48
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
4.1 Hasil Penelitian
Pada bab ini, peneliti akan memaparkan hasil dari penelitian yang telah peneliti lakukan mengenai Ngabungbang sebagai bentuk kearifan lokal di hulu citarum. Peneliti lebih mengkhususkan penelitian pada pengalaman individu yang melaksanakan tradisi Ngabungbang. Hasil penelitian ini didapatkan dari hasil wawancara, studi pustaka, dokumentasi, observasi dan informasi dari internet untuk meneliti makna dari tadisi Ngabungbang dan mengetahui bagaimana pengalaman individu yang sudah melakukan tradisi ngabungbang, serta mengetahui bagaimana dukungan komunikasi terhadap tradisi Ngabungbang ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan studi fenomenologi, pada penelitian kualitatif ini peneliti dituntut dapat menggali data dari apa yang diucapkan, dirasakan, dan dilakukan oleh sumber data bukan sebagaimana yang di pikirkan peneliti. Pada studi fenomenologi ini peneliti dituntut untuk menggali informasi dari pengalaman yang sudah dialami oleh informan yang sudah melakukan tradisi ngabungbang serta orang yang mengetahui sejarah dan pelaksanaan tradisi ngabungbang ini.
49
4.1.1 Profil Informan
Informan yang dipilih dari penelitian ini sesuai dengan studi fenomenologi yaitu dilihat dari individu yang mengetahui bagaimana prosesi tradisi ngabungbang dan makna dari tradisi ngabungbang serta pengalaman individu yang sudah melakukan tradisi ngabungbang. Dalam proses pengumpulan data penelitian ini menggunakan wawancara mendalam. Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan terbuka, yang memungkinkan reponden dapat memberikan jawaban yang luas. Peneliti memberikan gambaran tentang profil informan yang memberikan pandangan mengenai penelitian ini.
Informan dalam penelitian ini adalah Kuncen dari mata air cisanti dan warga sekitar yang sudah melakukan tradisi ngabungbang, yang menjadi subjek dalam penelitian ini dan memberikan informasi melalui wawancara yang penulis lakukan sebagai bahan untuk memperoleh data penelitian. Dalam penelitian ini informan akan peneliti berikan kode dengan inisial J1, J2, J3, dan J4. Pengkodean ini berguna untuk mempermudah dalam penyebutan para informan dalam pembahasan penelitian.
Berikut ini peneliti paparkan data-data singkat mengenari profil informan pada table penyajian data informan.
Tabel 4.1.1 Data Informan
No. Inisial Informan Jenis Kelamin
Umur Pekerjaan
1 J1 Ujang Dayat Laki-Laki 67 Tahun Juru Kunci / Kuncen Mata
Air Citarum
2 J2 Rohman Laki-Laki 35 Tahun Pekerja
Serabutan 3 J3 Ade Hidayat Laki-Laki 46 Tahun Pekerja
Serabutan
4 J4 Sodikin Laki-Laki 53 Tahun Pensiunan PT.
PN 13
Ujang Dayat (J1) adalah juru kunci atau biasa disebut kuncen di situ cisanti atau hulu citarum, lebih tepatnya di titik mata air citarum. Beliau berusia 67 tahun, beliau orang yang ramah terhadap pengunjung atau siapapun yang bertemu dengannya.
Beliau tentunya banyak mengetahui sejarah dari situ cisanti atau mata air citarum itu, maka dari itu beliau adalah orang yang tepat untuk dijadikan informan dari penelitian ini. Selama wawancara beliau memberikan jawaban yang cukup luas dan berbicara dengan santai, beliau juga menggunakan Bahasa Indonesia agar mudah dipahami oleh peneliti. Beliau sangat berperan penting di Hulu Citarum itu untuk menjaga dan merawat keasrian Hulu Citarum itu.
Rohman (J2) adalah pria berusia 35 tahun merupakan seorang pekerja serabutan di situ cisanti, beliau berasal dari Desa Kertasarie. Beliau sehari-hari berkomunikasi menggunakan Bahasa Sunda, namun beliau juga bisa Berbahasa Indonesia dan Bahasanya cukup pasih.
Ade Hidayat (J3) adalah pria berusia 46 tahun merupakan seorang pekerja serabutan di Desa Kertasarie. Beliau sehari-hari berkomunikasi menggunakan Bahasa Sunda, namnun beliau juga bisa Berbahasa Indonesia.
Sodikin (J4) adalah pria berusia 53 tahun merupakan seorang pensiunan Pt. Pn 13, dan sekarang bekerja serabutan. Beliau sehari-hari berkomunikasi menggunakan Bahasa Sunda, dan beliau paham Bahasa Indonesia namun dalam pengucapan nya beliau tidak terbiasa.
