• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Tinjauan penelitian terdahulu merupakan kajian teori-teori yang diperoleh dari pustaka-pustaka yang berkaitan dan mendukung penelitian yang akan dilakukan, maka dari itu penulis kemukakan beberapa teori dan hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang menjadikan peraktek jual beli sistem panjar menjadi tradisi dalam masyarakat, antara lain:

Skripsi Asto Wahono Setio yang diselesaikan pada tahun 2018, dalam skripsinya yang berjudul “Jual beli hasil bumi dengan sistem panjar dalam persfektif Ekonomi Islam (Studi kasus di Desa Gedung Harapan Kecamatan Penawar Aji Kabupaten Tulang Bawang)”. Dari hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa masyarakat desa Gedung Harapan antara petani singkong dan pembeli menggunakan transaksi jual beli hasil bumi dengan cara sistem panjar. pada transaksi jual beli al-

‘urbu>n yang dilakukan masyarakat desa Gedung Harapan mengandung ketidakjelasan kapan seorang pembeli (bakul) akan mengambil barang (singkong), kapan akan membayar pelunasan dan apakah transaksi jual beli (yang telah disepakati) dapat berlansung secara sempurna atau tidak. Sehingga di dalam panjar terdapat ketidakjelasan dalam jual beli. Sedangkan dalam ekonomi Islam ketidakpastian adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan karena akan sangat merugikan salah satu pihak.1

1Asto Wahono Setio, “Jual Beli Hasil Bumi dengan Sistem Panjar Dalam Persfektif Ekonomi Islam (Studi Kasus di Desa Gedung Harapan Kecamatan Penawar Aji Kabupaten Tulang Bawang)”, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN Metro, 2018.

(2)

Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah yaitu mengenai jual beli sistem panjar hasil bumi. Sedangkan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adal terletak pada permasalahan yang timbul dalam penelitian jual beli sistem panjar, peneliti terdahulu terkait masalah gharar terhadap batasan waktu yang diberikan untuk pelunasan, sedangkan masalah yang timbul dalam penelitian ini adalah gharar terhadap objek jual beli dan terjadinya wanpresatasi.

Skripsi Ani Seviana Rahayu yang diselesaikan pada tahun 2018, dengan judul

“Tinjauan hukum Islam terhadap jual beli tebu sistem panjer di desa Kerep Kecamatan Sulang Kabupaten Rembang”. Dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa pelaksanaan praktil jual beli sistem panjer yang melatar belakangi maraknya jual beli sistem panjer adalah banyaknya petani tebu di Desa Kerep yang tidak memiliki cukup modal sehingga memilih untuk melakukan praktik jual beli sistem panjer dimana jual beli sistem panjer yang dilaksanakan masyarakat di Desa Kerep boleh dilakukan karena sudah lama berjalan dan telah menjadi adat kebiasaan antara petani dan bos tebu dan adanya unsur saling ridha dengan kesepakatan yang dibuat.

Meskipun praktik jual beli sistem panjer yang dilakukan masyarakat itu menggunakan syarat, dengan ini tidak sesuai dengan prinsip muamalah Islam.2

Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah yaitu mengenai jual beli sistem panjar. Sedangkan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah mengenai objek penelitian dimana penelitian terdahulu objek penelitiannya adalah petani Tebu, sedangkan penelitian ini adalah objek penelitiannya adalah petani cengkeh.

2 Ani Seviana Rahayu, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Tebu Sistem Panjer di Desa Kerep Kecamatan Sulang Kabupaten Rembang”, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Negeri Walisongo Semarang, 2018.

(3)

Skripsi Ummul Nisa yang diselsaikan pada tahun 2017, dengan judul

Sistem transaksi petani cengkeh di Desa Rantebulu Kecamatan Luwu”. Dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem transaksi petani cengkeh di Desa Rantebulu merupakan pekerjaan pokok bagi mayoritas masyarakat Rantebulu di dalam sistem transaksi lahan pertanian cengkeh tersebut terdapat bentuk kesepakatan kerja sama antara pemilik lahan pertanian dengan penggarap lahan pertanian yang di ikuti dengan perjanjian sistem bagi hasil. Praktek transaksi petani cengkeh yang dilakukan masyarakat Rantebulu memiliki beberapa kerja sama yaitu mappajjama, mappasanra dan mattender, jika cara ini dianalisis dalam hukum ekonomi Islam dapat dibenarkan, karena mappajama sama dengan mudha>rabah, mappasanra sistem gadai, dan mattender adalah jual beli, ketiga sistem ini di sebut al-bai’ dan sistem ini tidak merugikan salah satu pihak.3

Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah yaitu mengenai objek penelitian yang diteliti dimana yang menjadi objek penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah petani cengkeh. Sedangkan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah penelitian terdahulu fokus penelitiannya terhadap transaksi bagi hasil dari penggarapan lahan pertanian menggunakan akad kerja sama, sedangkan dalam penelitian ini fokus penelitiannya adalah jual beli sistem panjar dari hasil panen cengkeh.

