P-ISSN 2828- 8904 E-ISSN 2828- 3546
Jurnal Edukasi El-Ibtida`i Sophia Volume 01, Nomor 01, April 2022
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENDIDIKAN RESOLUSI KONFLIK DI SEKOLAH DASAR
Fadhil Sidiq*1, Herawati2, Mimi Hariyani3
1PGSD Universitas Samudera,2UIN Ar-Raniry,3UIN Suska Abstrak
Siswa sekolah dasar tidak terlepas dari konflik. Baik konflik yang terjadi dari dalam individu itu sendiri (intrapersonal) maupun konflik yang datangnya dari luar individu (interpersonal) seperti konflik antar individu maupun kelompok. Belum semua siswa memiliki kemampuan resolusi konflik. Padahal kemampuan resolusi konflik sangat penting untuk dimiliki oleh siswa sekolah dasar agar para siswa terlatih untuk memecahkan masalah atau konflik secara konstruktif di sepanjang kehidupannya di masa mendatang.
Adapun kemampuan resolusi konflik yang harus dilakukan adalah: 1) mampu berorientasi;
2) mampu memahami bahwa setiap individu berbeda dan mampu melihat situasi atau empati dan menunda untuk menyalahkan orang lain; 3) mampu mengelola berbagai emosi;
4) mampu berkomunikasi dengan baik; 5) mampu berpikir kreatif,dalam memecahkan masalah; dan 6) mampu berpikir kritis dalam memprediksi dan menganalisis situasi konflik.
Kata Kunci: pendidikan resolusi konflik, sekolah dasar.
Pendahuluan
Didasari oleh pandangan yang positif terhadap konflik, konflik sering dipandang sebagai salah satu bagian dari kehidupan sehari-hari yang secara alamiah yang harus kita jalani dalam kehidupan bersosial. Sebagai makhluk sosial, kita selalu berinteraksi dengan manusia lainnya dalam sebuah kehidupan. Bila seseorang mempunyai sebuah kesamaan dengan yang lainnya maka akan terjadi kerjasama, dan jika seseorang mempunyai kepentingan yang berbeda dengan satu dengan yang lainnya, maka konflik akan terjadi,
* E-mail:[email protected]
begitu juga lingkungan sekolah. Sekolah sebagai sebuah sistem sosial merupakan suatu tempat yang semestinya memiliki iklim yang kondusif dalam mendukung proses pembelajaran. Proses pembelajaran akan berjalan dengan lebih baik jika lingkungan fisik dan psikis sangat kondusif. Sebaliknya, konflik dan kekerasan dalam iklim sosial sekolah dapat memberikan dampat negatif terhadap proses pembelajaran di sekolah.
Jika kita perhatikan keadaan saat ini, iklim sekolah tidak selamanya akan damai dan aman. Karena sebuah konflik akan terjadi kapan saja dalam lingkungan sekolah baik dalam bentuk konflik antar individu siswa, antar kelompok siswa dalam satu sekolah, antar kelompok siswa dengan kelompok sekolah lainnya, antara guru dengan guru, guru dengan sekolah, guru dengan kepala sekolah dan lain sebagainya. Adapun contoh konflik sederhana yang terjadi di antara siswa di sekolah adalah membuat siswa lain sebagai bahan tertawaan, memanggil nama dengan panggilan yang merendahkan, berteriak, mengejek, mengolok-olok, menghina, menganggu dan sebagainya. Ada juga konflik yang lebih serius yang kadang terjadi antar siswa seperti, pertengkaran atau perkelahian antar siswa.
Pada dasarnya konflik tidak perlu selalu dipersepsikan secara negatif. Jika konflik dipersepsikan secara positif dan dipecahkan secara konstruktif, konflik dapat dijadikan sebagai sarana belajar dari pengalaman kehidupan nyata dan membantu mengembangkan self-concept siswa itu sendiri. Oleh karena itu, para siswa mesti dididik dan dilatih dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap, serta keterampilan untuk memecahkan konflik secara positif. Sebagai hasilnya nanti para siswa diharapkan mampu menyelesaikan konflik mereka secara konstruktif sepanjang waktu mereka di sekolah dan dalam kehidupan mereka di masyarakat.
