuk Kekuatan Geser
Perencanaan balok untuk kekuatan geser berdasarkan SNI 7973:2013 menggunakan Persamaan 2.10 sebagai berikut:
𝑉𝑢 < 𝑉′ (2.10)
Dengan 𝑉𝑢 adalah gaya geser terfaktor dan 𝑉′ adalah gaya geser terkoreksi. Gaya geser atau tegangan actual dalam hal ini tidak boleh melebihi nilai desain terkoreksi.
Gaya geser terkoreksi dapat dihitung dengan mengggunakan Persamaan 2.11 sebagai berikut:
𝑉′ = 𝐹𝑉
′×𝐼𝑥×𝑏
𝑄 (2.11)
Dengan 𝐹𝑉′ dihitung menggunakan Persamaan 2.12 sebagai berikut:
𝐹𝑉′ = 𝐹𝑣× 𝜆 × ϕ𝑣× 𝐾𝐹× 𝐶𝑀× 𝐶𝑖× 𝐶𝑡× 𝑓𝑠𝑒 (2.12) Keterangan:
𝐹𝑉′ = Kekuatan geser terkoreksi
𝑄 = Statis momen penampang balok kayu.
𝐶𝑀 = Faktor layan basah.
𝐶𝑖 = Faktor tusuk untuk kayu dimensi.
𝐶𝑡 = Faktor temperatur.
𝐾𝐹 = Faktor konversi format.
𝜆 = Faktor efek waktu.
ϕ𝑉 = Faktor ketahanan geser.
𝐹𝑉 = Nilai desain geser.
𝑓𝑠𝑒 = Nilai 2/3 untuk balok dengan bentuk penampang persegi panjang dan Nilai 3/4 untuk bentuk penampang lingkaran.
2.5.3 Persyaratan Lendutan
Selain mengalami lenturan dan geser, batang lentur juga menderita lendutan.
Lendutan pada batangi lentur dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan tegangan. Batang lentur pada sistem lantai diharuskan memiliki lendutan yang kecil untuk menghindari adanya keretakan pada penutup lantai seperti keramik. Sehingga pada beberapa jenis struktur tertentu sering kali dimensi penampang balok
ditentukan oleh pembatasan nilai lendutan tidak oleh tegangan lentur. Lendutan sebuah batang lentur ditentukan oleh banyak faktor, seperti gaya-gaya luar yang bekerja, bentang balok, momen inersia penampang, dan modulus elastisitas lentur terkoreksi. Lendutan vertikal balok atau disebut dengan deformasi, dapat dihitung dengan teori mekanika bahan. Lendutan balok statis tertentu untuk berbagai tipe pembebanan dalam hal ini adalah lendutan maksimum untuk balok sederhana dapat dihitung dengan Persamaan 2.13 sebagai berikut:
𝑀𝑎𝑥 ∆ = (5×𝑞×𝐿4
384×𝐸𝐼) (2.13)
Modulus elastisitas lentur terkoreksi merupakan hasil perkalian antara modulus elastisitas lentur dengan faktor koreksi.
Persyaratan batasan izin untuk lendutan bergantung pada standar peraturan yang digunakan ketika perencanaan. Peraturan kayu Indonesia SNI 7973:2013 batasan lendutan izin balok atau batas lendutan maksimum secara spesifik tidak dicantumkan. Oleh karena itu, sebagai contoh digunakan batasan lendutan balok dari SNI 03-1729:2002 untuk balok biasa dengan beban tetap, maka lendutan izin atau lendutan maksimum adalah L/300. Parameter L dalam hal ini adalah panjang bentang balok kayu.
2.6 Faktor Koreksi untuk Perencanaan Balok dan Kolom
Faktor-faktor koreksi untuk perencanaan balok dan kolom didasarkan pada peraturan kayu SNI 7973:2013. Faktor-faktor koreksi akan diuraikan sebagai berikut.
1. Faktor Layan Basah (𝐶𝑀)
Faktor layan basah dapat dilihat pada Tabel 2.9 sebagai berikut. Kayu dengan kondisi kering memiliki nilai faktor layan basah (𝐶𝑀) sebesar 1,0.
Tabel 2.9 Faktor Layan Basah (𝑪𝑴) 𝐹𝑏 𝐹𝑡 𝐹𝑉 𝐹𝑐⊥ 𝐹𝑐 𝐸 𝑑𝑎𝑛 𝐸𝑚𝑖𝑛
0,85* 1,00 0,97 0,67 0,80** 0,9 Sumber : SNI 7973:2013
2. Faktor Tusukan (𝐶𝑖)
Faktor tusukan kayu dapat dilihat pada Tabel 2.10 sebagai berikut.