4.1.2 Ngabungbang
Ngabungbang adalah mensucikan diri dari segala dosa, dan mencari berkah dari Allah SWT. Pelaksanaan Ngabungbang dilakukan pada tanggal 1 mulud sampai 14 mulud. Ngabungbang termasuk upacara adat yang sudah menjadi tradisi di masyarakat Etnis sunda, khususnya di Situ Cisanti ini. Tradisi Ngabungbang tidak hanya dilakukan di Situ Cisanti saja, namun ada juga di daerah-daerah lain yang berada di Provinsi Jawa Barat. Ngabungbang berasal dari dua kata “Nga” yang berarti kata kerja dan “Bungbang” yang berarti “indit”. Ngabungbang secara umum adalah berkelana ke suatu tempat. Ada juga yang mengartikan Ngabungbang itu “nyaring sapepeuting di luareun wawangunan, biasana di tempat-tempat anu di anggap aya karamatan dina malem tanggal 14 mulud”. Dalam penelitian ini Ngabungbang sangat berpengaruh terhadap kearifan lokal yang ada di Situ Cisanti. Ngabungbang juga prosesinya tidak berbeda atau tidak menyimpang dari ajaran agama islam. Oleh karena itu tradisi Ngabungbang ini sampai sekarang masih banyak yang melakukannya, yang berperan dalam tradisi Ngabungbang saat ini yaitu kuncen yang ada di mata air
Citarum, yang bernama Bapak Ujang Dayat. Pak Ujang yang berperan penting di dalam tradisi Ngabungbang ini, dan jika ada tamu atau wisatawan yang ingin mengetahui tradisi Ngabungbang, Pak Ujang selalu ramah dan menerima baik kedatangan para tamu atau wisatawan yang memerlukannya, Pak Ujang juga bersedia memberikan informasi tentang tradisi Ngabungbang dan sejarah Situ Cisanti ini.
4.1.3 Apa Makna Dari Tradisi Ngabungbang
Bagi masyarakat hulu citarum, tradisi Ngabungbang bukan lah suatu hal yang baru. Kegiatan ini sudah berlangsung lama di hulu citarum. Namun ada juga sebagian masyarakat yang tidak tahu akan tradisi ini, apalagi anak muda di zaman modernisasi ini, hanya sebagian orang yang mengetahui tradisi ini. Tantangannya untuk masyarakat hulu citarum itu bagaimana melestarikan tradisi ini. Sebelum kita melestarikan tradisi ini, kita harus mengetahui apa makna dari tradisi Ngabungbang. Berdasarkan uraian diatas, perihal apa makna dari tradisi Ngabungbang, peneliti akan memberikan skema pembahasan dalam bentuk mind mapping dari hasil temuan penelitian, sebagai berikut :
Sumber Peneliti
Gambar IV. 1
Mind Mapping Apa Makna Dari Tradisi Ngabungbang Apa Makna dari Tradisi
Ngabungbang
Role : Mengenal tradisi, melestarikan
Understanding : Suatu hal yang positif, tidak melenceng dari ajaran Islam
Sebelum mencari tahu makna dari tradisi ngabungbang, peneliti akan menanyakan apa itu tradisi Ngabungbang. Peneliti akan memaparkan pendapat dari informan J1.
“Ngabungbang itu adalah mensucikan diri dari segala dosa, dan mencari berkah dari Allah SWT. Ngabungbang itu artinya dari kata “Nga” yang artinya ngahijikeun atau menyatukan, dan “bumbang” itu membersihkan. Jadi Ngabungbang artinya mandi suci dengan niat untuk menyatukan cipta dan rasa dan untuk membuang sikap buruk kita secara lahir dan batin.”
Hal serupa pun diungkapkan oleh informan J2
“Ngabungbang itu menurut saya yah jang, mensucikan diri dari segala dosa yang sudah kita buat, melalui tradisi ini kita juga minta ampunan kepada Allah SWT.”
Informan J3 mengungkapkan hal serupa
“Ngabungbang itu ritual mandi suci untuk nyari berkah dan memohon ampunan dari sang pencipta yang di lakukan di bulan mulud.”
Ungkapan tersebut pun dipertegas oleh informan J4
“Tradisi nu tikapungkur tos di lakukeun ku seseupuh-seseupuh didieu, kanggo ngelap berkah sareung karomah di allah nu maha suci, sareung nyungkeun di hapunteun sagala rupi kasalahan urang.”
Tradisi Ngabungbang yang disampaikan oleh informan J1 mengungkapkan Ngabungbang itu mensucikan diri dari segala dosa dan mencari berkah dari Allah
SWT. Hal serupa pun diungkapkan oleh informan J2 dan dipertegas oleh informan J3 dan J4.
Setelah kita mengetahui tradisi Ngabungbang, selain it kita juga perlu tahu sejak kapan tradisi Ngabungbang itu dilakukan di Hulu Citarum. Mereka juga memiliki paparan mengenai sejak kapan tradisi Ngabungbang dilakukan, seperti yang diungkapkan oleh informan J1.
“Sejak zaman dahulu sudah ada, dan di lakukanya bukan hanya ditanggal 14 mulud saja tapi dari tanggal 1 mulud sampai 14 mulud.”
Hal serupa pun diungkapkan oleh J2.
“Tradisi ngabungbang dilakukan yang saya tahu sudah ada sejak dulu sih, dan sampai sekarang masih ada.”
Menurut informan J3.
“Dilakukannya udah dari zaman dulu kalo yang bapa tahu.”
Hal serupa pun dipertegas oleh informan J4.
“Ti kapungkur oge tos di lakukeun anu ku Bapa terang mah, Bapa oge teurang di Rama na Pa Ujang, Ayah Mama Uhi, anu sok ngalakuken tradisi Ngabungbang ieu.”