Berdasarkan pemaparan penelitian terdahulu di atas, terdapat beberapa persamaan materi yang akan dibahas dalam penelitian ini. Termasuk mengenai objek yang dibahas dalam penelitian yaitu transaksi jual beli hasil bumi dan cengkeh, akan

3Ummul Nisa, “Sistem Transaksi Petani Cengkeh Di Desa Rantebulu Kabupaten Luwu (Analisis Hukum Ekonomi Islam)”, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare.

(4)

tetapi penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti berbeda dengan penelitian terdahulu. Karena belum ada yang membahas secara khusus jual beli cengkeh sistem panjar khususnya pada masyarakat di Desa Tellesang Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo, peneliti terdahulu hanya membahas sistem panjar pada jual beli hasil bumi singkong, dan tebu, serta transaksi bagi hasil petani cengkeh. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti lebih lanjut dengan judul “Tinjauan Hukum Ekonomi Islam Terhadap Jual Beli Cengkeh Sistem Panjar di Tellesang Kec. Pitumpanua Kab.

Wajo”.

2.2 Tinjauan Teoritis

2.2.1 Tinjauan Umum Tentang Jual-Beli Murabahah 1. Pengertian Mura>bah}}ah

Mura>bah}ah atau disebut juga ba’ bitsma>ni>l ‘aji>l. Kata mura>bah}}ah berasal dari kata ribh}u (keuntungan). Sehingga Mura>bah}ah dapat diartikan saling menguntungkan. Secara sederhana mura>bah}ah adalah jual beli barang ditambah keuntungan yang disepakati.

Secara terminology mura>bah}ah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh s}ha>hib al-ma>l dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi s}ha>hib al-ma>l dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.

Transaksi mura>bah}ah telah lazim dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Secara sederhana, yang dimaksud dengan mura>bah}ah adalah suatu penjualan seharga barang tersebut ditambah keuntungan keuntungan yang disepakati antara penjual dan pembeli. Boleh dikatakan bahwa akad yang terjadi dalam

(5)

mura>bah}ah ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam mura>bah}ah ini ditentukan berapa requires rate of profit-nya, atau keuntungan yang diharapkan akan diperoleh dalam transaksi ini.4

Ahmad Ifham Sholihin dalam bukunya Buku Pintar Ekonomi Syariah mengutip bahwa bai’ mura>bah}ah adalah jual beli yang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ mura>bah}ah, penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.5

Secara sederhana, jual beli mura>bah}ah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan. Atau lebih singkatnya dapat dikatakan sebagai akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual atau pembeli.6

2. Syarat dan Rukun Mura>bah}ah

Mura>bah}ah adalah salah satu bentuk afliaktif dari jual beli pada umumnya.

Sehingga mura>bah}ah adalah bisnis yang halal, dan menjadi haram karena adanya unsur-unsur yang menjadikan jual beli haram. Dan para ulama berdalil atas disyariatkan bentuk bisnis ini dengan hal-hal berikut:7

4 Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), h. 408.

5 Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 142.

6Mardani, Fiqh Ekonoomi Syariah Fiqh Muamalah (Cet. 4, Jakarta: Kencana, 2016), h. 136.

7 Abdullah Al-Muslih dan Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul haq, 2004), h. 195.

(6)

a. Keumuman dalil yang menjelaskan dibolehkannya jual beli dalam skala umum.

b. Ijma>’ kaum Muslimin. Karena jual beli ini telah dilakukan oleh kaum Muslimin di berbagai negeri dan setiap masa.

c. Karena orang yang tidak memilki keterampilan berjual beli dapat bergantung kepada orang lain (untuk berbisnis) dan hatinya tetap merasa tenang. Ia bisa membeli barang dan menjual dengan keuntungan yang logis sesuai kesepakatan.

Dalam transaksi mura>bah}ah terdapat beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut:8

a. Jual beli mura>bah}ah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki (hak kepemilikan telah berada ditangan si penjual). Artinya, keuntungan dan risiko barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi dari kepemilikan yang timbul dari akad yang sah. Ketentuan ini sesuai dengan kaidah, bahwa keuntungan yang terkait risiko dapat mengambil keuntungan.

b. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli pada suatu komoditas, semuanya harus diketahui oleh pembeli saat transaksi. Ini merupakan suatu syarat sah mura>bah}ah.

c. Adanya informasi yang jelas tentang keuntungan, baik nominal maupun persentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah mura>bah}ah.

d. Dalam sistem mura>bah}ah penjual boleh menetapkan syarat pada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat

8Mardani, Fiqh Ekonoomi Syariah Fiqh Muamalah, h. 137.

(7)

seperti itu tidak ditetapkan, karena pengawasan barang merupakan kewajiban penjual di samping untuk menjaga kepercayaan yang sebaik-baiknya.

