BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Kasus Pengalihan Pengadilan Perkara Pidana
Amandemen UUD 1945 Pasal 24 ayat (1) menyebutkan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Berhubungan dengan itu harus dijamin dalam undang-undang tentang fungsi dan kekuasaannya.Sehubungan dengan hal tersebut keberadaan UU tentang independensi lembaga peradilan menurut Oemar Seno Adjiadalah sebagai salah satu aspek esensial, bahkan unsur fundamental dalam Negara hukum bagi Indonesia.25
Wajib hukumnya setiap kasus perkara tindak pidana diadili pada daerah hukum yang dimana pengadilanlah yang berwenang mengadilinya (Pasal 137 KUHAP), sehingga Penuntut Umum sebelum melimpahkan perkara pidana ke pengadilan harus tau apakah pengadilan ada kuasa mengadili atas perkara tersebut, untuk menjaga kemungkinan hakim menolak memeriksa perkara karena tidak kuasa mengadili perkara itu (kompetensi absolut). Hal tersebut sebenarnya tidak singkron dengan teori loctus delicti, yang dimana pada Pasal 84 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa Pengadilan negeri yang berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Namun dalam Pasal 85 KUHAP menyatakan bahwa dapat dialihkan dengan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan pada Pasal 84 ayat (2), dan Penjelasan Umum Pasal
25 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1985, hal. 251
85 KUHAP yang dimana artinya ialahKUHAP sendiri tidak memilki penafsiran otentik. Selaras dengan hal tersebut apabila keadaan daerah dimana Pengadilan Negeri yangberwenang mengadili tidak dapat dilaksanakan. Mahkamah Agung dapat mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadilan Negeri lain untuk mengadili perkara tersebut (kompetensi relatif).26
Hal tersebut sama halnya terjadi pada kasus mantan Gubernur Jakarta yakni Batsuki Tjhahja Purnama yang dimana resmi ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan penistaan agama, singkatnya peristiwa dugaan penistaan agama ini bermula saat Ahok melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada Selasa, 27 September 2016. Saat berpidato di hadapan warga. Ahok menyatakan tidak memaksa warga untuk memilih dirinya pada Pilkada 2017. Pernyataan itu disertai kutipan surat Al Maidah ayat 51 yang menuai reaksi publik, sehingga pada Kamis, 6 Oktober 2016, video Ahok yang menyebut surat Al Maidah ayat 51 itu viral di media sosial lewat jejaring facebook milik Buni Yani. Dan pada 7 Oktober 2016, Ahok dilaporkan oleh Habib Novel Chaidir Hasan yang berprofesi sebagai alim ulama, sebagaimana Laporaan Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim.
Sehingga pada 16 Oktober 2016, penyidik memutuskan menaikkan status ke tingkat penyidikan dan menetapkan Ahok sebagai tersangka. Dan pada 25 November 2016, Bareskrim Polri melimpahkan berkas perkara kasus dugaan Penistaan Agama ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Akhirnya pada 30 November 2016, Kejaksaan Agung menetapkan berkas perkara kasus dugaan Penistaan Agama itu telah lengkap atau P-21. Dan pada Kamis (1/12/2016) siang, hanya
26 Suharto RM, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal.
103
dalam hitungan kurang dari 2 jam setelah Kejaksaan Agung menerima pelimpahan berkas perkara dan tersangka Ahok dari Bareskrim Polri, Kejagung meneruskannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Singkatnya kasus dugaan penistaan tersebut awalnya rencananya diadakan di Pengadilan Jakarta Utara, namun karena alasan keamanan (Menurut Juru Bicara Mahkamah Aun Suhad) maka terjadi pengalihan lokasi sidang yang dimana memerlukan izin ketua Mahkamah Agung. Yang dimana dialihkan di “Aula Kementrian Pertanian Ragunan Jakarta Selatan” yang memang bahkan bukan wilayah daerah hukum.27
Dapat dilihat bahwa kasus tersebut diindikasikan oleh desakan media massa maupun media sosial yang dimana memaksa hukum maupun penegak hukumnya untuk berperan. Bukan hanya pengalihan tempat persidangan terjadi pada kasus besar seperti Penistaan Agama tersebut tetapi ada pula beberapa kasus besar yang lokasi sidangnya dipindahkan seperti “sidang perkara mantan Wali Kota Semarang yakni Seoemarno Hadi Saputra yang dimana dipindahkan dari Pengadilan Negeri Semarang ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Mei 2012.
