• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi penjelasan mengenai beberapa tinjauan pustaka dan dasar teori yang diperlukan untuk menunjang penelitian yang akan dilakukan, seperti pengertian polusi udara, dampak polusi udara, klasifikasi angin, proses pelepasan polusi udara dari cerobong asap, model Gaussian Plume, tetapan dispersi, stabilitas atmosfer, standar emisi di Indonesia, dan penelitian-penelitan terdahulu.

2.1 Udara Bersih dan Polusi Udara

Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tersebut tidak selalu konsinten, tergantung pada suhu dan tekanan udara (Prabowo dan Burhan, 2018). Secara umum, semua zat yang mengalami perubahan komposisi alami pada udara dianggap sebagai polutan. Komponen gas dari udara bersih alami tercantum dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi udara alami (Forstner. U dkk, 1996).

Komponen Konten Volume dalam % Terkait Udara Kering

Oksigen 20.93

Nitrogen 78.10

Argon 0.9325

Karbon Dioksida 0.03-0.04

Hidrogen 0.01

Neon 0.0018

Helium 0.0005

Kripton 0.0001

Xenon 0.000009

Sumber pencemaran udara dibedakan menjadi sumber alami dan sumber buatan (antropogenik). Contoh tingginya tingkat polutan udara yang terjadi secara alami, yaitu saat letusan gunung berapi, saat badai pasir, saat kebakaran hutan, saat proses yang terkait dengan kimia udara di badai petir, dan juga dari tanaman serbuk sari. Zat berbau dari bunga bukan bagian dari komposisi udara alami, meskipun zat berbau tersebut hampir tidak dapat dianggap sebagai polutan

(2)

6 (Forstner .U dkk, 1996). Pencemaran akibat adanya kegiatan manusia (antropogenik), misalnya sumber pencemar akibat aktivitas transportasi, industri, persampahan baik akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran, dan rumah tangga (Ratnani, 2008).

Emisi pencemaran udara oleh industri sangat tergantung dari jenis industri, prosesnya, peralatan industri, dan utilitasnya. Sebagai contoh, berbagai industri, dan pusat pembangkit tenaga listrik menggunakan tenaga dan bensin. Dengan hasil sampingan dari pembakaran adalah sox, asap, dan bahan pencemar lain.

Jenis pencemaran udara ada 2, yaitu:

1. Dilihat dari ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa:

a. partikel (debu, aerosol, timah hitam);

b. gas (CO2, NOX, SOX, H2S dan HC);

c. energi (suhu dan kebisingan).

2. Berdasarkan dari kejadian, terbentuknya pencemar terdiri dari:

a. pencemar primer (yang diemisikan langsung dari sumbernya);

b. pencemar sekunder (yang terbentuk karena reaksi di udara antara berbagai zat).

(Ratnani, 2008).

2.2 Dampak Pencemaran Udara

Menurut Mukono yang dikutip oleh Ramadhani (2019) bahwa pencemaran udara memberikan dampak buruk terhadap lingkungan, antara lain dampak fisik atmosfer, ekonomi, vegetasi, flora fauna, kesehatan manusia, dan estetika. Berikut dampak buruk pada masing-masing aspek sebagai berikut:

1. Dampak terhadap perubahan kondisi atmosfer:

a. gangguan jarak pandang;

b. keasaman air hujan;

c. mempercepat pemanasan atmosfer;

d. mempengaruhi struktur awan.

2. Dampak terhadap faktor ekonomi:

a. meningkatkan biaya pemeliharaan material;

(3)

7 b. meningkatkan biaya pengobatan penyakit yang ditimbulkan oleh

pencemaran udara.

3. Dampak terhadap flora dan fauna:

a. perubahan morfologi hutan;

b. mempengaruhi reproduksi tanaman;

c. perubahan fisiologi tumbuhan;

d. akumulasi bahan pencemar pada tumbuhan tertentu;

e. akumulasi bahan pencemar di organ tubuh hewan.

4. Dampak terhadap kesehatan manusia:

a. sakit pernafasan;

b. iritasi sensorik;

c. gangguan fungsi biologis;

d. akumulasi bahan beracun dalam tubuh;

e. rasa kurang nyaman.

5. Dampak terhadap estetika:

a. timbulnya bau;

b. lapisan debu mempengaruhi perubahan warna pada bahan-bahan tertentu.