2.2.2 Tinjauan Umum Tentang Jual Beli dengan Sistem Panjar 1. Pengertian uang panjar

‘Urbu>n atau al-‘urbu>n

( نوبرعلا)

secara bahasa berasal dari kata urba>n

(نبارألا)

, al ‘urba>n

( نبارعلا)

dan al urbu>n

( نوبرألا)

, artinya seorang pembeli memberi uang panjar. Dinamakan demikian, Karen di dalam akad jual beli tersebut terdapat uang panjar yang bertujuan agar oaring lainyang menginginkan barang itu tidak berniat membelinya karena sudah dipanjar oleh pembeli pertama.9

Bai’ al-‘urbu>n yakni seseorang membeli sesuatu dengan membayar sebagian harga kepada pihak penjual. jika pembeli megurungkannya maka sebagian harga yang telah dibayarkan tersebut berlaku sebagai hibah.10

Secara istilah panjar adalah sejumlah uang yang dibayarkan dimuka oleh seorang pembeli barang kepada si penjual. Bila akad itu mereka lanjutkan, maka uang itu dimasukkan kedalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka menjadi milik si penjual.11

Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan uang panjar adalah pembeli membeli suatu barang dan membayar sebagian total pembayarannya kepada penjual.

Jika jual beli dilaksanakan, maka uang panjar tersebut dihitung sebagai bagian dari total pembayarannya dan jika tidak, maka uang panjar tersebut diambil oleh penjual

9 Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, h. 207.

10Gufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 135.

11 Abdullah Al-Muslih, Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, h. 133.

(8)

deengan dasar sebagai pemberian dari pihak pembeli yang telah mengikat perjanjian sebelumnya.12

Adapun menurut M. Ali Hasan mengatakan bahwa, jual beli dengan uang panjar atau al-‘urbu>n adalah jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian.

Apabila barang yang sudah dibeli dikembalikan kepada penjual, maka uang muka (panjar) yang diberikan kepada penjual menjadi milik penjual tersebut. Di dalam masyarakat jaman sekarang ini dikenal dengan uang hangus atau uang hilang yang tidak boleh ditagih lagi oleh pembeli.13

Dalam hukum adat, istilah panjar dikenal dengan perikatan panjar. Soerjono Soekanto Mengatakan bahwa, panjer itu dapat diartikan sebagai tanda jadi, yang didalamnya terselip unsur saling percaya mempercayai antara para pihak. Panjer itu muncul apabila dalam dalam suatu sikap-tindak tertentu (misalmya: jual-beli) telah terjadi afsrak, dimana salah satu pihak memberikan sejumlah uang sebagai panjer atau tanda jadi. Apabila yang memberikan panjer itu tidak menepati kesepakatan- kesepakatan, maka panjer itu dianggap hilang, sedangkan apabila yang menerima panjer yang melalaikan kesepakatan itu, maka lazimnya diharuskan mengembalikan panjer dan ditambah lagi dengan membayar uang sebesar panjer yang diberikan itu.14

Pasal 1464 KUHPerdata menyatakan: “Jika pembelian dilakukan dengan memberi uang panjar, maka salah satu pihak tak dapat membatalkan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya.” Artinya jelas

12Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 152.

13 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 131.

14 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT RajaGreafindo Persada, 2008), h.

213.

(9)

bahwasanya panjar merupakan bukti adanya transaksi jual beli atas barang yang menjadi objek jual beli tersebut.15

Dengan demikian, uang panjar adalah uang yang dibayarkan di muka oleh seorang pembeli barang kepada penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan kedalam harga pembayaran, dan kalau tidak jadi, maka menjadi milik penjual. Misalnya, seseorang membeli barang atau menyerahkan kepada penjualnya satu dirham atau lebih dengan ketentuan apabila pembeli mengambil barang tersebut, maka uang panjar tersebut dihitung pembayaran dan bila gagal maka itu milik sipenjual.

Adapun syarat-syarat dalam jual beli sistem panjar antara lain sebagai berikut:

a. Objek barang harus jelas dan merupakan barang yang dapat ditransaksikan menurut syariah.

b. Jangka waktu yang diberikan untuk menentukan sikap, jadi atau tidak jadinya membeli suatu barang harus diberikan batasan secara jelas, agar terhindar dari gharar, misalnya, jangka waktu 1 hari, 2 hari, atau 3 hari, yang disepakti oleh kedua belah pihak yang berakad.

c. Uang muka sebagai tanda jadi atau tanda komitmen harus berdasarkan kesepakatan, yang jumlahnya merupakan perkiraan kerugian riil penjual, apabila nantinya pembeli tidak jadi membelinya.

d. Uang muka yang akan menjadi milik penjual, ketika pembeli tidak jadi membeli barangnya merupakan uang ganti rugi (ta’wi>dh), atas kerugian riil penjual. Dan

15 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia), Buku Kesatu Orang. Tersedia pada www.hukumonline.com., diakses pada 30 Juni 2020, h. 219.