Dan juga pada kasus terorisme Abu Dujana yang juga dipindahkan dari Pengadilan Negeri Poso ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya karena alasan keamanan.28
Dapat dilihat bahwa peran media dan instruksi pada masyarakat sangat mendorong dan juga berdampak, sehingga sesuai dengan isi dari Penjelasan Umum Pasal 85 KUHAP yakni:
27 http://www.tribunnews.com/nasional/2016/12/02/inilah-perjalanan-proses-hukum- kasus-ahok
28 https://tirto.id/kronologi-kasus-dugaan-penistaan-agama-b457
“Keadaan daerah tidak mengizinkan ialah antara lain “Tidak amannya daerah” atau adanya bencana alam.”
Maka isi dari Penjelasan Umum Pasal 85 mengenai masalah keamanan bisa saja dipakai pada kasus Penistaan Agama dengan terdakwa Batsuki Tjhaja Purnama alias Ahok sehingga berdampak pada dialihkan pengadilan tersebut.
Dalam kasus Ahok banyak diklaim sebagai Idependensi permainan politik salah satunya oleh Sulistyowati Irianto (Dosen Antropologi, Universitas Indonesia), yang dimana beliau mengatakan bahwa:
“Kami memandang Batsuki Tjahaja Purnama adalah korban kriminalisasi dengan tuduhan penodaan agama. Batsuki Tjahaja Purnama korban dari upaya fitnah dan pemelintiran yang dilakukan oleh orang yang bermaksud jahat padanya dan korban penggunaan Pasal 156a yang termasuk “pasal karet” yang bisa ditarik-tarik buat menjerat sesuai kepentingan penguasa dan pihak yang mengaku mayoritas. Singkapnya saat membacakan pernyataan sikap di Cikini, Jakarta Pusat, sabtu 10/12/2016”.29
Oleh karenanya dapat dilihat pada kasus Batsuki Tjahaja Purnama alias Ahok, bahwa dalam pembuktian hingga diajukannya kasus penistaan agama ke Pengadilan karena video yang beredar di laman facebooknya Buni Yani yang dimana belum pasti terbukti benar atau tidaknyavideo tersebut. Sehingga dapat dilihat mengundang banyak kontroversi yang dimana berdampak pada pengalihan kasus Ahok yang seharusnya di sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara tetapi karena alasan keamanan akhirnya dialihkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.Hal tersebut jelas sangat berpengaruh pada kepada kualitas putusan.
Berkesinambungan dengan dialihkan sidang perkara Ahok yang dimana dialihkan dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan
29https://megapolitan.kompas.com/read/2016/12/10/14081191/sejumlah.aktivis.ham.nyata kan.ahok.korban.kriminalisasi
tetapi bukannya disidangkan di Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan malah disidangkan di Gedung Aula Kementerian Pertanian Ragunan Jakarta Selatan yang jelas bukan wilayah otoritas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (otoritas hukum).