Dalam kerangka yang luas, upaya untuk menyelesaikan konflik dapat dilakukan melalui manajemen konflik. Istilah manajemen konflik sering digunakan secara bergantian dengan istilah resolusi konflik, dan tidak ada perbedaan yang sangat mendasar dari keduanya. Namun untuk upaya penyelesaian konflik di sekolah, para ahli dan praktisi Pendidikan lebih banyak menggunakan istilah resolusi konflik, sedangkan program pendidikannya disebut sebagai program Pendidikan resolusi konflik (lihat Girard and Koch, 1996; Kreidler, 1990; Bodine & Crawford, 1998; Lieber, 1998; Jones & Kmitta, 2000).
Pentingnya Pendidikan dalam menyelesaikan sebuah konflik dan menciptakan kehidupan yang damai merupakan salah satu pilar Pendidikan yang dinyatakan oleh UNESCO (Delors, 1996:85), yaitu learning how to live together in harmony. UNESCO menguraikan adanya empat pilar Pendidikan atau pilar belajar yaitu, learning to know, learning to do, learning to live together (learning to live with others), dan learning to be.
Merujuk dari learning to live together hal ini bearti bahwa para siswa melalui proses Pendidikan dididik untuk belajar hidup berdampingan secara damai, dengan memberikan rasa hormat dan perhatian pada orang lain dan mampu menjaga perdamaian tanpa adanya konflik didalamnya.
Oleh sebab itu, dalam makalah ini perlunya upaya meningkatkan kemampuan Pendidikan resolusi konflik di sekolah dasar guna memberikan pembelajaran kepada siswa dalam rangka mengajarkan bagaimana menyelesaikan sebuah masalah dapat diselesaikan oleh diri siswa dalam lingkungan sekolah dasar. Perlunya peran guru dalam mendidik siswa disini untuk dapat memecahkan masalahnya sendiri dan diharapkan para siswa
hendaknya mampu memecahkan masalahnya baik masalah sendiri maupun masalah lingkungan sekitarnya.
Pembahasan
A. Pengertian Resolusi Konflik
Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah conflict resolution memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang fokus meneliti tentang konflik. Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine (1998: 3) adalah (1) tindakan mengurai suatu permasalahan, (2) pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan permasalahan.
Sedangkan Weitzman & Weitzman (dalam Morton & Coleman 2000: 197) mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together). Lain halnya dengan Fisher et al (2001: 7) yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru.
Menurut Mindes (2006: 24) resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunuan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan. Sedangkan menurut Deutsh (1973:420) yaitu resolusi konflik adalah sekumpulan teori dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam memahami sifat-sifat konflik, meneliti strategi terjadinya konflik, kemudian membuat resolusi terhadap konflik.
Dari pemaparan teori menurut para ahli tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela.
Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan pada pihak- pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya.
B. Kemampuan Resolusi Konflik
Bodine and Crawford (Jones dan Kmitta, 2001: 2) merumuskan beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif resolusi konflik diantaranya:
1. Kemampuan orientasi
Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi, harga diri.
2. Kemampuan persepsi
Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap individu dengan individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk menyalahkan atau memberi penilaian sepihak.
3. Kemampuan emosi
Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi, termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan emosi negatif lainnya.
4. Kemampuan komunikasi
Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik meliputi kemampuan mendengarkan orang lain: memahami lawan bicara; berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami;
dan meresume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan emosional ke dalam pernyatan yang netral atau kurang emosional.
5. Kemampuan berfikir kreatif
Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik meliputi kemampuan memahami masalah untuk memecahkan masalah dengan berbagi macam alternatif jalan keluar.
6. Kemampuan berfikir kritis
Kemampuan berfikir kritis dalam resolusi konflik, yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis situasi konflik yang sedang dialami.
Tidak jauh berbeda, Scannell (2010: 18) juga menyebutkan aspek-aspek yang mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan meresolusi sebuah konflik meliputi a) keterampilan berkomunikasi, b) kemampuan menghargai perbedaan, c) kepercayaan terhadap sesama, dan d) kecerdasan emosi. Dari pemaparan ahli tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa dalam proses resolusi konflik diperlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk mencari solusi konflik secara konstruktif. Kemampuan tersebut diantaranya adalah kemampuan orientasi, kemampuan persepsi atau menghargai perbedaan, kemampuan emosi atau kecerdasan emosi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berfikir kreatif, dan kemampuan berfikir kritis.
C. Pentingnya Pendidikan Resolusi Konflik di Sekolah Dasar
Beberapa ahli menyampaikan pentingnya pendidikan resolusi konflik di sekolah, seperti halnya Morton dan Susan (Frydenberg, 2005: 139) menyatakan bahwa sekolah adalah pusat kehidupan sosial siswa. Perbedaan etnis, gender, usia, kemewahan dan kemiskinan, ketrampilan menjadi lahan subur bagi konflik serta kesempatan untuk pertumbuhan. Jadi sekolah harus mengubah cara dasar mendidik siswa agar mereka tidak melawan satu dengan yang lainnya akan tetapi mengembangkan kemampuan untuk mengtasi konflik secara konstruktif.