2.3 Baku Mutu Udara dan Laju Emisi

Kualitas udara dinilai dari konsentrasi parameter pencemaran udara yang terukur lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai Baku Mutu Udara Ambien Nasional. Udara ambien merupakan udara bebas di permukaan bumi yang mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup, dan lingkungan hidup sekitarnya. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemaran yang diperbolehkan bagi zat terdapat di udara ambien. Pemerintah menetapkan baku mutu udara ambien nasional sebagai batas maksimum mutu udara ambien dalam rangka pengendalian pencemaran udara nasional. Pada peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 41 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Udara Ambien Nasional untuk pengendalian pencemaran udara adalah sebagai berikut:

(4)

8 Tabel 2.2 Baku mutu udara ambien nasional sumber tidak bergerak (Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia, 1999).

No Parameter Baku Mutu

1 SO2 (Sulfur Dioksida) 900 g/m3

365 g/m3 60 g/m3

2 CO2 (Karbon Dioksida) 30.000 g/m3

10.000 g/m3 -

3 NO2 (Nitrogen Dioksida) 400 g/m3

150 g/m3 100 g/m3

Udara emisi merupakan udara yang secara langsung dikeluarkan oleh sumber emisi, seperti knalpot kendaraan bermotor dan cerobong gas pabrik.

Menurut Liandy dkk (2015), persamaan laju emisi berdasarkan analisis dimensi dapat dituliskan sebagai Persamaan (2.6) berikut:

(2.1)

dengan

laju emisi ( ),

luas lingkaran cerobong ( ),

konsentrasi polutan yang keluar dari cerobong ( ), kecepatan gas yang keluar dari cerobong ( ).

2.4 Proses Pelepasan Polusi Udara dari Cerobong 2.4.1 Reaksi Polusi Udara

Penyebaran polusi udara di atmosfer dari cerobong asap mengalami perpindahan dari sumber menyebar ke lingkungan. Perpindahan yang disebabkan oleh angin disebut adveksi. Dalam perpindahannya, polutan mengalami penyebaran (dispersi) ke arah vertikal dan horizontal. Pencampuran polutan dengan udara menyebabkan reaksi pengenceran terhadap senyawa lain. Reaksi kimia di atmosfer terjadi karena adanya beragam senyawa dan sumber energi utama, yaitu radiasi sinar matahari. Senyawa kimia terdapat juga di atmosfer, uap air, dan partikel yang dapat menyerap energi berupa radiasi elektromagnetik dari sinar matahari. Senyawa kimia yang menyerap energi dari sinar matahari dapat menjadi senyawa reaktif, seperti senyawa radikal.

(5)

9

2.4.2 Difusi dan Adveksi

Difusi atau pembauran menurut Holman pada tahun 1994 yang dikutip oleh Toto dkk (2013) adalah peristiwa mengalirnya atau berpindahnya suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian berkonsentrasi rendah. Salah satu contoh sederhana dari difusi adalah pemberian gula pada cairan teh tawar yang lambat laun teh akan menjadi manis. Difusi dapat dimodelkan atau dinyatakan dalam bahasa matematika, dengan menggunakan Hukum Fick yang menyatakan bahwa fluks dari suatu bahan terlarut per satuan luas berbanding lurus dengan gradient suhu. Maka, Bentuk matematis dari difusi dalam satu arah ( ) adalah sebagai berikut,

(2.2)

dengan

= tingkat laju perpindahan massa / fluks difusi ( ) = koefisien difusi ( )

= konsentrasi massa( ), = jarak ( ).

Pada persamaan (2.2) konsentrasi massa dipengaruhi oleh jarak yang dinotasikan dengan difusi dalam keadaan steady-state dalam satu arah maka fluks difusinya sebanding dengan gradient suhunya. Tanda negatif menunjukkan bahwa arah difusi menuruni gradient konsentrasi, dari arah tinggi sampai konsentrasi rendah. Suatu zat akan berpindah dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian berkonsentrasi rendah hingga berhenti proses difusi karena sudah dalam keadaan setimbang.

Adveksi adalah suatu pergerakan partikel fluida akibat adanya aliran (Bachtiar dkk, 2011). Menurut KBBI, adveksi adalah gerakan massa udara secara horizontal yang mengakibatkan perubahan unsur fisik udara (seperti suhu).