Dipetik dari Wikipedia bahwa Pengadilan atau Mahkamah adalah sebuah forum publik, resmi, dimana kekuasaan publik ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan pencarian keadilan dalam hal sipil, buruh administratif, dan kriminal di bawah hukum. Sama halnya dengan pengertian tersebut menurut R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio Peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut mereka penggunaan istilah peradilan (rechtspraak, judiciary) menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum (het rechtspreken), sedangkan pengadilan ditunjuk sebagai badan atau wadah yang memberikan peradilan.30
Hal tersebut menjelaskan bahwa Pengadilan merupakan Badan atau Instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan dari proses memeriksa, memutus, dan mengadili suatu perkara. Sehingga dapat dilihat pada kasus Ahok yang dimana dijalankan di Gedung Aula Kementerian Pertanian Ragunan Jakarta Selatan (bukan wilayah otoritas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) tidak sejalan dengan maksud daripada Pasal 85 KUHAP, yang dimana seharusnya dilaksanakan pada Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang bilamana sudah menjadi suatu keharusan pada Pasal 85 KUHAP beserta Penjelasan Umumnya mengenai
30 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pengadilan
alasan keamanan tersebut, yang dimana pada sidang Ahok tersebut dilaporkan ada sekitar 2.996 personel kepolisian yang dikerahkan untuk mengamankan jalannya sidang. Pihak kepolisian merekomendasikan agar lokasi sidang Batsuki Tjahaja Purnama atau Ahok dipindah. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono, mengatakan rekomendasi itu berdasarkan hasil evaluasi, sehingga kepolisian memberikan saran, koordinasi dengan pengadilan untuk dipertimbangkan lokasinya (dipindah), yang dimana lokasi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinilai tidak memadai dan dikhawatirkan akan membuat jalannya sidang dan lingkungan sekitar tidak kondusif, hal ini sesuai dengan pernyataan Sekertaris GNPF MUI Habib Novel Bamukmin menilai kapasitas ruang sidang terlalu sedikit. Ia mengatakan Pengadilan Negeri Jakarta Utara hanya berkapasitas 100 orang sementara kapasitas Aula Kementerian Pertanian Jakarta Selatan mencapai 300 orang.31 Sehingga kalau berbicara mengenai keamanan bisa saja ditingkatkan keamanannya yakni ditambahkannya personil polisi dalam hal mengawasi keamanan berjalannya sidang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dialihkannya kasus Ahok lebih condong pada keadaan fasilitasi Gedung Pengadilan sendiri yakni dengan kata lain sarana pra-sarana. Yang dimana menurut Soerjono Soekanto: sarana atau fasilitasi mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitasi tersebut, tidak mungkin penegakan hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan
31https://megapolitan.kompas.com/read/2016/12/14/21054751/polisi.rekomendasikan.lok asi.sidang.ahok.dipindah
peranan yang aktual.32 Sehingga dapat dilihat bahwa tugas dan fungsi daripada Pengadilan seketika luntur yang dimana, sebagai:
1. Fungsi mengadili (Judicial Power), yakni memeriksa dan mengadili perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri di wilayah hukumnya.
2. Fungsi Admnistratif, yaitu menyelenggarakkan administrasi umum, keuangan dan kepegawaian serta lainnya untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok Teknis Peradilan dan Administrasi Peradilan.
3. Fungsi pengelolaan barang milik kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawabnya.
4. Fungsi pengawasan maupun keamanan internal dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.
5. Fungsi penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan dibidang tugas dan fungsinya kepada Pengadilan Tinggi.
6. Dan fungsi pembinaan.33
Sehingga hal tersebut jelas melanggar taat aturan pada Norma Hukum, yang dimana Norma Hukum sendiri ialah sistem aturan yang diciptakan oleh lembaga kenegaraan yang dimana ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Artinya, hukum diciptakan dan diberlakukan oleh institusi yang memang memiliki
“kompetensi atau kewenangan” dalam membentuk dan memberlakukan hukum.34 B. Alasan-alasan Yang Menjadi Pertimbangan Pengalihan Persidangan
Di dalam Pasal 85 KUHAP secara jelas menjelaskan bahwa suatu perkara pidana di dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri dapat dialihkan/ dilimpahkan ke Pengadilan Negeri lain apabila hal keadaan daerah tidak mengizinkan maka atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan
32https://www.kompasiana.com/djawara/54fec582a33311703c50f8bd/faktor-faktor-yang- mempengaruhi-penegakan-hukum-di-indonesia
33 https://pn-tabanan.go.id/tugas-pokok-dan-fungsi/
34 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo, Jatinangor, 2004, hal. 4
atau menunjuk Pengadilan Negeri lain. Sehingga dalam penerapannya terdapat pertimbangan-pertimbangan suatu perkara pidana dapat dialihkan yang dimana ditinjau dari penjelasan umumnya (Penjelasan Umum Pasal 85 KUHAP) yang menjelaskan bahwa: yang dimaksud dengan “keadaan daerah tidak mengizinkan”
ialah antara lain tidak amannya daerah atau adanya bencana alam.Sehingga dapat dilihat suatu persidangan dapat dialihkan karena:
1. Keamanan, dan 2. Bencana alam.
Keamanan yang dimaksudkan disini ialah keharusan Pengadilan sebagai lembaga hukum yang sah yang berperan untuk menggapai tujuan hukum yang berkeadilan yang dimana tidak boleh ada paksaan-paksaan maupun tindakan- tindakan yang dilancarkan secara temporir baik dari masyarakat, penguasa- penguasa politik, maupun aparatur penegak hukum itu sendiri. Berkesinambungan dengan hal tersebut disebutkan juga bencana alam yang dimana wilayah hukum pengadilan tidak mengalami keajdian maupun bencana alam seperti tsunami, banjir, longsor, dll. Sehinnga kejadian alam yang dimaksudkan ialah kejadian yang murni terjadi karna dampak dari alam dan tanpa ada unsur kesengajaan yang direncanakan oleh manusia.
Adapun juga sebab pengalihan suatu perkara pidana dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Negeri lain, yang dimana hal tersebut berdasarkan domisili sebagian besar saksi berada atau dengan kata lain tempat dimana sebagian besar saksi berada. Yang dimana suatu unsur tindak pidana dapat dialihkan apabila
tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. Hal ini diatur oleh Pasal 84 ayat (2) KUHAP.
Di dalam Pasal 84 ayat (1) juga menjelaskan bahwa “Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. Sehingga pada pasal tersebut dituang maupun didukung berasaskan pada teori “Locus Delicti” yang dimana maksud dari teori tersebut ialah tentang kewenangan Pengadilan Negeri yang mempunyai kewenangan hakiki yang dimana mengadili suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup darerah hukumnya.
Yang dimana ruang lingkup Hukum Pidana (KUHP), meliputi tempat terjadinya delik (Locus Delicti) dan waktu terjadinya delik (Tempus delicti).
Tempat terjadinya perbuatan pidana (Locus Delicti), perlu diketahui untuk menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak (Pasal 2-8 KUHP). Disamping itu turut pula ditentukan Kejaksaan dan Pengadilan mana yang harus mengurus perkaranya. Ini berhubungan dengan kompetensi relatif.
Hukum pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.
Dalam hal ini perlu diperhatikan pendapat Van Hamel (1927:212) yang mengemukakan, bahwa yang harus diterima sebagai locus delict, ialah:
1. Tempat seseorang pembuat (dader) telah melakukan perbuatannya yang dilarang (atau yang diperintahkan) oleh undang-undang pidana;
2. Tempat alat yang dipergunakan oleh pembuat bekerja;
3. Tempat akibat langsung perbuatannya telah terwujud; dan 4. Tempat sesuatu akibat konstitutif telah terwujud.35
Sementara KUHP tidak mengatur tentang tempus dan loctus delicti. Pada hakikatnyajuga KUHAP juga tidak mengatur secara expressis verbis tempus dan locus delicti, tetapi menentukan kompetensi relatif Pengadilan Negeri. Ayat 1 pasal 84 KUHAP hanya menyatakan bahwa “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. Namun, ayat 2 memungkinkan juga pengadilan negeri yang bukan di daerahnya dilakukan tindak pidana mengadili terdakwa yang bersangkutan kalau ia bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditemukan atau ditahan di daerah hukum pengadilan negeri tersebut, dengan syarat bahwa sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat tempat tinggalnya daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. Ayat 2 tersebut memungkinkan tidak sesuainya teori locus delicti dengan tempat diadilinya perkara tersebut oleh Pengadilan Negeri tersebut.