Tabel 2.10 Faktor Tusukan (𝑪𝒊) Nilai Desain 𝐶𝑖
𝐸 𝑑𝑎𝑛 𝐸𝑚𝑖𝑛 0,95 𝐹𝑏, 𝐹𝑡, 𝐹𝑐, 𝐹𝑣 0,80 𝐹𝐶⊥ 1,00 Sumber : SNI 7973:2013
3. Faktor Temperatur (𝐶𝑡)
Faktor temperatur dapat dilihat pada Tabel 2.11 sebagai berikut.
Tabel 2.11 Faktor Temperatur (𝑪𝒕) Nilai Desain
Acuan
Kondisi Kadar Air Layan
𝐶𝑡
𝑇 ≤ 38°𝐶 38°𝐶 < 𝑇 ≤ 52°𝐶 52°𝐶 < 𝑇 ≤ 65°𝐶
𝐹𝑡, 𝐸, 𝐸𝑚𝑖𝑛 Basah atau Kering 1,0 0,9 0,9
𝐹𝑏, 𝐹𝑣, 𝐹𝑐, 𝐹𝑐⊥ Kering 1,0 0,8 0,7
Basah 1,0 0,7 0,5
Sumber : SNI 7973:2013
4. Faktor Temperatur (𝐾𝐹)
Faktor konversi format dapat dilihat pada Tabel 2.12 sebagai berikut.
Tabel 2.12 Faktor Konveksi (𝑲𝑭)
Aplikasi Properti 𝐾𝐹
Komponen Struktur
𝐹𝑏 2,54
𝐹𝑡 2,70
𝐹𝑣, 𝐹𝑟𝑡, 𝐹𝑠 2,88
Komponen Struktur
𝐹𝑐 2,40
𝐹𝑐⊥ 1,67
𝐸𝑚𝑖𝑛 1,76
Semua Sambungan (Semua Nilai Desain) 3,32 Sumber : SNI 7973:2013
5. Faktor Efek Waktu (𝜆)
Faktor efek waktu dapat dilihat pada Tabel 2.13 sebagai berikut.
Tabel 2.13 Faktor Efek Waktu (𝝀)
Kombinasi Beban 𝜆
1,4(D+F) 0,6
1,2(D+F) + 1,6(H) + 0,5(Lr atau R) 0,6
1,2(D+F) + 1,6(L+H) + 0,5(Lr atau R)
0,7 apabila L adalah gudang 0,8 apabila L adalah hunian 1,25 apabila L adalah impak 1,2(D) + 1,6(Lr atau R) atau (Lr atau 0,8W) 0,8
1,2D + 1,6W + L + 0,5 (Lr atau R) 1,0
1,2D + 1,0E + L 1,0
0,9 + 1,6W + 1,6H 1,0
0,9 + 1,0E + 1,6H 1,0
Sumber : SNI 7973:2013
6. Faktor Ketahanan (ϕ)
Faktor ketahanan dapat dilihat pada Tabel 2.14 sebagai berikut.
Tabel 2.14 Faktor Ketahanan (𝛟)
Aplikasi Properti Simbol 𝐾𝐹
Komponen Struktur
𝐹𝑏 ϕ𝑏 0,85
𝐹𝑡 ϕ𝑡 0,80
𝐹𝑣, 𝐹𝑟𝑡, 𝐹𝑠 ϕ𝑣 0,75 𝐹𝑐, 𝐹𝑐 ϕ𝑐 0,90
𝐸𝑚𝑖𝑛 ϕ𝑠 0,85
Semua Sambungan (Semua Nilai Desain) ϕ𝑧 0,65 Sumber : SNI 7973:2013
7. Faktor Stabilitas Balok (𝐶𝐿)
Apabila tinggi komponen struktur lentur tidak melebihi lebarnya, d ≤ b, tumpuan lateral tidak diperlukan dan nilai 𝐶𝐿 = 1,0.
8. Faktor Komponen Struktur Berulang (𝐶𝑟)
Faktor komponen struktur berulang untuk balok anak nilai 𝐶𝑟 = 1,15, untuk faktor komponen struktur berulang untuk bukan balok anak nilai 𝐶𝑟 = 1,0.
9. Faktor Ukuran (𝐶𝐹)
Apabila tinggi komponen struktur lentur kayu gergajian yang tebalnya 127 mm atau lebih besar melebihi 305 mm dan dipilah secara visual, maka nilai desain lentur acuan, 𝐹𝑏, harus dikalikan dengan faktor ukuran menggunakan Persamaan 2.14 sebagai berikut.
𝐶𝐹 = (305
𝑑 )
1
9 ≤ 1,0 (2.14)
2.7 Balok-Kolom
Balok-kolom atau komponen struktur lentur-tekan adalah komponen struktur yang memikul kombinasi beban akibat momen lentur dan gaya aksial tekan. Dapat diartikan pada balok-kolom, dua macam gaya bekerja secara bersamaan yaitu gaya momen lentur dan gaya aksial baik itu aksial tekan maupun aksial tarik. Balok- kolom banyak dijumpai khususnya pada sistem struktur bangunan gedung.