(10)

ketika apabila dihitung masih ada sisanya, maka sisanya harus dikembalikan kepada calon pembeli.16

2. Dasar Hukum Al- ‘Urbu>n

Mengenai hukum jual beli sistem panjar Al-Khotobi menyatakan para Ulama’

berselisih pendapat tentang kebolehan jual beli sistem panjar.

a. Bai’ Al-‘Urbu>n hukumnya haram dan tidak sah

Pendapat yang tidak memperbolehkan (melarang) jual beli al-‘urbu>n diantaranya adalah jumhur ulama (mayoritas ulama selain Imam Ahmad) yang terdiri dari Imam Abu Hanifah dan para muridnya, Imam Malik, dan Imam Syafi’i.

Pandangan Ahli fiqih dari kalangan Syafi`iyyah berpendapat jual beli ini tidak sah. Sebagaimana dikemukakan dalam kitab Al-Majmu karya an-Nawawi, bai’ al-

‘urbu>n termasuk kedalam jual beli yang batal. Pendapat Imam Nawawi salah satu dari pengikut Imam As-Syafi’i menjelaskan bahwa para ulama Mazhab tentang jual beli sistem panjar, sesungguhnya telah kami sebutkan bahwa Imam As-Syafi’i batalnya jual beli sistem panjar jika disyaratkan pada akad transaksi, dan bagi syaratnya termasuk jual beli yang fasi>d dan gharar, karena memakan harta dengan cara yang ba>t}hil.

Menurut Abu Hanifah dan para muridnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab fatwa al-Safdiy, bai’ al-‘urbu>n termasuk dalam jual beli yang (fasi>d) rusak.

Imam Malik berpendapat sebagaimana dikemukakan dalam kitab Al-Tamhid karya Abu Amr bin Abd al-Barr, bai’ al-‘urbu>n termasuk dalam jual beli yang batal.17

16 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Mu’amalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 90.

(11)

Abu Umar berkata: “Kelompok ulama Hijaz dan Irak, diantaranya adalah Imam Syafi’I, Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al-Auza’I dan Al-Laist, menyebutkan bahwa bai’ al-‘urbu>n termasuk dalam jual beli mengandung judi, penipuan, dan memakan harta tanpa ada pengganti (imbalan) dan juga bahkan termasuk pemberian (hibah). Oleh karena itu, hukum bai’ al-‘urbu>n adalah batal (tidak sah) menurut kesepakaatan ulama (ijma>’).

Ulama mengemukakan bahwa diantara sebab (‘illat) dilarangnya jual beli dengan sistem panjar adalah sebagai berikut:

1) Adanya unsur gharar, yaitu umumnya terjadi dua hal, pertama ketidakjelasan, apakah pembeli jadi membeli barangnya atau tidak. yang kedua ketidak jelasan, dalam jangka waktu kepastian, jadi atau tidaknya pembeli akan membeli atau membatalkannya.

2) Adanya unsur spekulasi (maisi>r), yaitu oleh karena adanya unsur gharar atau ketidakjelasan dari pembeli, maka dengan sendirinya muncul spekulasi (maisi>r) sehingga ia tidak menjualnya kepada orang lain, padahal calon pembeli belum tentu membelinya.

3) Mengambil harta orang lain tanpa imbalan (ba>t}hil), yaitu dalam hal ketika pembeli tidak jadi membeli, maka uang muka yang memang sejak awal dimaksudkan sebagai alat bayar, akan berpindah kepemilikannya menjadi milik si penjual tanpa ada kompensasi apapun buat si pembeli.18

17Meilita, Skripsi: Praktek Jual Beli Barang Dengan Sistem Panjar Titip Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Pada Toko Rizky Jaya di Samping Asam, Banjit, Way Kanan), Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, h. 56

18 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Mu’amalah, h. 90.

(12)

Adapun argument Mayoritas ulama tidak memperbolehkan jual beli al-

‘urbu>n dengan berdalil:

1) Diceritakan Hisyam bin Ammar, Diceritakan Malik bin Annas berkata:

ُ َّللَّا َّلَّ َص ِّ َّللَّا َلو ُسَر َّنَأ ِّهِّ دَج ْنَع ِّهيِّبَأ ْنَع ٍبْيَع ُش ِّنْب وِّرْ َعَ ْنَع ُهَدْنِّع ِّةَقِّ ثلا ْنَع

19

( هور نبا ةمج) ن َبا ْرُعْلا

ِّعْيَب ْنَع ىَ َنَ ََّلّ َسَو ِّهْيَلَع

Artinya:

Telah sampai kepadaku dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya:

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. Melarang jual beli ‘urba>n. (HR. Ibnu Majjah).

