1
Hak atas memiliki tempat hunian merupakan salah satu hak mendasar bagi warga negara untuk melangsungkan hidupnya. Berbagai macam produk hukum disusun untuk menunjang atas hak memiliki tempat hunian. Dalam hukum nasional telah ditetapkan guna mengakomodir serta mendorong agar hak atas perumahan dapat berjalan diatur dalam konstitusi yaitu Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”1 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan permukiman, Pasal 1 ayat ( 7) dan Pasal 1 ayat (10) menjelaskan definisi dari , rumah, rumah umum yakni :
1. Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.
1 Lihat Penjelasan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera dan mendapatkan tempat tinggal serta memperoleh lingkungan yang sehat dan pelayanan kesehatan.
2. Rumah Umum adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpengasilan rendah.
Mengenal Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Kemudahan dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah atau yang selanjutnya disebut sebagai Permen PUPR No. 35 Tahun 2021 merupakan suatu regulasi mengenai pelaksanakan pengalihan dana dan kepesertaan masyarakat yang menjadi penerima manfaat fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan sebagai salah satu kemudahan dan bantuan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Permen PUPR ini secara khusus merupakan aturan pelaksana dari Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.2
Dalam realita yang terjadi di masyarakat terdapat problematika yang sering ditemui yaitu harga tanah yang semakin melonjak tinggi setiap tahun, bukan hanya hal tersebut harga bahan baku bangunan atau materials semakin melambung tinggi, tentu saja hal tersebut menjadi salah satu faktor banyak masyarakat Indonesia yang belum memiliki rumah atas hak milik sendiri.
2 Lihat bagian menimbang Permen PUPR No. 35 Tahun 2021
Direktur Jendral Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyebutkan bahwa kurang lebih terdapat 13,4 juta keluarga di Indonesia belum memiliki tempat tinggal sendiri, tentu hal tersebut menunjukan bahwa memiliki rumah pada saat ini tidaklah mudah.
Sehingga pemerintah memberikan solusi bagi masyarakat yang memiliki penghasilan rendah dengan mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam Permen PUPR No. 35 Tahun 2021 tentang Kemudahan dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah sehingga diadakanlah program KPR rumah tapak umum yang mana sistemnya bekerjasama dengan bank milik negara3, dengan minimal penghasilan Rp.
4.000.000 – Rp. 7.000.000 per bulan. Namun terdapat klausul atau ketentuan dalam Pasal 22 Permen PUPR No. 35 Tahun 2021, bahwasanya kredit rumah subsidi baru dapat di lakukan pengalihan kredit apabila sudah memasuki masa penghunian 5 tahun. Hal ini dikarenakan pemerintah bermaksud menghindari seseorang yang meyalahgunakan kemudahan tersebut untuk mengambil kredit rumah dengan jumlah yang banyak lalu menjual lagi dengan harga yang lebih tinggi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), di dalam ketentuan Pasal tersebut menjelaskan perjanjian mengikat untuk kedua belah pihak.4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menjelaskan definisi dari kredit yang diatur dalam Pasal 1
3 Yaumil Fadhilah Aminova, et.al., “Implementasi Program Kredit Perumahan Rakyat
(KPR) Bersubsidi Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah dikota Padang”, Jurnal Perspektif : Jurnal Kajian Sosiologi dan Pendidikan, Vol.3 No. 1 April 2020, hlm.118
4 Lihat penjelasan di dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
angka 11.5 Dalam ilmu hukum dikenal 2 (dua) Azas utama yang mana sangat berpengaruh terhadap wujud dan substansi kontrak-kontrak yang akan dirancang, yaitu Azas Kebebasan Berkontrak dan Azas Facta Sunt Servanda.
Azas Kebebasan Berkontrak (Freedom to Contract) mengandung arti bahwa dalam membuat suatu kontrak, para pihak pembuatnya memiliki kebebasan asalkan tetap sesuai dengan peraturan dan norma yang ada seperti menentukan objek, isi dan persyaratan-persyaratan kontrak. Azas Facta Sunt Servanda yang memiliki arti “Perjanjian dibuat untuk dipatuhi oleh pihak- pihak pembuatnya”. Di dalam hukum positif Indonesia makna dari Pasal ini tampak dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menetapkan bahwa: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Namun realita yang terjadi tidak jarang pula nasabah KPR dikarenakan desakan kebutuhan ekonomi atau faktor yang lainnya, bermaksud untuk mengalihkan objek yang menjadi perjanjian kredit sebelumnya kepada pihak lain yang dirasa sanggup melanjutkan kredit pemilikan rumah tapak umum6. Hal tersebut diupayakan guna menghindari objek perjanjian kredit agar tidak disita oleh pihak bank selaku kreditur, karena apabila hal tersebut terjadi, tentu saja akan memberikan dampak sosial terhadap debitur.