David dan Porter (Bunyamin Maftuh, 2005: 102) mengungkapkan alasan-alasan untuk mengadakan pendidikan resolusi konflik di sekolah sebagai berikut:
1. Konflik merupakan sifat manusia yang alami dan dapat menjadi kekuatan yang konstrruktif bila didekati dengan keterampilan.
2. Proses pemecahan masalah pada resolusi konflik dapat meningkatkan iklim sekolah.
3. Strategi resolusi konflik dapat mengurangi kekerasan, vandalism, ketidakhadiran di sekolah yang parah dan skorsing.
4. Pelatihan resolusi konflik membantu siswa dan guru memperdalam pemahaman mereka tentang diri mereka sendiri dan orang lain serta mengembangkan keterampilan hidup yang penting.
5. Pelatihan dalam negosiasi, mediasi, dan pengambilan keputusan secara konsensus mendorong kegiatan warga negara pada tingkat tinggi.
6. Mengalihkan tanggung jawab kepada siswa untuk memecahkan konflik tanpa kekerasan berarti membebaskan orang dewasa untuk berkonsentrasi lebih banyak pada mengajar dan lebih sedikit pada masalah disiplin.
7. Sistem manajemen perilaku yang lebih efektif dari pada penahanan, pengskorsingan, atau pengusiran (pemecatan) diperlukan untuk mengatasi konflik dalam ajang sekolah.
Pelatihan resolusi konflik meningkatkan keterampilan dalam mendengarkan, berfikir kritis, keterampilan memecahkan masalah yang menjadi dasar bagi semua pengajaran.
8. Pendidikan resolusi konflik menekankan keterampilan untuk melihat sudut pandang orang lain dan menyelesaikan perbedaan secara damai yang membantu seseorang untuk hidup dalam suatu dunia yang multikultural.
9. Negosiasi dan mediasi merupakan alat-alat pemecahan masalah yang sangat cocok dengan masalah-masalah yang dihadapi generasi muda, dan orang-orang yang dilatih dalam pendekatanpendekatan ini sering menggunakannya untuk memecahkan masalah tanpa mencari bantuan orang dewasa.
Berbagai alasan mengenai pentingnya pendidikan resolusi konflik di sekolah yang dikemukakan oleh David dan Porter di atas menjadi bahan pertimbangan para ahli, pakar dan praktisi pendidikan untuk melaksanakan pendidikan resolusi konflik di institusi pendidikan melalui berbagai macam pendekatan. Sebagaimana Bodine and Crawford (1994:27) merumuskan empat macam pendekatan dalam pendidikan resolusi konflik sebagai berikut:
1. Process curriculum approach
Pendekatan dalam resolusi konflik yang menyediakan waktu tertentu untuk memberikan pengajaran terkait materi-materi resolusi konflik (negosiasi, mediasi, dsb.) dalam sebuah mata pelajaran, kurikulum atau rencana pembelajaran yang jelas.
2. Mediation program approach
Adalah program pendidikan resolusi konflik bagi para siswa terpilih (kader) yang telah dilatih tentang resolusi konflik.
3. Peaceable classroom approach
Sebuah pendekatan yang mengajari siswa di sebuah kelas tentang kemampuan dasar, prinsip dan proses dari resolusi konflik. Dalam pendekatan ini, program pembelajaran resolusi konflik diintegrasikan ke dalam mata pelajaran inti (kewarganegaraan, ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, sastra, seni, dsb.) dan juga ke dalam strategi manajemen kelas.
4. Peaceable school approach
Pendekatan peaceable classroom adalah dasar untuk membangun dan mewujudkan keadaan peaceable school. Pendekatan ini bersifat komprehensif (menyeluruh) yang menggunakan resolusi konflik sebagai suatu system untuk mengelola kehidupan kelas dan sekolah. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada siswa saja, tetapi juga kepada seluruh warga sekolah, seperti guru, konselor, staff & karyawan, kepala sekolah, serta orang tua siswa.