Menurut Knobel (2000) yang dikutip Apsari dkk (2018), persamaan adveksi adalah salah satu persamaan diferensial parsial yang memodelkan pergerakan suatu konsentrat dalam cairan yang mengalir, dengan asumsi konsentrat tersebut

(6)

10 tidak mengalami proses difusi di dalam cairan. Bentuk adveksi dapat dituliskan sebagai berikut,

(2.3)

dengan

= fluks adveksi ( ), = konsentrasi massa( ), = kecepatan angin ( ).

(Stockie, 2011).

Perbedaan difusi dan adveksi adalah penyebaran difusi terjadi karena perbedaan kondisi konsentrasi sekitar sedangkan adveksi terjadi karena adanya suatu aliran yang mengakibatkan adanya pergerakan partikel, contohnya asap yang keluar dari cerobong tertiup oleh angin sehingga asap tersebut mengikuti pergerakan dari angin. Fenomena dalam fluida atau zat alir dapat terjadi kombinasi antara proses fluks difusi dan fluk adveksi menjadi fluks total sebagai berikut,

(2.4)

2.5 Model Dispersi Gauss 2.5.1 Model Dispersi

Bentuk dispersi secara umum mengikuti hukum difusi, yaitu terjadinya gerakan fluida yang memiliki konsentrasi tinggi berpindah ke konsentrasi rendah (Witono, 2003). Apabila aliran polutan yang kontinu terlepas dari sumbernya dan tertiup angin yang tetap (steady state) di atmosfir terbuka, maka pertama-tama polutan itu akan naik dari lubang sumber (cerobong), kemudian membelok ke bawah dan terus bergerak sesuai dengan arah rata-rata dari angin yang mampu menyebarkan polutan dan membawanya menjauh dari sumber. Bentuk dispersi tersebut secara umum mengikuti hukum difusi, yaitu penyebaran konsentrasi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah (Witono, 2003).

(7)

11

2.5.2 Dispersi Gauss (Gaussian Plume)

Model dispersi Gauss polusi udara merupakan pendekatan yang digunakan untuk mempelajari polutan di udara karena adanya turbulen difusi dan adveksi yang disebabkan oleh angin (Stockie, 2011). Menurut Rahman (2006) yang dikutip Abidin (2016), model ini mengasumsikan bahwa turbulen dari atmosfir stasioner dan homogen. Turbulen merupakan kecepatan aliran udara yang arah pergerakannya berubah dengan cepat, maka pada saat itu dapat di katakan telah terjadi turbulensi udara.

Model Gaussian Plume dapat menyatakan secara sederhana penyimpangan partikel yang terjadi di udara terhadap waktu. Banyaknya emisi dari polutan yang dikeluarkan secara tetap pada cerobong asap ( ) akan terbawa angin dengan kecepatan dalam arah horizontal ( ) (Nauli, 2002). Salah satu faktor utama yang mempengaruhi dispersi polutan adalah kecenderungan polutan-polutan untuk berdifusi. Hal ini ditandai dengan perilaku polutan sepanjang arah yang dipilih memiliki distribusi gaussian. Selain itu kurva konsentrasi polutan terhadap lokasi dari sumber polutan yang berdifusi berbentuk lonceng yang serupa dengan kurva distribusi Gaussian. Konsentrasi maksimum berada di dekat sumber polutan dan konsentrasi semakin berkurang untuk lokasi yang semakin menjauh dari sumber (Holzbecher, 2012).

Gambar 2.1 Sistem koordinat model gaussian

(8)

12 Emisi polutan dari sumbernya akan bergerak sebagai plume mengikuti arah angin, dan menyebar ke arah samping dan vertikal. Konsentrasi polutan akan lebih tinggi di garis tengah plume dan rendah di daerah-daerah tepi plume. Jika diamati, Gaussian Plume ini dikembangkan pertama kali oleh Sir Graham Sutton, yaitu (Stockie, 2011),

( )

(

) * ( ( )

) ( ( )

)+ (2.5)

dengan

( ) = konsentrasi polutan pada titik ( ), = laju emisi polutan ( ),

= kecepatan angin rata-rata pada tinggi cerobong ( ),

= tetapan dispersi secara horizontal terhadap sumbu ( ), = tetapan dispersi secara vertikal terhadap sumbu ( ), = jarak jatuhnya polutan ( ),

= jarak pengamatan sejajar dengan sumbu ( ), = jarak pengamatan tegak lurus dengan sumbu y ( ), = ketinggian emisi ( ).