Walaupun kondisi objek perjanjian kredit tersebut masih dalam agunan bank, hal tersebut berarti sertipikat hak guna bangunan yang menjadi tanda
5 Lihat penjelasan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
bukti hukum yang kuat dan sah atas rumah masih dipegang oleh bank, sehingga perjanjian pengalihan kredit di lakukan secara dibawah tangan hanya antara para pihak. Sedangkan dalam prosedur resmi pengalihan pemilikan rumah harus di lakukan atas persetujuan serta sepengetahuan terlebih dahulu dari pihak bank, dikarenakan agunan yang menjadi objek dalam perjanjian kredit masih tetap tertulis atas nama pihak debitur yang melakukan pengalihan7.
Melihat fenomena yang terjadi di masyarakat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai penerapan Das sollen dan Das sein yang tidak berjalan dengan semestinya, hal ini dibuktikan dengan pemaparan yang telah disampaikan penulis sebelumnya. Berdasarkan aturan yang tertulis pada Permen No. 35 Tahun 2021 pada Pasal 22 ayat (3) huruf b, diatur bahwa:
"Penerima manfaaat SBUM hanya dapat menyewakan dan/atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah tapak umum tapak kepada pihak lain, dalam hal :8
a. Pewarisan;
b. Penghunian setelah jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun;
atau
c. Pindah tempat tinggal karena tingkat sosial ekonomi yang lebih baik."
Pasal ini menekankan pada ketentuan apabila ingin melakukan pengalihan kredit dan hak pemilikan rumah tapak umum bagi masyarakat berpenghasilan rendah, namun realita (das sein) yang terjadi di masyarakat, banyak yang bertentangan dengan isi daripada Pasal 22, hal ini menunjukan terjadinya pelanggaran terhadap ketertiban umum sedangkan permen merupakan salah
7 Almavira, Yulia, et.al., “Implementasi Akad Hawalah pada Transaksi Pengalihan Rumah terhadap Pengalihan Objek (Studi di Jabar Banten Syaria Pandeglang)”, Jurnal Hukum, Vol. 12. No. 2, October 2021, hlm. 52
8 Lihat Penjelasan dalam Permen PUPR No. 35 Tahun 2021 Pasal 22 ayat (3)
satu bentuk dari ketertiban umum, sehingga peneliti ingin mengkaji lebih dalam sah atau tidaknya pengalihan kredit pemilikan rumah tapak umum yang seyogyanya hanya dapat di lakukan apabila telah memasuki 5 tahun masa penghunian.
Terdapat satu perkara pengalihan kredit dibawah tangan antara Euis Johana sebagai penggugat, Ulrich Tuwaidan sebagai tergugat, dan Bank BTN sebagai turut tergugat. Diketahui penggugat dan tergugat telah melakukan pengalihan kredit secara dibawah tangan satu rumah yang terletak di Perumnas Depok Utara pada tahun 1980. Setelah mereka sepakat untuk melakukan pengalihan kredit, maka penggugat melanjutkan cicilan KPR yang sebelumnya dibayarkan oleh tergugat ke Bank BTN. Penggugat membayar cicilan KPR tersebut hingga lunas di tahun 2000. Namun, setelah lunas, penggugat tidak dapat mengambil sertifikat atas rumah yang telah ia lunasi.
Bank BTN tidak dapat memberikan sertifikat atas rumah tersebut karena dalam perjanjian kredit awal, nama yang tertera adalah nama tergugat dan Bank BTN mewajibkan keberadaan tergugat untuk mengambil sertifikat.
Sedangkan tergugat sudah tidak diketahui lagi keberadaannya. Oleh karena itu, penggugat merasa dirugikan karena telah melunasi cicilan KPR namun tidak dapat mengambil bukti kepemilikan rumah yang telah dilunasi. Karena itulah, penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Depok pada tanggal 29 Januari 20149.