Sambungan balok-kolom disesuaikan dengan balok-kolom saat pengujian laboratorium, yaitu kolom dilubangi kemudian balok dimasukkan ke dalam lubang kolom tersebut. Sistem sambungan balok-kolom seperti ini tidak sempurna menahan momen, tetapi juga tidak sempurna sendi. Sambungan balokkolom dapat dihitungan menggunakan acuan SNI 7973:2013. Adapun sambungan balok-kolom dapat dilihat pada Gambar 2.4, dan Gambar 2.5 sebagai berikut.
Gambar 2.4 Ilustrasi Sambungan Balok-Kolom Kayu
Sumber : Pranata, 2019
Gambar 2.5 Sambungan Balok-Kolom Kayu
2.8 Pembebanan
Menurut SNI 1727:2013 tentang Beban Minimum untuk Perencanaan Bangunan Gedung dan Struktur Lain, pembebanan dibagi menjadi beberapa jenis yaitu sebagai berikut:
1. Beban Mati
Beban mati adalah berat seluruh bahan konstruksi bangunan gedung yang terpasang, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, tangga, dinding partisi tetap, finishing, klading gedung, dan komponen arsitektural dan struktural lainnya serta peralatan layang terpasang lain termasuk berat keran. Beban mati dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Beban Mati (Dead Load / DL)
Beban mati yang bekerja pada struktur berupa beban sendiri pelat, beban sendiri balok, dan beban sendiri kolom. Beban mati sendiri elemen struktur sudah dihitung secara otomatis oleh software ETABS 2018 dengan memberikan faktor pengali berat sendiri sama dengan 1;
b. Beban Mati Tambahan (Superimposed Dead Load / SDL)
Beban mati tambahan yang bekerja pada struktur berupa beban dinding, beban mechanical and eletrical, beban adukan keramik, beban keramik, dan beban plafon. Beban mati elemen tambahan diberikan faktor pengali sama dengan 0 karena beban tersebut didefinisikan secara manual pada software ETABS 2018.
2. Beban Hidup (Live Load / LL)
Beban hidup adalah beban yang diakibatkan oleh pengguna dan penghuni bangunan gedung atau struktur lain yang tidak termasuk beban konstruksi dan beban lingkungan, seperti beban angin, beban hujan, beban gempa, beban banjir, atau beban mati;
3. Beban Gempa (Earthquake)
Beban gempa adalah semua beban statik ekuivalen yang bekerja pada gedung yang merupaikan pengaruh dari gerakan tanah akibat gempa. Pengaruh gempa pada struktur gedung ditentukian berdasarkan suatu analisis dinamik, maka yang diartikan dengan beban gempa ini adalah gayagaya di dalam struktur tersebut yang terjadi oleh gerakan tanah akibat gempa tersebut.
4. Beban Angin (Wind)
Beban angin adalah suatu fluida yang sifatnya dinamis serta mengalami kenaikan kecepatan dan tekanan seiring dengan pertambahan ketinggian, sehingga dianggap berbahaya bagi suatu struktur yang bertingkat tinggi.
2.8.1 Kombinasi Pembebanan
Untuk menghasilkan struktur bangunan yang aman maka struktur direncanakan dapat memikul beban maksimum. Beban maksimum didapat dari mengkombinasikan beban-beban rencana yang dikalikan dengan faktor pengali.
Struktur, komponen, dan fondasi harus dirancang sedemikian rupa sehingga kekuatan desainnya sama atau melebihi efek dari beban terfaktor dalam kombinasi sebagai berikut:
1. 1,4𝐷;
2. 1,2𝐷 + 1,6𝐿 + 0,5(𝐿𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑆 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑅);
3. 1,2𝐷 + 1,6(𝐿𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑆 𝑎𝑡𝑎𝑦 𝑅) + (𝐿 𝑎𝑡𝑎𝑢 0,5𝑊);
4. 1,2𝐷 + 1,0𝑊 + 𝐿 + 0,5(𝐿𝑟 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑆 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑅);
5. 1,2𝐷 + 1,0𝐸 + 𝐿 + 0,2𝑆;
6. 0,9𝐷 + 1,0𝑊;
7. 0,9 + 1,0𝐸;
2.8.2 Perencanaan Ketahanan Gempa
Perencanaan ketahanan gempa sangat dipengaruhi oleh kategori risiko struktur, faktor keutamaan, dan klasifikasi situs. Untuk kategori risiko struktur bangunan gedung dan non gedung sesuai dengan Tabel 2.15 sebagai berikut, pengaruh gempa rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu faktor keutamaan (𝐼𝑒) yang terdapat pada Tabel 2.16 sebagai berikut.