Tetapan dan sebagai standar deviasi dari distribusi Gauss dalam arah horizontal dan vertikal. Jika nilai tetapan dispersi semakin kecil maka bentuk kurva Gauss akan semakin sempit dan puncaknya semakin tinggi. Maka jika nilai tetapan dispersi semakin besar, maka terjadi kebalikannya. Ketika jarak penyebaran konsentrasi semakin menjauhi sumber searah angin, maka nilai tetapan dispersinya akan bertambah besar. Hal ini mengakibatkan bentuk kurva Gauss semakin melebar (Abidin, 2016).

2.6 Stabilitas Atmosfir

Stabilitas atmosfer merupakan metode untuk mengklasifikasi kemampuan atmosfir mencairkan dan mencampur polutan dengan udara. Konsentrasi polutan di udara pada suatu tempat tertentu merupakan fungsi dari sejumlah variabel termasuk tingkat emisi, jarak penyebaran polutan dari sumber, pengaruh angin dan kondisi atmosfir (Lazaridis, 2010). Atmosfir yang tidak stabil menyebabkan pencampuran kearah vertikal. Kejadian ini timbul pada waktu adanya insolasi atau

(9)

13 radiasi matahari yang cukup tinggi, sehingga permukaan tanah/ bumi memanas yang berakibat terjadinya pemanasan lapisan udara bagian bawah. Atmosfir menjadi stabil pada waktu permukaan bumi lebih dingin dari lapisan udara diatasnya, misalnya pada malam hari yang terang dan dingin. Kemudian lapisan udara diatasnya terdinginkan dan akibatnya tidak terjadi pencampuran kearah vertikal (Abidin, 2016).

Menurut penelitian Arrdianarsya (2019), Klasifikasi stabilitas yang banyak digunakan adalah klasifikasi yang dikembangkan oleh Pasquill dan Gifford (PGT). Kategori Pasquill dan Gifford dihitung dari kecepatan angin dan nilai intensitas radiasi matahari sebagai parameter penilaian kestabilan atmosfir dengan membagi nilai dalam 6 kelas yang diberi Label A sampai F. Klasifikasi kelas kestabilan atmosfir dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3 Klasifikasi kelas stabilitas atmosfir (Arrdianarsya, 2019).

Kecepatan Angin

(m/s)

Siang Malam

Intensitas Sinar Matahari Tertutup Awan Kuat

(>700)

Sedang (300-600)

Lemah (<300)

Berawan Cerah

A A-B B - -

A-B B C E F

B B-C C D E

C C-D D D D

C D D D D

dengan:

A = sangat tidak stabil, B = tidak stabil,

C = sedikit tidak stabil, D = netral,

E = agak sedikit stabil, F = stabil,

A-B, B-C dan C-D merupakan rata-rata kondisi dari keduanya.

(10)

14

2.7 Kecepatan Angin

Proses pemodelan dispersi, data yang dibutuhkan adalah nilai kecepatan angin pada titik ketinggian sumber pencemar. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kecepatan angin yang berasal dari titik ketinggian sumber pencemar dapat menggunakan persamaan sebagai berikut :

( ) (2.6)

dengan

= kecepatan angin pada ketinggian (m/s),

= kecepatan angin yang diukut dengan anemometer (m/s), = tinggi lokasi (m/s),

= tinggi lokasi pengambilan data kecepatan angin dari permukaan tanah (m), = nilai eksponen berdasarkan stabilitas atmosfer (Visscher, 2014).

Nilai atau nilai eksponen dilihat berdasarkan stabilitas atmosfer yang disajikan dalam Tabel 2.4 :

Tabel. 2.4 Nilai untuk perkiraan kecepatan angin (Visscher, 2014).

Kelas Stabilitas Kota Desa

A 0.15 0.11

B 0.15 0.12

C 0.20 0.12

D 0.25 0.17

E 0.40 0.29

F 0.60 0.45

2.8 Koefisien Dispersi

Nilai koefisien dispersi bergantung terhadap stabilitas atmosfer dan kondisi jenis daerah penelitian desa atau kota. Persamaan untuk menentukan nilai koefisien dispersi disajikan dalam Tabel 2.5 dan Tabel 2.6.