9 Aditya A.S, Muhamad Rayza, “Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Pengalihan Kredit di Bawah Tangan di Perumnas Depok Utara (Studi Kasus Putusan No.22/pdt.G/2014/PN.DPK)” (Skripsi Thesis UPN Veteran, Jakarta, 2019), hlm 10
Dengan contoh kasus di atas menjadi alasan peneliti tertarik untuk mengkaji Das sollen yang merupakan peraturan hukum yang bersifat umum dan Das sein yaitu suatu peristiwa konkret yang terjadi dimasyarakat, yang mana tidak berjalan dengan baik dan seimbang Sedangkan regulasi tersebut dirancang kementerian PUPR sebagai upaya dalam pemenuhan kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini tentu saja menyebabkan kerugian terhadap pihak- pihak yang menyediakan fasilitas kredit tersebut. Atas dasar itu peneliti tertarik mengkaji tentang “Analisis Yuridis terhadap Pengalihan Kredit dan Hak Kepemilikan Rumah Umum Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 35 Tahun 2021”
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah penulis uraikan , maka rumusan masalah yang diambil adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana status keabsahan terhadap Pengalihan Kredit dan Hak Pemilikan Rumah Umum yang di lakukan sebelum 5 tahun masa penghunian ?
2. Bagaimana upaya-upaya hukum secara normatif yang akan di lakukan oleh pengalih penerima kredit untuk menyelaraskan ketentuan yang ada dalam Permen PUPR No.35 Tahun 2021 ?
C. Tujuan dan kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Selaras dengan pokok persoalan atau rumusan masalah yang telah disampaikan, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui keabsahan dari pengalihan kredit dan hak pemilikan rumah umum yang di lakukan sebelum 5 tahun penghunian berdasarkan Permen PUPR No. 35 Tahun 2021.
b. Untuk mengetahui upaya-upaya hukum secara normatif yang akan di lakukan oleh pengalih penerima kredit untuk mensiasati ketentuan yang ada dalam Permen PUPR No.35 Tahun 2021
2. Kegunaan Penulisan
Penyusunan penelitian ini dapat menyumbangkan manfaat baik dari segi sudut pandang teoritis menunjang perkembangan keilmuan maupun dari sudut pandang praktis. Adapun kegunaan sebagai berikut:
a. Kegunaan Secara Teoritis
1) Hasil dari penelitian ini sangat diharapkan bisa memberikan sumbangan untuk ilmu pengetahuan, khususnya dibidang Hukum Perdata yang mana berkaitan dengan perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Bersubsidi
b. Kegunaan Secara Praktis 1) Bagi Bank Penyedia Kredit
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi refleksi atau acuan bagi pihak Bank untuk dapat memberikan himbauan lebih kepada developer dan calon debitur sebelum memutuskan mengambil KPR rumah subsidi.
2) Bagi Developer
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekonstruksi untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tentang pengalihan kredit dan hak pemilikan rumah umum..
3) Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kebermanfaatan secara praktis yang mana dapat menambah wawasan bagi warga negara tentang sistem pengalihan rumah subsidi yang baik sesuai dengan regulasi yang ada, selain itu diharapkan dapat menjadi pertimbangan calon debitur atau masyarakat khususnya Kecamatan Cibitung Kota Bekasi yang hendak mengambil KPR rumah subsidi.
4) Bagi Universitas
Hasil dari Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmiah kepustakaan di Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang serta besar harapan dapat digunakan untuk referensi bagi penelitian selanjunya.
D. Tinjauan Pustaka 1. Kredit
Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa Latin, “credere”, yang berarti kepercayaan, sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kredit yaitu pinjam meminjam sesuatu dengan pengembalian atau pembayaran secara diangsur dengan jumlah tertentu yang telah disepakati kreditur, Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, kredit yaitu penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.10
Dalam hal pemberian kredit adanya persyaratan barang jaminan oleh debitur di lakukan pada saat pengikatan jaminan yaitu pada saat akad kredit, yang akan digunakan Pihak Bank untuk menjamin pelunasan utang debitur apabila suatu saat debitur ingkar janji/wanprestasi. Oleh karena itu proses pemberian kredit tersebut diperlukan keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk membayar hutangnya serta memperhatikan Azas-Azas perkreditan bank yang sehat, yakni dengan memperhatikan prinsip 5 C yaitu Character (Kepribadian), Capacity (Kemampuan), Capital (Modal), Condition of Economy (Kondisi Ekonomi), dan Colleteral (Agunan). Dari pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur kredit adalah:
a. Kepercayaan, b. Tenggang Waktu
c. Tingkat Risiko (Degree of Risk)
d. Objek Kredit (prestasi) Sedangkan dari segi jaminannya jenis kredit dapat dibedakan menjadi 2 antara lain :