Tabel 2.15 Kategori Risiko Bangunan Gedung dan Non Gedung untuk Beban Gempa
Jenis pemanfaatan Kategori Risiko
Gedung dan non gedung yang memiliki risiko rendah terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk, antara lain:
· Fasilitas pertanian, perkebunan, perternakan, dan perikanan I
· Fasilitas sementara
· Gudang penyimpanan
· Rumah jaga dan struktur kecil lainnya
Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk dalam kategori risiko I,III,IV, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
· Perumahan
II
· Rumah toko dan rumah kantor
· Pasar
· Gedung perkantoran
· Gedung apartemen/rumah susun
· Pusat perbelanjaan/mall
· Bangunan industri
· Fasilitas manufaktur
· Pabrik
Gedung dan non gedung yang memiliki risiko tinggi terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
III
· Bioskop
· Gedung pertemuan
· Stadion
· Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan unit gawat darurat
· Fasilitas penitipan anak
· Penjara
· Bangunan untuk orang jompo
Tabel 2.15 Kategori Risiko Bangunan Gedung dan Non Gedung untuk Beban Gempa (Lanjutan)
Jenis pemanfaatan Kategori Risiko
Gedung dan non gedung, tidak termasuk kedalam kategori risiko IV, yang memiliki potensi untuk menyebabkan dampak ekonomi yang besar dan/atau gangguan massal terhadap kehidupan masyarakat sehari- hari bila terjadi kegagalan, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk:
· Pusat pembangkit listrik biasa
· Fasilitas penanganan air
· Fasilitas penanganan limbah
· Pusat telekomunikasi
Gedung dan non gedung yang tidak termasuk dalam kategori risiko IV, (termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk fasilitas manufaktur, proses, penanganan, penyimpanan, penggunaan atau tempat pembuangan bahan bakar berbahaya, bahan kimia berbahaya, limbah berbahaya, atau bahan yang mudah meledak) yang mengandung bahan beracun atau peledak di mana jumlah kandungan bahannya melebihi nilai batas yang
disyaratkan oleh instansi yang berwenang dan cukup menimbulkan bahaya bagi masyarakat jika terjadi kebocoran.
III
Gedung dan non gedung yang ditunjukkan sebagai fasilitas yang penting, termasuk, tetapi tidak dibatasi untuk:
· Bangunan-bangunan monumental
· Gedung sekolah dan fasilitas pendidikan
· Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas bedah dan unit gawat darurat
· Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans dan kantor polisi, serta garasi kendaraan darurat
· Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai dan tempat perlindungan darurat lainnya
· Fasilitas kesiapan darurat, komunikasi, pusat operasi dan fasilitas lainnya untuk tanggap darurat
· Pusat pembangkit energi dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan pada saat keadaan darurat
· Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki
penyimpanan bahan bakar, menara pendingin, struktur stasiun listrik, tangki air pemadam kebakaran atau struktur rumah atau struktur pendukung air atau material atau peralatan pemadam kebakaran) yang disyaratkan untuk beroperasi pada saat keadaan darurat
Gedung dan non gedung yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi struktur bangunan lain yang masuk ke dalam kategori risiko IV.
IV
Sumber: SNI 1726:2012
Tabel 2.16 Nilai Faktor Keutamaan Gempa
Kategori risiko Faktor keutamaan Gempa, Ie
I atau II 1,0
III 1,25
IV 1,50
Sumber: SNI 1726:2012
Perumusan kriteria desain seismik suatu bangunan di permukaan tanah atau penentuan amplifikasi besaran percepatan gempa puncak dari batuan dasar ke permukaan tanah untuk suatu situs, maka situs tersebut harus diklasifikasikan terlebih dahulu. Profil tanah di situs harus diklasifikasikan (klasifikasi kelas situs) berdasarkan sifat-sifat tanah pada situs seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.17 sebagai berikut.
Tabel 2.17 Klasifikasi Kelas Situs
Kelas Situs 𝐕̅𝐬 (m/detik) 𝐍̅ 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐍̅𝐜𝐡 𝐒̅𝐮 (kPa)
SA (batuan keras) > 1500 N/A N/A
SB (batuan) 750 sampai 1500 N/A N/A
SC (tanah keras, sangat padat dan batuan lunak)
350 sampai 750 > 50 ≥ 100
SD (tanah sedang) 175 sampai 350 15 sampai 50 50 sampai 100
SE (tanah lunak) < 175 < 15 < 50
Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah dengan karakteristik sebagai berikut.