Melihat tanggapan dari para informan tradisi Ngabungbang sudah dilakukan sejak lama. Maka dari itu tradisi Ngabungbang perlu dilestarikan agar kearifan lokalnya tetap ada. Jauh dari itu, dalam tradisi ini pasti ada orang yang berperan dalam
tradisi mereka juga memberikan tanggapan tentang siapa yang berperan dalm tradisi ngabungbang, menurut tanggapan informan J1 yaitu :
“Yang berperan dalam tradisi ini yah leluhur kita sep, jadi gini sep, bapa tahu tradisi ini dan adik-adik bapa juga tahu tradisi ini itu dari orang tua bapa sep, dari kecil bapa diberitahu oleh orang tua bapa gimana caranya melakukan tradisi ini. Nah orang tua bapa juga tahu dari leluhur nya sep, dari sesepuh yang dari dulu sudah tinggal disini dan melakukan ngabungbang ini.”
Tanggapan infroman J2 hampir sama seperti yang diungkapkkan oleh informan J1, yang mengakatakn bahwa yang berperan dalam tradisi ngabungbang adalah para leluhur yang ada di hulu citarum, termasuk orang tuanya sendiri yang mempunyai garis keturunan menjadi kuncen. Dan inilah paparan yang diungkapan oleh informan J2 :
“Menurut saya yang berperan dalam tradisi ini yang sekarang saya tahu yaitu Pa Ujang, mungkin juga ada leluhur kita disini yang awalnya ngelakuin tradisi ini jang.”
Tanggapan tersebut dipertegas oleh informan J4.
“Kokolot didieu anu sok ngalakukeun tradisi ieu, sareung Rama na Pa Ujang, upami ayeuna mah nya Pa Ujang anu berperan pisan di tradisi ieu.”
J4 memaparkan jawabannya menggunakan Bahasa Sunda, yang intinya sama dengan jawaban informan J1. Menjurut informan J3, paparan nya lebih singkat mengenai siapa yang berperan dalam tradisi ngabungbang ini/
“Kalo sekarang sih pa Ujang yang berperan untuk ngelakuin tradisi ini, karena kan dia kuncen.”
Setelah pertanyaan diatas, peneliti juga ingin mengetahui tanggapan para informan memaknai tradisi Ngabungbang itu. Informan J2 Mengungkapkan.
“Ya menurut saya, tradisi Ngabungbang ini bagus untuk dilakukan, seperti yang tadi saya bilang, tradisi ini tidak lepas dari ajaran islam.”
Informan J3 mempertegas paparan itu.
“Menurut bapa sih ini tradisi yang baik yang harus kita semua tahu dan laksanakan, karena memang tidak ada yang melenceng dari tradisi ini semuanya menurut ajaran agama islam, dan anggap aja ini sebagai ibadah kita dalam bentuk lain kepada allah SWT.”
Dan jawaban tersebut dipertegas lebih singkat oleh informan J4 .
“Nya sae wae, tradisi ngabungbang milarian barokah sareung karomah dari Allah SWT.”
Tanggapan para informan mengenai siapa yang berperan dalam tradisi ngabungbang semuanya hampir sama, para leluhur atau para sesepuh di hulu citarum itu yang berperan penting dalam tradisi ngabungbang, tentunya juga orang tua informan J1 selaku yang semasa hidupnya menjadi kucen di mata air itu dan sekarang diturunkan kepa informan J1, selaku kuncen pada saaat ini. Berdasarkan hasil wawancara diatas, kita jadi tahu apa itu tradisi ngabungbang, dan bagaimana awal mula
nya tradisi ngabungbang itu, dan orang-orang yang berperan dalam tradisi itu. Dan mereka memaknai tradisi Ngabungbang itu sebagai suatu ibadah kepada Allah SWT karena tradisi itu tidak terlepas dari ajaran agama Islam.
4.1.4 Bagaimana Pengalaman Masyarakat Hulu Citarum Dalam Tradisi Ngabungbang
Bukan hanya sekedar mengetahui sejarah dalam tradisi ngabungbang saja, peneliti perlu mencari tahu pengalaman-pengalaman masyarakat hulu citarum dalam melakukan tradisi ngabungbang. Pengalaman masyarakat hulu citarum dalam melakukan tradisi ngabungbang akan peneliti bahas juga dalam bentuk mind mapping sebagai berikut :
Sumber Peneliti
Gambar IV. 2
Mind Mapping Pengalaman Dalam Tradisi Ngabungbang
Pengalaman para individu yang melaksanakan tradisi ngabungbang akan peneliti paparkan melalui wawancara terhadap informan J2, J3 dan J4. Dalam pengalaman melakukan tradisi ngabungbang kita perlu mengetahui sejak kapan mereka mulai melakukan tradisi itu. Informan J2 mengungkapkan.
Pengalaman Dalam Tradisi Ngabungbang
Tujuan : mensucikan diri, menghapus dosa, mencari berkah
Experience : Mandi suci, minum di mata air
“Kalo saya melakukan ngabungbang ini pertamanya saya diajak oleh Pa Ujang, pas saya masih bujangan. Dan sampai sekarang saya masih suka melakukannya, karena saya percaya terhadap tradisi ini.”
Informan J3 pun memberikan paparan nya.
“Awal mula saya mengikuti tradisi ini sih dulu yah, saya ikut paman saya dan diajak melakukan tradisi ini dan sampai sekarang saya selalu mengikuti tradisi ini.”