10 Usman, Rachmadi, Pasal-Pasal tentang Hak Tanggungan Atas Tanah (Jakarta ,1999), hlm 22.
1) Kredit dengan jaminan (secured loan) kredit diberikan kepada debitur selain didasarkan adanya keyakinan atas kemampuan debitur juga disandarkan kepada adanya agunan atau jaminan yang berupa fisik (collateral) sebagai jaminan tambahan misalnya berupa tanah, bangunan, alat-alat produksi dan sebagainya.
2) Kredit tanpa jaminan (unsecured loan) pemberian kredit tanpa jaminan materil (agunan fisik), pemberiannya sangatlah selektif dan ditujukan kepada debitur besar yang telah teruji bonafiditas, kejujuran dan ketaatannya dalam transaksi perbankan maupun kegiatan usaha yang dijalaninya.11
2. Pengalihan Kredit
Pengalihan Kredit Pemilikan Rumah artinya mengalihkan kewajiban guna melunasi kredit dari pihak lama ke pihak yang baru. 12 Pihak bank memberikan kredit, dalam hal ini melakukan akad kredit yang di tanda tangani yaitu Perjanjian Kredit, Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT), Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), dan Akta Pengakuan Hutang dapat di lakukan dengan cara alih debitur. Pasal 11 angka 1 dan 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, menjelaskan bahwa:
a. Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji- janji.
11 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia (Jakarta , 1999), hlm.381-382 12 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (Bandung, 2002), hlm. 151.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) bahwa pengalihan hak atau pengalihan kewajiban adalah ditentukan dengan “Novasi”, karena di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Menurut Soebekti diterjemahkan menjadi pembaharuan hutang. Dari Pasal yang mengatur tentang novasi para sarjana menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan novasi adalah penggantian perikatan lama dengan suatu perikatan yang baru13.
Ditinjau dari aspek hukum perikatan proses alih debitor yang di lakukan dalam penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) merupakan hukum novasi. Novasi adalah suatu proses pergantian perjanjian lama oleh suatu perjanjian baru, yang menyebabkan perjanjian lama hapus, sehingga yang berlaku selanjutnya adalah perjanjian baru dengan perubahan terhadap syarat dan kondisinya, dan atau dengan perubahan terhadap para pihak dalam perjanjian tersebut14.
KUHPerdata mengaturnya tentang Novasi dari Pasal 1413 sampai dengan Pasal 1424, yakni dalam bagian hapusnya suatu perikatan. Novasi atau Pembaharuan hutang tersebut hanya dapat terlaksana antara orang- orang yang cakap untuk mengadakan perikatan perikatan (Pasal 1414 KUHPerdata). Sehingga perbuatan hukum novasi harus memenuhi syarat- syarat yuridis.
13 J. Satrio, et. al., Kompensatie & Percampuran Hutang (Bandung, 1999), hlm. 100
14 Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis (Bandung, 2003), hlm.
180
Pengalihan debitur ini akan dibuat dan ditandatangani dalam Akta Perjanjian Kredit Baru, Pengakuan Utang, Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan/Akta Jual Beli antara debitur lama dengan debitur baru. Pasal 1417 KUHPerdata menyebutkan cara orang mengadakan suatu Novasi subyektif pasif, dimana debitur menawarkan kepada kreditornya seorang debitur baru yang bersedia untuk mengikatkan dirinya demi keuntungan kreditor atau dengan perkataan lain, bersedia untuk membayar hutang-hutang debitur15.
Dari uraian mengenai cara mengadakan novasi tersebut di atas dapat kita katakan, Persyaratan oper kredit atau alih debitor hampir sama dengan syarat-syarat permohonan Kredit Pemilikan Rumah, perbedaannya debitor lama mengajukan peromohonan penerusan utang atau alih debitor. Setelah syarat-syarat terpenuhi, bank mengadakan wawancara dengan calon debitor baru dan bagi yang layak bank akan mengeluarkan Surat Persetujuan Alih Debitor. Berdasarkan Surat Perjanjian ini notaris akan memproses oper kredit atau alih debitor seperti halnya akad kredit sebelumnya dengan tambahan satu kata, yaitu Akta Delegasi16.