1. Indeks plastisitas, PI > 20, 2. Kadar air, w ≥ 40%, dan kuat geser niralir Su < 25 kPa
SF (tanah khusus, yang membutuhkan investigasi geoteknik spesifik dan analisis respons spesifik situs yang mengikuti pasal 6.9.1)
Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih dari karakteristik berikut:
- Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat beban gempa seperti mudah likuifaksi, lempung sangat sensitive, tanah tesementasi lemah
- Lempung sangat organik dan/atau gambut (ketebalan H > 3 m) - Lempung berplastisitas sangat tinggi (ketebalan H > 7,5 m dengan Indeks Plastisitas PI >75)
Lapisan lempung lunak / setengah tegu dengan ketebalan H > 35 m dengan Su < 50 kPa
Sumber: SNI 1726:2012
Tabel 2.18 Faktor R, Cd, dan Ω0 untuk Sistem Penahan Gaya Gempa
Sumber: SNI 1726:2012
2.9 Beban Gempa Rencana
Beban gempa rencana dihitung menggunakan metode analisis gempa dinamik respon spektrum. Titik daerah yang diambil adalah Kota Bandung Berdasarkan website Puskim, diperoleh nilai respon spektrum Kota Bandung untuk semua jenis tanah seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Kurva Respon Spektrum Kota Bandung (sumber: http://puskim.pu.go.id/)
Jenis tanah diasumsikan tanah lunak, oleh karena itu kurva respon spektrum seperti Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Kurva Respon Spektrum Tanah Lunak Kota Bandung (Sumber: http://puskim.pu.go.id/)
Berdasarkan website puskim, diperoleh tabel respon spektrum untuk nilai dan variabel pada Tabel 2.19 dan tabel hubungan antara nilai periode (𝑇) dan spektrum percepatan (𝑆𝑎) pada Tabel 2.20.
Tabel 2.19 Nilai dan Variabel Variabel Nilai Variabel Nilai 𝑷𝑮𝑨 (𝐠) 0,577 𝑃𝑆𝐴 (g) 0,519 𝑆𝑠 (g) 1,45 𝑆𝑀𝑆 (g) 1,305 𝑆1 (g) 0,486 𝑆𝑀1 (g) 1,166 𝐶𝑅𝑆 0,977 𝑆𝐷𝑆 (g) 0,87 𝐶𝑅𝐼 0,905 𝑆𝐷1 (g) 0,777 𝐹𝑃𝐺𝐴 0,9 𝑇0 (𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘) 0,179 𝐹𝑎 0,9 𝑇𝑠 (𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘) 0,893 𝐹𝑣 2,4
(Sumber: http://puskim.pu.go.id/)
Tabel 2.20 Hubungan Antara Nilai Periode (𝑻) dan Spektrum Percepatan (𝑺𝒂) No 𝑇 (detik) 𝑆𝑎 (g) No 𝑇 (detik) 𝑆𝑎 (g) No 𝑇 (detik) 𝑆𝑎 (g)
1 0 0,348 13 1,893 0,41 25 3,093 0,251
2 0,179 0,87 14 1,993 0,39 26 3,193 0,243 3 0,893 0,87 15 2,093 0,371 27 3,293 0,236 4 0,993 0,782 16 2,193 0,354 28 3,393 0,229 5 1,093 0,711 17 2,293 0,339 29 3,493 0,222 6 1,193 0,651 18 2,393 0,325 30 3,593 0,216 7 1,293 0,601 19 2,493 0,312 31 3,693 0,21 8 1,393 0,558 20 2,593 0,3 32 3,793 0,205 9 1,493 0,52 21 2,693 0,289 33 3,893 0,2 10 1,593 0,488 22 2,793 0,278 34 3,993 0,195 11 1,693 0,459 23 2,893 0,269 35 4,093 0,194 12 1,793 0,433 24 2,993 0,26
(Sumber: http://puskim.pu.go.id/)
2.10 Modal Partisipasi Massa
Berdasarkan SNI 1726:2012 nilai analisis harus menyertakan jumlah ragam yang cukup untuk mendapatkan partisipasi massa ragam terkombinasi sebesar paling sedikit 90% dari massa aktual dalam masing-masing arah horizontal orthogonal dari respon yang ditinjau oleh model.