Tabel 2.5 Persamaan koefisien dispersi untuk daerah desa ( Visscher, 2014).

Kelas Kestabilitas ( ) ( )

A ( )

(11)

15

Kelas Kestabilitas ( ) ( )

B ( )

C ( ) ( ) D ( ) ( ) E ( ) ( ) F ( ) ( ) Keterangan : adalah jarak dari sumber dalam satuan meter

Tabel 2.6 Persamaan koefisien dispersi untuk daerah kota ( Visscher, 2014).

Kelas Kestabilitas ( ) ( )

A-B ( ) ( )

C ( )

D ( ) ( ) E-F ( ) ( )

2.9 Plume Rise

Plume rise adalah terjadinya kenaikan polutan yang meninggalkan sumber pencemar. Berikut merupakan persamaan perhitungan yang digunakan untuk menghitung nilai plume rise dengan model persamaan Albert H. Holland adalah sebagai berikut:

[ (

)] (2.7)

dengan

= plume rise (m),

= kecepatan emisi keluar dari cerobong (m/s), = diameter cerobong (m),

= tekanan Atmosfer (milibar), = tekanan gas di cerobong (K), = tempratur atmosfer (K), = konstanta (m-1 mbar-1).

(Fitria dan Sri, 2015).

(12)

16

2.10 Transformasi Laplace

Transformasi Laplace adalah suatu metode operasional yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial linier. Dengan menggunakan transformasi laplace, dapat diubah dalam bentuk fungsi umum salah satunya adalah fungsi eksponensial menjadi fungsi-fungsi aljabar variabel kompleks. Misalkan ( ) adalah fungsi yang terdefinisi untuk , maka transformasi laplace dari adalah fungsi baru dengan variabel bebas , yaitu ( ) yang didefinisikan sebagai berikut:

* ( )+ ( ) ∫ ( ) (2.8) (Kreyszig, 2011).

Notasi lainnya yang sering dipakai untuk ( )( ) adalah ( ).

Contoh 1 : Tranformasi Laplace.

Diberikan ( ) ketika . Dapatkan ( ) Solusi:

* ( )+ ( ) ∫ |

Contoh 2 : Transformasi Laplace dari fungsi eksponensial .

Diberikan ( ) ketika dimana adalah constant. Temukan * ( )+.

Solusi :

* ( )+ ( ) ∫

( ) |

( ) (

) (

)

(Kreyszig, 2011).

Teorema 2.1. Linearitas pada Transformasi Laplace.

Jika ( ) dan ( ) adalah dua fungsi, dan adalah sebarang bilangan, maka:

* ( ) ( )+ * ( )+ * ( )+

Bukti:

(13)

17 * ( ) ( )+ ∫ , ( ) ( )-

( ) ∫ ( )

* ( )+ * ( )+

Contoh 3 : Aplikasi Teorema 2.1 pada fungsi hiperbolik Dapatkan transformasi dari dan .

Solusi:

( ) dan ( ) , dari Contoh 2 dan Teorema 2.1 maka

( ) ( ( ) ( )) (

)

( ) ( ( ) ( )) (

)

Teorema 2.2. Pergeseran dalam

Jika ( ) transformasi ( ) (dengan untuk beberapa ) dan ( ) transformasi ( ) maka . Dalam formula,

* ( ) + ( ) Atau, jika diambil invers dari kedua sisi,

( ) * ( )+

Bukti:

Jika ( ) ( ) ∫ ( ) ,

( ) ∫ ( ) ( )

=∫ , ( )-

=∫ ( ) ( )

( )

Teorema 2.3. Transformasi Laplace dari turunan.

Transformasi dari turunan pertama dan turunan kedua ( ),

 ( ) ( ) ( )

 ( ) ( ) ( ) ( )

(14)

18 Bukti:

Jika dimisalkan dan ( ) ,diperoleh dan ( )

Transformasi Laplace turunan pertama adalah, ( ) ∫ ( )

, ( )- ( ) ∫ ( )

( ) ( )

Transformasi Laplace turunan kedua,

( ) ( ) ( )

[, ( )- ( )] ( )

( ) ( ) ( )

(Kreyszig, 2011).