2) Transaksi al-‘urbu>n termasuk memakan harta orang lain dengan cara ba>t}hil, karena disyaratkan bagi sipenjual tanpa ada kompensasinya. Dan di dalam praktek ini ada gharar (penipuan).20 Sementara gharar itu adalah sesuatu yang diharamkan. Abu Hisam al-Din al-Tharfawi mengomentari gharar itu adalah seseorang menjual sesuatu yang tidak diketahui sifat dan ukurannya.21 Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. An-Nisa’/4: 29 Allah Swt. Berfirman:

19 Lidwa, Aplikasi Ensiklopedia Hadits-Kitab 9 Imam (Sunan Ibnu Majah), (Indonesia:

Aplikasi EH v9.7.3, 2010), Hadist No. 2183.

20 Moh. Ridlo Pambudi, Jamaluddin A. Kholik, Moh. Nafik, Jurnal: Analisis Transaksi Jual Beli Bawang Merah Berpanjar dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Putren Kecamatan Sumoro Kabupaten Nganjuk), Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri: Jurnal Qawanin, Vol. 3, No. 1, 2019), h. 103.

21 Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, h. 214.

(13)

















































Terjemahnya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang ba>t}hil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesuangguhnya allah maha penyayang kepadamu.22

Berdasarkan ayat Al-Qur’an di atas memberikan pengertian bahwa adanya larangan memakan harta dengan cara ba>t}hil serta diperbolehkannya melakukan kegiatan perniagaan dengan syarat sukarela atau suka sama suka dan ridho diantara kedua belah pihak.

3) Transaksi al-‘urbu>n terdapat dua syarat yang ba>t}}hil di dalamnya, yaitu syarat memberikan uang muka dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan adanya perkiraan salah satu pihak tidak rela. Nabi Saw. Bersabda:

َب َلا َو ْنَم ْضَت ْمَل اَم ُحْبِّر َلاَو ٍعْيَب ِّفِ ِّنا َطْ َشَ َلاَو ٌعْيَبَو ٌفَل َس ُّلِّ َيَ َلا َسْيَل اَم ُعْي

ا

23

( هور يذمترلا) ك َدْنِّع

Artinya:

Tidak halal menjual dan meminjamkan, dan tidak pula dua syarat dalam satu jual beli.” (HR.Tirmidzi).

22 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (2009), h. 83

23 Firdaus Kurniawan Zulqornain, Kumpulan Hadist dari 9 Imam (Sunan At Tirmidzi), (Semarang: Aplikasi Versi 1.6, 2019), Hadist No. 1155

(14)

4) Transaksi al-‘urbu>n hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui (k}hiya>r al-majhu>l). Jika disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah.

Imam As-Syaukani mengatakan:

Pendapat yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama, karena hadis ‘Amru bin Syu’aib terdapat beberapa jalan periwayatan yang saling menguatkan. Selain itu, sebab hal ini mengandung larangan dan hadis yang yang mengandung larangan lebih kuat dari yang menunjukkan kebolehan sebagaimana telah jelas dalam pembahasan us}hu>l fiqi>h.24

b. Bai’Al-‘Urbu>n hukumnya boleh

Pendapat dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. Diantaranya adalah Umar bin Khatab Ra. Dalam Al-Istidkar, Al-Baihaqi meriwayatkan:

ِّدْبَع ُنْب ُعِّف َنَ ىَ َتر ْشا ” :َلاَق ِّثِّراَحْلا ِّدْبَع ِّنْب ِّعِّف َنَ َلَ ْوَم َخوُّرَف ِّنْب ِّنَ ْحَّْرلا ِّدْبَع ْنَع ِّثِّراَحْلا ِّنْب َرَمُعِّل ِّنْج ِّ سلا ُراَد ،ٍةَئاِّمِّعَبْرَأِّب َةَّيَمُأ ِّنْب َناَوْف َص َراَد َةَّيَمُأ ِّنْب َناَوْف َص ْنِّم

25

، ٍةَئاِّمَعَبْرَأ َةَّيَمُأ َنْب َناَوْف َص ٌعِّف َنَ َطْعَأ ،اَهَهِّرَك ْن

ِ اَو اَ َيَ ِّضَر ْن ِ ا ِّبا َّطَخْلا

Artinya:

Dari Abdurrahman bin Farrukh Maaula Nafi’ bin Abdul Harits, ia berkata,

‘Nafi’ bin abdul Harits membeli rumah Shofwan bin Umayyah dengan harga (uang muka) 400 dirham. (rumah itu hendak digunakan sebagai) penjara (atas perintah) Umar bin Al-Khottab. Jika Umar cocok (maka transaksi berlanjut dan harga 400 dirham dilunasi). Jika Umar tidak cocok maka Nafi’

memberikan (menghalalkan) uang 400 dirham itu untuk Shofwan bin Umayyah.

24 Moh. Ridlo, Dkk., Jurnal: Analisis Transaksi Jual Beli Bawang Merah Berpanjar dalam Persfektif Hukum Islam, h. 103.

25 Muhammad Abdul Qodir ‘Athab, Sunan Al-Kubra (Lil Imam Abi Bakar Ahmad bin al- Husain bin Ali al-Baihaqi), Juz IV, (Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiah,tt.), h. 57.