2.11 Gaya Dasar Seismik
Berdasarkan SNI 1726:2012 pasal 7.8.1, Gaya dasar Seismik pemeriksaan skala gaya dengan membandingkan gaya geser dasar ragam pada struktur yang dimodelkan dengan gaya geser dasar yang dihitung menggunakan prosedur gaya lateral ekivalen harus ditentukan sesuai dengan Persamaan 2.15 sampai 2.20 sebagai berikut:
𝑇𝑎 = 𝐶𝑡× ℎ𝑛𝑥 (2.15)
𝑇𝑚𝑎𝑥 = 𝑇𝑎× 𝐶𝑢 (2.16) 𝐶𝑠 = 𝑆𝐷𝑅𝑠
𝐼𝑒
(2.17)
𝐶𝑠 𝑚𝑖𝑛 = 0,044 × 𝑆𝐷𝑠× 𝐼𝑒 ≥ 0,01 (2.18)
𝐶𝑠 𝑚𝑎𝑥 = 𝑆𝐷1
𝑇𝑎×𝑅 𝐼𝑒
(2.19)
𝑉 = 𝑊 × 𝐶𝑠 (2.20)
Keterangan:
𝑇𝑎 = perioda fundamental pendekatan, detik 𝐶𝑡 = Koefisien parameter pendekatan
ℎ𝑛𝑥 = ketinggian struktur di atas dasar sampai tingkat tertinggi struktur, meter 𝑇𝑚𝑎𝑥 = perioda batas, detik
𝐶𝑢 = Koefisien untuk batas atas pada perioda yang dihitung 𝐶𝑠 = koefisien respons seismik
𝑆𝐷𝑠 = Parameter percepatan spektrum respons desain dalam rentang perioda pendek
𝑆𝐷1 = parameter percepatan spektrum respons desain pada perioda sebesar 1,0 detik
𝐼𝑒 = Faktro keutamaan gempa 𝑅 = Faktor modifikasi respons
𝐶𝑠 𝑚𝑖𝑛 = koefisien untuk batas minimal respons seismik 𝐶𝑠 𝑚𝑎𝑥 = koefisien untuk batas maksimal respons seismik 𝑉 = Gaya dasar seismik
𝑊 = Berat seismik efektif
2.12 Simpangan Antarlantai
Berdasarkan SNI 1726:2012 pasal 7.8.6, simpangan antarlantai hanya terdapat satu kinerja, yaitu pada kinerja batas ultimit. Penentuan simpangan antarlantai tingkat desain (∆) harus dihitung sebagai perbedaan defleksi pada pusat massa di tingkat teratas adan terbawah yang ditinjau. Apabila pusat massa tidak terletak segaris dalam arah vertikal, diijinkan untuk menghitung defleksi di dasar
tingkat berdasarkan proyeksi vertikal dari pusat massa tingkat di atasnya. Bagi struktur yang dirancang untuk kategori desain seismik C, D, E atau F yang memiliki ketidakberaturan horizontal Tipe 1a atau 1b, simpangan antarlantai desain (∆), harus dihitung sebagai selisih terbesar dari defleksi titik-titik di atas dan di bawah tingkat yang diperhatikan yang letaknya segaris secara vertikal, di sepanjang salah satu bagian tepi struktur. Defleksi pusat massa di tingkat x (𝛿𝑥) [mm] harus ditentukan sesuai dengan Persamaan 2.21 sebagai berikut:
𝛿𝑥 = 𝐶𝑑𝛿𝑥𝑒
𝐼𝑒 (2.21)
Keterangan :
𝐶𝑑 = faktor pembesaran defleksi;
𝛿𝑥𝑒 = defleksi pada lokasi yang disyaratkan, yang ditentukan dengan analisis elastis;
𝐼𝑒 = faktor keutamaan.
Penentukan simpangan antarlantai ini dapat dilihat pada Gambar 2.8 sebagai berikut.
Sumber: SNI 1726:2012
Gambar 2.8 Penentuan Simpangan Antarlantai Keterangan :
𝐹3 = Gaya gempa desain tingkat kekuatan;
𝛿𝑒3 = Perpindahan elastis yang dihitung akibat gaya gempa desain tingkat Kekuatan;
𝛿3 = 𝐶𝑑𝛿𝑒3/𝐼𝑒 = perpindahan yang diperbesar;
∆3 = (𝛿𝑒3 − 𝛿𝑒2)𝐶𝑑/𝐼𝑒 ≤ ∆𝑎;
𝐹2 = Gaya gempa desain tingkat kekuatan;
𝛿𝑒2 = Perpindahan elastis yang dihitung akibat gaya gempa desain tingkat Kekuatan;
𝛿2 = 𝐶𝑑𝛿𝑒2/𝐼𝑒 = perpindahan yang diperbesar;
∆2 = (𝛿𝑒2 − 𝛿𝑒1)𝐶𝑑/𝐼𝑒 ≤ ∆𝑎;
𝐹1 = Gaya gempa desain tingkat kekuatan;
𝛿𝑒1 = Perpindahan elastis yang dihitung akibat gaya gempa desain tingkat Kekuatan;
𝛿1 = 𝐶𝑑𝛿𝑒1/𝐼𝑒 = perpindahan yang diperbesar;
∆3 = 𝛿1 ≤ ∆𝑎;
Simpangan antarlantai desain (∆), tidak boleh melebihi simpangan antarlantai tingkat izin (∆𝑎) yang ditentukan pada Tabel 2.21 sebagai berikut.
Tabel 2.21 Simpangan Antarlantai izin, ∆𝒂
Sumber: SNI 1726:2012
Keterangan :
ℎ𝑠𝑥 = Tinggi tingkat di bawah tingkat x.