2.11 Fungsi Dirac Delta

Fungsi dirac delta (fungsi implus satuan) yang dinotasikan dengan ( ) didefinisikan sebagai “fungsi” yang memenuhi dua sifat matematika, yakni:

( ) { ( ) ( )

∫ ( ) (2.9)

∫ ( ) ( ) ( ) jika , (2.10)

∫ ( ) ( ) jika tidak ada di , -. (2.11)

(Asmar, 2005).

Tranformasi laplace pada fungsi unit impulse atau fungsi dirac delta ( ) didefinisikan sebagai :

* ( )+ . (2.12)

(Kreyszig, 2011).

(15)

19 Bukti:

Untuk mendapatkan Transformasi Laplace ( ), pertama cari transformasi dari rata-rata fungsi impulse ( ) , ( )-, kemudian mencari limit dari

( ) ketika . * ( )+ ∫ ( )

( | )

(2.13) Karena pembilang dan penyebut pada Persamaan (2.9) mendekati ketika , maka gunakan aturan L’Hospital untuk mendapatkan limitnya:

* ( )+

(

)

( )

sehingga diperoleh * ( )+ .

2.12 Penelitian Terdahulu

Berikut adalah rangkuman hasil penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan.

Tabel 2.7 Penelitian terdahulu No Nama dan Tahun

Publikasi Hasil

1 Stockie (2011) Model gaussian plume ditampilkan secara rinci pada Matematika dasar dengan memodelkan dispersi atmosfer. Berdasarkan perkiraan model Gaussian plume dengan sumber kontinu. Menggunakan teknik transformasi laplace. Hasilnya diilustrasikan menggunakan contoh.

2 Liandy, dkk

(2015)

Pada pemodelan Gaussian Plume secara berturut - turut, titik lokasi jatuhnya polutan dengan konsentrasi maksimum terjadi pada kelas A, B, C, D, E dan F ialah 500 m, 900 m, 1700 m, 4700 m, 9900 m, dan 3900 m dari cerobong . semakin stabil kondisi atmosfer maka semakin jauh polutan mencapai titik maksimum.

3 Ardianarsya, B.S. (2019)

Pemodelan dispersi di musim hujan dan musim kemarau dengan sumber emisi beroperasi secara bersama dilakukan dengan radius 5000 meter. Saat musim hujan emisi PM 2,5 konsentrasi maksimum penyebaran yang dihasilkan sebesar 336,26 μg/m³ pada jarak 1600 m dari sumber emisi dan konsentasi minimum penyebaran emisi sebesar 5,49 μg/m³ pada jarak 5000 m dari sumber emisi. Saat musim

(16)

20 No Nama dan Tahun

Publikasi Hasil

kemarau emisi PM 2,5 konsentrasi maksimum penyebaran yang dihasilkan sebesar 195,95 μg/m³ pada jarak 1600 m dari sumber emisi dan konsentrasi minimum penyebaran emisi sebesar 1,42 μg/m³ pada jarak 5000 m dari sumber emisi.

Referensi

Dokumen terkait

Bab II Dasar Teori berisi tinjauan pustaka sebagai teori yang digunakan untuk acuan dalam penelitian ini, yaitu penjelasan tentang bahan solder, paduan logam serta aturan-aturan

Bab II, Tinjauan Pustaka berisi tentang teori-teori, peraturan hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai konsep dasar dalam

Tinjauan Pustaka Dalam proses perancangan Sistem Informasi Arsip SPJ Surat Pertanggung Jawaban Berbasis web diperlukan penjelasan atau teori yang dapat mendukung dan menunjang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada Bab II akan dijelaskan tentang Baja SS41, korosi, mekanisme korosi, inhibitor korosi, jenis-jenis inhibitor, safe inhibitor dan unsafe inhibitor,

7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab 2 tinjauan pustaka akan dijelaskan mengenai keterkaitan beberapa referensi meliputi: Komposit, Penguat, Matriks, Rule of mixture, Modulus

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tentang dasar teori yang digunakan dan menjadi ilmu penunjang bagi peneliti, berkenaan dengan masalah yang ingin diteliti berkaitan dengan

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa tinjauan pustaka yang mendukung penelitian dapat dilihat pada table 2.1 berikut ini :

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini merupakan bagian yang berisi tentang landasan teori yang digunakan sebagai dasar acuan teori bagi penelitian antara lain tentang Signalling Theory,