3. Hak Milik
Hak milik memiliki arti sebagai hak turun menurun yang merupakan hak yang paling kuat dan terpenuh yang bisa dimiliki oleh subyek hukum atas tanah. Di dalam hak ini hanya warga negara Indonesia yang dapat
15 Lahe, Nurcania Pratiwi, “Tinjauan Mekanisme Pelaksanaan Take Pengalihan pada Pembiayaan Produk Kredit Kepemilikan Rumah pada Beberapa Bank Syariah” (Skripsi, Fak. Hukum UIN Alauddin, Makassar, 2020), hlm. 89
16 Suharnoko, et. al., Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie (Jakarta, 2006), hlm. 98
mempunyai hak milik dan badan-badan hukum tertentu yang dapat mempunyai hak milik. Dalam penggunaan hak ini tidak memiliki jangka waktu yang berarti juga masa kepemilikan akan objek tersebut tidak memiliki batas waktu selama tidak terjadi peralihan (jual beli, waris, lelang).
4. Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, hak ini memiliki jangka waktu selama 30 tahun dan dapat diperpanjang lagi dengan jangka waktu paling lama 20 tahun. Hak ini dapat dimiliki oleh WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum positif Indonesia dan memiliki kedudukan di wilayah Indonesia. Jangka waktu Hak Guna Bangunan terbagi menjadi 3 jenis yaitu :
a. Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara memiliki jangka waktu paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun;
b. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan memiliki jangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan;
c. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik memiliki jangka waktu paling lama 30 tahun dan atas kesepakatan antara para pihak dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
5. Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit merupakan landasan yang penting dalam kepemilikan rumah, karena perjanjian itu dibuat untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi kepentingan para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan perjanjian dalam kepemilikan rumah adalah perjanjian kredit antara bank dengan nasabah atau kreditur dan debitur dengan jangka waktu kredit yang cukup lama, yang mana dimungkinkan terjadi suatu permasalahan salah satu contohnya adalah wanprestasi. Adapun seorang debitur dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi ada 4 macam, yaitu:17
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya
d. Debitur memenuhi prestasi, tetapi melakukan hal yang dilarang dalam perjanjian.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata dijelaskan bahwa perjanjian mengikat untuk kedua belah pihak, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Maka terdapat kualifikasi suatu perjanjian dikatakan sudah berjalan dengan baik apabila terkandung ha-hal sebagai berikut:18
17 P.N.H Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia (Jakarta, 2009), hlm. 340 18 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan (Bandung, 2007), hlm. 81
a. Para pihak (subjek) selalu dua orang atau lebih;
b. Debitur wajib melaksanakan prestasi;
c. Prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan;
d. Prestasi harus mungkin dan halal;
e. Prestasi dapat berupa satu kali atau terus-menerus, seperti dalam perjanjian sewa menyewa, perjanjian kerja dan lain-lain;
f. Perjanjian atau perikatan tidak selalu berdiri sendiri, artinya masih harus diikuti dengan tindakan lain, seperti dalam perjanjian jual beli, diikuti dengan levering (penyerahan) dan balik nama;
6. Upaya Penyelesaian Kredit
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank wajib memelihara kesehatannya sesuai dengan kualitas asetnya, dimana kredit ini merupakan kualitas aset yang menjadi faktor dan indikator penentu kinerja suatu bank. Sehingga apabila kredit macet ini tidak di atasi dengan baik maka akan menyebabkan kerugian yang harus ditanggung oleh bank dan akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank tersebut.19 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/Pojk.03/2017 Tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan
19 Pramesti, et.al., “Tinjauan Yuridis Hubungan Hukum Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Bersubsidi” (Skripsi Thesis, Fak. Hukum Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 2020), hlm. 65
Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank Bagi Bank Umum di dalam Pasal 2 ayat (1), (2) dan (3).20
Kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit memuat dan mengatur hal pokok sebagaimana ditetapkan dalam Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank. Berdasarkan Kebijakan perkreditan atau pembiayaan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 salah satunya mengatur mengenai penyelesaian kredit atau pembiayaan bermasalah. Dan dalam hal jumlah seluruh Kredit atau Pembiayaan yang kolektibilitasnya tergolong Diragukan dan Macet telah mencapai 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah kredit atau pembiayaan secara keseluruhan atau kriteria lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang menggolongkan Bank sebagai Bank yang menghadapi Kredit atau pembiayaan bermasalah maka direksi harus menetapkan dan mengambil langkah-langkah.21
7. Kredit Kepemilikan Rumah (KPR)
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah fasilitas yang diberikan untuk membeli rumah dengan kredit kepada bank. KPR dipandang menguntungkan karena dapat membantu memiliki rumah sendiri, walaupun tidak cara pembelian tunai. Prinsip KPR adalah membiayai terlebih dahulu biaya pembelian atau pembangunan rumah, kemudian
20 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/Pojk.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank Bagi Bank Umum
21 Penjelasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/Pojk.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank Bagi Bank Umum
dana untuk membayarkan balik di lakukan dengan cicilan tersebut. 22 Program Kredit Pemilikan Rumah ini dilaksanakan oleh Bank.