Sejalan dengan pendapat Bodine dan Crawford tersebut, secara lebih rinci Jones dan Kmitta (2001: 5) menjelaskan beberapa jenis pendekatan yang umum digunakan pada program pendidikan resolusi konflik di sekolah, yaitu:
1. Pendekatan kader (the Cadre Approach)
Merupakan suatu pendekatan yang hanya melatih keterampilan resolusi konflik terhadap sekelompok siswa. Pendekatan ini tidak dilakukan secara luas, tetapi difokuskan pada siswa di kelas tertentu. Para siswa terpilih kemudian menjadi mediator (pihak ketiga) bila ada sesama temannya yang berkonflik. Pendekatan ini tidak memerlukan waktu dan biaya yang banyak, karena hanya fokus pada sejumlah kecil siswa. Namun pendekatan ini juga memiliki kelemahan, yaitu tidak semua siswa mendapatkan pembelajaran resolusi konflik yang berimbas pada ketidaktahuan dan tidak memiliki keterampilan resolusi konflik.
2. Pendekatan komprehensif (Comprehensive Approach)
Pendekatan ini memiliki target yang lebih luas dan bisa diintegrasikan kepada kurikulum, visi-misi, kebijakan dan prosedur sekolah. Pendekatan ini memiliki beberapa sub jenis metode pendekatan sebagai berikut:
a. Pelatihan siswa (additional student training)
Pendekatan ini hampir sama dengan pendekatan kader, namun berbeda pada jumlah pesertanya. Pendekatan ini menitikberatkan pada sekelompok siswa tertentu dengan jumlah yang lebih besar seperti kelompok atlet, dewan siswa (pengurus OSIS), anggota ekstrakurikuler dan sebagainya.
b. Pelatihan guru/staf/karyawan sekolah (additional staff training)
Pendekatan ini berangkat dari pendapat bahwasanya anak / remaja meniru apa yang mereka lihat. Sehingga pendekatan ini menitikberatkan pelatihan resolusi konflik kepada guru, staf dan karyawan sekolah untuk memberi contoh langsung kepada siswa.
c. Integrasi kurikulum (curriculum infusion)
Pendekatan ini menggabungkan antara pendekatan kader dengan memasukkan beberapa muatan pendidikan resolusi konflik melalui kurikulum pembelajaran formal, misalnya melalui mata pelajaran Kewarganegaraan, Ilmu Sosial, dan sebagainya.
d. Pendekatan menyeluruh (whole school programs)
Jelas sekali bahwa pendekatan ini merupakan kombinasi dari keseluruhan metode pendekatan komprehensif. Pendekatan ini memberikan pelatihan dan pendidikan resolusi konflik tidak hanya kepada siswa saja, melainkan juga kepada seluruh warga sekolah meliputi guru, pegawai, staff, dsb. Selain itu pendekatan ini juga mengintegrasikan pendidikan resolusi konflik pada kurikulum mata pelajaran, visi-misi, kebijakan, peraturan dan birokrasi sekolah.
e. Pendekatan masyarakat (Community Linked Program)
Pendekatan ini berusaha menerapkan pembelajaran resolusi konflik kepada masyarakat secara umum. Dalam pelaksanaannya diterapkan di berbagai lini kehidupan masyarakat seperti kehidupan berorganisasi, sosial, ekonomi, pemerintahan, dan sebagainya. Pendekatan ini diklaim paling efektif, karena dalam pelaksanaannya bersifat massal, namun juga memiliki kelemahan terutama bila diterapkan pada masyarakat yang belum menyadari peran penting dari resolusi konflik.
D. Beberapa Bentuk Konflik yang Terjadi di Sekolah Dasar
Konflik antarindividu pada siswa sangat sering terjadi. Konflik antarindividu pada siswa sekolah dasar sangat berpotensi menimbulkan reaksi-reaksi yang menyebabkan
kekerasan seperti ejekan dan perkelahian. Konflik seperti inilah yang pada akhirnya akan merusak persahabatan yang terjalin dan mengganggu konsentrasi siswa pada pelajaran.
Menurut Dhohiri (2007:40) konflik antarindividu merupakan konflik yang terjadi antara seseorang dengan satu orang atau lebih. Konflik ini kadang bersifat subtantif, yaitu menyangkut gagasan, pendapat, kepentingan, atau bersifat emosional, menyangkut perbedaan selera, dan perasaan suka atau tidak suka.
Adapun beberapa konflik di sekolah dasar adalah sebagai berikut:
1. Konflik yang berujung pada ejekan
Terjadinya perkelahian dan saling mengejek pada siswa sekolah dasar dipengaruhi oleh rasa tidak suka, mementingkan kepentingan sendiri seperti menyuruh teman, emosi yang tidak dapat dikendalikan, dan perbedaan pendapat.