Melihat pengalaman awal mulanya informan J2 dan J3 melakukan tradisi ngabungbang. Pada awalnya mereka mengikuti ajakan dari para pelaku tradisi ngabungbang sebelumnya dan sampai sekarang mereka masih melakukan tradisi ngabungbang. Dan informan J4 mempertegas paparan diatas.
“Sudah lama atuh jang, dari jaman Bapa bujang sampe sekarang oge pami nuju tiasa mah Bapa oge ngalakukeun tradisi ngabungbang.”
Dalam melakukan tradisi Ngabungbang para informan pun pastinya mempunyai alasan tersendiri kenapa mereka mau melakukan tradisi Ngabungbang.
Informan J2 memberikan paparannya.
“Saya mengikuti tradisi ini karena mau mencari berkah dari Allah SWT, di bulan mulud dan tradisinya juga tidak keluar dari ajaran agama islam.”
Alasan informan J2 dipertegas oleh informan J3.
“Bapa merasakan sih berkah nya dari tradisi Ngabungbang ini, dan tidak ada salahnya kan kita lakukan tradisi ini, niatnya untuk mencari keberkahan aja dari Allah SWT.”
Informan J4 pun mengungkapkan hal yang sama.
“yah dari hati Bapa saja mau mengikuti tradisi eta, sareung ngeeum di mata air cisanti nya saur kokolot kapungkur mah nyehatkeun kana jasmani.”
Berdasarkan pemaparan tiga informan di atas, alasan para informan melakukan tradisi Ngabungbang berbeda-beda, namun initnya tetap sama. Dan peneliti mempertanyakan kenapa di zaman modern ini tidak terpengaruh dengan modernisasi.
Informan J2 mengungkapkan.
“Seperti yang tadi saya bilang, saya memknai tradisi Ngabungbang ini dan saya menganggap tradisi ini sebagai bagian dari ibadah saya untuk mendekatkan diri kepada Alllah SWT, selain yang wajib diperintahkan Allah SWT, jadi saya tidak terpengaruhi di zaman yang modern ini.”
Informan J4 memberikan ungkapannya lebih singkat.
“Henteu jang, Bapa mah jalmina udik pami saur Bahasa ayeuna mah, jadi teu kabawa ku sakaba-kaba.”
Infroman J3 pun memberikan paparannya.
“Tidak, bapa tidak terpengaruh dari moedernisasi ini, karena lingkungan bapa kan di kampung jadi tidak terpengaruh yah kalo bapa.”
Melihat paparan ketiga informan tersebut, kenapa mereka tidak terpengaruhi oleh modernisasi, melihat daerah lingkungan para informan yang bisa dikatakan jauh dari peradaban yang modern, dan tingkat usia mereka rata-rata sudah memasuki masa tua, oleh karena itu mereka hanya fokus dengan ibadah mereka melalui tradisi Ngabungbang itu. Dan pertanyaan peneliti yang terkahir, mengenai bagaimana kuncen memberikan arahan dalam melakukan tradisi itu.
Informan J2 mengungkapkan.
“Pertama saya disuruh untuk berniat lalu membaca al fatihah dan mengucapkan salam, setelah itu saya berd’oa sebelum masuk ke kolam itu, lalu saya masuk ke dalam kolam dan mengikuti bacaan yang dibaca oleh pa kujang kuncen itu.”
Informan J3 pun mempertegas ungkapan tersebut.
“Bapa ngikutin Pa Ujang kuncen aja, ngikutin pa ujang baca niat,lalu al- fatihah, dan ngikutin bacaan yang dibacakan Pa Ujang, lalu masuk ke kolam.”
Dan informan J4 mempertegas ungkapan informan J2 dan J3.
“Kalo Bapa ngikutin Pa Ujang, niat sareung baca do’a-do’a anu disebatkeun ku Pa Ujang.”
Dari ungkapan diatas dapat kita ketahui ungkapan informan J2, J3, dan J4, bagaimana kuncen itu memberikan arahan yang sama kepada semua informan, tidak ada perbedaan arahan dari kuncen kepada para pelaku tradisi Ngabungbang.
4.1.5 Bagaimana Dukungan Komunikasi Masyarakat hulu Citarum Terhadap Tradisi Ngabungbang
Agar terwujudnya pelestarian tradisi itu, harus adanya dukungan komunikasi dari masyarakat hulu citarum mengenai tradisi ngabungbang ini. Maka informan J1 mengungkapkan, bagaimana respon, perhatian, dan perhatian warga hulu citarum terhadap tradisi Ngabungbang ini.
J1 : “Yah warga disekitar sini ada yang meresponnya cukup baik dan ada juga yang merespon tradisi ngabungbang ini biasa-biasa saja. Jadi warga disekitar sini juga ada yang masih mempertahankan tradisi ini karena dia itu percaya terhadap tradisi ngabungbang ini yang diwariskan dari sesepuhnya atau orangtuanya, nah gitu sep.”
Dalam penuturan tersebut jelas ada perbedaan respon dari setiap warga nya.
Respon yang baik pastinya dari orang yang menghargai keberadaan leluhurnya dan masih melakukan tradisi itu, sedangkan respon yang tidak baik itu, orang yang sudah termakan perkembangan modernisasi, dan tidak menghargai leluhurnya. Lalu peneliti menanyakan bagaimana kondisi sekarang tradisi Ngabungbang itu.