2.13 Pengaruh P-Delta
Pengaruh P-Delta pada geser dan momen tingkat, gaya dan momen elemen struktur yang dihasilkan, dan simpangan antar lantai tingkat yang timbul oleh pengaruh ini tidak disyaratkan untuk diperhitungkan bila koefisien (𝜃) seperti ditentukan oleh persamaan berikut ini:
𝜃 = 𝑃𝑥∆𝐼𝑒
𝑉𝑥ℎ𝑠𝑥𝐶𝑑 (2.22)
Keterangan:
𝑃𝑥 = Beban desain vertikal total pada dan diatas tingkat x;
∆ = Simpangan antar lantai tingkat desain (mm);
𝐼𝑒 = Faktor keutamaan gempa;
𝑉𝑥 = Gaya geser seismik yang bekerja antara x dan x-1;
ℎ𝑠𝑥 = Tinggi tingkat di bawah tingkat x;
𝐶𝑑 = Faktor pembesaran defleksi;
Koefisien stabilitas (𝜃)harus tidak melebihi 𝜃𝑚𝑎𝑥 yang ditentukan sebagai berikut:
𝜃𝑚𝑎𝑥 = 0,5
𝛽𝐶𝑑 ≤ 0,25 (2.23)
Dimana 𝛽 adalah rasio kebutuhan geser terhadap kapasitas geser untuk tingkat antar tingkat x dan x-1. Rasio ini diijinkan secara konservatif diambil sebesar 1,0.
2.14 Beban Angin (SNI 1727:2013)
Beban angin yang digunakan dalam desain Sistem Penahan Beban Angin Utama (SPBAU) harus didesain dengan beban angin desain minimun untuk banginan gedung tertutup atau tertutup sebagian tidak boleh kecil dari 16 lb/ft2 (0,77 kN/m2) dikalikan dengan luas dinding bangunan gedung dan 8 lb/ft2 (0,38 kN/m2) dikalikan dengan luas atap bangunan gedung yang terproyeksi pada bidang vertikal tegak lurus terhadap angin yang diasumsikan. Beban dinding dan atap harus diterapkan secara simultan. Persyaratan umum penggunaaan menentukan parameter dasar untuk penentuan beban angin pada Sistem Penahan Beban Angin Utama (SPBAU), parameter dasar adalah:
1. Kecepatan Angin Dasar
Kecepatan angin dasar (V), yang digunakan dalam menentukan beban angin desain di bangunan gedung dan struktur lain harus ditentukan dari Instansi yang berwenang, sesuai dengan kategori risiko bangunan gedung dan struktur.
2. Faktor Arah Angin
Pengaruh angin dalam menentukan beban angin harus didasarkan pada analisis untuk kecepatan angin.
Tabel 2.22 Faktor Arah Angin
3. Eksposur
Untuk setiap arah angin yang diperhitungkan, eksposur lawan angin didasarkan pada kekasaran permukaan tanah yang ditentukan dari topografi alam, vegetasi, dan fasilitas dibangun.
4. Faktor Topografi
Efek Peningkatan kecepatan angin harus dimasukkan dalam perhitungan beban angin desain akan tetapi jika kondisi situs dan lokasi gedung dan struktur bangunan lain tidak memenuhi semua kondisi yang disyaratkan maka, 𝐾𝑍𝑇 = 1,0.
Gambar 2.9 Faktor Topografi 5. Efek Tiupan Angin
Faktor efek tiupan angin (G), untuk suatu bangunan gedung dan struktur lain yang kaku boleh diambil sebesar 0,85. Bangunan sensitif fleksibel atau bangunan sensitif dinamis atau struktur lain, faktor efek tiupan angin harus dihitung dengan:
𝐺𝑓 = 0,925 (
1+1,7𝐼𝑍̅√𝑔2𝑄𝑄2+𝑔2𝑅𝑅2
1+1,7𝑔𝑣𝐼𝑍̅ ) (2.24)
𝑔𝑅 = √2𝑙𝑛(3600𝑛1) + 0,577
√2𝑙𝑛(3600𝑛1) (2.25)
𝑅 = √𝛽1𝑅𝑛𝑅ℎ𝑅𝐵(0,53 + 0,47𝑅𝐿) (2.26) 𝑅𝑛 = 7,47𝑁1
(1+10,3𝑁1)5/3 (2.27)
𝑁1 = 𝑛1𝐿𝑍̅
𝑉̅𝑍̅ (2.28)
𝑅𝑙 = 1
𝜂− 1
2𝜂2(1 − ℮−2𝜂) untuk 𝜂 > 0 (2.29)
𝑅𝑙 = 1 untuk 𝜂 = 0 (2.30)
𝑉̅𝑍̅ = 𝑏̅ (𝑍̅
10)𝜋𝑉 (2.31)
Keterangan:
𝑔𝑄 dan 𝑔𝑉 = 3,4;
R = faktor respons resonan;
𝑅𝑙 = 𝑅ℎ atur 𝜂 = 4,6𝑛1ℎ/𝑉̅𝑍̅; 𝑅𝑙 = 𝑅𝐵 atur 𝜂 = 4,6𝑛1𝐵/𝑉̅𝑍̅; 𝑅𝑙 = 𝑅𝐿 atur 𝜂 = 15,4𝑛1𝐿/𝑉̅𝑍̅; 𝛽 = 0,02;
𝑉̅𝑍̅ = kecepatan angin rata-rata per jam (ft/s) pada ketinggian 𝑧̅;
Tabel 2.23 Konstanta eksposur daratan
6. Koefisien Tekanan Internal
Nilai Koefisien Tekanan Internal, (GCpi) ditentukan berdasarkan pada klasifikasi ketertutupan gedung.