Bank mempunyai fungsi utama menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat sesuai dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi :
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk- bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Bank dengan prinsip kehati- hatiannya (prudential principle) tidak akan memberikan kredit untuk suatu proyek tanpa didahului studi kelayakan terhadap rencana proyek itu.23
8. Peraturan Menteri PUPR No.35 Tahun 2021
Peraturan Menteri PUPR Nomor 35 tahun 2021 tentang kemudahan dan bantuan pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah ditetapkan oleh menteri PUPR. Regulasi ini lahir dari bentuk kebijakan daripada pemerintah karena melihat fenomena di masyarakat yang mana banyak warga negara di Indonesia belum memiliki tempat tinggal tetap, maka dari itu solusi yang ditawarkan pemerintah yaitu program kredit rumah subsidi dengan
22 Ibid, hlm.173
23 Ibid, 172
harapan dapat mempermudah bagi MBR yang ingin memiliki rumah.24 Namun terdapat klausul yang harus di lakukan yaitu tidak boleh terjadi pengalihan kredit dan hak pemilikan rumah sebelum memasuki masa penghunian minimal 5 tahun. KPR Sejahtera merupakan pembiayaan atau kredit pemilikan rumah yang di dukung FLPP. FLPP atau yang disebut juga Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan ialah dukungan terhadap fasilitas likuiditas pada pembiayaan perumahan untuk masyarakat yang memiliki penghasilan yang masih rendah.
FLLP memiliki tujuan yaitu menyediakan dana guna mendukung pembiayaan perumahan bagi MBR yang masuk dalam kualifikasi persyaratan yang telah ditentukan. Syarat yang pertama yaitu berkewarganegaraan Indonesia, tercatat sebagai penduduk di 1 (satu) daerah kabupaten/kota, belum pernah menerima subsidi atau bantuan pembiayaan perumahan dari pemerintah terkait kredit/pembiayaan kepemilikan Rumah dan/atau kredit/pembiayaan pembangunan Rumah Swadaya, dan orang perseorangan yang berstatus tidak kawin atau pasangan suami istri.
Batasan luas tanah, luas lantai, dan biaya pembangunan atau perbaikan Rumah swadaya, serta besaran harga jual Rumah dalam pelaksanaan kredit perumahan FLPP, ditentukan oleh Menteri.
24 Takalamingan, et. al., “Analisis Penerapan Sistem dan Prosedur Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Subsidi Pada Bank Tabungan Negara Cabang Manado”, Jurnal Riset Akuntansi Going Concern, Desember 2018, hlm 45
Masyarakat yang telah menjadi Penerima Manfaat dapat ditetapkan atau dicatat sebagai Peserta. Penerima Manfaat terdiri atas Penerima Manfaat tahun 2010 sampai dengan bulan Oktober tahun 2021. Untuk pemilikan Rumah Umum Tapak diberikan SBUM, SBUM diberikan melalui Bank Pelaksana sebagai pemenuhan kekurangan sebagian atau seluruh uang muka kelompok sasaran kepada Pengembang. Besaran SBUM ditetapkan oleh Menteri.
E. Landasan Teori
1. Teori Kepastian Hukum
Di dalam tujuan hukum yang dikenalkan oleh Gustav Radbruch yang terdiri dari kepastian, kebermanfaatan, dan keadilan membawa suatu konsekuensi yang nyata terhadap segi kehidupan manusia.
Khususnya pada aspek kepastian hukum, di dalam kepastian hukum maka terdapat hak dan kewajiban yang muncul terhadap masing- masing subyek hukum yang wajib berlandaskan pada hukum positif yang berlaku.