J1 : “ Tradisi Ngabunbang pada zaman sekarang ini, yah seperti tadi bapa bilang masih ada yang mempertahankan tradisi ini untuk dilestarikan, dan ada juga yang sudah tidak melakukan tradisi ini, kebanyakan anak-anak muda sekarang tidak tahu tradisi ngabungbang ini sep.”
Menurut informasi dari informan J1, kita mengetahui bagaimana keadaan tradisi itu di zaman sekarang. Masih ada orang yang mempertahankan tradisi itu, dan juga ada yang sudah tidak menganggap tradisi itu. Lalu peneliti menanyakan mengapa tradisi itu masih dilestarikan.
J1 : “ Tradisi ngabungbang ini dilestarikan agar ajaran leluhur kita, sesepuh kita tetap ada sep, dan agar anak-anak kita nanti, anak-anak muda nanti tahu tradisi ini.”
Berdasarkan paparan J1, di zaman modernisasi ini masih ada orang yang melestarikan dan mempertahankan tradisi Ngabungbang, dan ada juga warga sekitar yang sudah tidak memperdulikan tradisi itu. Lalu peneliti memberikan pertanyaan yang terakhir mengenai bagaimana perhatian warga hulu citarum terhadap tradisi Ngabungbang, peneliti menanyakan hal itu kepada informan J1 selaku kuncen di hulu citarum itu.
J1 : “Warga hulu citarum ini khususnya sesepuh disini sangat memperhatikan tradisi ini sep, agar tradisi ini terus ada sampai anak cucu kita nanti sep, pengelola situ cisanti juga ikut memperhatikan sep, kan pengelola disini ganutup situs sejarah ini sep, mata air ini dirawat sep, itu juga termasuk perhatian dari pengelola disini sep.
Pengelola juga masih menganggap bapa jadi sesepuh atau kuncen di sini sep.
Menurut paparan informan J1 respon warga hulu citarum terhadap tradisi Ngabungbang, tidak semua warga merespon baik tradisi ini, ada sebagian dari warga juga yang sudah terbawa perkembangan zaman, dan tidak melestarikan budaya
setempat. Perhatian warga hulu citarum terhadap tradisi Ngabungbang juga cukup baik, masih ada yang melestarikan tradisi itu selain informan J1 itu selaku kuncen. Pelaku tradisi Ngabungbang itu rata-rata usia yang sudah cukup tua.
4.2 Pembahasan Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan peneliti dilapangan, peneliti melihat banyak hal dari informan, namun peneliti hanya mengambil data yang diperlukan saja. Peneliti akan menjelaskan dan membahas semua hasil penelitian berdasakan temuan di lapangan dan hasil keterangan dari informan ketika melakukan wawancara, proses wawancara dilakukan dengan menggali informasi berdasarkan pengalaman dan makna yang dimiliki informan itu. Pada bab ini juga peneliti akan mengkaitkan dengan kajian teori lain dan kajian dari beberapa referensi. Hal tersebut merujuk pada fokus penelitian yaitu tradisi Ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal masyarakat Kertasari di hulu citarum.
Hasil temuan peneliti dilapangan mengenai tradisi ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal masyarakat Kertasari di hulu citarum mengungkapkan bahwa dalam menerapkan tradisi ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal terdapat beberapa faktor yang membuat warga kertasarie dapat mewujudkan kearifan lokal tersebut di hulu citarum. Mulai dari mengetahui bagaimana proses tradisi ngabungbang itu, lalu bagaimana pengalaman masyarakat terhadap tradisi itu dan bagaimana dukungan komunikasi masyarakat dalam memakna tradisi itu. Berdasarkan pengalaman para individu yang melakukan tradisi ngabungbang peneliti akan membahasnya sesuai landasan pertanyaan penelitian.
4.2.1 Analisis Makna Tradisi Ngabungbang Di Masyarakat Hulu Citarum
Ngabungbang adalah mensucikan diri dari segala dosa, dosa yang besar mohon menjadi kecil, dosa kecil mohon dihilangkan, makna dari . Ngabungbang juga secara tidak langsung tradisi yang memperingati kelahiran nabi Muhammad SAW, agar kecipratan berkah yang diturunkan Allah SWT. Tradisi Ngabungbang di masyarakat hulu citarum dilakukan pada tanggal 1 mulud sampai 14 mulud, yang proses nya harus tersinari oleh bulan purnama. Tradisi Ngabungbang di masyarakat hulu citarum tidak banyak proses ritual nya seperti di wilayah lain yang melakukan tradisi Ngabungbang.
Banyak para wisatawan dari luar kota yang berkunjung ke mata air pangsiraman untuk melakukan tradisi Ngabungbang, lalu diteruskan untuk melakukan “nadran” di makam petilasan Dipatiukur.
Sehubungan dengan komunikasi antarpribadi yang peneliti lakukan, komunikasi ini terjadi saat pelaksanaan tradisi ngabungbang, dimana kuncen dari tradisi ngabungbang itu memberikan arahan kepada para pelaksana yang akan mengikuti tradisi itu. Serta Bahasa komunikasi nya menggunakan Bahasa Sunda agar mudah dipahami oleh pelaku tradisi ngabungbang itu, karena pelaku tradisi ngabungbang itu mayoritas menggunakan Bahasa Sunda. Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang berlangsung secara tatap muka antara dua orang individu yang dapat menimbulkan efek secara langsung, dan komunikasi ini paling efektif.