Tabel 2.24 Konstanta eksposur daratan
7. Koefisien Eksposur Tekanan Velositas
Berdasarkan kategori eksposur nilai Koefisien Eksposur Tekanan Velositas, 𝐾𝑍 atau 𝐾ℎ didapat dari Tabel 2.22.
Tabel 2.25 Koefisien Eksposur Tekanan Velositas
8. Tekanan Velositas:
Tekanan velositas 𝑞𝑧 dievaluasi pada ketinggian 𝑧 arus dihitung dengan persamaan berikut:
𝑞𝑧 = 0,00256𝐾𝑧𝐾𝑍𝑇𝐾𝑑𝑉2 (2.32)
Keterangan:
𝐾𝑑 = faktor arah angin;
𝐾𝑧 = koefisien eksposur tekanan velositas;
𝐾𝑍𝑇= faktor topografi;
𝑉 = kecepatan angin dasar;
𝑞𝑧 = tekanan velositas pada ketinggian z;
𝑞ℎ = tekanan velositas pada ketinggian atap rata-rata h;
9. Beban Angin
Tekanan angin desain untuk SPBAU bangunan gedung dari semua ketinggian harus ditentukan persamaan dan Gambar 2.10 berikut:
𝑝 = 𝑞𝐺𝐶𝑝− 𝑞𝑖(𝐺𝐶𝑝𝑖) (2.33)
Keterangan:
𝑞 = 𝑞𝑧 untuk dinding di sisi angin datang yang di ukur pada ketinggian z di atas permukaan tanah
𝑞 = 𝑞ℎ untuk dinding di sisi angin pergi, dinding samping, dan atap yang di ukur pada ketinggian h
𝑞𝑖 = 𝑞ℎ untuk dinding di sisi angin datang, dinding samping, dinding di sisi angin pergi, dan atap bangunan gedung tertutup untuk mengevaluasi tekanan internal negatif pada bangunan gedung tertutup sebagian 𝑞𝑖 = 𝑞𝑧 untuk mengevaluasi tekanan internal positif pada bangunan gedung
tertutup sebagian bila tinggi z ditentukan sebagai level dari bukaan tertinggi pada bangunan gedung yang dapat mempengaruhi tekanan internal positif.
𝐺 = faktor efek-tiupan angin 𝐶𝑃 = koefisien tekanan eksternal (𝐺𝐶𝑃𝑖) = koefisien tekanan internal
Gambar 2.10 Beban Angin Pada Gedung
2.15 Software ETABS 2018
Software ETABS 2018 merupakan salah satu program aplikasi teknik sipil yang digunakan untuk menganalisis dan mendesain struktur pada berbagai macam bangunan, seperti gedung, tower, dan lain-lain. Software ini pun dapat memudahkan dalam menganalisis struktur bangunan multi-story yang di kategorikan menjadi 3 bagian yaitu:
1. Bangunan bertingkat rendah (low rise building), adalah bangunan dengan ketinggian 2-4 lantai.
2. Bangunan bertingkat sedang (medium rise bulidng) adalah bangunan dengan ketinggian antara 5 – 8 lantai.
3. Bangunan bertingkat tinggi (high rise building) adalah bangunan dengan ketinggian lebih dari 8 lantai.
Berikut ini adalah tampilan dari aplikasi software ETABS 2018 pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Tampilan Software ETABS 2018
2.16 Studi Penelitian Sebelumnya
Pada penelitian ini dikaji dengan mempertimbangkan terhadap Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat menampilkan sebelumnya dapat
menampilkan persamaan dan perbedaan pada penelitian ini dan penelitian sebelumnya, yaitu :
Judul : 1. Kajian Analisa Struktur Gedung 8 Lantai Dari Material Kayu Terhadap Beban Gempa.
2. Kajian Perbandingan Kinerja Struktur Bangunan Rumah Tinggal dengan Kayu Glulam Mahoni Menggunakan SNI 7973:2013 dan Eurocode 5.
3. Kinerja Struktur Bangunan Kayu Bertingkat Akibat Beban Gempa Dengan Analisis Riwayat Waktu.
Peneliti : 1. Rahman Satrio Prasojo 2. Raca Prasetyo
3. Syafarina Nurmah Rialita
Tahun Penelitian : 1. 2017 2. 2019 3. 2019
Isi Penelitian : 1. Mencari Jumlah Lantai Maksimum Dari Suatu Bangunan Yang Dapat Dibuat dengan Menggunakan Material Kayu.
2. Membandingkan Kinerja Struktur Bangunan Rumah Tinggal dengan Kayu Glulam Mahoni Menggunakan SNI 7973:2013 dan Eurocode 5.
3. Menganalisis Kinerja Struktur Bangunan Kayu Bertingkat Akibat Beban Gempa Dengan Analisis Riwayat Waktu.