Atas hal ini terdapat beberapa prinsip dasar di dalam hukum perikatan sebagai suatu kepastian hukum, diantaranya adanya Azas Facta sunt servanda yang terdapat di dalam redaksional substansi Pasal 1338 ayat (1) KUHPer yang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”.
Berdasarkan Pasal tersebut Facta Sunt Servanda memiliki arti
bahwa “Sifat dari perjanjian adalah mengikat” , hal ini senada dengan muatan substansi Facta Sunt Servanda yang di dalam bahasa aslinya memiliki istilah : Facta convent quae neque contra leges neque dalo malo inita sunt omnimodo observanda sunt yang memiliki arti bahwa suatu perjanjian yang tidak dibuat secara ilegal dan tidak berasal dari penipuan harus sepenuhnya diikuti.25
Menurut Subekti terkait Pasal 1338 ayat (1) KUHPer menyatakan bahwa di dalam substansi suatu perjanjian, para pihak yang terlibat dalam pembuatan perjanjian diperbolehkan membuat undang-undang bagi mereka sendiri.26 Azas ini juga memiliki makna bahwa pihak ketiga wajib untuk menghormati muatan-muatan perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak sehingga pihak ketiga tidak dengan mudah mampu mengintervensi atas substansi perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak.
Dalam pelaksanaan Azas Facta Sunt Servanda memiliki tujuan disisi menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum juga untuk menjamin adanya ketertiban sosial, ekonomi, dan perdagangan. Disisi dari keberlakuan Azas Facta Sunt Servanda rupanya di dalam teori kepastian hukum terdapat pula manifestasi Azas konsensualisme , yang muncul dan diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman, Azas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer.27 Pada Pasal
25 Munir Fuadi, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum (Jakarta, 2013), Hlm. 210 26 Subekti, Hukum Perjanjian ( Jakarta, 2004), Hlm.14
27 Lihat Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Azas ini menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah Azas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Artinya, bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.
Pada prinsipnya teori kepastian hukum memiliki dua aliran hukum diantaranya:
a. Aliran Hukum Positif Murni
Aliran ini dikenalkan oleh Hans Kelsen yang menjelaskan bahwa hukum harus murni “Pure” disebabkan bahwa hukum harus dibersihkan dari berbagai hal atau anasir yang tidak yuridis, seperti aspek sosiologis, sejarah, dan politis. Aliran ini memiliki kunci bahwa hukum adalah sebagaimana adanya, yaitu tertera atau terkandung di dalam berbagai regulasi yang berlaku. Sehingga menurut aliran ini yang dipermasalahkan bukan mengenai tentang bagaimana hukum yang seharusnya akan tetapi tentang apa
hukumnya.
b. Aliran Hukum Positif Analitis
Aliran ini dikenalkan oleh John Austin yang mengartikan bahwa hukum adalah suatu perintah yang berasal dari pemegang kekuasaan atau kedaulatan “A Command of The Lawgiver” . Menurut aliran ini menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis tertutup dan tetap. Hukum harus berdiri sendiri atau secara tegas dipisahkan dari unsur yang namanya moral. Karena itu dalam pembuatan perjanjian harus dapat:
1) Di satu pihak, merumuskan dengan seakurat mungkin hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian, di lain pihak ia juga perlu memahami benar substansi dari janji-janji dan kondisi-kondisi yang disepakati oleh para pihak di dalam transaksi bisnis mereka.
2) Memperhatikan unsur kepastian hukum, keadilan dan kewajaran dalam merumuskan hak dan kewajiban para pihak, sedemikian rupa sehingga kontrak memang layak dan mungkin dilaksanakan.
2. Teori Keadilan
Teori ini dikenalkan oleh John Rawls yang menjelaskan bahwa kesepakatan fundamental yang dicapai adalah fair.28 Rawls menyebutkan bahwa “Justice as Fairness” yang ditandai dengan keberlakuan dari aspek kebebasan, kesamaan, dan rasionalitas. Sehingga Rawls menitikberatkan pada prinsip-prinsip keadilan yang harus memprioritaskan adanya hak
28 John Rawls, A Theory of Justice: Teori Keadilan (Yogyakarta, 2006)
daripada manfaat. Rawls mengenalkan pula prinsip keadilan distributif yang berarti setiap orang memiliki hak atau kesempatan yang setara berdasarkan konsep kebebasan pada umumnya terhadap semua orang sebagai suatu hak yang mendasar. Sehingga terdapat esensi bahwa dengan adanya jaminan kebebasan dengan kedudukan yang sama terhadap semua orang akan didapatkan keadilan yang diharapkan.