Melalui berbagai tahapan dalam tradisi ngabungbang yang dilakukan oleh masyarakat Kertasari, dirasa komunikasi ini berguna karena komunikasi ini paling efektif, dimana si kuncen dapat memberikan arahan secara langsung dan masyarakat
yang melakukannya dapat memahami dan memberi respon secara langsung , yang mempunyai tujuan untuk melakukan tradisi ngabungbang. Dalam hal ini ditemukan juga berbagai macam makna terhadap tradisi ngabungbang. Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan.
Makna merupakan kata-kata atau istilah yang membingungkan, makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata dan kalimat.
Bagi masyarakat kertasari tradisi ngabungbang bukan lah hal yang baru, karena sudah terjadi sejak lama di hulu citarum itu. Namun ada juga sebagian masyarakat Kertasari yang tidak mengerti atau paham akan tradisi itu. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda terhadap tradisi ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal.
Peran tradisi ngabungbang terhadap masyarakat Kertasari adalah suatu bentuk pengenalan tradisi kepada mereka yang berhubungan dengan agama mereka, agar mereka bisa melestarikan tradisi itu.
Menurut perspektif interaksional, Interaksi Simbolik merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, teori ini bersifat “humanis”. Perspektif ini sangat mengunggulkan nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini.
Perspektif ini beranggapan setiap individu dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakat, dan menghasilkan makna yang disepakati secara kolektif. Salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik adalah bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut. Teori ini menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, dan inti dari pandangan ini adalah individu.
Beberapa ahli mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu objek bisa secara langsung di telaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu lain. Berhubungan denga Teori Interaksi Simbolik, penelitian ini juga berhubungan dengan simbol dan interaksi antara individu dengan individu lainnya disaat melakukan tradisi Ngabungbang.
Dalam penelitian ini peneliti meneliti tradisi ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal masyarakat kertasari di hulu citarum. Dalam melakukan tradisi ini perlu adanya menjalin komunikasi yang baik antara individu dengan individu lainnya, agar dapat secara langsung komunikator mengetahui respon yang didapatkan dari komunikan. Komunikasi antarpribadi ini terjadi antara individu yang melakukan tradisi ngabungbang agar mereka saling mengerti dan memahami pesan secara langsung yang dipaparkan oleh komunikator.
Fenomenologi berasal dari Bahasa Yunani, “phainomenom” yang berarti
“gejala” atau menampakan diri, sehingga terlihat nyata bagi si pengamat. Metode fenomenologi yang dirintis Edmund Huserl bersemboyan “Zuruck zu den sachen selbst” (kembali kepada hal-hal itu sendiri). Fenomenologi juga yang berarti ilmu (logos), mengenai sesuatu yang tampak (phenomenom). Fenomenologi merupakan pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang menerpa kesadaran manusia. Fenomenologi adalah studi tentang pengetahuan yang berasaladari kesadaran diri kita atau cara memahami suatu peristiwa secara sadar. (Hasbiansyah, 2005)
Menyangkut motif Schutz, dalam bukunya yang berjudul Fenomenologi terbagi menjadi dua :
1. In order to motive atau motif “untuk” artinya bahwa sesuatu merupakan tujuan yang digambarkan sebagai maksud, rencana, harapan, minat dan sebagainya yang berorientasi pada masa depan.
2. Because of motive atau motif “karena” artinya sesuatu menunjukan pada pengalaman masa lalu individu karena itu berorientasi pada masa lalu.
Tabel IV. 1 Keterkaitan Teori Dan Hasil Penelitian Teori Fenomenologi
Alfred Schutz
In Order To Motive Because Of Motive
Definisi Aspek-Aspek Teori Fenomenologi
Alfred Schutz
Tujuan Seseorang Melakukan Tindakan
Alasan Seseorang Melakukan Tindakan
Keterkaitan Teori Fenomenologi Alfred
Schutz dengan hasil penelitian
Masyarakat Hulu Citarum melakukan tradisi Ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal dapat kita ketahui tujuannya. Tujuannya
agar tradisi tetap ada sampai masa depan dan
anak cucu kita dapat mengenal tradisi turun
temurun ini.
Masyarakat Hulu Citarum melakukan tradisi Ngabungbang,
karena mereka menghargai dan
mempercayai keberadaan nenek moyang mereka, dan
melakukan tradisi ngabungbang itu sebagai
wujud perhatian terhadap tradisi Ngabungbang itu.
Sumber : Teori Fenomenologi Alfred Schutz, dimodifikasi berdasarkan hasil penelitian.
4.2.2 Analisis Pengalaman Masyarakat Hulu Citarum Terhadap Tradisi Ngabungbang
Pengalaman dapat membuat orang menafsirkan ungkapan, ekspresi wajah, pesan secara cermat yang diperoleh dari belajar secara formal dan non-formal.
Pengalaman adalah kejadian yang pernah dialami baik yang terjadi sudah lama maupun yang baru terjadi. Dalam melakukan tradisi Ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal masyarakat Hulu Citarum melewati pengalaman yang beragam dan pengalaman tersebut ada karena proses melakukan tradisi Ngabungbang.