2. Konflik yang berujung pada perkelahian
Perkelahian yang terjadi merupakan bentuk dari emosi siswa terhadap perilaku tidak enak yang diterimanya. Seperti di ejek dengan kata-kata yang kasar dan di pukul. Perilaku ini yang menyebabkan siswa berkelahi. Berkelahi dilakukan untuk melampiaskan kemarahannya agar tidak ada lagi siswa yang berani mengganggunya atau untuk memberi perlawanan.
E. Penanganan Konflik di Sekolah Dasar
Bila kelompok menunjukkan agresif atau permusuhan, langkah pertama yang harus diambil oleh guru adalah menganalisa situasi. Setelah tahu akar permasalahanya, yang terpenting adalah segera mencari soluri. Dalam hal ini semua pihak harus ikut berperan, yaitu keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah.
1. Peranan keluarga dalam penyelesaian masalah ini.
a. Pendidikan yang mendasar di mulai di rumah. Orangtua harus aktif menjaga emosi anak. Pola mendidik sebaiknya juga harus diubah. Orangtua tidak seharusnya mendikte anak, namun memberi keteladanan.
b. Selain itu, tidak mengekang anak untuk melakukan sesuatu dan biarkan mereka berekspresi selama masih dalam batas yang wajar.
c. Menghindari kekerasan dalam rumah tangga sehingga tercipta kondisi rumah yang nyaman dan kondusif. Yang tidak kalah penting adalah membatasi anak-anak dalam melihat tayangan televisi yang mengandung unsur kekerasan. Orangtua harus pandai memilih tontonan yang positif bagi anak sehingga dapat dijadikan teladan.
Membatasi anak usia remaja memang lebih sulit, karena setiap informasi dapat mereka akses dari manapun.
d. Penanaman nilai-nilai keagamaan semenjak dini perlu dilakukan, sehingga anak akan dapat membentengi diri mereka dari hal negative apabila tidak berada dilingkunagn keluarga.
2. Peranan sekolah sangat penting dalam penyelesaian masalah ini.
a. Untuk meminimalkan konflik, sekolah harus membuat tata tertib yang ketat agar siswa bisa lebih disiplin.
b. Selain itu juga diperlukan peran BK dalam pembinaan mental siswa. BK membantu menemukan solusi bagi siswa yang mendapat masalah. Sehingga hal-hal yang dapat memicu terjadinya konflik dapat dicegah.
c. Mengkondisikan suasana yang ramah dan penuh kasih sayang. Guru tidak hanya berperan sebagai penyalur pengetahuan, namun juga berperan sebagai orangtua yakni mendidik.
d. Menyediakan fasilitas untuk menyalurkan energy siswa. Contohnya meyediakan kegiatan ekstrakurikuler bagi siswa. Pada usia remaja energy mereka tinggi, sehingga perludisalurkan lewat kegiatan yang positif sehingga tidak mengarah pada hal yang merugikan.
3. Peranan masyarakat dalam penyelesaian masalah.
a. Masyarakat memberikan ruang bagi remaja untuk berekspresi.
b. Mengapresiasi tindakan-tindakan positif yang dilakukan remaja.
c. Memberikan keteladanan diluar lingkup keluarga.
4. Peranan pemerintah dalam penyelesaian masalah.
a. Dalam penyeleggaraan kegiatan ekstrakulikuler di sekolah membutuhkan dana.
Sehingga pemerintah harus memberikan subsidi untuk meningkatkan sarana dan prasrana kegiatan tersebut.
b. Pemerintah harus tegas menerapkan sanksi hukuman. Memberikan efek jera pada siswa yang melanggar peraturan, sehingga ia akan berfikir berkali-kali untuk mengulangi hal yang sama. Apabila melihat sanksi yang tegas, maka orang lain pun akan segan untuk menirunya.
Kesimpulan
Resolusi konflik adalah suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela. Adapun kemampuan resolusi konflik yang harus dilakukan adalah: 1) mampu berorientasi; 2) mampu memahami bahwa setiap individu berbeda dan mampu melihat situasi atau empati dan menunda untuk menyalahkan orang lain; 3) mampu mengelola berbagai emosi; 4) mampu berkomunikasi dengan baik;
5) mampu berpikir kreatif,dalam memecahkan masalah; dan 6) mampu berpikir kritis dalam memprediksi dan menganalisis situasi konflik.