F. Metode Penelitian
Metode berasal dari bahasa yunani “Methodos” yang memiliki arti jalan yang akan digunakan, selanjutnya menurut I Made yang disebut dengan metode yaitu suatu prosedur atau tahapan guna mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis.29 Sedangkan kata penelitian atau riset berasal dari Bahasa Inggris research yang artinya proses pengumpulan informasi dengan tujuan meningkatkan, memodifikasi atau mengembangkan sebuah penyelidikan atau kelompok penyelidikan. Metode penelitian merupakan cara utama yang digunakan peneliti untuk mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan. Jadi, metode penelitian adalah suatu cara atau prosedur untuk memperoleh pemecahan terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Metode penelitian mencakup alat dan prosedur penelitian. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :30
1. Jenis Penelitian
29 I Made Wirartha, Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi (Yogyakarta, 2006), hlm.69 30Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis untuk Peneliti Pemula (Yogyakarta, 2006), hlm.111
Jenis Penelitian yang akan digunakan oleh peneliti yaitu jenis penelitian hukum yuridis - normatif dan doctrinal yang di lakukan dengan menganalisis norma-norma hukum (ketentuan - ketentuan yang ada) dan yang akan membahas secara sistematis, menganalisis hubungan antara ketentuan-ketentuan, mengkaji hambatan-hambatan yang dihadapi,dan kemungkinan memperkirakan perkembangan - perkembangan di masa mendatang.Penelitian hukum normatif atau banyak pula para ahli menyebutnya sebagai penelitian hukum dogmatif, sesuai dengan bidang tugas dan karakternya dalam rangka evaluasi hukum positif, mengandung elemen preskriptif atau dimensi mengkaidahi. Objek penelitian hukum normatif anatara lain Azas-Azas hukum, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.31
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach); Pendekatan Kasus (case approach); Pendekatan Konseptual (conceptual approach). Di lakukan dengan menelaah semua undang- undang, dan menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum, serta menelaah semua konsep-konsep dalam berbagai literatur yang di dapat untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang muncul dalam penelitian ini.
3. Jenis dan Sumber Hukum
31 Titon Slemet Kurnia, et. al, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia Sebuah Reorientasi (Yogyakarta, 2013), hlm. 149
a. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi maupun risalah dalam pembuatan perundang-undangan ataupun putusan hakim. Adapun bahan hukum yang diperlukan yaitu :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)
2) Peraturan Menteri PUPR Nomor 35 Tahun 2021 tentang Kemudahan dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
3) Bahan hukum sekunder yakni bersumber dari buku-buku hukum, artikel ilmiah, dan dokumen kepustakaan terkait isu yang diteliti 4) Bahan hukum tersier yang digunakan untuk melengkapi dan
memberi pengertian atau penjelasan terhadap suatu penulisan hukum berupa ensiklopedia hukum dan kamus hukum.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal pengumpulan bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu peneliti mengumpulkan bahan-bahan hukum dari berbagai peraturan perundang- undangan, buku teks, jurnal hukum, makalah, hasil penelitian pakar hukum dan guna agar memperjelas serta memperkuat hasil dari penelitian ini maka akan dilengkapi dengan menggunakan studi empiris di kecamatan Cibitung yaitu observasi.
Yang selanjutnya untuk menguatkan argumentasi mengenai pemecahan permasalahan dalam penelitian ini, perlu juga didukung melalui
wawancara secara mendalam terhadap responden yang bagi peneliti digunakan sebagai data pendukung dalam penelitian ini, bukan sebagai data utama karena hanya sebagai tambahan interpretasi dari peran serta itu sendiri.
5. Metode Analisis
Adapun metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif yaitu bahan-bahan hukum yang telah diperoleh di analisis dengan berpedoman pada metode kualitatif dan analisis deskriptif, analisis deskriptif disini bertujuan untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai keabsahan pengalihan kredit yang di lakukan sebelum memasuki masa 5 tahun masa penghunian lalu dipadukan dengan metode kualitatif yang menguraikan fakta yang telah ada dalam penelitian, selanjutnya dihubungkan sedemikian rupa dan disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.