Dalam kegiatan ini, masyarakat Hulu Citarum melakukan tradisi Ngabungbang dengan mengikuti arahan dari kuncen, yang diawali dengan niat lalu membaca surat Al-fatihah dan kemudian meminta izin kepada Allah SWT untuk memasuki mata air Hulu Citarum itu, lalu memasuki mata air itu dan membacakan bacaan yang dituturkan oleh kuncen dan diikuti oleh masyarakat yang melakukan tradisi Ngabungbang, lalu meminta izin untuk meminum mata air itu. Tujuan melakukan tradisi Ngabungbang untuk menghapus segala dosa yang disengaja maupun tidak disengaja, serta mencari berkah dari Allah SWT.
Dalam penelitian ini tradisi ngabungbang sangat berkaitan erat dengan ritual, ada tata cara yang dilakukan dalam tradisi ngabungbang atau upacara dalam melakukan tradisi ngabungbang. Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan yang keramat yang dilakukan oleh sekelompok orang yang beragama. Yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat- tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta orang-orang yang
menjalankan upacara. Pada dasarnya ritual adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan menggunakan media atau benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, ditempat tertentu, dan memakai pakaian tertentu. Seperti halnya dalam penelitian ini tradisi ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal masyarakat Kertasarie di Hulu Citarum.
Ritual atau ritus tujuannya untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatau pekerjaan. Seperti upacara menolak balak dan upacara karena perubahan dalam kehidupan manusia, seperti kelahiran, pernikahan , dan kematian. Victor Turner adalah salah satu tokoh antropologi yang membahas tentang ritual. Penelitiannya tentang proses ritual pada masyarakat Ndembu di Afrika Tengah. Menurut turner ritual-ritual yang diadakan oleh suatu masyarakat merupakan penampakan dari keyakinan religius. Ritual itu mendorong orang untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial tertentu. Ritual itu juga memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang terdalam. Penelitiannya itu dapat menggolongkan ritual kedalam dua bagian, yaitu :
1. Ritual Krisis Hidup.
Ritual Krisis Hidup yaitu ritual-ritual yang diadakan untuk mengiringi krisis- krisis hidup yang dialami manusia. Krisis yang dialaminya karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Ritual ini seperti kelahiran, pubertas, perkawinan dan kematian. Ritual ini tidak hanya berpusat kepada individu, melainkan juga tanda adanya perubahan dalam relasi sosial diantara orang yang berhubungan dengan mereka, dengan ikatan darah, perkawinan dan kontrol sosial.
2. Ritual Gangguan
Ritual gangguan ini, masayarakat Ndembu menghubungkan nasib sial dalam berburu, ketidak teraturan reproduksi para wanita dan lain sebagainya dengan tindakan roh orang yang mati. Roh leluhur yang menggangu orang sehingga bernasib sial.
(Ghozali, 2014)
Peneliti berupaya memodifikasi teori Fenomenologi Alfret Schutz dengan hasil penelitian. Fenomenologi berasal dari Bahasa Yunani yaitu Phainomenom yang berarti
“menampak”. Fenomena adalah fakta yang disadari, dan masuk kedalam pemahaman manusia. Jadi suatu fenomena ada dalam relasi dengan kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya yang tampak secara kasat mata, melainkan ada didepan kesadaran dan disajikan dengan kesadaran. Fenomenologi mereflesikan secara langsung pengalaman manusia, sejauh pengalaman itu secara intensif berhubungan dengan suatu objek.
Menyangkut motif Scuthz, dalam bukunya yang berjudul Fenomenologi, terbagi menjadi dua :
1. In order to motive atau motif “untuk” artinya bahwa sesuatu merupakan tujuan yang digambarkan sebagai maksud, rencana, harapan, minat dan sebagainya yang berorientasi pada masa depan.
2. Because of motive atau motif “karena” artinya sesuatu menunjukan pada pengalaman masa lalu individu karena itu berorientasi pada masa lalu.
Tabel IV. 2 Keterkaitan Teori Dan Hasil Penelitian Teori Fenomenologi
Alfred Schutz
In Order To Motive Because Of Motive
Definisi Aspek-Aspek Teori Fenomenologi
Alfred Schutz
Tujuan Seseorang Melakukan Tindakan
Alasan Seseorang Melakukan Tindakan
Keterkaitan Teori Fenomenologi Alfred
Schutz dengan hasil penelitian
Masyarakat Hulu Citarum melakukan tradisi Ngabungbang sebagai wujud kearifan lokal dapat kita ketahui pengalamannya. Tujuan
untuk mengetahui pengalaman tradisi Ngabungbang itu adalah bagaimana proses dalam
melakukan tradisi Ngabungbang dan apa motif para pelaku tradisi
Ngabungbang melakukan tradisi itu
Masyarakat Hulu Citarum melakukan tradisi Ngabungbang,
karena tradisi Ngabungbang sudah menjadi bagian kearifan
lokal masyarakat hulu citarum, dan tradisi Ngabungbang perlu
dilestarikan.
Sumber : Teori Fenomenologi Alfret Schutz, dimodifikasi berdasarkan hasil penelitian.