(15)

Dari kalangan Tabiin diantaranya adalah Muhammad bin Sirin, sebagaimana hadist yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa beliau (Ibnu Sirin) berkata:

Bolehkah hukumnya seseorang memberikan uang panjar berupa garam atau yang lainnya kepada sipenjual?, Kemudian seseorang itu berkata: “Jika aku datang kepadamu jadi membeli barang itu, maka jadilah jual beli. kalau tidak, maka panjar yang kuberikan itu untukmu.”

Selain Muhammad bin Sirin ada lagi tabiin yang memperbolehkan bai’ al-

‘urbu>n, seperti Mujahid bin Jabir, sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid, beliau (Mujahid) berkata:

“Boleh hukumnya jual beli memakai uang panjar.”

Pendapat yang memperbolehkan dari kalangan Imam mazhab hanya Imam Ahmad bin Hambal, menurutnya, bai’ al-‘urbu>n hukumnya boleh. Mazhab ini membolehkannya berdasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Nafi’ bin Abd al- Haris dalil yang dinisbatkan kepada Umar bin Khatab.26

Bai’ al-‘urbu>n menurut Hanabilah termasuk jenis jual beli yang mengandung kepercayaan dalam bermuamalah, yang hukumnya diperbolehkan atas dasar kebutuhan (hajat). Menurut pertimbangan ‘urf (adat kebiasaan).

Ibnu Qudhamah salah seorang ulama Hanabilah dalam kitabnya al-Mughni>

mendefinisikan bai’ al-‘urbu>n sebagai seseorang membeli barang, kemudian dia menyerahkan dirham (uang) kepada penjual sebagai uang panjar. Jika ia jadi membeli barang itu, maka uang itu dihitung dari harga barang. Akan tetapi, jika tidak jadi membelinya, maka uang panjar itu menjadi milik penjual.27

26 Moh. Ridlo, Dkk., Jurnal: Analisis Transaksi Jual Beli Bawang Merah Berpanjar dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Putren Kecamatan Sumoro Kabupaten Nganjuk), h. 104.

27Ibnu Qudamah, al-Mughni>, terj. Anshari Taslim (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Juz V, h.

772-773.

(16)

Adapun dalil hukum Islam yang dijadikan argument (h}ujjah) untuk mendukung pendapat mereka yang memperbolehkan bai’ al-‘urbu>n diantaranya adalah:

1) Firman Allah Swt. Dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 275

…











 …

Terjemahnya:

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”28

Secara umum, ayat tersebut menegaskan bahawa berhubungan dengan halalnya setiap jual beli, kecuali terdapat dalil yang jelas dari Al-Qur’an maupun hadist yang melarangnya. Begitu juga dalam hal bai’ al-‘urbu>n, yang tidak ditemukan hadist shahih yang berhubungan dengan keharamannya jual beli tersebut.

2) Atsar yang berbunyi:

َةَّيَمُأ ِّنْب َناَوْف َص ْنِّم

ِّنْج ِّ سلا َراَد

َرَمُعِّل ىَ َتر ْشا ُهَّنَأ

, ثرالحا ِّنْب

ِّعِّفَن ْنَع

اَذَك َو اَذَك َُلَف َّلا

ِ ا َو ُرَ ُعَ , َ ِّ

ض َر

ْن اَف ِ ,

Artinya:

Dari Nafi bin Al-Harits, sesungguhnya ia pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan) apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.

28Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (2009), h. 47.

(17)

3) Hadist Amru bin Syuaib adalah lemah, sehingga tidak bisa dijadikan sandaran dalam melarang jual beli dengan sistem panjar.

4) Uang muka adalah kompensasi yang diberikan kepada penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Dia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Dengan demikian, maka tidaklah benar pandangan yang mengatakan, bahwa uang muka telah dijadikan syarat oleh penjual tanpa ada imbalannya.

5) Tidak sahnya qiya>s (analogi) jual bli ini dengan al-k}hya>r al-ma>jhul (hak pilih terhadap barang yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkan uang muka ini adalah dibatasiya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, batal analogi tersebut, dan hilangnya sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.29 c. Fatwa Kontemporer tentang jual beli Al-‘Urbu>n

Dalam fatwa Lajnah ad-dai>mah li> al-bu>h}us al-‘ilmiyya>h wa al-ifta>’

dalam fatwa nomor 9388 dan nomor 19637 menyebutkan tentang kebolehan panjar atau uang muka, dengan fatwa:

“jual beli dengan uang muka hukumnya diperbolehkan. Jual beli ini dengan membayar seorang pembeli kepada penjual atau agennya (wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari nilai harga barang tersebut setelah selesai transaksi, untuk jaminan barang.

Ini dilakukan agar selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan apabila pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam bagian pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil uang muka tersebut dan memilikinya.

Jual beli sistem uang muka ini sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya dan penjual memiliki hak

29 Moh. Ridlo, Dkk., Jurnal: Analisis Transaksi Jual Beli Bawang Merah Berpanjar dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Putren Kecamatan Sumoro Kabupaten Nganjuk), h. 104.