Pendekatan yang dapat dilakukan dalam pendidikan resolusi konflik adalah: 1) Process curriculum approach, 2) Mediation program approach, 3) Peaceable classroom approach dan 4) Peaceable school approach. Disamping pendekatan tersebut terdapat beberapa jenis pendekatan yang umum digunakan pada program pendidikan resolusi konflik di sekolah, yaitu: Pendekatan kader (the Cadre Approach) dan Pendekatan komprehensif (Comprehensive Approach). Namun, Dalam menyelesaikan konflik semua pihak harus ikut berperan, yaitu keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah.
A. Referensi
Antonius, dkk. (2002). Empowerment, Stress dan Konflik. Jakarta: Ghalian Indonesia.
Bercovitch, Jacob. (2005). Conflict and Conflict Management in Organizations: A Framework for Analysis. Hongkong: Hongkong Journal of Public Administration
Volume 5 issue 2.
Bodine, R. J. and Crawford, D. K. (1998). The Handbook of Conflict Resolution Education, A Guide to Building Quality Programs in Schools. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Bunyamin Maftuh. (2005). Implementasi Model Pembelajaran Resolusi Konflik melalui Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Menengah Atas. Disertasi (Tidak Diterbitkan) Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Dahrendorf, Ralf. (1959). Class and Class Conflict in Industrial Society. London:
Routledge; (First Pub. 1957).
Delors, Jacques. (1996). Learning: The Treasure Within. Paris: UNESCO Publishing.
Dhiya Indra Subarkah dan Budi Purwoko. (2013). The Application of Peer Mediation to Handle Interpersonal Conflict Students Class of Ten Administration Office at Vocational High School Ketintang Surabaya. Jurnal BK UNESA. Volume 03 Nomor 01 Tahun 2013, 373–379.
Girard, K. and Koch, S. J. (1996). Conflict Resolution in the Schools A Manual for Educators. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Gross, Ondine. (2016). Restore the Respect: How to Mediate School Conflicts and Keep Students Learning. Baltimore: Brookes Publishing Company.
Hunt, M.P. and Metcalf, L. (1996). Ratio and Inquiry on Society’s Closed Areas dalam Educating the Democratic Mind (Parker, W). New York: State University of New York Press.
Ibarrola-García, Sara; Iriarte, Concha; Aznárez-Sanado, Maite. (2017). Self-Awareness Emotional Learning during Mediation Procedures in the School Context. Electronic Journal of Research in Educational Psychology, v15 n1 p75-105.
I Nyoman Sudira. (2017). Resolusi Konflik dalam Perubahan Dunia. Global: Jurnal Politik Internasional Vol. 19 No. 2. Hlm. 156-171.
Jones, T. S., dan Kmitta, D. (2000). Does It Works? The Case for Conflict Resolution Education inOur Nations’ School.Washington, DC: Conflict Resolution Education Network.
Khalid Iqbal, Usman Khalil dan Abida Khan (2017). Perceptions of Secondary School Teachers Regarding the Role of Education in Social Conflict Resolution.Bulletin of Education and Research December 2017, Vol. 39, No. 3 pp. 157-170.
Lieber, C. M., Lantieri, L., dan Roderick, T. (1998). Conflict Resolution in The High School: 36 Lessons. Cambridge, MA: Educator for Social Responsibility.
Maitumeleng Albertina Ntho-Ntho dan Frederik Jan Nieuwenhuis. (2016). Mediation as a
Leadership Strategy to Deal with Conflict in Schools. Journal of Curriculum and Teaching Vol. 5, No. 2.
Ni Putu Sugiandari, dkk. (2013). Pengaruh Implementasi Model Resolusi Konflik Terhadap Sikap Sosial dan Prestasi Belajar IPS pada Siswa Kelas V SD Gugus 2 Sahadewa di Lelateng. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Dasar (Volume 3 Tahun 2013).
Savannah Pollan & Dylinda Wilson-Younger. (2012). Conflict resolution, can it really make a difference in the classroom: Conflict resolution strategies for classroom teachers. Alcorn State University.
Scannel, Mary. (2010). The Big Book of Conflict Resolution Games. United Stated of America: Mc Graw Companies–Hill Companies Inc.
Turk, Fulya
.
(2018). Evaluasi Dampak Resolusi Konflik, Pendidikan Perdamaian, dan Mediasi Sebaya: Studi Meta-Analisis. Studi Pendidikan Internasional; Vol. 11, No.1; 2018 ISSN 1913-9020 E-ISSN 1913-9039. Kanada: Pusat Sains dan Pendidikan.