4.2.3 Analisis Dukungan Komunikasi Masyarakat Hulu Citarum Terhadap Tradisi Ngabungbang
` Dukungan dari masyarakat Kertasari sangat dibutuhkan dalam tradisi Ngabungbang ini, agar dapat terwujudnya tradisi Ngabunbang sebagai kerifan lokal di hulu citarum, peneliti memiliki hasil pembahasan penelitian dari paparan informan yang secara garis besar selaku kuncen dari tradisi Ngabungbang. Pada penelitian ini peneliti menjelaskan bagaimana dukungan komunikasi masyarakat hulu citarum terhadap tradisi Ngabungbang.
Dukungan yang baik dari masyarakat Kertasari terhadap tradisi Ngabungbang , masyarakat mendukung tradisi Ngabunbang itu karena tradisi ini adalah suatu kebudayaan yang diturunkan oleh leluhur di hulu citarum itu, dan mereka masih menganggap keberadaan leluhur sangat penting di dalam kekhidupannya. Selain itu tradisi Ngabunbang juga tidak melenceng dari ajaran agama Islam, yang dimana mayoritas pelaku tradisi Ngabungbang adalah pemeluk agama Islam, mereka menganggap tradisi Ngabugbang sebagian dari ibadah mereka kepada Allah SWT.
Dukungan masyarakat Kertasari terlihat dari bagaimana mereka merawat tempat yang dikeramatkan dalam tradisi Ngabungbang yaitu titik mata air atau biasa disebut pangsiraman, serta masih melakukan tradisi Ngabunbang juga sebagai wujud kearifan lokal yang ada di hulu citarum.
Dalam penelitian ini masyarakat kertasari merupakan bagian dari kearifan lokal dalam melakukan tradisi ngabungbang, dimana tradisi ini dilestarikan oleh para leluhur yang ada di kertasari. Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan sangat spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayan pada budaya lokal (local culture). Seperti yang dikemukakan oleh Bosch, yang terpenting ialah bagaimana mengembangkan kreativitas para pelaku budaya sendiri sehingga dapat menumbuhkan
“kearifan lokal” ketika menghadapi terjangan pengaruh budaya asing. Menurut Rosidi Ajip dalam (Dasrun Hidayat, 2013)
Dilihat dari kamus Inggris Indonesia, kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu
kearifan (wisdom) dan lokal (local). “Local” yang berartikan “setempat” dan
“Wisdom” yang berarti “kebijaksanaan. Dengan kata lain local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan, nilai, dan pandangan-pandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh dengan kearifan bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat.
(Zannah, 2014)
Terlepas dari semua pembahasan diatas mengenai respon dan dukungan baik yang dilakukan masyarakat Kertasari, ada juga sebagian orang yang tidak menganggap tradisi itu, dan tidak tahu sama sekali jika di hulu citarum ada tradisi itu. Maka dari itu perlu adanya pelestarian budaya agar semua elemen masyarakat dapat menjaga kearifan lokal tersebut. Di zaman modern ini banyak sekali orang yang melupakan budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Pelestarian budaya sangat penting agar tradisi ngabungbang bisa tetap ada sampai kemudian hari.
Kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, dan kesenian, yang dijadikan pedoman untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan hidup. Subtansi kebudayaan ialah ide-ide dan gagasan manusia yang timbul pada masyarakat subtansi kebudayaan itu sendiri, berisi nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos. Menurut Yusuf, Mundzirin, dkk, 2010, dalam (Hidayah, 2018)
Menurut Ranjabar 2006 dalam Hidayah :2018, pelestarian merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya suatu yang tetap dan abadi, yang bersisfat dinamis,
luwes, dan selektif. Mengenai pelestarian budaya lokal, pelestarian norma lama bangsa (budaya lokal) adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan cara mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, serta menyesuaikan situasi dan kondisi yang selalu berubah-ubah dan berkembang. Tujuan diadakannya pelestarian budaya adalah untuk melakukan revitalisasi budaya. Prof. A.Chaedar Alwasilah mengatakan ada tiga langkah mengenai revitalisasi budaya, yaitu :
1. Pemahaman untuk menimbulkan kesadaran
2. Perencanaan secara kolektif
3. Pembangkitan kreatifitas kebudayaan
Pelestarian adalah sebuah upaya yang mendasar, yang disebut juga faktor- faktor yang mendukung baik itu dari dalam maupun dari luar dari hal yang dilestarikan.
Maka dari itu, sebuah proses atau tindakan pelestarian mengenal strategi ataupun teknik yang didasarkan pada kebutuhan dan kondisinya masing-masing.
Menurut (Aufar, 2012) dalam Hidayah : 2018, mengatakan bentuk-bentuk dalam pelestarian budaya terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Culture experience merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara turun langsung ke lapangan.
2. Culture knowledge merupakan pelestarian budaya dengan cara membuat pusat informasi kebudayaan. Tujutannya untuk mempermudah seseorang bagaimana mencari tahu tentang kebudayaan. (Hidayah, 2018)
Seperti yang dilakukan masyarakat sekitar kertasari untuk merawat melestarikan serta memelihara suatu kebiasaan di daerahnya agar tidak terlupakan dan ditinggalkan, sehingga generasi penerus tetap dapat mengetahui kebudayaan yang ada di Situ Cisanti ini melalui kegiatan tradisi Ngabungbang.