Menurut Hazewinkel-Suringa, bahwa bagaimanapun juga teori akibat kadang-kadang lebih sesuai dengan penentuan tempat terjadinya delik
35Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo, Malang, 2001, hal. 89
materiel.36Beliau menganjurkan bahwa untuk bekerja secara teleologis dan mempertanyakan dalam hubungan mana dan untuk tujuan apa locus delicti itu harus ditetapkan. Jikalau hendak dicari hakim yang berwenang relatif, maka teori perbuatan materiel yang tepat digunakan , karena tempat dimana perbuatan materiel itu dilakukan terdapat alat-alat bukti yang cukup. Jikalau yang hendak diketahui apakah peraturan hukum pidana nasional dapat diperlakukan terhadap serangan dan bahaya dari luar, maka tempat dimana instrument bekerja atau tempat di mana akibat terwujud yang paling tepat digunakan.Selanjutnya beliau menyatakan, bahwa bilamana terdapat perbedaan pendapat tentang tempat terjadinya delik, maka haruslah diperlakukan seperti bagian terakhir Pasal 2 Sv.(Undang-undang Hukum Acara Pidana Nederland) yang menetapkan, bahwa Pengadilan yang pertama kali diserahi perkara yang diberikan wewenang untuk mengadili perkara itu. Menurut Hazewinkel-Suringa, ketentuan itu tidak memilih satu diantara tiga macam teori locus delicti. Patut dikemukakan bahwa baik KUHPidana Indonesia, maupun Kitab Undang-undang Hukum Acara pidana Indonesia (U.U. NO. 8 tahun 1981) tidak memberikan penafsiran otentik atau pedoman tentang tempus apalagi locus delicti.37
C. Solusi Konkrit Dalam Pengalihan Persidangan Perkara Pidana.
Dalam rangka pembaharuan hukum pidana sekarang menurut Richard Lange ada dua problema pokok yang selalu dihadapi yaitu bahwa di satu pihak ada keharusan untuk menserasikan hukum pidana dengan ilmu pengetahuan
36 Edi Setiadi Dian Andriasari, Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, Graha Ilmu, Bandung, 2013, Hal. 66
37 H. A. Zanal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 180
empiris dengan memperhatikan benar-benar kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya sedangkan dilain pihak hukum pidana harus diperbaharui sesuai dengan tingkat kemajuan zaman.38 Sehingga sesuai dengan sifat dari pada pembaharuan yang fundamental maka sasaran dari pada pembaharuan ini harus tertuju kepada 4 sektor yaitu:
1. Struktur/ tatanan hukum acara pidana;
2. Materi/ isi pada hukum acara pidanaa;
3. Sikap dan penerimaan masyarakat terhadap hukum acara pidana tersebut.39
Dapat dilihat bahwa pada umumnya bahwa kepastian hukum yang dikehendaki oleh hukum tersebut. Menurut teori buatan materieel tidak dapat memecahkan persoalan. Oleh ilmu hukum pidana di buatlah teori lain, yaitu teori akibat. Menurut teori ini, maka loctus delicti ialah tempat terwujudnya akibat.
Dalam hal ini ajaran sebab dan akibatmemegang peranan.
Dalam Pasal 84 ayat (2), dan Pasal 85 KUHAP yang dimana menentukan kompetensi relatif Pengadilan Negeri. Ayat 1 pasal 84 KUHAP hanya menyatakan, bahwa “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. Namun, ayat 2 memungkinkan jugaa pengadilan negeri yang bukan di daerahnya dilakukan tindak pidana mengadili terdakwa yang bersangkutan kalau ia bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditemukan atau ditahan di daerah hukum pengadilan negeri
38Abdurrahman, Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Baru di Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 1980, Hal 2
39 http://download.portalgaruda.org/article.php?article=4136
tersebut, dengan syarat bahwa sebagian besar saksi yang di panggil lebih dekat tempat tinggalnya daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang didalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. Ayat 2 tersebut memungkinkan tidak sesuainya teori locus delicti dengan tempat diadilinya perkara tersebut oleh Pengadilan Negeri tersebut.
Sama halnya pada Pasal 85 yang dimana dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud. Yang dimana pada Penjelasan Umum atas Pasal 85 KUHAP ialah yang dimaksud dengan “keadaan daerah tidak mengizinkan” ialah antara lain tidak amannya daerah atau adanya bencana alam.