(18)

secara syar’i menagih pembeli untuk melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang.”30

Keputusan Lembaga Fiqih Islam (Majma’ Al-Fiqi>h Al-Isla>mi>) di Makkah dalam muktamar yang ke-8 yang diselenggarakan di Siria pada tanggal 1-7 Muharom tahun 1414 H (21-27 Juni 1993 M) memutuskan hukum jual beli panjar sebagai berikut:

Yang di maksud dengan bai’ al-‘urbu>n (jual beli sistem panjar) adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual, dengan syarat bila ia jadi mengambil barang itu maka uang muka tersebut termasuk dalam harga yang harus dibayar. Namun jika tidak jadi membelinya, maka sejumlah uang tersebut menjadi milik penjual. Selain berlaku untuk jual beli al-‘urbu>n juga berlaku untuk sewa-menyewa. Karena sewa-menyewa termasuk akad jual beli atas manfaat.

Ba’i al-‘urbu>n diperbolehkan apabila dibatasi oleh waktu tertentu, dan panjar itu dimasukkan sebagai bagian pembayaran apabila pembeli jadi membeli barang tersebut atau uang panjar dihitung dari harga barang. Namun apabila tidak jadi membelinya, maka uang panjar menjadi milik penjual.31

Fatwa DSN-MUI No. 13/DN-MUI/2000 tentang uang muka dalam mura>bah}ah.

1) Ketentuan Umum Uang Muka:

a) Dalam akad pembiayaan mura>bah}ah, LKS dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak sepakat.

b) Besarnya jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.

30 Moh. Ridlo, Dkk., Jurnal: Analisis Transaksi Jual Beli Bawang Merah Berpanjar dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Putren Kecamatan Sumoro Kabupaten Nganjuk), h. 105.

31Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, h. 214-215.

(19)

c) Jika nasabah membatalkan akad mura>bah}ah, nasabah harus memberi ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut.

d) Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah.

e) Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah.

2) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbirtrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.32

Dalam Kitab Undang-Undang Uni Emirat Arab Pasal 148 dan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Irak Pasal 92 Menegaskan:

1) Pembayaran ‘urbu>n dianggap sebagai bukti bahwa akad telah final dimana tidak boleh ditarik kembali kecuali apabila ditentukan lain dalam persetujuan atau menurut adat kebiasaan.

2) Apabila kedua pihak telah sepakat bahwa pembayaran ‘urbu>n adalah sebagai sanksi pemutusan akad, maka masing-masing pihak mempunyai hak menarik kembali akad, apabila yang memutuskan akad adalah pihak yang membayar

‘urbu>n, ia kehilang ‘urbu>n tersebut dan apabila yang memutuskan akad adalah pihak yang menerima ‘urbu>n, ia mengembalikan urbu>>n ditambah sebesar jumlah yang sama.33

32 Dr. Andri Soemitra, M.A., Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga Keuangan dan Bisnis Kontemporer, (Jakarta Timur: PrenadaMedia Group, 2019), h. 176.

33 Moh. Ridlo, Dkk., Jurnal: Analisis Transaksi Jual Beli Bawang Merah Berpanjar dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Putren Kecamatan Sumoro Kabupaten Nganjuk), h. 106.

(20)

Menurut Wahbah Al-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Isla>mi> wa Adillatuhu, jual beli dengan uang muka (‘urbu>n) itu sah dan halal dilakukan berdasarkan ‘urf (tradisi yang berkembang). Karena dewasa ini jual beli dengan sistem uang muka telah menjadi dasar komitmen dalam hubungan bisnis yang dijadikan sebagai perjanjian kompensasi bahasnya bagi pihak lain, karena resiko menunggu dan tidak berjalannya usaha. Selain itu hadist-hadist yang diriwayatkan dalam kasus jual beli ini, baik yang dikemukakan pihak yang pro maupun kontra tidak ada satupun hadist shahih.34

3. Ketentuan dalam jual beli panjar

Jual beli sistem panjar sudah menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat dalam bertransaksi jual beli, baik telah menentukan batas waktu pembayaran atau belum menentukannya, tapi dengan ketentuan penjual memiliki hak menagih kepada pembeli untuk melunasi sisa pembayaran setelah keduanya sepakat dan serah terima barang. Akan tetapi, ketika transaksi ini batal atau tidak jadi, maka penjual mendapatkan uang panjar yang diberikan oleh pembeli dengan alasan bahwa uang panjar tersebut sebagai ganti rugi atas suatu barang yang tidak jadi dibelinya, tentu ini menjadi kerugian bagi pihak yang memberikan panjar karena selain harus mengembalikan barang kepada penjual, uang panjarnya juga menjadi milik penjual.35

Dengan kata lain, dalam jual beli panjar ini memiliki ketentuan bahwa, pembeli harus memberikan uang muka kepada penjual sebagai tanda jadi pembelian, dan melunasi sisa pembayarannya sesuai dengan masa waktu yang ditetapakan. Jika tidak melunasi sisa pembayarannya, maka barang yang dipanjar harus dikembalikan

34 Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Indonesia: Abdul Hayyie al-Kattani dkk., Fiqh Islam Wa Adillatuhu, h. 118.

35Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 153.

(21)

kepada penjual dan uang panjarnya menjadi milik penjual seutuhnya, dan itulah ketentuannya.

Uang panjar yang menjadi milik penjual merupakan kompensasi yang diberikan kepada penjual yang menunggu barang dan sisa pembayaran dan penjual juga kehilangan kesempatan untuk menjual ke pihak lain.

4. Tujuan Uang Panjar

Belakangan ini transaksi jual beli dengan menggunakan uang muka banyak diterapkan masyarakat, dimana uang panjar sudah menjadi tradisi sebagai unsur komitmen dalam hubungan bisnis dan menjadi hajat (kebutuhan mendesak). Jual beli yang dalam transaksinya menggunakan uang muka dilakukan dengan dasar dalil ‘Urf yaitu adat kebiasaan yang sudah dilakukan oleh masyarakat secara terus-menerus.

Tujuan dari diterapkan sistem pembayaran jual beli dengan menggunakan uang muka adalah sebagai symbol tanda jadi antara penjual dan pembeli yang melakukan transaksi. Sehingga, diantara kedua belah pihak baik penjual dan pembeli memiliki ikatan dan saling merasa terjamin atas transaksi yang dilakukan. Uang muka juga diterapkan agar meminimalisir terjadinya unsur penipuan dalam transaksi jual beli terutama dalam jual beli pesanan.

Beberapa tujuan adanya simpanan uang panjar yaitu:

a. Simpanan uang panjar menunjukkan kesungguhan pembeli, yang mendorong penjual untuk menarik propertinya dari pasar.

b. Simpanan uang panjar menutupi resiko yang ditanggung penjual dan sebagai biaya kesempatan atau kerugian lain yang muncul seandainya kontraknya gagal.36

36 Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, Penerjemah: M. Sobirin Asnawi, Dkk., Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori dan Praktik, (Bandung: Nusamedia, 2007), h. 189.

(22)

2.3 Tinjauan Konseptual

Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memberikan pengertian, maka peneliti memberikan penjelasan dari beberapa kata yang dianggap perlu agar mudah dipahami yaitu sebagai berikut:

2.3.1 Tinjauan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah aktivitas yang memuat sejumlah kegiatan seperti pemeriksaan yang teliti, penyelidikan, hasil meninjau, pandangan, pendapat, yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan.37

2.3.2 Hukum ekonomi Islam adalah merupakan keseluruhan kaidah hukum yang mengatur dan mempengaruhi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan dan kehidupan perekonomian umat manusia.38

2.3.3 Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.39

2.3.4 Cengkeh adalah sejenis bunga kering dari tanaman syzygium aromaticum, dalam bahasa inggris disebut cloves, adalah tangkai bunga kering beraroma dari keluarga pohon Myrtaceae. Cengkih dalam keadaan segar berwarna merah ketika mekar dan berwarna coklat kehitaman apabila dikeringkan, berbentuk seperti bunga kecil, dan beraroma wangi.40

2.3.5 Sistem Panjar adalah sistem pembayaran dengan pemberian uang muka (DP), yang pembayarannya kemudian akan di angsur kembali.

37Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (cet. 1, ed.

Ke 4, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1470.

38Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam Sejarah, Teori, dan Konsep, h. 6.

39 Nasroen Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 111.

40Meilisa Kusumawati, Cengkeh, tersedia di www.kerjanya.net/faq/18572-cengkeh.html diakses 23 Agustus 2017

(23)

2.4 Bagan Kerangka Fikir

Gambar 1.1. Menjelaskan mengenai kerangka fikir peneliti yang membahas tentang tinjauan hukum ekonomi Islam terhadap jual beli cengkeh sistem panjar di Desa Tellesang Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo. Dalam penelitian ini peneliti mencoba mendeskripsikan bentuk jual beli cengkeh di Tellesang Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo. Selanjutnya, peneliti akan berusaha mengungkap keuntungan dan kerugian jual beli cengkeh sistem panjar baik dari pihak pembeli (juragan) maupun dari pihak penjual (petani). Hasil dari deskripsi dan pengungkapan tersebut peneliti akan menganalisanya dengan tinjauan hukum ekonomi Islam.

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Fikir Peneliti Jual Beli

Murabahah

Jual Beli Panjar/

ba’i al-urbun Hukum Jual Beli Cengkeh

Hasil Penelitian Hukum Ekonomi Islam

Referensi

Dokumen terkait

Dan dari jasanya ityanulah, perantara atau Makelar tersebut mendapatkan uang komisi/upah atas jasa tenaganya, dari masing-masing pihak yaitu penjual dan pembeli,