Berbeda dengan sebagian besar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana negara-negara. Yang dimana penulis menemukan bahwa Yugoslav Crimminal Code (Official Gazette of the Federal People’s Republic of Yugoslavia No. 30 of July 20, 1959) menetapkan di dalam Pasal 15, sebagai berikut:
1. A criminal offence is committed both in the place where the ofendder was acting or obligated to act and in the place where the consequence occurred.
2. An attempted criminal offence is committed both in the place where the offender was acting and in the place where the consequence was to have or could have occurred accordung to his intention.
Ayat (1) menjelaskan, bahwa delik diwujudkan di tempat dimana pembuat telah bertindak atau di tempat dimanaa ia berkewajiban untuk bertindak dan di tempat dimana ditempat dimanaa akibatnya terwujud. Ketentuan ini sesuai dengan teori perbuatan materil (yang menyangkut delicta commissionis dan delicta omissionis dan teori akibat).
Ayat (2) menyangkut delik yang berbentuk percobaan (ex pasal 53 KUH Pidana Indonesia), yang locus delicti-nya berganda, yaitu dimana pembuat sedang berbuat dan dimana akibat perbuatannya (percobaannya) telah dan seharusnya terwujud sesuai dengan kesengajaannya. Sehinga menurut opini Hazewinkel- Suringa bahwa bagaimanapun juga teori akibat kadang-kadang lebih sesuai dengan penentuan tempat terjadinya delik materil.Sehingga penulis patut mengemukakan bahwa baik KUHPidana Indonesia, maupun Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (terkhususnya Pasal 84 ayat 2 serta Pasal 85 dan Penjelasan Umumnya) tidak memberikan penafsiran otentik serta pedoman pada teori locus delicti.40
Sehingga penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam hal suatu perkara pidana dialihkan persidangannya ke pengadilan negeri lain, sebenarnya perlu ditinjau mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang mana dikhususkan pada Pasal 84 ayat 2, beserta Pasal 85. Karena dapat ditinjau bahwa dialihkannya tempat sidang hanya pada kasus-kasus tertentu (seperti contoh kasus Batsuki Tjahaja Purnama dengan kasus Penistaan Agama). Yang dimana pada kasus-kasus
40Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 1985, hal. 65
tersebut sebenarnya dihasut oleh opini media. Sehingga terdampak jelas pada Penegakan Hukum kadang disandera oleh opini media, yang dimana hal tersebut juga dapat berpengaruh pada kualitas dan indepedensi putusan pada hakim.
Beralih dari hal tersebut, pada penjelasan Pasal 85 KUHAP yang dimana mengizinkan pengadilan dapat dialihkan apabila dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan, yang dimana dimaksudkan pada keadaan daerah tidak mengizinkan ialah karena tidak amannya daerah. Kita ketahui bahwa pada Pasal 84 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya”. Hal terebut terlampir dalam Norma Hukum. Juga pada UU. NO 19 Thn 1964 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman mejelaskan pada Bab I, Pasal 1 ayat (1): “Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan Negara, yang ditetapkan oleh Undang-undang”. Dan juga pada Pasal 3:”
Pengadilan mengadili menurut hukum sebagai alat revolusi berdasarkan Pancasila menuju masyarakat Sosialis Indonesia”. Dari penjelasan tersebut, mau menjelaskan secara terang bahwa Pengadilan yakni sebagai lembaga hukum, jelas terikat oleh undang-undang sehingga dalam hal ini pengadilan terjamin keamanannya, baik yang dalam wilayah hukum pengadilan ataupun dalam sistem peradilannya. Sehingga sebenarnya perlu faktorsarana pra-sarana yang memadai dalam penegakan hukum yang menjadi suatu kajian yusridis bagi penegakan hukum di Indonesia. Yang dimana pengadilan dapat melakukan tugasnya dalam hal penegakan hukum supaya tercapainya tujuan hukum yakni dengan seoptimal mungkin. Sehingga dalam hal ini penulis mengemukakan bahwa setiap kasus
perkara pidana yang dijalankan pada setiap pengadilan, yang dimana baik merupakan Pengadilan Umum ataupun Pengadilan Khusus, harus perlu adanya sarana maupun prasarana yang memadai, dan perlu ditingkatkannya serta setara fungsional dalam hal keamanan.